Minggu, 11 Desember 2016

Akuilah Kebenaran Sekalipun Pahit!




"People of the world don't look at themselves, and so they blame one another" (Rumi).

Dulu saya memiliki teman dekat yang memiliki kebiasaan cukup unik, seorang dokter tapi juga seorang perokok berat, karena kenyataan itu saya pernah iseng bertanya,  "anda kan dokter tapi kok merokok juga, anda diajari bahaya merokok gak siech?". Jawabnya, "saya tahu persis resiko-bahaya merokok serta siap menanggungnya jika itu terjadi pada saya, saya akan menghormati mereka yang tidak merokok dan saya tidak akan menganjurkan siapapun untuk merokok".


Jawaban yang sekilas bodoh dan konyol, sudah tahu berbahaya kok dilakukan juga, pikir saya waktu itu. Tapi itu juga-dalam batas tertentu mencerminkan kedewasaan dan kebesaran hati dia. Dia ikhlas menerima fakta-realitas sains yang tidak mendukung dan tidak menguntungkan ego dia sebagai perokok. Dia memiliki niat-komitmen kuat untuk ikhlas menanggung konsekwensi dari sebuah pilihan hidup sekalipun mungkin akan sangat pahit.


Sekarang banyak orang-disebabkan tidak mampu menghentikan kebiasaan dan perilaku negatif-egoistiknya, bukannya belajar ikhlas mengakui-menerima fakta-realitas buruk yang ada dibaliknya berikut konsekwensinya malah berusaha menyangkalnya, berusaha menghibur-membodohkan diri, bahkan yang lebih parah, berusaha memunafikkan-menzalimkan diri. Hanya karena tidak mampu berhenti merokok lantas mencari-cari dalih untuk mendukung "ketidakberdayaannya" itu, biasanya dengan membesar-besarkan dampak positif merokok dari sisi kesehatan hingga ekonomi itupun berdasarkan informasi hoax, cocoklogi dan teori konspirasi.


Hanya karena tidak mampu mengekang syahwatnya untuk berpoligami lantas mencari-cari pembenaran untuk mendukung apa yang dilakukannya itu, sering dengan memakai dalih agama, menyangkal fakta-realitas dampak buruk poligami yang terang benderang. Hanya karena tidak mampu mengekang hasrat untuk korupsi, berbohong, memfitnah, menghasut, bersikap rasis, lantas berusaha menipu-meyakinkan diri-kalau demi (kemuliaan) rakyat, negara atau agama, apapun boleh dilakukan, tidak berdosa, sah-sah saja. Hanya karena umat kesulitan untuk bangkit-maju lantas berusaha menyalahkan dan menjelek-jelekkan umat lain, bukannya belajar melihat dan mengakui kesalahan dan kejelekan umat sendiri.


Yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah itu jelas wujudnya, jelas juga hukum dan akibatnya, mudah dipahami hanya dengan sedikit "mengakalkan" dan "menghatikan" diri, mengekang ego hawa nafsu, tidak perlu "ngeles". Ikhlas mengakui fakta-realitas sekalipun pahit-buruk adalah modal paling dasar datangnya ilmu, keberkahan dan kekuatan, itu cermin terbuka dan besarnya hati yang harusnya dimiliki siapapun terutama mereka yang sering berbicara atas nama rakyat, negara atau agama...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar