Senin, 05 Desember 2016

Yang Mengerti, yang Menghormati




Di kalangan umat Islam, ada dua pandangan besar sekaligus saling bertentangan dalam menyikapi kemiskinan.


Satu pihak memandang kemiskinan sebagai ajaran atau perintah agama, mereka biasanya akan berargumen kalau kemiskinan itu akan membuat seseorang terhindar dari maksiat-dosa, tidak mungkin berjudi, berzina, minum arak dll, di akhirat juga hisabnya cepat, tidak akan banyak ditanya perihal asal harta dan pembelanjaannya seperti halnya orang kaya. Argumen pamungkasnya biasanya adalah doa Nabi, "ya Allah, hidupkanlah aku bersama orang miskin, mati dalam keadaan miskin dan masuk syurga bersama orang miskin".


Sementara yang pro kekayaan-anti kemiskinan berargumen, hanya dengan Muslim menjadi kaya, semua perintah dan ibadah agama bisa dijalankan dengan sempurna, sedekah, zakat, kurban, haji dll, argumen pamungkasnya adalah hadits Nabi, "Allah lebih menyukai Muslim yang kuat daripada Muslim yang lemah" atau "kemiskinan mendekatkan pada kekufuran".


Manakah sebenarnya dari dua pandangan itu yang secara esensi itu benar?. Menurutku siech semua benar asal ditempatkan pada konteks yang benar, disesuaikan dengan dengan siapa kita berhadapan, dengan kondisi umum masyarakat dan dengan arah kehendak alam yang sedang mencenderung.
Mengajarkan-mendukung kemiskinan (lebih tepatnya kezuhudan) itu bagus jika masyarakat sedang berada dalam puncak kemakmuran dan hedonismenya, itu sebagai pengendali agar masyarakat tidak semakin lalai secara spiritual. Bagus juga jika itu diungkapkan di hadapan masyarakat yang secara teknis susah untuk kaya, itu akan menjadi "hiburan" tersendiri. Tapi jelas, ajaran kemiskinan akan menjadi buruk jika disampaikan pada orang punya potensi untuk kaya, itu akan berarti ajaran kemalasan yang pada akhirnya akan melemahkan umat, bangsa dan negara secara keseluruhan.


Dari satu perbedaan pandangan itu saja kita harusnya menyadari kalau perbedaan pandangan baik dalam satu aliran, satu agama atau antar agama itu sesuatu biasa saja, lumrah dan harus karena memang situasi dan kondisi itu hidup, "berubah" dan berkembang, selalu menuntut penyikapan yang berbeda. Berusaha memaksa kalau hanya pandangan kita yang benar adalah kekonyolan, menandakan kita itu egois, kurang empati, kurang wawasan dan kurang "kawruh-kesadaran-ma'rifat", tertutup hati, kurang bisa mengerti kalau tiap-tiap orang yang berbeda pandangan dengan kita juga punya argumen kuat atas apa yang menjadi pandangannya, harus dihormati.


Suatu pandangan hanya pantas dikritik-disudutkan jika itu sudah menyebabkan kemudaratan secara esensi-universal seperti sudah mengarahnya pandangan itu pada sikap-perilaku egois, "ketidaksadaran" seperti gangguan terhadap hak-hak dasar orang lain...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar