Sabtu, 17 Desember 2016

Yang Menghormat, Terhormat




Menghormati, menghargai, mencintai-menyayangi, menolong serta bentuk-bentuk "perendahan" diri lainnya atas dasar apapun dan pada siapapun adalah tarikat-jalan melemahkan ego-hawa nafsu, pada akhirnya akan membukakan hati, tempatnya kebijaksanaan, kekuatan dan kebenaran. Siapa yang paling banyak melakukan itu, dialah yang pada akhirnya paling akan bijaksana, benar dan berkekuatan, dibimbing dan diayomi langsung oleh "Hyang Dewa Ruci", "Gusti" yang bersemayam di dalam diri tiap-tiap manusia.


Sekarang banyak orang-bukannya berupaya mencari sebanyak mungkin alasan untuk menghormati, menghargai, mencintai-menyayangi, menolong, malah sebaliknya, berusaha membatasinya dengan berbagai dalih. Hanya karena beda pandangan, beda partai, beda agama, beda etnis, beda ras, beda mahluk lantas dengan mudahnya dijadikan alasan untuk meniadakan rasa hormat, menghargai, cinta-sayang dan kesediaan untuk menolong. Yang sangat menyedihkan, justru yang biasa berfikir dan bersikap seperti itu adalah orang-orang yang secara lahir tampak agamis, orang yang terobsesi dengan kebijaksanaan, kebenaran dan kekuatan.


"Ilmu iku kelakone kanthi laku". Adalah sesuatu yang mustahil kalau kita mengharapkan ilmu itu datang tapi kita sendiri menolak "laku", "tarikat" atau jalan "menjemput" ilmu itu. Mustahil kita akan menjadi bijaksana, benar dan kuat tapi kita enggan melatih diri untuk tidak egois-menuruti hawa nafsu, tidak bersedia melakukan laku-tarikat perendahan diri. Agama tanpa "laku" itu ibarat cinta tanpa akal, kita pasti akan sering gagal menafsirkan-memahami hakikat tujuan dari agama itu, akan dengan mudah menjadikannya pemenuh ego-hawa nafsu kita sendiri, bukan menjadi alat-alasan mengendalikannya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar