Sekarang banyak orang berfikir dan berharap menjadi benar, diberkahi, masuk surga hanya dengan rajin mengikuti pengajian atau ceramah agama. Yang gemar diikutipun ustad-ustad yang tidak jelas status keilmuan dan kesadaran atau makrifatnya. Biasanya mereka-ustad itu hanya memahami teks atau tafsir agama, itupun sebatas yang dari sekte yang dipegangnya saja..., mereka hanya memahami sisi paling dangkal sekaligus berbahaya dari agama.
Ironis sebenarnya, bagaimanapun itu cermin masyarakat kita semakin SERAKAH saja dalam beragama, terjangkit "virus" kapitalisme, pragmatisme, praktisisme dan bahkan oportunisme dalam beragama..., maunya mendapat banyak tapi upaya yang bersedia mereka jalani sedikit saja. Mereka sedang membohongi diri, mewiridkan perasaan gembira, benar dan tenang untuk sesuatu yang tidak ada sebab atau alasan hakikinya, mirip dengan mereka yang mencari perasaan itu dari rokok, alkohol atau narkotik. Serakah hanya memberi kita energi-kekuatan, sebaliknya, itu akan melemahkan mental-spiritual, nalar-nurani kita..., membuat kita mudah menjadi zalim, tersesat, dibohongi, dihasut, dihipnotis, diindoktrinasi, dieksploitasi dan diperbudak tanpa sedikitpun kita sadari.
Tidak ada yang mudah dari (memahami) kebenaran, keberkahan, surga. Itu tetap harus digapai melalui "laku-tarikat" yang "berdarah-darah" membelenggu-mengorbankan seluruh ego-ego fisik-material-duniawi kita, "ngolah roso mbanting rogo", "mati sajroning urip"..., tidak bisa dibeli dan diwakilkan dengan apapun. Siapapun leluhur kita, tinggal dimanapun, berbangsa dan beragama apapun, berapapun uang yang kita miliki, kita tetap harus menghinakan, merendahkan, melemahkan, memasrahkan, memiskinkan dan menyengsarakan diri untuk menggapai itu semua. Inilah sisi paling demokratis dari hidup manusia, raja atau rakyat jelata harus melakukan hal yang sama untuk "membeli" sesuatu yang sama.
Tidak ada artinya merasa atau mengklaim telah mendapat hidayah atau berhijrah kalau nyatanya ego atau hawa nafsu kita masih begitu tinggi, masih sangat emosional, penuh prasangka, kebencian, iri hati, hedonik, binal..., itu menandakan kita masih kurang "laku", hidayah dan hijrah kita hanya delusi-halusinasi. Kita masih ada di tempat yang sama bahkan mungkin mundur ke belakang. Kita hanya mendapat hidayah dari ego, "setan" kita, bukan dari sang kebenaran. Status kita masih sama dengan orang-orang jaman dulu yang mendapat "hidayah-wahyu" untuk membunuh anak, tetangga atau musuhnya demi mendekatkan diri dengan Tuhan, mendapat kekayaan atau kekuasaan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar