Minggu, 25 Desember 2016

Ego dan Ibrahim




Ibrahim menjadi tercerahkan-mendapat petunjuk untuk mengganti korbannya, dari semula-putranya Ismail menjadi seekor domba itu jelas mencerminkan anugrah atas dicapainya keikhlasan penuh dia terhadap kehendak Tuhan-alam semesta, seandainya dia belum mampu ikhlas-masih menjadikan cintanya kepada Ismail sebagai "dewa", pasti Ismaillah yang tetap harus dijadikan korban.


Bagi orang yang gemar mengheningkan diri, menjalani laku-praktik spiritual tentu akan sangat mengerti hikmah dibalik kisah Ibrahim ini. Apa yang kita dapat dari spiritualitas-mistisme sangat ditentukan dari sejauh mana kita meletakkan ego-hawa nafsu berikut bagaimana tingkat-derajatnya. Jika ego kita masih diletakkan pada daging, raga atau indra kita, hal-hal yang terkait itu jugalah yang harus dikorbankan agar keinginan kita bisa tercapai. Ibrahim pada awalnya mendapat petunjuk mengorbankan putranya Ismail jelas menandakan cintanya terhadap Ismail begitu besar, mengalahkan segalanya, sementara di sisi lain, Ibrahim juga punya keinginan yang tak kalah kuat, ingin dekat dengan Tuhan. Tidak ada cinta-ego-hawa nafsu yang bisa diduakan, Ibrahim harus memilih antara anaknya sendiri, Tuhan atau terus berusaha mengikhlaskan-memasrahkan apa yang harus dilakukan sepenuhnya pada yang maha tahu-maha bijaksana. Beruntung Ibrahim, dia berhasil memilih yang terakhir sehingga apa-apa yang terbaik bagi dirinyalah yang kemudian menghampiri, egonya untuk mencintai anak dan Tuhannya tetap terpenuhi hanya dengan menebusnya dengan seekor domba.


Orang-orang Jawa jaman dulu saat menjalani "laku" spiritual atau mistik biasa mendapat petunjuk yang mirip dengan apa yang dialami Ibrahim, petunjuk yang memicu "perang" ego. Ada yang mendapat petunjuk menjadikan kafan-tali pocong perawan, wanita yang meninggal pada malam jum'at kliwon atau wanita yang meninggal saat hamil sebagai jimat..., ada juga yang lebih gila, menjadikan anak dan istrinya sendiri sebagai "banten" atau tumbal agar keinginannya untuk menjadi kaya atau berkuasa bisa tercapai. Itu mencerminkan bahwa ego terbesar orang Jawa adalah rasa takut dan cinta terhadap istri dan anak sehingga petunjuk yang didapat saat menjalani laku spiritual-mistispun menjadi yang sifatnya menguji sampai sejauh mana ketakutan, cinta terhadap anak dan istrinya bisa dikuasai.


Kenyataan di dunia spiritual-mistis sebenarnya sama dengan di dunia "rasional". Apa yang dilakukan banyak politisi-agamawan kita sekarang mencerminkan secara gamblang dimana sebenarnya ego mereka diletakkan dan bagaimana derajatnya. Ego-nafsu-keinginan kuat mereka akan harta, tahta, wanita dan syurga telah memberi mereka "wahyu-ilham-petunjuk" untuk berbohong, menghasut, memfitnah, mengadu-domba, menebar kebencian dan ketakutan, menimbulkan kerusakan-ketidaktentraman di tengah masyarakat, sama persis dengan "petunjuk" untuk mengorbankan anak atau istri sendiri saat orang Jawa bermeditasi mohon kekayaan atau kedudukan.


Ego-hawa nafsu yang tinggi-tak terkendali menjadi "racun-penghalang" utama di dunia spiritual-mencegah siapapun menggapai pencerahan-ma'rifat, pun demikian di dunia "rasional". Tanpa kesediaan dan kemampuan kita mengendalikan itu, kita hanya akan hidup dalam delusi, membunuh anak atau istri sendiri dikira sedang menjalankan petunjuk Tuhan, mengeksploitasi dan menjerumuskan agama, masyarakat dan negara dikira sedang membela dan memuliakanya.


Jadilah Ibrahim, berkat keikhlasan-kepasrahan-kekosongannya, dia telah mendapat petunjuk langsung dari sang maha benar-bijaksana, petunjuk yang membawanya pada puncak kemaslahatan-kebaikannya, menghindarkannya dari jurang keburukan dan kesesatan yang amat dalam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar