Kamis, 29 Desember 2016

Guru Sejati




Ketika seorang mistikus sufi yang besar, Hassan, hendak meninggal dunia, seseorang bertanya, "Hassan, siapakah gurumu?". Hassan berkata, "pertanyaan itu akan sulit untuk dijawab karena aku memiliki ribuan guru. Jika aku menyebut nama mereka satu persatu itu perlu waktu bulanan dan bahkan tahunan. Itu sudah terlambat. Tapi tiga guru akan kuberitahukan kepadamu".


Satu adalah seorang pencuri. Suatu kali aku tersesat di padang pasir, dan ketika aku mencapai desanya, hari sudah sangat malam. Setengah malam telah lewat, toko-toko dan penginapan sudah tutup. Tidak ada seorang manusia pun ada di jalan. Aku mencari seseorang untuk bertanya. Aku menemukan satu orang yang mencoba untuk membuat lubang di dinding satu rumah. Aku bertanya di mana aku bisa tinggal, dan dia berkata, "Aku pencuri, dan engkau terlihat seperti seorang Sufi, jubahnya, auranya, sekarang ini akan sangat sulit untuk menemukan tempat untuk tinggal, tapi engkau bisa datang ke rumahku, tinggal denganku jika engkau bersedia tinggal dengan seorang pencuri."


Aku ragu-ragu sedikit, lalu aku berfikir, jika pencuri tidak takut pada seorang Sufi, maka mengapa harus Sufi yang takut kepada pencuri?, bahkan, ia yang harusnya takut kepadaku. kemudian aku berkata, "Ya, aku akan datang."


Aku kemudian ikut, aku tinggal dengan si pencuri, orang itu begitu menyenangkan, begitu indah, aku tinggal bersamanya selama satu bulan!. Setiap malam ia akan berkata kepadaku, "sekarang aku akan pergi bekerja, engkau beristirahatlah, engkau berdoalah, engkau lakukanlah pekerjaanmu. Ketika ia kembali aku akan bertanya,"bisakah engkau mendapatkan sesuatu?". Dia berkata,"tidak malam ini, tapi besok aku akan mencobanya lagi". Dia tidak pernah dalam keadaan putus asa. Selama satu bulan terus-menerus ia kembali dengan tangan kosong, tapi ia selalu bahagia. Dan dia berkata, "Aku akan mencoba besok, insya Allah, besok itu akan terjadi". Dan engkau juga berdoalah untukku. Setidaknya engkau bisa mengatakan kepada Allah, "bantulah orang miskin ini". Kemudian Hassan berkata, "ketika aku sedang bermeditasi dan bermeditasi selama bertahun-tahun pada akhirnya, tidak ada yang terjadi, dan berkali-kali saatnya datang ketika aku begitu putus asa, begitu putus asanya sehingga aku berpikir untuk menghentikan semua omong kosong ini. Tidak ada Tuhan, dan semua doa ini hanya kegilaan, semua meditasi ini adalah palsu dan tiba-tiba aku akan teringat pada pencuri yang akan mengatakan setiap malam, "insya Allah, besok akan terjadi", jadi aku mencoba satu hari lagi. Jika pencuri itu begitu penuh harapan, dengan harapan dan kepercayaan seperti itu, aku harus mencoba setidaknya satu hari lagi. Berkali-kali hal itu terjadi, tetapi pencuri dan ingatan tentangnya membantuku untuk menunggu satu hari lagi. Dan satu hari, hal itu terjadi, itu benar terjadi!. Aku membungkuk penuh hormat. Aku berada ribuan mil jauhnya dari pencuri itu dan rumahnya, tapi aku menghormat ke arahnya. Dia adalah guru pertamaku".


Guru keduaku adalah seekor anjing. Suatu ketika aku haus dan aku berjalan menuju sungai, dan seekor anjing datang, dia juga haus. Dia melihat ke sungai, ia melihat anjing lain di sana, bayangannya sendiri dan menjadi takut. Dia menyalak dan anjing lainnya menyalak juga. Tapi rasa hausnya amatlah sangat hingga ia akan ragu-ragu dan kembali lagi. Dia akan datang lagi dan melihat ke dalam air dan menemukan anjing lain di sana. Tapi hausnya itu sedemikian sehingga ia tiba-tiba melompat ke dalam air, dan bayangannya menghilang. Dia minum airnya, dia berenang di dalam air, waktu itu adalah musim panas. Dan aku sedang menyaksikannya. Aku tahu bahwa sebuah pesan telah datang kepadaku dari Allah. Orang harus melompat terlepas dari semua ketakutan. Ketika aku berada di ambang untuk melompat ke tempat yang tidak diketahui, ketakutan yang sama ada di sana. Aku akan pergi ke tepi, ragu, dan kembali. Dan aku akan ingat anjing itu. Jika anjing itu bisa berhasil, mengapa aku tidak?. Dan kemudian suatu hari aku melompat kearah yang tidak diketahui. Aku menghilang dan hanya yang tak diketahui itu yang tersisa. Anjing itu adalah guru keduaku.


Dan guru ketigaku adalah seorang anak kecil. Suatu kali aku masuk ke suatu kota dan seorang anak kecil sedang membawa lilin, menyalakan lilin dan pergi ke masjid untuk meletakkan lilin itu di sana. Dengan bercanda, aku bertanya kepada anak itu, "apakah engkau telah menyalakan lilin sendiri?". Dia berkata, "ya, Pak". Dan aku bertanya, dengan bercanda, "bisakah engkau memberitahuku dari mana cahaya itu datang?, tidak ada saat ketika lilin itu tidak menyala, kemudian ada saat ketika lilin dinyalakan, dapatkah engkau tunjukkan sumber dari mana cahaya itu datang?. Engkau telah menyalakan itu, sehingga engkau pasti sudah melihat cahayanya datang, dari mana?". Dan anak itu tertawa dan meniup lilinnya, kemudian berkata,"sekarang engkau telah melihat cahayanya pergi, kemanakah itu pergi?, engkaulah yang memberitahu padaku!". Dan seketika egoku hancur, seluruh pengetahuanku hancur. Dan saat itu aku merasa kebodohanku sendiri, sejak itu aku menjatuhkan semua pengetahuanku.


Setiap apa yang kita lihat di dunia ini, alam semesta ini adalah guru, dia memberitahu kita akan rumus-rumus, hukum-hukum, kecenderungan-kecenderungan, fenomena-fenomena yang berlaku pasti dan konsisten. Dia bisa dianalogkan dengan apapun situasi, kondisi dari diri kita-hidup kita. Pencerahkan berawal dari kesediaan kita mengamati sekaligus mengambil pelajaran dari "guru" sejati ini. Penggelapan-kejahilan terjadi saat kita berusaha menutup diri-membatasi pandangan kita terhadap pelajaran yang telah mereka berikan kepada kita.


Sayang sekali, kalau pada jaman dahulu agama adalah sumber-inspirasi-penyebab utama orang mencapai pencerahan, sekarang justru sering sebaliknya, agamalah yang penghalang terbesarnya. Terlalu terpakunya orang pada (tafsir) dogma agama, telah membuat akal dan hati tertutup, tidak lagi mampu memperoleh hikmah dan pengetahuan yang begitu luas di luar sana...

Rabu, 28 Desember 2016

Ironi-Anomali Agama




Dulu-waktu masih anak-anak, saya pernah punya imajinasi-prasangka kalau orang-orang dari partai Islam tentulah akan lebih jujur, sabar, ikhlas, "lillahi ta'ala" dalam berpolitik, semata demi kemuliaan rakyat dan Islam, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, kalau berhasil tidak akan menjadi sombong dan menindas, kalaupun gagal, tidak akan membuatnya kecewa, marah apalagi mendendam. Pun demikian dengan negara Islam, dalam bayanganku adalah negara yang aman, damai, makmur, bersih, teratur, tidak ada orang miskin, tidak ada kejahatan, perpecahan, kerusuhan apalagi peperangan, syurga yang jatuh ke dunia.


Tapi prasangka-imajinasi indah masa anak-anak saya itu perlahan meluntur, dimulai saat Bapak saya dulu memiliki televisi, tahun 80-90-an, berita tentang negara Islam hampir pasti selalu tentang konflik, kerusuhan dan peperangan, tidak ada hal baik dan indah apapun yang bisa ditunjukkan dari negara Islam. Bahkan cerita tentang Arab Saudi berikut masyarakatnya-negara Islam termakmur dan teramanpun selalu banyak yang miring dan mengerikan. Kenyataan yang sama terjadi pada orang-orang dari partai Islam, prasangka-bayangan saya kalau mereka lebih lillahi ta'ala, ikhlas, sabar dan jujur dalam berpolitik dibanding mereka yang dari partai sekuler ternyata tidak terbukti, apa yang terus saya saksikan menunjukkan kebanyakan dari mereka justru lebih keras, egois, oportunistik, hedonis, pragmatis bahkan fasis, senang memfitnah, mengintimidasi, memprovokasi, menteror, menghalalkan segala cara.


Mengapa kenyataan ironis sekaligus tragis itu bisa terjadi?. Tepat sekali apa yang dikatakan Asy-Syadzily, "maksiat bersembunyi dibalik taat", kepercayaan dan ketaatan kepada Islam telah membuat banyak orang "mabuk", terjebak dalam maksiat hakikat, kehilangan kesadaran-kewarasannya, menjadi egois dan takabur, merasa benar  dan menang sendiri, merasa punya otoritas-hak untuk menghalalkan segala cara asal demi Tuhan atau agama.


Begitulah suratan beragama tanpa didahului-ditopang akal dan hati-menjadi manusia seutuhnya-manusia yang "sadar" terlebih dahulu. Ajaran agama sebaik dan sebenar apapun akan segera diperbudaknya, disimpangkan makna dan tujuannya, dijadikan hanya sebatas sebagai alat memenuhi ego-ego primitifnya-mendominasi, mengintimidasi, mengeksploitasi, menindas, merampok, memperkosa, membunuh..., tanpa harus diikuti rasa bersalah...

Selasa, 27 Desember 2016

Kawruhkanlah Keberagamaan Kita




Belajar agama tanpa diimbangi belajar "kawruh", spiritualitas atau tasawuf, belajar "sadar" itu seumpama anjing belajar menjaga rumah, boleh saja secara lahir hasilnya tampak hebat, lebih hebat dari manusia saat menjaganya, tapi secara esensi-hakikat jelas tidak.


Anjing hanya bisa menjaga sisi sangat kasar dan dangkal dari rumah tuannya. Anjing tidak akan bisa tahu yang datang ke rumah tuannya itu bermaksud jahat atau tidak, dikenal tuannya atau tidak,  pengamen atau Presiden, Omaswati atau Desi Ratnasari, semua akan digonggongnya keras, dipandang sebagai musuh-ancaman.


Rumah yang dijaga anjing salah-salah bisa menghilangkan anugrah, peluang dan keberkahan, lebih mendatangkan mudarat daripada maslahat bagi penghuninya. Sang anjingpun bisa dijadikan sasaran kemarahan dari orang yang merasa tidak nyaman-terganggu kehadirannya.


Belajar agama tanpa diimbangi belajar kawruh, tanpa berujung pada kesadaran atau makrifat hanya akan membuat kita dipahamkan pada sisi sangat kasar-dangkal dari agama, kita akan kesulitan menghubungkan teks atau ajaran agama dengan realitas terkini atas apa yang secara hakikat benar dan maslahat. Kita hanya akan menjadi seperti anjing atau robot penjaga, tidak punya "jiwa", kreatifitas, inisiatif, fleksibilitas, kebijaksanaan, akal dan hati-nurani, hanya bisa bersikap dan berbuat atas dasar apa yang sudah didoktrinkan-ditanamkan kepadanya. Padahal dunia ini begitu luas, ada begitu banyak hal baru yang tidak akan mungkin masuk dalam jangkauan penyikapan anjing atau robot penjaga...

Senin, 26 Desember 2016

Menualah dalam Kebijaksanaan




Secara default, semakin tua seseorang, akan semakin bijak dan berkaromah hidupnya, semakin menjadi "jimat urip" bagi masyarakat. Wajar saja, fungsi fisik-indra yang melemah akan segera membukakan-menguatkan fungsi batin-hati-inner perceptionnya, membuat seseorang lebih mampu memandang dunia secara lebih komprehensif, adil dan obyektif, membuat pikiran, perkataan dan doa orang itu menjadi lebih "bertenaga-berkuasa".


Itulah mengapa dalam budaya Timur atau budaya-agama masyarakat manapun yang memiliki tradisi spiritual kuat, akan selalu diikuti dengan budaya menghormati orang tua yang kuat pula, mereka tahu hikmah-maslahat besar dibalik budaya itu sehingga akan ikhlas untuk terus menjalankan-melestarikannya.


Tapi sekarang, akibat merebaknya hedonisme baik terhadap harta, tahta, wanita maupun agama, banyak orang semakin tua tapi tidak semakin bijak dan berkaromah. Melemahnya fungsi fisik-indranya tidak diikuti terbuka-menguatnya hati-inner perceptionnya. Terlalu ditumpuknya fisik-indra dengan kesenangan duniawi membuat hati tertidur, lumpuh bahkan mati, tidak terpacu untuk bisa berfungsi secara wajar. Terlalu banyaknya alam bawah sadar diwiridi-ditanami pandangan keagamaan yang egois, penuh prasangka, spekulasi, penghakiman, mitos atau tahayyul menjadi "benteng" penghalang dari terbukanya hati-inner perception, membuat "kesadaran" dan kekuatan seseorang terkunci di pikiran-alam sadarnya-di tubuh-daging-indranya. Menua harusnya diikuti membijak dan mengkeramatnya hidup seseorang sehingga hidup tetap terjaga arti-nilai-gunanya. Sesuatu yang ironis jika menuanya seseorang hanya bisa menimpakan beban bagi yang masih muda.


Hedonisme-pemujaan terhadap kesenangan duniawi dalam segala bentuknya-harta, tahta, wanita maupun agama harusnya dibatasi, tidak ada dalil dan dalih layak untuk membenarkannya, terlalu mahal harga yang harus dibayar. Agama hadir untuk membuka-menguatkan hati, membuat kita menjadi lebih bijak dan berkaromah. Kalau pandangan-praktik keagamaan kita malah membuat hati tertutup dan melemah, membuat kita kehilangan kebijaksanaan dan karomahnya, agama telah sukses menjerumuskan kita pada jurang keburukan sekaligus kesesatan terdalam, telah salah dipahami secara hakikat, bertentangan dengan misi hakiki yang ingin dicapainya...

Minggu, 25 Desember 2016

Ego dan Ibrahim




Ibrahim menjadi tercerahkan-mendapat petunjuk untuk mengganti korbannya, dari semula-putranya Ismail menjadi seekor domba itu jelas mencerminkan anugrah atas dicapainya keikhlasan penuh dia terhadap kehendak Tuhan-alam semesta, seandainya dia belum mampu ikhlas-masih menjadikan cintanya kepada Ismail sebagai "dewa", pasti Ismaillah yang tetap harus dijadikan korban.


Bagi orang yang gemar mengheningkan diri, menjalani laku-praktik spiritual tentu akan sangat mengerti hikmah dibalik kisah Ibrahim ini. Apa yang kita dapat dari spiritualitas-mistisme sangat ditentukan dari sejauh mana kita meletakkan ego-hawa nafsu berikut bagaimana tingkat-derajatnya. Jika ego kita masih diletakkan pada daging, raga atau indra kita, hal-hal yang terkait itu jugalah yang harus dikorbankan agar keinginan kita bisa tercapai. Ibrahim pada awalnya mendapat petunjuk mengorbankan putranya Ismail jelas menandakan cintanya terhadap Ismail begitu besar, mengalahkan segalanya, sementara di sisi lain, Ibrahim juga punya keinginan yang tak kalah kuat, ingin dekat dengan Tuhan. Tidak ada cinta-ego-hawa nafsu yang bisa diduakan, Ibrahim harus memilih antara anaknya sendiri, Tuhan atau terus berusaha mengikhlaskan-memasrahkan apa yang harus dilakukan sepenuhnya pada yang maha tahu-maha bijaksana. Beruntung Ibrahim, dia berhasil memilih yang terakhir sehingga apa-apa yang terbaik bagi dirinyalah yang kemudian menghampiri, egonya untuk mencintai anak dan Tuhannya tetap terpenuhi hanya dengan menebusnya dengan seekor domba.


Orang-orang Jawa jaman dulu saat menjalani "laku" spiritual atau mistik biasa mendapat petunjuk yang mirip dengan apa yang dialami Ibrahim, petunjuk yang memicu "perang" ego. Ada yang mendapat petunjuk menjadikan kafan-tali pocong perawan, wanita yang meninggal pada malam jum'at kliwon atau wanita yang meninggal saat hamil sebagai jimat..., ada juga yang lebih gila, menjadikan anak dan istrinya sendiri sebagai "banten" atau tumbal agar keinginannya untuk menjadi kaya atau berkuasa bisa tercapai. Itu mencerminkan bahwa ego terbesar orang Jawa adalah rasa takut dan cinta terhadap istri dan anak sehingga petunjuk yang didapat saat menjalani laku spiritual-mistispun menjadi yang sifatnya menguji sampai sejauh mana ketakutan, cinta terhadap anak dan istrinya bisa dikuasai.


Kenyataan di dunia spiritual-mistis sebenarnya sama dengan di dunia "rasional". Apa yang dilakukan banyak politisi-agamawan kita sekarang mencerminkan secara gamblang dimana sebenarnya ego mereka diletakkan dan bagaimana derajatnya. Ego-nafsu-keinginan kuat mereka akan harta, tahta, wanita dan syurga telah memberi mereka "wahyu-ilham-petunjuk" untuk berbohong, menghasut, memfitnah, mengadu-domba, menebar kebencian dan ketakutan, menimbulkan kerusakan-ketidaktentraman di tengah masyarakat, sama persis dengan "petunjuk" untuk mengorbankan anak atau istri sendiri saat orang Jawa bermeditasi mohon kekayaan atau kedudukan.


Ego-hawa nafsu yang tinggi-tak terkendali menjadi "racun-penghalang" utama di dunia spiritual-mencegah siapapun menggapai pencerahan-ma'rifat, pun demikian di dunia "rasional". Tanpa kesediaan dan kemampuan kita mengendalikan itu, kita hanya akan hidup dalam delusi, membunuh anak atau istri sendiri dikira sedang menjalankan petunjuk Tuhan, mengeksploitasi dan menjerumuskan agama, masyarakat dan negara dikira sedang membela dan memuliakanya.


Jadilah Ibrahim, berkat keikhlasan-kepasrahan-kekosongannya, dia telah mendapat petunjuk langsung dari sang maha benar-bijaksana, petunjuk yang membawanya pada puncak kemaslahatan-kebaikannya, menghindarkannya dari jurang keburukan dan kesesatan yang amat dalam...

Rabu, 21 Desember 2016

Ketahui dan Sadarilah!




Melepaskan harapan atas orang yang kita sayangi itu sama seperti melepas pandangan keagamaan yang telah lama kita percaya, sekalipun pikiran sadar kita tahu pandangan keagamaan kita itu tidak rasional atau tidak adil, tetap saja akan ada beribu alasan untuk tidak melepasnya, sekalipun pikiran sadar kita tahu orang yang kita sayangi itu tidak baik, sewiyah-wiyah, raja tega, tetap saja akan ada beribu alasan untuk tetap menyayanginya.


Sebab yang sedang kita lawan-hadapi adalah ego kita, memori-afirmasi-wirid tentang keinginan, prasangka, harapan yang sudah terlanjur tergurat dalam, sudah mencandu, merubah struktur kimia dan fungsi otak kita, merubah persepsi normal-alami-default kita terhadap dunia. Berusaha melepas-menghapusnya akan memicu efek serupa "sakau" yang terjadi pada pecandu narkotik saat berusaha menghentikan kebiasaannya, sangat menyakitkan, hanya orang yang benar-benar kuat yang akan mampu melakukannya.


Tahu tentang apa-apa yang baik dan benar saja tidak cukup, para pecandu narkotik, alkohol atau rokok juga tahu kebiasaan mereka itu buruk. Kita perlu meningkatkan pengetahuan kita menjadi "kesadaran". Kesadaran atau pencerahan terjadi saat kebaikan atau kebenaran yang kita tahu, berkorelasi-berkonsekwensi langsung dengan persepsi, perasaan-emosi, hati, naluri, alam bawah sadar kita. Saat kita tahu mencuri atau selingkuh itu buruk, kemudian keinginan untuk mencuri atau selingkuh itu hilang, itulah kesadaran..., saat kita tahu orang yang kita inginkan ternyata tidak menginginkan kita, kemudian keinginan itu berhasil kita hilangkan, itulah kesadaran..., saat kita tahu pandangan keagamaan kita ternyata tidak rasional atau tidak adil, kemudian kita bersedia ikhlas melepasnya, itulah kesadaran. Pengetahuan atas sesuatu yang baik atau benar akan mudah meningkat menjadi kesadaran jika pengetahuan itu "direstui-dikonfirmasi" atau bersumber dari kesimpulan mendalam akal dan hati-persepsi spiritual-inner value kita.


Sayang sekali, sekarang ini-kebanyakan orang-bahkan yang tampak sangat agamis, humanis atau rasionalis, masih hanya berperilaku, beragama dan bermoral pada tahap "tahu" itupun karena diberi tahu, bukan tahu atas dasar pengamatan, penyimpulan akal dan hati-persepsi spiritualnya. Akibatnya, sudah pengetahuannya sendiri rawan tercampur-terdistorsi mitos atau tahayyul-bukan pengetahuan yang secara hakikat baik atau benar, apa yang diketahuipun tidak akan banyak mempengaruhi realitas di tubuh, pikiran dan hati, tetap tidak akan cukup kuat menopang terwujudnya pemikiran-perilaku masyarakat yang teratur, beradab dan terbimbing-selamat...

Selasa, 20 Desember 2016

Tahun Baru, Dirayakan atau Direnungkan?




Menjelang tahun baru baik itu tahun baru Masehi, Hijriyah atau Imlek biasanya banyak orang ribut berdebat tentang bagaimana cara terbaik melewatinya. Ada yang memilih-mendukung melewatinya dengan perayaan, bergembira atau berpesta, ada yang memilih melewatinya dengan perenungan, berdoa, kontemplasi, meditasi, muhasabah-memikirkan-mengambil hikmah dari perjalanan hidup selama setahun terakhir, tapi ada juga yang memilih melewatinya dengan tidak melakukan apa-apa, biasanya karena alasan budaya atau pandangan-tafsir keagamaan. Manakah yang sebenarnya terbaik?.


Semua sebenarnya baik asal di dalamnya tidak disertai-melakukan hal-hal yang secara jelas tidak baik atau melalaikan. Melewatinya dengan bergembira atau berpesta baik sebab hakikatnya itu adalah ekspresi-wirid rasa syukur yang pada akhirnya akan menambah nikmat dan anugrah, membuat hati-alam bawah sadar kita "mencandu", akan berusaha mewujudkan kembali kesyukuran-kegembiraan itu di tahun-tahun berikutnya. Bergembira-berpesta tahun baru itu memiliki dampak psikologis-spiritual yang sama dengan berpesta ulang tahun, pada akhirnya akan menambah umur, keberuntungan dan kegembiraan-kebahagiaan. Melewatinya dengan perenungan, kontemplasi, berdoa, meditasi atau muhasabah-mengambil pelajaran dari apa-apa yang sudah terjadi-berlalu juga baik, sebab itu akan meningkatkan "kesadaran-ma'rifat" kita, membuat kita pada akhirnya akan lebih mampu mencegah mudarat-memahami apa-apa yang maslahat ke depannya. Tidak melakukan apa-apa juga baik asal jangan disertai penghakiman kalau yang melakukan apa-apa, yang merayakan atau merenungkannya adalah pendosa, melakukan bid'ah atau syirik, sebab itu justru akan mengotori bahkan menutup akal dan hati kita, membuat kita menjadi jahil secara hakikat, tidak mampu lagi "melihat" apa-apa yang baik-maslahat dan buruk-mudarat bagi diri kita sendiri.



Yang jelas, apapun pilihan kita, seyogyanya didasari pemahaman mendalam akal-hati-persepsi spiritual kita tentang baik-maslahat atau buruk-mudaratnya pilihan kita itu, bukan pilihan yang hanya didasari taklid, prasangka-hawa nafsu atau mitos-tahayyul yang cenderung mengegoiskan-mengeraskan hati, meniadakan rasa hormat terhadap pilihan orang lain...

Senin, 19 Desember 2016

Akal dan Agama




Hampir tidak ada Muslim berhasil menemukan obat dan vaksin, wajar saja, kebanyakan obat dan vaksin dibuat atau diuji-coba (harus) menggunakan babi, hewan yang sangat dijauhi umumnya Muslim. Dari berbagai aspek biologis, babi adalah hewan mirip manusia sehingga sangat cocok dijadikan hewan uji coba medis-obat-obatan dan vaksin untuk manusia.


Hindarilah sesuatu yang akal-hati-persepsi spiritual kita tahu itu memang betul buruk, bukan ekstrim menghindari sesuatu yang keburukannya terikat konteks-alasan spesifik-kasuistik atau keburukannya masih hanya prasangka, tahayyul, tafsir terhadap dogma, mitos atau kira-kira. Sebab semakin banyak otak kita ditanami sesuatu yang tidak bersandar pada realitas-kebenaran hakiki, akan semakin sulit dia mempersepsikan apa-apa yang hakikinya benar dan maslahat, akan semakin sempit jangkauan dia mengumpulkan data dan informasi sebagai dasar menganalisa dan mengambil kesimpulan atas sesuatu yang benar dan maslahat, baik secara akal maupun hati-persepsi spiritual.


"Tidak mungkin Allah memberi manusia akal tapi kemudian menurunkan syariat yang bertentangan dengannya" (Ibnu Rushdi). Tepat sekali pendapat ilmuwan dan filsuf besar Muslim ini. Selama yang kita jadikan sandaran betul adalah akal-logika-sains termasuk di dalamnya hati-persepsi spiritual, tidak seharusnya kita khawatir-tidak seharusnya seseorang dihakimi salah atau sesat..., apapun pemikiran, langkah-perbuatan dan hasilnya, tidak akan mungkin bertentangan dengan syariat secara hakikat sekalipun secara lahir-teks, bisa saja tampak bertentangan.


Hanya karena secara ekstrim-tanpa syarat percaya babi itu najis dan haram, telah membuat Muslim kehilangan begitu banyak ilmu-pengetahuan, uang, peluang, kemaslahatan bahkan kehormatan, lantas bagaimana kalau Muslim masih terus berusaha menambahnya dengan berbagai kepercayaan (baru) "membelenggu" lainnya seperti kepercayaan kalau demokrasi, pancasila, pluralisme, spiritualitas, liberalisme, humanisme, kapitalisme, hak azasi, toleransi, sains dll itu bid'ah atau haram?..., kekuatan, kemajuan dan kebijaksanaan seperti apa yang diharapkan datang...?

Kadal Cawang




Di kalangan orang Jawa tradisional, "pring petuk" (bambu yang memiliki mata tunas saling berhadapan) dan "kadal cawang" (kadal yang memiliki ekor bercabang) dianggap bertuah, dihargai sangat mahal. Sementara di Afrika, seluruh bagian tubuh orang Albino dianggap memiliki daya yang sama, sering dijadikan jimat yang dipercaya mendatangkan keberuntungan.


Mengapa itu bisa terjadi?. Kuncinya sebenarnya ada di persepsi indra kita. Segala obyek yang dipandang indra kita aneh, tidak biasa, janggal, mengagumkan, memukau, mensyahdukan, menggetarkan hati itu akan melemahkan kesadaran lahiriah kita, membuat kita menjadi hipnotise-able, mudah terhubung dengan alam bawah sadar kita..., membuat obyek itu menjadi "kuil". Dampaknya, membuat apapun yang kita pikirkan, katakan-doakan, harapkan mudah terwujud menjadi kenyataan, direstui-didukung alam bawah sadar kita. Wajar hingga kemudian orang yang memiliki sekaligus percaya tuah-keampuhan pring petuk, kadal cawang atau bagian tubuh orang albino menjadi merasa diberkahi-beruntung hidupnya.
Itulah juga alasan dibalik mengapa tempat-tempat ibadah biasanya dibangun megah-penuh wibawa atau beraura mistis-mensyahdukan-menggetarkan hati, tujuannya sebenarnya sama, membangun efek pelemahan kesadaran lahiriah orang yang ada-berdoa di dalamnya, sama persis dengan efek yang ditimbulkan pring petuk, kadal cawang atau bagian tubuh orang albino.


Menjadikan pring petuk, kadal cawang atau bagian tubuh orang albino sebagai jimat atau "kuil" memang konyol dan primitif, tapi menjadikan orang, pandangan, bahasa, tulisan, budaya masyarakat tertentu sebagai "jimat" atau "kuil" juga tidak kalah konyol dan primitifnya. Sayang sekali, banyak masyarakat kita sekarang, atas nama kesalehan atau pemurnian agama, justru terjerumus melakukan itu semua. Mereka hakikinya masih sama dengan orang-orang bodoh yang mau membeli pring petuk, kadal cawang atau bagian tubuh orang albino dengan harga ratusan juta, hanya saja mereka lebih pandai mengkamuflase itu hingga menjadi lebih dirasakan beradab bahkan suci...

Sabtu, 17 Desember 2016

Ikhlaskanlah Doa Kita




"Yen durung pikantuk wangsiting Dewa, dirangsang tuna, digayuh luput" (Jika belum mendapat petunjuk Tuhan, dipaksakan rugi, diinginkan salah). Itulah nasihat Togog atau Bilung, punakawan "wong sabrang" jika bendara atau tuannya yang perkasa tapi berwatak angkara berniat melakukan aksi jahatnya semisal menyerang Kahyangan atau Pandawa.


Sekarang banyak orang berdoa kepada Tuhan tapi caranya seperti Aladdin meminta kepada jin botol, cukup mengatakan apa yang diinginkan setelah itu berharap dikabulkan tanpa mau tahu amalan-tarikat-tahapan apa yang harus ditempuh. Akibatnya, jangankan doa-doa mereka dikabulkan, mencapai tahap diberi ilham-petunjuk menuju pengabulan doa itu saja tidak pernah.


Yang terpenting dari doa bukanlah lafadz atau bahasa yang digunakan atau dari tradisi agama apa melainkan amalan-tarikat apa yang harus kita tempuh agar kita mencapai tahap diberi ilham-petunjuk. "Silence is the language of God", kita harus berusaha mengosongkan-menyepikan-mengheningkan diri, menerima apapun kemungkinan wujud-cara pengabulan doa kita, tidak boleh "ngarani". Dan untuk mencapai itu kita harus ikhlas belajar membatasi ego badaniah kita, belajar mengurangi makan, tidur, berprasangka, dendam, birahi, berbicara, marah-marah, membenci, mendengki, mencaci dan lain sebagainya.


Kalau kita berdoa agar diberi rejeki lancar tapi pikiran kita masih dipenuhi prasangka kalau hanya profesi tertentu saja yang akan membuat rejeki kita lancar, kita sedang membatasi bahkan menutup kemungkinan datangnya ilham-petunjuk bagaimana agar rejeki kita menjadi lancar. Kalau kita berdoa minta jodoh tapi pikiran kita terus dipenuhi perasaan-prasangka-harapan hanya orang yang sedang kita cintai saja yang ingin-harus jadi jodoh, maka doa-doa kita kemungkinan besar akan "membentur" dinding tebal bernama sunatullah, jika dipaksakan kita sendiri yang akan "rusak", lahir-batin kita tidak akan kuat menerima anugrah-pengabulan doa itu. Pun demikian kalau kita berdoa agar umat agama kita bangkit atau diberi kemenangan tapi pikiran terus dipenuhi prasangka hanya dengan egoisme, kekerasan, terorisme, rasisme, umat bisa bangkit dan menang, doa kita hanya akan berakhir sia-sia, sebab hakikatnya, kita telah menolak datangnya ilham-petunjuk, menolak dikabulkannya doa kita sendiri.


Tanda akan dikabulkannya doa adalah diberikannya kita ilham-petunjuk, sering berujud dorongan kuat untuk melaksanakan sesuatu yang pada akhirnya akan mengarahkan kita pada dikabulkannya doa kita itu. Jika itu saja belum diupayakan didapat, berharap doa kita dikabulkan hanya akan berakhir menjadi sebatas mimpi-delusi, angan-angan, harapan kosong..., "adoh lintang sinawat binalang kayu, tangeh lamun tekan cepak cupete..., dirangsang tuna, digayuh luput", kalaupun "tampak" dikabulkan, itu hanya kebetulan saja, karena memang sudah "arah" dan seharusnya, bukan disebabkan doa kita...

Yang Menghormat, Terhormat




Menghormati, menghargai, mencintai-menyayangi, menolong serta bentuk-bentuk "perendahan" diri lainnya atas dasar apapun dan pada siapapun adalah tarikat-jalan melemahkan ego-hawa nafsu, pada akhirnya akan membukakan hati, tempatnya kebijaksanaan, kekuatan dan kebenaran. Siapa yang paling banyak melakukan itu, dialah yang pada akhirnya paling akan bijaksana, benar dan berkekuatan, dibimbing dan diayomi langsung oleh "Hyang Dewa Ruci", "Gusti" yang bersemayam di dalam diri tiap-tiap manusia.


Sekarang banyak orang-bukannya berupaya mencari sebanyak mungkin alasan untuk menghormati, menghargai, mencintai-menyayangi, menolong, malah sebaliknya, berusaha membatasinya dengan berbagai dalih. Hanya karena beda pandangan, beda partai, beda agama, beda etnis, beda ras, beda mahluk lantas dengan mudahnya dijadikan alasan untuk meniadakan rasa hormat, menghargai, cinta-sayang dan kesediaan untuk menolong. Yang sangat menyedihkan, justru yang biasa berfikir dan bersikap seperti itu adalah orang-orang yang secara lahir tampak agamis, orang yang terobsesi dengan kebijaksanaan, kebenaran dan kekuatan.


"Ilmu iku kelakone kanthi laku". Adalah sesuatu yang mustahil kalau kita mengharapkan ilmu itu datang tapi kita sendiri menolak "laku", "tarikat" atau jalan "menjemput" ilmu itu. Mustahil kita akan menjadi bijaksana, benar dan kuat tapi kita enggan melatih diri untuk tidak egois-menuruti hawa nafsu, tidak bersedia melakukan laku-tarikat perendahan diri. Agama tanpa "laku" itu ibarat cinta tanpa akal, kita pasti akan sering gagal menafsirkan-memahami hakikat tujuan dari agama itu, akan dengan mudah menjadikannya pemenuh ego-hawa nafsu kita sendiri, bukan menjadi alat-alasan mengendalikannya...

Kamis, 15 Desember 2016

Takbirilah Tuhanmu, Bukan Hawa Nafsumu




Kita berteriak "Allahuakbar" saat merampokpun akan tetap diberi limpahan motivasi, keberanian dan energi-kekuatan. Apakah itu berarti Allah merestui aktifitas merampok kita itu?. Jelas tidak, teriakan Allahuakbar itu hanya akan bernilai sebagai wirid-afirmasi-mantra-panggilan ke alam bawah sadar kita agar bersedia membantu terpenuhinya keinginan sadar kita, itu adalah takbir bagi ego-hawa nafsu kita, bukan takbir dalam rangka membesarkan-mengagungkan Allah.


Akibat rendahnya kesadaran-ma'rifat, bahkan takbir, doa-teriakan yang sebenarnya sangat suci-sarana kita merendahkan diri, mengakui kehambaan kita, mengagungkan kebesaran Allah, dengan mudahnya berakhir menjadi takbir bagi ego-hawa nafsu kita, sarana menguatkan-membesarkan ego-hawa nafsu kita-setan kita, menyimpang sangat jauh dari tujuan awalnya. Berapa banyak orang sekarang tertipu-menjadi merasa suci-benar hanya karena telah bertakbir-berteriak "Allahuakbar" padahal perbuatannya jelas adalah dosa, kemaksiatan dan kejahatan?. Memusuhi-menghina-memerangi sesama Muslim, bertakbir..., memaksakan kehendak pribadi atau kelompoknya, bertakbir..., melawan negara-merusak fasilitas umum, juga bertakbir..., bahkan merampok dan membunuhpun bertakbir.


Beragama tanpa kesadaran-tanpa kesediaan mengenali niat hati kita itu sia-sia belaka, hanya akan bernilai sebagai bid'ah-tahayyul, tertipu, akan "jauh panggang dari api". Kita akan sering merasa benar, merasa suci, merasa ada di jalan Allah-mentakbirkan Allah padahal hakikinya sesat dan kotor, ada di jalan setan, mentakbiri ego-hawa nafsu kita sendiri...

Tiada Agama tanpa Tapa Brata




"The wound is the place where the light enters you" (Rumi).


Mengapa doa orang miskin, teraniaya, sakit, puasa, zuhud, sabar dan tawakal-berserah diri itu mudah terkabul?.


Agama sebenarnya adalah ajaran pelemahan-pelukaan-penyakitan diri, semua jenis ibadah yang dituntut-dianjurkan agama seperti penyembahan, puasa, sedekah, kurban, zikir/meditasi itu akan sangat melemahkan-melukai-menyakiti fisik-ego kita.


Tapi justru karena dilemahkan-dilukai-disakitinya fisik-ego kita, tubuh batin-alam bawah sadar-hati kita akan menjadi jernih dan terbuka, membuat prana dan intuisi kita menguat. Dampak positifnya, ilham-hidayah-petunjuk-sasmita Tuhan-alam semesta akan mudah datang-dipahami..., pikiran, harapan dan doa-perkataan apapun akan mudah terwujud, membuat kita lebih mudah memahami dan mewujudkan apa-apa yang terbaik-termaslahat bagi diri kita.


Masalahnya sekarang, banyak orang kelihatannya beragama tapi suka sekali berprasangka buruk, marah-marah, mendengki, mendendam, mengoleksi banyak istri serta perilaku badani-egoistik lainnya..., sesuatu yang jelas hanya akan melemahkan batin-alam bawah sadar-hatinya. Ironisnya, mereka biasanya juga adalah orang-orang yang gemar mengklaim ada di jalan yang lurus dan juga gemar berdoa, apa-apa berusaha didoakan bahkan kecelakaan-kesialan orang lain.


Cara beragama seperti itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg", apa yang mereka lakukan atas nama agama menghabisi semua apa yang mereka inginkan dari agama. Fungsi-berkah pokok-hakiki agama yaitu ditunjukkannya kita pada jalan yang lurus dan dikabulkannya doa-doa kita akan segera "terampok". Sesuatu yang sangat tidak sebanding, ibarat kita mengharap mampu mengangkat beban 200 kilogram tapi kita mengorbankan kesempatan memahami-mendapat petunjuk tentang apa yang lurus dan baik bagi kita, mengharap memiliki tenaga sekuat banteng tapi kehilangan kemampuan membuat bedil.


Fisik-ego yang kuat sebagai dampak dari prasangka buruk, marah, dengki, dendam, birahi itu hanya akan berguna jika kita ingin berperang, itupun jika perang itu sepenuhnya hanya mengandalkan otot sebagaimana perang jaman dulu, bukan perang modern yang lebih mengandalkan otak dan teknologi. Kalau di jaman sekarang masih ada orang yang menganggap itu penting hingga mau mengorbankan segalanya termasuk ma'rifatnya, jelas orang itu adalah orang yang jahil kaffah-akal dan hatinya...

Rabu, 14 Desember 2016

Universalitas Berkah




Mendirikan diskotik, pasar atau pabrik boleh tapi mendirikan rumah ibadah agama lain tidak boleh, itulah fenomena yang banyak terjadi sekarang. Dilihat secara spiritual jelas ini ironis sekali. Diskotik, pasar dan pabrik secara spiritual lebih akan merusak-melemahkan "kesadaran" daripada tempat ibadah agama lain. Iman tanpa kesadaran tak lebih dari iman tahayyul-mimpi belaka, tidak akan punya nilai apa-apa.


Orang yang bersedia mengheningkan diri, mengendalikan ego-panca indranya, bersedia zuhud, ikhlas berdoa-mendekatkan-menyatukan diri dengan Tuhan-alam semesta apapun agamanya akan memberkahi lingkungan sekitarnya, memberinya limpahan energi positif. Harusnya masyarakat bersyukur dan mendukung siapapun mereka. Memusuhi mereka hanya karena berbeda agama atau pandangan itu konyol, sama saja sedang melemahkan diri sendiri, menolak datangnya anugrah-berkah-kekuatan.


"Musuh" sejati masyarakat itu ketidaksadaran-ketidakma'rifatan, gelap-tertutupnya akal-hati akibat tingginya egoisme-hedonisme dalam segala bentuk dan ekspresinya-materi, kekuasaan, seksual, pikiran-prasangka-angan-angan bahkan relijiusitas. Itulah yang akan membuat masyarakat menjadi ringkih, menjadi sulit memahami apa-apa yang maslahat, menjadi mudah tersesat hingga bahkan tertimpa "azab". Orang-orang egois-hedonislah yang harusnya dikekang-dibatasi ruang geraknya, apapun agamanya-bagaimanapun tampak salehnya, bukan malah sebaliknya, orang yang sedang berusaha membatasi tingkat ego-hedonismenya...

Selasa, 13 Desember 2016

Hilangkan Prasangka, Jadilah Adil



"Engkau mendapat pengetahuan dari agama yang keliru jika engkau membelakangi realitas" (Guru Sufi Sanai).



Pandangan umum orang Jawa tradisional terhadap orang tanah seberang (non Jawa) yang cenderung negatif itu sebenarnya sangat mirip dengan pandangan umum Islam terhadap orang non Islam, hampir pasti itu timbul akibat realitas-pengalaman-sejarah-konflik yang menyertai hubungan diantara mereka, memiliki sifat yang sangat kontekstual-kasuistik.


Orang Jawa tradisional berpandangan kalau orang non Jawa itu berwatak "buto" atau raksasa, bodoh, buas-kanibal, penuh angkara, kasar, suka ribut, susah diatur (tercermin dari pakem gambaran watak "wong sabrang" pada pertunjukan wayang), mirip dengan pandangan bangsa Eropa terhadap suku-suku pribumi di abad penjelajahan-kolonialisme dulu. Sangat mungkin pandangan orang Jawa itu terbangun di era ekspansi-kontak kerajaan-masyarakat kuno Jawa dengan penduduk luar pulau Jawa yang umumnya-secara kebetulan-kasuistik-kontekstual masih terbelakang dan barbar. Demikian juga pandangan umum Islam terhadap non Islam yang cenderung-dominan buruk, sangat mungkin itu terbangun-timbul-berpangkal dari perilaku orang Quraisy atau non Islam lainnya yang secara kebetulan-kasuistik-kontekstual bodoh dan jahat, suka menindas dan berkhianat.


Kedua pandangan itu (Jawa dan Islam) tidak salah sebenarnya, normal dan wajar saja asal dipahami-ditempatkan sesuai konteks yang benar-sesuai masa-latar belakang sejarahnya. Menjadi salah besar jika hingga hari ini masih ada orang Jawa yang berpandangan orang luar Jawa pasti dan selamanya bodoh, buas-kanibal, penuh angkara, kasar, suka ribut, susah diatur..., sama salahnya dengan orang Islam yang masih berpandangan kalau semua orang non Islam pasti dan selamanya bodoh dan jahat, suka menindas dan berkhianat. Itu jelas adalah pandangan yang mencerminkan kuatnya ego-prasangka menguasai-gagalnya memandang realitas-kebenaran faktual, mencerminkan kalau otak-pikiran seseorang masih tertinggal di masa lalu.


Saya pernah diceritain teman saya yang bekerja di pedalaman Kalimantan Selatan, katanya, duwit tergeletak di jalan saja tidak ada penduduk asli sana yang mau mengambilnya, menyentuhnya saja tidak berani, yang berani mengambil pasti cuman pendatang. Kenyataan yang kurang lebih sama diceritain teman saya yang tinggal di Bangka, orang asli sana itu jujur dan zuhud luar biasa katanya, mencuri atau serakah adalah sesuatu yang sangat tabu. Kenyataan yang mencerminkan, justru sekarang, secara "kesadaran-ma'rifat" banyak yang sudah terbalik, orang seberang-non Jawa banyak yang lebih tinggi tingkat kesadaran-ma'rifatnya dibanding orang Jawa. Kenyataan sama terjadi dengan umat Islam, harus diakui, umat Islam sekarang ini adalah umat yang paling rendah taraf kesadaran-ma'rifatnya, paling egois, bodoh dan jahat, paling penuh prasangka dibanding dengan umat agama lain, terbalik dengan situasi-keadaan pada saat Islam itu datang...

Mudarat Salah Wirid




Saya ini sebenarnya sudah cukup lama meninggalkan kepercayaan terhadap hantu. Hantu itu tidak lebih dari ilusi, delusi atau halusinasi. Beragam pengalaman dan bukti yang mendukung pandangan baru saya itu-baik secara ilmiah-psikologi-kedokteran hingga spiritual sudah begitu jelas dan lengkap saya dapat.


Tapi nyatanya-hingga hari ini, tiap kali saya memasuki atau melewati tempat-tempat yang pernah "didoktrinkan" berhantu oleh orang tua atau lingkungan masyarakat saya dulu, bulu kuduk masih merinding, keringat dingin masih mengucur, jantung masih berdegup kencang. Alam sadar saya boleh saja sudah tidak percaya pada hantu tapi alam bawah sadar saya sebenarnya masih percaya.


Kenyataan yang menunjukkan kalau perjuangan untuk menggapai "kesadaran" penuh itu sungguh berat, bukanlah perkara mudah. Sebab yang sedang kita lawan bukan hanya pikiran-perasaan sadar kita tapi juga alam bawah sadar kita sendiri yang sudah terlanjur disesaki-diwiridi "racun", "tanaman", mitos dan tahayyul memabukkan hingga akhirnya mengubah persepsi dan reaksi wajar-alami tubuh kita terhadap apapun yang dilihat dan dirasakan, membuat otak-tubuh-indra kita gagal melihat dan memahami dunia secara adil, obyektif dan proporsional, gagal "ma'rifat".


Untuk sekedar menetralkan memori-kepercayaan terhadap hantu berikut dampak buruknya yang sangat jelas bohong, tidak nyata dan tidak masuk akalnya saja sungguh berat, lantas bagaimana dengan mereka yang alam bawah sadarnya terus-menerus disesaki-diwiridi kepercayaan "tampak nyata" kalau dirinyalah yang paling benar dan mulia, orang yang tidak seagama atau segolongan pasti salah, bodoh dan jahat semua?. Atau mereka yang disesaki-diwiridi prasangka akan zalim dan bahayanya Amerika, Yahudi, Syiah, demokrasi, liberalisme, kapitalisme, komunisme, asing, aseng, Jokowi dan lain sebagainya?. Alangkah sempitnya dunia dan sengsaranya hidup mereka. Mereka akan merasa dikepung "hantu" dari segala penjuru, mengalami fobia, paranoia, "mabuk" bahkan "gila", menjadi lemah, bodoh dan zalim tanpa disadari.


Hanya karena dulu saya percaya di pohon seberang jalan depan rumah dihuni kuntilanak, saya jadi begitu tersiksa-terteror, membuat saya kehilangan begitu banyak peluang dan kegembiraan, lantas bagaimana dengan mereka yang percaya dunia ini dipenuhi begitu banyak "hantu" baru sebagaimana dipercaya banyak orang "soleh" sekarang...?. Penderitaan, ketakutan, kegelapan, kebodohan, kelemahan apa yang akhirnya tidak menguasai...?

Carilah Hanya Mata Air yang Jernih




"Kalau ingin mencari sumber-mata air yang jernih, carilah itu di gunung, pun demikian kalau ingin mencari pandita yang jernih hatinya."


Begitulah saran-kritik yang biasa diberikan Kresna-penasihat Pandawa saat melihat Pandawa tertarik-berniat untuk berguru pada pandita baru yang biasanya memiliki penampilan, gaya bicara dan janji yang sangat menarik-serba luar biasa tapi niat sebenarnya hanya untuk kepentingan diri atau bahkan untuk menipu-mencelakakan Pandawa. Nasihat itu biasanya diabaikan Pandawa tapi di ujung cerita selalu terbukti benar, pandita yang tertarik digurui Pandawa itu ternyata pandita palsu yang tidak tahu dan tidak bisa apa-apa.


Kenyataan sama-seperti yang terjadi pada Pandawa itu sebenarnya masih banyak terjadi di masyarakat kita. Banyak orang terobsesi-begitu bersemangat untuk berguru-menuntut ilmu, menjadi saleh-agamis, masuk syurga, tapi gagal memilih guru yang benar-benar berilmu-jernih hati, akibatnya bisa ditebak, bukannya mereka menjadi pandai dan tercerahkan, menjadi lebih bijak dan beruntung, malah sebaliknya, terjerumus, menjadi bodoh dan tergelapkan, tertipu-tersesat, zalim dan celaka, disadari ataupun tidak.


Wajar saja, mereka bukannya berusaha mencari guru, "pandita" atau ulama "gunung", pandita-ulama "tapa" atau Sufi, pandita-ulama yang sudah benar-benar mampu menguasai ego-hawa nafsunya, sudah "jernih-ma'rifat", hidup hanya untuk mendekatkan diri pada yang maha kuasa, malah sebaliknya, sering terjebak berguru pada pandita-ulama "kota" yang tanpa "kawruh", sarat ego-hawa nafsu dan kepentingan--hanya karena penampilan, kata-kata, retorika serta janji-janjinya begitu menarik-heboh-dramatis.


Penampilan, kata-kata atau janji adalah "candu" yang bisa sangat menipu, menghilangkan akal-sehat-kewarasan kita, bolehlah dalam urusan cinta atau dunia kita percaya itu, tapi dalam perkara agama, menjadikan itu sebagai alat ukur utama jelas adalah spekulasi terbodoh...

Senin, 12 Desember 2016

Yang Berkesadaran, yang Layak Memimpin




Orang-orang Jawa tradisional-ortodoks biasanya punya keyakinan hanya orang Jawa saja yang bisa dan layak memimpin Nusantara. Sekilas pandangan ini tidak masuk akal, kolot, feodal, rasis, etnosentris tapi kalau kita kaji lebih jauh, sebenarnya tidak salah sepenuhnya, hanya sering salah dimaknai-ditafsirkan baik oleh orang Jawa tradisional sendiri maupun orang "luar".


Bagi mereka yang gemar menonton atau mendengar wayang kulit akan segera paham apa yang dimaksud "Jawa" itu. Itu lebih merupakan gambaran tentang tataran "kesadaran-ma'rifat", bukan nama etnis, bukan pula nama tempat. Yang dimaksud orang "tanah Jawa" adalah orang yang memiliki keteraturan, peradaban dan tata krama yang tinggi, mampu mengendalikan ego-watak angkaranya. Sebaliknya, orang "tanah sabrang" atau non Jawa adalah orang-orang liar yang masih memiliki watak buto-raksasa, kuat tapi bodoh, gemar mengumbar angkara, hidup semaunya sendiri, senang ribut, gemar makan orang, tidak punya tata krama.


Jadi, sekalipun etnisnya Jawa dan atau tinggal di pulau Jawa tapi kalau wataknya adalah watak "wong sabrang", buto atau raksasa yang egois, liar, semaunya sendiri, senang ribut, gemar "makan" sesamanya, tidak punya tata krama seperti halnya cukup banyak terjadi pada orang Jawa sekarang, ya jelas, secara esensi dia bukan orang Jawa, dia tidak bisa dan tidak layak memimpin Nusantara, sebaliknya, orang dari manapun kalau sudah berkesadaran "Jawa" dia tetap terhitung sebagai orang Jawa, bisa dan layak memimpin Nusantara...

Seraplah Ilmu hingga ke Akarnya




Saya memiliki tetangga satu kampung yang hebat sekali dalam membuat pecel. Pecelnya enak sekali terutama bumbunya. Tekstur, pedas, manis dan asamnya selalu pas, bikin siapapun ketagihan, sore-sore disantap pakai ketupat dan bakwan, terasa sungguh nikmat.


Melihat kenyataan itu, naluri "kapitalis" saya tergugah, saya ingin meniru cara dia membuat pecel dengan harapan suatu saat nanti saya bisa membuat warung pecel sejenis di tempat lain. Saya kemudian belajar padanya langkah demi langkah cara membuat pecel, tampak sederhana sekali, dalam sekejap saya bisa menirunya. Tapi setelah ilmu yang saya dapat itu saya praktekkan bahkan hingga berkali-kali, ternyata pecel buatan saya tetap tidak seenak pecel buatan dia. Tata cara "lahir" dia membuat pecel memang mudah ditiru, mudah dicopy-paste, tapi meniru-mengcopy-paste seni, "spirit", pikiran, harapan dan doa-doa saat dia membuat pecel, bukanlah perkara mudah.


Saya dulu pernah diminta beberapa teman sarjana (tapi nganggur) saya untuk membimbing-mengajarinya cara beternak unggas (ayam, bebek, puyuh), mereka ingin berwiraswasta seperti saya katanya. Tapi setelah setengah mati saya ajari cara beternak unggas berikut tip, trik dan strategi dasarnya hingga bahkan rahasia-rahasia suksesnya, tidak ada satupun diantara mereka yang sukses, mereka semua gagal, kalau gak terus-terusan merugi ya menyerah hanya karena sedikit menghadapi masalah, biasanya karena unggasnya terserang penyakit, mereka kesulitan mengatasinya.


Perkara teori dan praktek sebuah usaha siapapun bisa dengan mudah memahami dan menirunya, tapi perkara mengasah instink-naluri bisnis itu tidak mudah. Butuh ketertarikan mendalam, waktu, pemikiran, bahkan pengalaman "spiritual" untuk senantiasa sanggup membaca peluang, menghadapi tantangan serta menjaga usaha tetap efisien, berdaya saing tinggi. Teman sarjana saya itu sulit sukses jelas karena tiadanya ketertarikan mendalam terhadap apa yang ingin diusahakannya, status sarjananya juga (mungkin) membuat usaha itu tampak rendah-hina, tidak pantas dilakukan mereka, ini akan menciptakan halangan mental-batin tersendiri, membuat mereka kesulitan menyerap "ruh" "ilmu-kawruh" non tampak-fisik yang diperlukan.


Kenyataan sama sebenarnya terjadi saat kita beragama. Perkara meniru atau mengcopy-paste tata cara "lahir" beragama seperti cara hidup, berpakaian, berbicara hingga ritual ibadah itu mudah, semua orang bisa melakukannya. Tapi untuk memahami-mendapatkan-menyerap spirit, "ruh", "kawruh" yang ingin dicapai agama itu perlu pemikiran, perenungan, pengheningan, "tarikat" yang tidak mudah, membutuhkan niat ikhlas dan waktu bertahun-tahun, tidak bisa dicapai secara instant.


Sayangnya, banyak orang, penguasa dan ulama kita sekarang-hanya karena sudah berpakaian dan berbicara agamis, rajin melaksanakan ritual lahir agama tapi dengan yakinnya merasa diri sudah "cukup", benar dan suci, ada di jalan yang lurus, akan diberkahi, dalam bimbingan Tuhan. Padahal jelas itu hanya perasaan-delusi mereka saja, mereka masih ada di pintu paling awal relijiusitas tapi merasa sudah sempurna relijiusitasnya. Nasib mereka akan seperti nasib saya dulu meniru tetangga saya membuat pecel, merasa sudah tahu dan bisa tapi hakikatnya belum tahu dan belum bisa apa-apa..., atau seperti nasib teman sarjana saya belajar beternak unggas, memang mampu menyerap semua teori berikut mempraktekkannya tapi mereka tetap bangkrut dan gagal...

Minggu, 11 Desember 2016

Akuilah Kebenaran Sekalipun Pahit!




"People of the world don't look at themselves, and so they blame one another" (Rumi).

Dulu saya memiliki teman dekat yang memiliki kebiasaan cukup unik, seorang dokter tapi juga seorang perokok berat, karena kenyataan itu saya pernah iseng bertanya,  "anda kan dokter tapi kok merokok juga, anda diajari bahaya merokok gak siech?". Jawabnya, "saya tahu persis resiko-bahaya merokok serta siap menanggungnya jika itu terjadi pada saya, saya akan menghormati mereka yang tidak merokok dan saya tidak akan menganjurkan siapapun untuk merokok".


Jawaban yang sekilas bodoh dan konyol, sudah tahu berbahaya kok dilakukan juga, pikir saya waktu itu. Tapi itu juga-dalam batas tertentu mencerminkan kedewasaan dan kebesaran hati dia. Dia ikhlas menerima fakta-realitas sains yang tidak mendukung dan tidak menguntungkan ego dia sebagai perokok. Dia memiliki niat-komitmen kuat untuk ikhlas menanggung konsekwensi dari sebuah pilihan hidup sekalipun mungkin akan sangat pahit.


Sekarang banyak orang-disebabkan tidak mampu menghentikan kebiasaan dan perilaku negatif-egoistiknya, bukannya belajar ikhlas mengakui-menerima fakta-realitas buruk yang ada dibaliknya berikut konsekwensinya malah berusaha menyangkalnya, berusaha menghibur-membodohkan diri, bahkan yang lebih parah, berusaha memunafikkan-menzalimkan diri. Hanya karena tidak mampu berhenti merokok lantas mencari-cari dalih untuk mendukung "ketidakberdayaannya" itu, biasanya dengan membesar-besarkan dampak positif merokok dari sisi kesehatan hingga ekonomi itupun berdasarkan informasi hoax, cocoklogi dan teori konspirasi.


Hanya karena tidak mampu mengekang syahwatnya untuk berpoligami lantas mencari-cari pembenaran untuk mendukung apa yang dilakukannya itu, sering dengan memakai dalih agama, menyangkal fakta-realitas dampak buruk poligami yang terang benderang. Hanya karena tidak mampu mengekang hasrat untuk korupsi, berbohong, memfitnah, menghasut, bersikap rasis, lantas berusaha menipu-meyakinkan diri-kalau demi (kemuliaan) rakyat, negara atau agama, apapun boleh dilakukan, tidak berdosa, sah-sah saja. Hanya karena umat kesulitan untuk bangkit-maju lantas berusaha menyalahkan dan menjelek-jelekkan umat lain, bukannya belajar melihat dan mengakui kesalahan dan kejelekan umat sendiri.


Yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah itu jelas wujudnya, jelas juga hukum dan akibatnya, mudah dipahami hanya dengan sedikit "mengakalkan" dan "menghatikan" diri, mengekang ego hawa nafsu, tidak perlu "ngeles". Ikhlas mengakui fakta-realitas sekalipun pahit-buruk adalah modal paling dasar datangnya ilmu, keberkahan dan kekuatan, itu cermin terbuka dan besarnya hati yang harusnya dimiliki siapapun terutama mereka yang sering berbicara atas nama rakyat, negara atau agama...

Jumat, 09 Desember 2016

Tuhan Pasti Baik




Jika engkau belum memiliki pengetahuan tentang Allah, cukuplah engkau berprasangka baik kepadanya (Jalaluddin Rumi).


Tepat sekali kata-kata Sufi besar ini, menandakan dia memiliki pengetahuan sangat luas baik secara akal-logika-sains, secara hati-spiritual maupun secara agama-dalil-dogma. Tidak ada hal yang lebih baik yang bisa kita jadikan dasar relijiusitas-spiritualitas selain kita hanya memandang Allah sebagai sosok baik, yang pengasih dan penyayang, adil, penolong dan lain sebagainya, prasangka itu hampir pasti mendekati realitasnya dalam segala waktu dan kondisi. Dari sisi akal-logika-sains-psikologipun, prasangka baik akan menghasilkan kekuatan tersendiri, memberi kita limpahan motivasi-energi positif yang sangat memberkahi hidup kita, membantu terwujudnya apapun keinginan baik kita.


Sekarang banyak orang yang sebenarnya tahu Allah saja hanya dari tafsir terhadap dalil-dogma itupun sangat parsial-bukan dalil-dogma secara keseluruhan, tapi begitu gemar memprasangkakan Allah ini-itu sekehendak ego-hawa nafsunya, memprasangkakan Allah keras, kejam atau penghukum. Mereka tidak sadar kalau apa yang mereka prasangkakan itulah yang akan mewujud menjadi realitas, mengarahkan-membentuk pikiran-persepsi, perilaku dan nasib mereka, membuat mereka menjadi keras, kejam dan penghukum, egois, zalim dan bodoh lahir batin.


Allah pasti baik, setiap yang memprasangkakan itu hampir pasti sedang ada di jalan yang benar. Allah memang kadang keras, kejam dan penghukum tapi itu penuh dengan syarat dan ketentuan yang sangat spesifik, tujuannya pun dalam rangka kebaikan. Yang jelas, sifat-kebijakan Allah itu keras, kejam dan penghukum bukanlah ditujukan pada orang yang tidak sependapat dengan kita, tidak seetnis-seras dengan kita bukan pula pada orang yang tidak seagama dengan kita..., jangan menghayal, jangan berdelusi, jangan beronani...

Energi Dalam Doa




Dulu, saya dan teman-teman satu perguruan pernah mengadakan percobaan yang cukup unik yaitu mengukur dampak dari doa/energi positif. Percobaan dilakukan dengan menanam kacang tanah, kacang kedelai dan kacang hijau, tanaman itu kemudian dibagi menjagi dua kelompok perlakuan, yang satu tiap hari disiram dengan air yang diwirid/didoakan/dialiri energi positif sementara yang satu lagi disiram dengan air biasa. Hasilnya luar biasa, yang disiram dengan air yang didoakan/dialiri energi positif ternyata lebih subur, lebih kuat, lebih terhindar dari hama dan penyakit.


Dari pengalaman saya itu bisa diambil kesimpulan kalau doa itu bukanlah perkara yang sepenuhnya ghaib, urusan hamba dngan Tuhannya, dia perkara yang sangat bisa diamati pola, hukum, kecenderungan, arah dan dampaknya. Dia berpengaruh langsung terhadap obyek yang kita doakan, pengaruh itu bergantung pada metode-tata cara yang dipakai dan pada sejauh mana kepercayaan, kekhusukan, konsistensi dan kekuatan "prana" atau "karomah" pendoa.


Dari pengalaman itu sekarang saya juga jadi mengerti mengapa orang jaman dulu biasanya-menjelang musim tanam tiba akan mengadakan selamatan, nanggap wayang (dengan lakon Dewi Sri), berjalan keliling kampung sambil berdoa, meletakkan sesaji di pojok-pojok sawah/ladang, atau membuat punden khusus di tengah sawah/ladang. Tujuannya sebenarnya sama dengan saya dan teman-teman saya dulu mendoakan-mengaliri energi positif air yang digunakan menyiram tanaman dalam percobaan, untuk membuat tanaman lebih subur, lebih kuat, lebih terhindar dari hama dan penyakit, menanam prasangka, harapan dan energi positif.


Sekarang-atas nama modernisasi atau pemurnian agama, banyak orang mencibir-menghakimi kolot, bid'ah atau syirik tradisi orang-orang jaman dulu itu tapi tidak menawarkan alternatif yang memiliki dampak positif setara. Mereka hakikatnya sedang melemahkan eksistensi kita, melepas hubungan masyarakat kita dengan alam semesta. Sesuatu yang tragis, atas nama modernitas dan agama kita tengah menghancurkan diri kita sendiri...

Kamis, 08 Desember 2016

Ketenangan Membawa Pengetahuan-Kemenangan




“Silence is the language of God" (Rumi).


Dulu-waktu kecil, saya mempunyai teman yang pandai sekali memilih-mencari jangkrik yang bagus, boleh dikata, dialah yang terhebat dalam urusan perjangkrikan di kampung saya. Saat tiba musim jangkrik yaitu pada akhir musim kemarau hingga awal musim hujan, rumahnya akan dipenuhi jangkrik, hingga siang hari jangkrik-jangkrik itu biasanya masih riuh berbunyi, menjadi promosi tersendiri. Dia dapat uang banyak dari keahliannya itu.


Saya bersama dia dan teman-teman yang lain biasa mencari jangkrik di ladang-ladang yang tengah kosong, waktu malam hari adalah waktu yang tepat karena kualitas suara jangkrik akan langsung diketahui. Dia memang terbukti hebat, di tengah riuhnya suara ribuan jangkrik dan serangga lainnya-sering dari jarak ratusan meter, dia selalu bisa mendeteksi suara jangkrik yang bagus, menentukan posisinya untuk kemudian mendapatkannya. Teman-teman yang lain termasuk saya, hanya bisa ngiler dan melongo karena sering gak dapat jangkrik bagus bahkan gak dapat apa-apa, dihitung-hitung hanya jadi penggembira saja, menemani teman saya itu mencari jangkrik. Hanya kalau dia lagi dapat banyak dan lagi baik hati, saya dan teman-teman dikasih jatah jangkrik sama dia, itupun pasti yang kualitasnya tidak begitu bagus.


Kenapa siech dia begitu hebat dalam mencari jangkrik?. Tenang dan fokus, pada saat teman-teman asyik ngobrol ngalor ngidul ketika mencari jangkrik, dia diam tapi memperhatikan sekali keadaan sekeliling. Bak radar, kalau ada sedikit saja tanda-suara adanya jangkrik bagus, dia langsung berhenti berjalan, dia segera pasang telinga, mencari asal-arah datangnya tanda-suara itu untuk kemudian dengan tenang didatangi. Cara dia menangkap jangkrikpun sangat tenang dan sabar, membuat jangkrik tidak sadar tengah diincar, susah untuk melarikan diri, hanya dengan sedikit tenaga, jangkrik akan langsung ada dalam genggamannya. Beda dengan saya waktu itu, kalau ketemu jangkrik sering gugup dan berusaha mengejar-menangkapnya sekuat tenaga, konyol, karena menangkap jangkrik tidak butuh tenaga, hanya butuh strategi, ketenangan dan kesabaran.


Sama seperti teman saya mencari, memilih dan menangkap jangkrik itu, semua hal dalam hidup ini sebenarnya sangat memerlukan fokus, ketenangan, kesabaran dan strategi termasuk dalam hal membela agama, rakyat dan negara. Sayang sekali, banyak orang sekarang, membela agama, rakyat dan negaranya seperti saya dulu "membela" keinginan saya mendapatkan jangkrik bagus, tidak fokus, tidak tenang, tidak sabar, tidak punya strategi jitu, hanya mengandalkan semangat dan tenaga. Akibatnya ya seperti saya dulu berusaha mendapatkan jangkrik itu, semangat memang membara, tenaga memang ribuan kali lebih besar dari tenaga jangkrik, tapi jangkrik tetap sering gagal saya cari, kenali (bagus-tidaknya) dan tangkap, saya sering "kalah", ego tinggi saya pada akhirnya justru malah membuat ego saya tak terpenuhi...

Ilmu Iku Kelakone Kanthi Laku




"Ilmu iku kelakone kanthi laku". "Laku" atau tarikat-jalan terbaik menuju ilmu-pengetahuan adalah kesediaan kita untuk ikhlas lahir-batin, fisik-mental menerima ilmu-pengetahuan itu biarpun kadang terasa sangat pahit bagi ego-hawa nafsu kita.


Ide-ide hebat yang mendasari prestasi dan penemuan-penemuan besar itu selalu muncul dari lingkungan masyarakat-orang-orang yang mampu menjalani "laku" berfikir, berimajinasi dan menganalisa secara bebas, melampaui batas-batas dogma, prasangka atau budaya, orang yang akal dan hatinya telah dikondisikan untuk siap-ikhlas menerima ilham-ilmu-pengetahuan dari segala penjuru.


Sekarang sering kita jumpai orang-hanya karena sedikit berfikir bebas saja sudah dihakimi sesat, iblis, sampai-sampai digelari "la'natullah" segala. Ironisnya, yang menghakimi itu biasanya adalah juga orang-orang yang suka membangga-banggakan kejayaan Islam di masa lalu berikut mengharapkan kejayaan itu kembali. Pola pikir dan sikap yang jelas sangat tidak linear-konsisten-konsekwen. Mereka tidak sadar bahwa para penguasa dan penemu besar di era kejayaan Islam itu berfikir dan bersikap sangat liberal-bebas, sangat toleran, bahkan untuk ukuran orang moderat sekarang, masih terasa sangat ekstrim, sulit diterima. Lihat sejarah, baca karya-karya-pemikiran mereka. Pemikiran Ulil Absar Abdalla atau


Gusdur itu masih "biasa" saja bila dibandingkan dengan pemikiran ilmuwan besar di era kemajuan Islam seperti Ibnu Rushdi, Ar-Razi, Jalaluddin Rumi atau yang lainnya, kalau itu saja sudah banyak membuat umat Islam "klenger", mabuk bahkan gila, membuat mereka-Ulil dan Gusdur diiblis-ibliskan, dilaknat-laknat ya jelas tragis, menandakan kalau umat Islam memang belum siap menerima-menjadi pusat ilmu-pengetahuan kembali, belum siap maju.


Mengharapkan kejayaan Islam kembali tapi mengingkari-mengabaikan "laku-tarikat", penyebab-latar belakangnya itu konyol, itu ibarat kita mengharap menjadi sarjana tapi enggan berkorban-bersusah payah bersekolah...

Rabu, 07 Desember 2016

Kesabaran Mendekatkan Kita pada Kebenaran




Kelurusan atau kebenaran tidak bisa kita capai-pahami-peroleh dengan membesar-besarkan wirid, klaim atau afirmasi kalau kita lurus, kita benar, kita beragama, bertuhan, terpelajar, berpegang teguh pada kitab suci agama, atau mengikuti tokoh tertentu yang kita anggap benar. Semua itu hanya akan menumbuhkan PERASAAN, mimpi atau delusi kalau kita lurus, benar, bukan lurus dan benar yang sebenarnya.


Kelurusan atau kebenaran hanya bisa kita capai-pahami-peroleh dengan wirid-afirmasi yang memiliki energi, spirit, "khodam" yang melemahkan ego-hawa nafsu kita seperti wirid kita sabar, kita tawakal, kita tenang, kita bersyukur, kita berprasangka baik, kita zuhud, kita rendah hati, kita hormat dan sebagainya. Sebab hanya saat ego-hawa nafsu kita terkendali, fungsi akal dan hati kita akan menguat, menjadi raja, dampaknya, kita akan menjadi lebih adil, obyektif, jernih dan jelas dalam menilai dan mengukur suatu kebenaran.


Sekarang ironis, ada-ada saja, banyak orang terobsesi dengan kelurusan dan kebenaran tapi wirid yang diucapkan-dilakukan justru wirid yang akan memiliki dampak yang sebaliknya, menyesatkan, memicu delusi akan kelurusan dan kebenaran, memicu egoisme dan angkara murka. Ada orang berwirid katanya agamanya yang pasti benar, NU-nya garis lurus, Islamnya paling sesuai Qur'an dan Sunnah, paling murni, paling kaffah, paling ilmiah dan sebagainya. Apa yang mereka wiridkan bukannya akan mengantarkan mereka pada apa yang mereka obsesikan yaitu kelurusan atau kebenaran,  justru sebaliknya, akan menjauhkannya...

Agama Burung Beo




Kalau kita beragama dengan "sadar", disaksikan, didukung, direstui segenap hati-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita..., kita tidak akan pernah berani untuk berbuat jahat-merugikan orang lain, korupsi, berbohong, memfitnah, menganiaya, tidak adil, serakah dan lain sebagainya..., kita akan senantiasa diberi kekuatan dan keberanian untuk melaksanakan pengetahuan itu secara konsisten dan konsekwen bagaimanapun berat tantangan dan godaannya.


Sayang sekali, kebanyakan orang terutama para pejabat, politisi dan agamawan kita sekarang, cara beragamanya masih sama seperti halnya burung beo "beragama"..., memang sering terlihat sangat fasih dalam bersahadat atau berdoa tapi tidak pernah tahu dan sadar apa maksud dan konsekwensi hakiki dari sahadat dan doanya itu. Burung beo akan tetap hidup hanya mengikuti naluri badaniah-egonya saja, akan tetap mencaplok makanan di depannya tidak peduli halal atau haram, miliknya atau bukan, akan tetap mengawini betina di depannya tanpa malu-malu, akan tetap bertarung dengan sesama beo jika merasa kepentingannya terancam.


Burung beo bagaimanapun fasih sahadat atau doanya itu pasti tidak akan membuatnya menjadi takabur, merasa-mengklaim paling benar atau pintar-berilmu sehingga kemudian menjadi merasa paling berhak menghakimi, memimpin, mengajak atau bahkan memaksa beo lain mengikutinya. Tidak seperti manusia, masih hanya beragama ala burung beo-hanya beragama tubuh-fisik-lahirnya saja sudah merasa-mengklaim menjadi sumber kebenaran, merasa menjadi Nabi bahkan Tuhan, berhak menghakimi, menentukan benar-salah, masuk syurga tidaknya seseorang...

Tiada Agama tanpa Kesadaran-Makrifat




Agama tidak akan bisa membuat kita menjadi lebih beruntung atau diberkahi jika itu tidak didasari atau memicu naiknya kesadaran-ma'rifat kita.


Bahkan seorang atheist yang ikhlas berbuat baik pada siapapun tanpa syarat, hidupnya tetap akan lebih beruntung dan diberkahi daripada seorang relijius yang hanya mau berbuat baik kepada sesama pemeluk agama, etnis, atau golongannya atau berbuat baik hanya karena didasari harapan akan syurga.


Perbuatan baik tanpa syarat hakikatnya adalah "tapa ngrame", meditasi dalam keramaian, akan menjernihkan-membukakan hati, membuat kita menjadi terhubung-terselaras-terempati dengan kehendak hakiki Tuhan-alam semesta, membuat setiap langkah kita selalu dalam bimbingannya, terjaga dalam ketepatan dan kemaslahatannya.


Sayangnya, sekarang ini, banyak orang relijius justru sangat meremehkan-mengabaikan perbuatan baik, sebaliknya, mereka lebih memilih fokus mendakwahkan sisi agama yang membesarkan ego-mengkeruhkan-menutup akal dan hati. Pilihan itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg", mereka hendak membangun rumah tanpa pondasi, menegakkan agama tanpa "kawruh". Padahal jelas, ajaran-pandangan sebaik dan sebenar apapun dari agama akan dengan mudah disimpangkan jika kita belum memiliki pondasi kuat memandang-menyikapinya, jika kita belum memiliki kawruh, jika kita belum mampu mengekang ego kita, jika hati kita belum terbuka, belum mampu ikhlas berbuat baik pada sesama..., tanpa syarat...

Selasa, 06 Desember 2016

Azab Dibalik Amarah




Amarah dan ketakutan hanya akan menguatkan respon fisik-tubuh kita untuk menyerang-melarikan diri, sebaliknya akan melemahkan kecerdasan kita baik kecerdasan akal-IQ maupun hati-spiritual, bahkan dalam jangka panjang-jika itu terus "diwirid", akan mengusutkan secara fisik bagian otak kita yang mengatur kecerdasan (akal-hati), sama seperti narkotik menyusutkannya, membuat kita menjadi bodoh lahir batin, hidup hanya bisa mengikuti naluri dasar, mudah dieksploitasi pihak lain.


Sayang sekali-sekarang ini, banyak orang yang mengklaim sedang memperjuangkan rakyat, negara atau agama, justru sering menjadikan amarah dan ketakutan sebagai ideologi-komoditas-senjata untuk "mentenagai" niat-keinginan mereka. Lihat saja, tiap hari kita diajak untuk marah-marah dan takut terutama kepada Yahudi, asing, kapitalisme, komunisme, demokrasi, China, liberalisme, Syiah, kafir, dosa, neraka atau yang lainnya.


Ini jelas adalah tragedi, nilainya sama dengan sedang berusaha mengubah-mengembalikan fitrah kekuatan kemanusiaan kita yang bertumpu pada fungsi akal dan hati, diganti menjadi bertumpu pada kekuatan fisik seperti halnya fitrah kekuatan hewan. Mereka menghasut-merubah orang untuk menjadi "banteng", tidak lagi menjadi manusia hanya karena dilihatnya banteng sangat kuat, padahal sekuat-kuatnya banteng akan kalah dengan selemah-lemahnya matador. Secara lahir mereka boleh saja mengklaim sedang membela rakyat, negara, agama atau Tuhan tapi secara batin-hakikat pasti tidak, mereka sedang melemahkan, mengeksploitasi sekaligus meruntuhkannya.


Kalau di abad-abad pertengahan atau sebelumnya, kekuatan fisik memang cukup penting, cukup menentukan jaya-tidaknya suatu agama atau bangsa. Tapi di jaman sekarang, kekuatan fisik hanya akan bernilai seperti buih di lautan atau sekuat-kuatnya-seperti banteng ngamuk, memang sangat mengintimidasi tapi tidak memiliki kehebatan secara esensi, akan dengan sangat mudah diombang-ambingkan, dipermainkan dan ditundukkan hanya dengan sedikit strategi dan kesabaran. Mungkin saja di jaman sekarang amarah dan ketakutan masih akan bisa membawa pada kemenangan, tapi kemenangan itu pasti rapuh-tidak berakar-berpondasi kuat, dalam jangka panjang, Tuhan-alam semesta tetap akan menghukum-menuntut harga-konsekwensi mahal-azab dari diagungkannya amarah dan ketakutan itu...

Senin, 05 Desember 2016

Yang Mengerti, yang Menghormati




Di kalangan umat Islam, ada dua pandangan besar sekaligus saling bertentangan dalam menyikapi kemiskinan.


Satu pihak memandang kemiskinan sebagai ajaran atau perintah agama, mereka biasanya akan berargumen kalau kemiskinan itu akan membuat seseorang terhindar dari maksiat-dosa, tidak mungkin berjudi, berzina, minum arak dll, di akhirat juga hisabnya cepat, tidak akan banyak ditanya perihal asal harta dan pembelanjaannya seperti halnya orang kaya. Argumen pamungkasnya biasanya adalah doa Nabi, "ya Allah, hidupkanlah aku bersama orang miskin, mati dalam keadaan miskin dan masuk syurga bersama orang miskin".


Sementara yang pro kekayaan-anti kemiskinan berargumen, hanya dengan Muslim menjadi kaya, semua perintah dan ibadah agama bisa dijalankan dengan sempurna, sedekah, zakat, kurban, haji dll, argumen pamungkasnya adalah hadits Nabi, "Allah lebih menyukai Muslim yang kuat daripada Muslim yang lemah" atau "kemiskinan mendekatkan pada kekufuran".


Manakah sebenarnya dari dua pandangan itu yang secara esensi itu benar?. Menurutku siech semua benar asal ditempatkan pada konteks yang benar, disesuaikan dengan dengan siapa kita berhadapan, dengan kondisi umum masyarakat dan dengan arah kehendak alam yang sedang mencenderung.
Mengajarkan-mendukung kemiskinan (lebih tepatnya kezuhudan) itu bagus jika masyarakat sedang berada dalam puncak kemakmuran dan hedonismenya, itu sebagai pengendali agar masyarakat tidak semakin lalai secara spiritual. Bagus juga jika itu diungkapkan di hadapan masyarakat yang secara teknis susah untuk kaya, itu akan menjadi "hiburan" tersendiri. Tapi jelas, ajaran kemiskinan akan menjadi buruk jika disampaikan pada orang punya potensi untuk kaya, itu akan berarti ajaran kemalasan yang pada akhirnya akan melemahkan umat, bangsa dan negara secara keseluruhan.


Dari satu perbedaan pandangan itu saja kita harusnya menyadari kalau perbedaan pandangan baik dalam satu aliran, satu agama atau antar agama itu sesuatu biasa saja, lumrah dan harus karena memang situasi dan kondisi itu hidup, "berubah" dan berkembang, selalu menuntut penyikapan yang berbeda. Berusaha memaksa kalau hanya pandangan kita yang benar adalah kekonyolan, menandakan kita itu egois, kurang empati, kurang wawasan dan kurang "kawruh-kesadaran-ma'rifat", tertutup hati, kurang bisa mengerti kalau tiap-tiap orang yang berbeda pandangan dengan kita juga punya argumen kuat atas apa yang menjadi pandangannya, harus dihormati.


Suatu pandangan hanya pantas dikritik-disudutkan jika itu sudah menyebabkan kemudaratan secara esensi-universal seperti sudah mengarahnya pandangan itu pada sikap-perilaku egois, "ketidaksadaran" seperti gangguan terhadap hak-hak dasar orang lain...

Ketidaknyamanan Membawa Kemaslahatan




Ikan Arwana itu hanya akan mau kawin-berkembang biak jika dicekam lingkungan yang buruk-membahayakan. Rambutan, durian, kopi, mangga, menurut pengalaman-pengamatan saya, tidak akan berbuah atau berbuah sangat sedikit jika ditimpa hujan berlebihan, tidak mengalami musim kemarau yang jelas-tegas.


Lingkungan yang bagus, hujan yang banyak adalah cermin kenyamanan hidup, dia dikehendaki semua orang bahkan semua makhluk tapi dibaliknya ada bahaya besar. Bagi tumbuhan, hujan yang terlalu banyak akan membuat hama dan penyakit mudah bertumbuh serta membuat nalurinya untuk mempertahankan-memperbanyak diri melemah, membuatnya makin rentan mati atau punah. Bagi manusia, keadaan yang terlalu nyaman-menyenangkan akan melemahkan fungsi-fungsi agung yang dimiliki, empati, kebijaksanaan, spiritualitas-ma'rifatnya, membuat manusia gagal membaca-memahami apa-apa yang maslahat-mudarat bagi dirinya sendiri.


Agama dan praktik-praktik yang mengikutinya itu-apapun teorinya, tujuannya sebenarnya sama, menciptakan lingkungan yang "buruk" bagi (ego) manusia, hanya saja berusaha dibungkus dengan janji-janji hadiah yang membuat keburukan itu menjadi tidak terasa, justru menjadi tampak baik dan indah.
Ibadah, meditasi-tapa brata, puasa, sedekah, kurban, kejujuran, kepasrahan, keikhlasan, kezuhudan, kesabaran dan lain-lain itu adalah sesuatu yang buruk sekali bagi (ego) manusia, tidak menyamankan, sama seperti musim kemarau bagi tumbuhan, tapi karena itu juga manusia menjadi lebih kuat dan ma'rifat, lebih mampu menghadapi tantangan hidup, lebih memahami apa-apa yang maslahat-mudarat sehingga akhirnya lebih bisa terjaga eksistensinya.


Sayang sekali, sekarang banyak orang beragama justru yang dikejar adalah kenyamanan-kesenangan, "lingkungan yang bagus", sering atas nama syariat. Bulan puasa malah dijadikannya bulan foya-foya, angkara murka, meninggikan egonya, istri kalau bisa empat, ibadah tidak boleh diganggu, orang-orang yang benar-benar ingin "memprihatini" agama seperti kaum Sufi malah dituduh sesat. Ini jelas adalah tragedi besar, agama akan kehilangan tujuan hakikinya sebagai pembawa kemaslahatan bagi umat manusia...

Ancaman Terbesar Agama




Kekristenan di Eropa mengalami kemunduran hebat itu bukanlah disebabkan serangan agama lain melainkan karena "serangan" sains-ilmu pengetahuan serta ketidakpuasan penganutnya atas perilaku pemuka agamanya, dan belakangan, serangan dari kaum spiritualis.


Jadi, kalau jaman sekarang masih ada orang yang menganggap agama lain sebagai ancaman terhadap agamanya itu ibarat orang menganggap tikus sebagai musuh utama sementara harimau di depannya tengah menyeringai, bersiap untuk menerkam, salah fokus dan salah prioritas, hanya mencerminkan kegagalan mereka mengheningkan-merasionalkan diri sehingga gagal pula mengenali ancaman nyata agamanya.


Sains dan persepsi spiritual itu memiliki nilai kebenaran yang sangat valid-sangat sulit diingkari lahir-batin kita. Perilaku seorang pemuka agama adalah bukti "hidup" dari benar dan baik tidaknya suatu agama. Selama kita gagal menghubungkan-menyesuaikan tafsir-dogma agama dengan sains dan spiritualitas, selama pemuka agama kita gagal menunjukkan kebijaksanaan, empati dan "kegunaannya", selama itu pula agama kita tengah dalam ancaman besar, bukan dari agama lain tapi dari diri kita sendiri yang bodoh dan egois, gagal mengenali-memahami "kebutuhan" mendesak agama kita.



Allah tidak mungkin menganugerahi kita akal sehat lalu memberikan kita syariat yg bertentangan dengannya (Ibnu Rusyd-Saintis). Engkau mendapat pengetahuan dari agama yang keliru jika engkau membelakangi realitas (Sanai-Spiritualis-Sufi)...

Minggu, 04 Desember 2016

Mukjizat Dibalik Air Mata




Jangan pernah membuat orang lain menitikkan air mata duka atau kesedihan dan jangan pernah berfikir, berkata dan berdoa yang buruk-buruk saat kita menitikkannya.


Air mata itu memiliki kekuatan serupa meditasi, wirid, doa khusuk atau mantra, mendekatkan kita dengan alam bawah sadar kita, diri sejati, kesadaran, pengetahuan lebih tinggi kita, Gusti kita, alam semesta kita. Dia memang melemahkan kesadaran lahir-fisik kita, membuat kita lebih tidak mampu melawan atau membalas langsung, tapi sebaliknya, dia menguatkan, menaikkan kesadaran batin-spiritual kita, prana atau chi kita. Dampaknya, pikiran, perkataan dan doa apapun akan dengan cepat beresonansi, menggoncangkan "kahyangan", didengar dan dikuatkan alam bawah sadar kita, "Gusti" kita, alam semesta kita..., merubah realitas diri kita terutama realitas di tubuh, otak, mental-spiritual kita sehingga sangat berpengaruh pada nasib kita. Itulah mengapa, perkataan, keluhan, ratapan, doa, umpatan atau bahkan kutukan orang teraniaya, dalam deraian air mata itu makbul.


Sekarang banyak orang-sering atas nama agama dengan entengnya membuat orang lain menitikkan air mata, menindas atau menganiaya, mereka jelas sedang mengundang azab bagi dirinya sendiri. Sementara di sisi lain, saat menitikkan air mata, banyak orang bukannya berfikir, berkata dan berdoa yang baik-baik, yang menguatkan, malah mengeluh, meratap, mencaci atau bahkan melaknat, sesuatu yang pasti akan berakibat "sudah jatuh tertimpa tangga", sudah sengsara-menderita karena ditindas-dianiaya ditambah lagi limpahan keburukan baru akibat kesalahan mereka menyikapi-memperlakukan penindasan, penganiayaan, air mata itu...

Sabtu, 03 Desember 2016

Allah Itu Sesuai Prasangka Hambanya




Allah dalam Islam itu memiliki 99 nama dimana masing-masing nama disandarkan pada sifat-sifat dan kehendaknya, dari "yang maha pencipta", "maha adil", "maha pengasih-penyayang", hingga "maha besar". Secara esensi itu sebenarnya sama dengan 99 dewa.


Nama apa yang dominan kita wiridkan, kita puja akan membentuk siapa diri kita, sama persis dengan dampak dari dewa apa yang dipuja seseorang dalam kepercayaan-agama lain. Jika kita memuja-mewiridkan Allah sebagai yang maha pengasih dan penyayang, energi-spirit-khodam kasih dan sayanglah yang akan membanjiri diri kita, sebaliknya jika kita memuja-mewiridkannya sebagai yang maha keras, penghukum, kita juga akan menjadi keras dan suka menghukum. Tauhid-pengesaan Tuhan terjadi jika kita sudah berhasil menyatukan, menyebut-mewiridkan-memuja 99 nama itu secara adil dan proporsional, dampak atau hasilnya adalah O, kosong atau netral.


Sayang sekali, kebanyakan umat Islam sekarang hanya mau memuja-mewiridkan nama-nama Allah yang bisa mendukung ego-hawa nafsunya, contoh paling mudah adalah apa yang dilakukan FPI, dia sering hanya mau mewiridkan Allah sebagai "yang maha besar" (Allahuakbar), tujuannya jelas, demi memperbesar semangat, kekuatan dan keyakinannya sehingga ego-hawa nafsunya lebih mudah terpenuhi, sementara nama lain, yang baik-baik malah diabaikan, jarang disebut-diwiridkan. Kalau ada orang yang menyebut-mewiridkannya malah dikira pemeluk agama lain, ada orang menyebut kata "kasih" dikira Kristen, menyebut "dharma" ata "kebajikan" dikira Hindhu atau Buddha, ada orang mewiridkan Islam "rahmatan lil 'alamin" (rahmat bagi alam semesta) malah sinis bahkan marah, mereka mengira itu bukan bagian dari ajaran Islam.


Allah itu sesuai prasangka hambanya, jika Allah diprasangkakan baik, baiklah dia, sebaliknya, jika diprasangkakan jahat, jahatlah dia. Kalau kita bisa memuja-mewiridkan Allah sebagai sosok lembut dan baik, yang maha pengasih dan penyayang misalnya, adalah konyol kalau kita lebih memilih memuja-mewiridkannya sebagai sosok keras dan jahat seperti yang biasa dipuja-diwiridkan fundamentalis-teroris itu...