Ada pertanyaan cukup menggelitik, mengapa tidak ada Nabi dari Eropa, dari China, dari Jepang atau bahkan dari Jawa padahal penduduknya jauh lebih banyak (dibanding penduduk Timur Tengah di era yang sama) dan secara esensi (mungkin) jauh lebih memerlukan ITU...?. Alasannya sebenarnya sederhana saja, karena MEREKA tidak mengenal konsep tentang Nabi. Alasan karena Yahudi bangsa pilihan Tuhan atau Arab itu paling bejat sehingga paling memerlukan Nabi, (maaf) sebenarnya ngawur...!
Tanpa mengenal konsepnya lebih dulu, kita takkan bisa meng-angankan atau mengharapkan suatu obyek hadir atau mewujud dalam diri kita. Jika Anda tak mengenal "konsep" tentang Nyi Roro Kidul sebelumnya, seumur hidup Anda bertapa di pantai laut selatanpun tidak akan mungkin membuat Anda bisa "bertemu" dengannya, bahkan mungkin yang anda temui adalah Poseidon, dewa laut Yunani atau Makco, dewi laut Tiongkok-jika memang konsep itu yang telah Anda kenali-percayai sebelumnya. Pun jika Anda tidak mengenal "konsep" tentang Wali, Santo, Yesus, Maria, leluhur, dewa-dewa, dia takkan bisa "hadir" dalam hidup Anda---memberkati Anda. Orang menjadi Nabi PASTI karena dia sedari awal memang mengharapkan dirinya menjadi Nabi, diakui atau tidak..., dan dia menjadi berharap, tentu karena sedari awal telah mengenal konsep tentangnya.
Alam bawah sadar kita perlu lambang, perlu alat bantu, perlu gambaran jelas agar lebih mudah membantu mewujudkan apapun keinginan kita. Karena kenyataan itulah sebenarnya, (konsep) agama dan Tuhan lahir di hampir semua masyarakat dan budaya. Yang jelas, jika yang kita cari adalah KEBENARAN hakiki, yang harus kita lakukan justru adalah sebaliknya, menghapus atau mengabaikan semua KONSEP (tentang obyek tak nyata-terjangkau-klenik ) yang sudah terlanjur tertanam kuat di alam bawah sadar kita, kita perlu "kekosongan."
Jangan pernah berharap atau bahkan mengklaim kita benar. Kebenaran itu harus dimengerti dengan cara yang pahit dan hasilnyapun kepahitan demi kepahitan (di mata ego badaniah kita), kebenaran hanya untuk orang yang kuat. "Lebih baik dijujuri walau sakit daripada dibohongi", begitu biasanya para wanita NGGAMBLEH..., padahal faktanya (menurut riset), kebahagiaan wanita berbanding lurus dengan kemampuan lelakinya berbohong---wanita akan sengsara jika lelakinya terlalu jujur..., 90 persen wanita (melalui intuisinya) tahu seorang lelaki pembohong atau bukan---tapi kalau lelaki itu menarik secara biologis, wanita akan segera mengabaikan "kabar" itu.
Begitulah gambaran umum umumnya manusia, katanya rindu kebenaran tapi kebahagiaannya dominan "dihidupi" dari kebohongan..., bahkan yang lebih tragis, sudah tahu dibohongipun enggan "beranjak" pergi hanya karena kebohongan itu berselaras dengan "arah" egonya. Hidup Ahok, hidup Anies, anda epik sekali, sama-sama "guru" hebat..., sejarah akan mencatat kisah anda...! ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar