Rabu, 02 Januari 2019

Yang Pasrah, yang Tercerahkan



Jika kita bermeditasi (misal di sebuah gua atau di bawah pohon besar) dengan niat bertemu gendruwo, hampir pasti, pada akhirnya kita akan bertemu gendruwo betulan, kepercayaan, obsesi dan imajinasi kita itu akan mewujud menjadi ilusi-halusinasi, gendruwo akan hadir dan terasa-tampak sangat nyata di depan mata..., bahkan jika kepercayaan, obsesi dan imajinasi kita sudah masuk kategori kelas berat, kita bisa mengajaknya berbicara hingga mengambil gambarnya. Sebaliknya, jika kita bermeditasi dengan ikhlas, diniati semata mengosongkan-menenangkan-mengheningkan diri, hanya "kabar-kabar" dan "penglihatan-penglihatan" yang benarlah yang akan datang, kita akan terhindar dari ilusi, delusi atau halusinasi, gendruwo, jin, malaikat atau makhluk-makhluk ghaib apapun takkan pernah hadir-tampak, karena itu memang sejatinya tidak eksis-ada.

Banyak orang berfikir, keserakahan (baca: kefanatikan) dalam beragama itu sesuatu yang baik dan dianjurkan padahal sebenarnya tidak, itu justru sumber dari segala sumber kesesatan dan kegelapan. Keserakahan hanya memberi kita energi untuk menghadirkan-mewujudkan apa yang kita serakahi, sayangnya, energi itu tidak gratis, harus ditebus dengan harga yang teramat mahal yaitu menjadi terbatasnya fungsi-daya nalar dan nurani kita. Apalagi jika serakahnya menyangkut agama atau hal-hal tak terjangkau-terukur lainnya, fatal, membuat kita menjadi liar, seliar ego dan imajinasi kita..., membuat kita kehilangan "penglihatan" atas luasnya dunia terutama penglihatan atas apa yang hakikatnya benar-baik..., membuat kita menjadi "berkacamata kuda", hanya mampu melihat "gendruwo", sebatas apa yang sedari awal kita percaya-ingini-obsesikan, tidak lebih dari itu..., bahkan membuat kita gila, mengalami skizofrenia, kehilangan sepenuhnya kesadaran kita.

Agama adalah tempatnya kepasrahan-penyerahan diri..., sebab hanya dengan itu, "kabar-kabar", "penglihatan-penglihatan" tentang jalan lurus akan dibukakan. Kita tidak mungkin bisa pasrah-berserah diri sepenuhnya jika sedari awal sudah punya prasangka-definisi sendiri tentang apa itu kebenaran..., prasangka-definisi tentang kebenaran kita itu akan menjadi tirai, filter, benteng yang membatasi bahkan memblokir datangnya kebenaran yang sejati...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar