Senin, 12 Desember 2016

Seraplah Ilmu hingga ke Akarnya




Saya memiliki tetangga satu kampung yang hebat sekali dalam membuat pecel. Pecelnya enak sekali terutama bumbunya. Tekstur, pedas, manis dan asamnya selalu pas, bikin siapapun ketagihan, sore-sore disantap pakai ketupat dan bakwan, terasa sungguh nikmat.


Melihat kenyataan itu, naluri "kapitalis" saya tergugah, saya ingin meniru cara dia membuat pecel dengan harapan suatu saat nanti saya bisa membuat warung pecel sejenis di tempat lain. Saya kemudian belajar padanya langkah demi langkah cara membuat pecel, tampak sederhana sekali, dalam sekejap saya bisa menirunya. Tapi setelah ilmu yang saya dapat itu saya praktekkan bahkan hingga berkali-kali, ternyata pecel buatan saya tetap tidak seenak pecel buatan dia. Tata cara "lahir" dia membuat pecel memang mudah ditiru, mudah dicopy-paste, tapi meniru-mengcopy-paste seni, "spirit", pikiran, harapan dan doa-doa saat dia membuat pecel, bukanlah perkara mudah.


Saya dulu pernah diminta beberapa teman sarjana (tapi nganggur) saya untuk membimbing-mengajarinya cara beternak unggas (ayam, bebek, puyuh), mereka ingin berwiraswasta seperti saya katanya. Tapi setelah setengah mati saya ajari cara beternak unggas berikut tip, trik dan strategi dasarnya hingga bahkan rahasia-rahasia suksesnya, tidak ada satupun diantara mereka yang sukses, mereka semua gagal, kalau gak terus-terusan merugi ya menyerah hanya karena sedikit menghadapi masalah, biasanya karena unggasnya terserang penyakit, mereka kesulitan mengatasinya.


Perkara teori dan praktek sebuah usaha siapapun bisa dengan mudah memahami dan menirunya, tapi perkara mengasah instink-naluri bisnis itu tidak mudah. Butuh ketertarikan mendalam, waktu, pemikiran, bahkan pengalaman "spiritual" untuk senantiasa sanggup membaca peluang, menghadapi tantangan serta menjaga usaha tetap efisien, berdaya saing tinggi. Teman sarjana saya itu sulit sukses jelas karena tiadanya ketertarikan mendalam terhadap apa yang ingin diusahakannya, status sarjananya juga (mungkin) membuat usaha itu tampak rendah-hina, tidak pantas dilakukan mereka, ini akan menciptakan halangan mental-batin tersendiri, membuat mereka kesulitan menyerap "ruh" "ilmu-kawruh" non tampak-fisik yang diperlukan.


Kenyataan sama sebenarnya terjadi saat kita beragama. Perkara meniru atau mengcopy-paste tata cara "lahir" beragama seperti cara hidup, berpakaian, berbicara hingga ritual ibadah itu mudah, semua orang bisa melakukannya. Tapi untuk memahami-mendapatkan-menyerap spirit, "ruh", "kawruh" yang ingin dicapai agama itu perlu pemikiran, perenungan, pengheningan, "tarikat" yang tidak mudah, membutuhkan niat ikhlas dan waktu bertahun-tahun, tidak bisa dicapai secara instant.


Sayangnya, banyak orang, penguasa dan ulama kita sekarang-hanya karena sudah berpakaian dan berbicara agamis, rajin melaksanakan ritual lahir agama tapi dengan yakinnya merasa diri sudah "cukup", benar dan suci, ada di jalan yang lurus, akan diberkahi, dalam bimbingan Tuhan. Padahal jelas itu hanya perasaan-delusi mereka saja, mereka masih ada di pintu paling awal relijiusitas tapi merasa sudah sempurna relijiusitasnya. Nasib mereka akan seperti nasib saya dulu meniru tetangga saya membuat pecel, merasa sudah tahu dan bisa tapi hakikatnya belum tahu dan belum bisa apa-apa..., atau seperti nasib teman sarjana saya belajar beternak unggas, memang mampu menyerap semua teori berikut mempraktekkannya tapi mereka tetap bangkrut dan gagal...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar