Rabu, 08 Agustus 2018

Kebenaran Itu Sulit, Jangan Dianggap Mudah!


Sekarang banyak orang berfikir dan berharap menjadi benar, diberkahi, masuk surga hanya dengan rajin mengikuti pengajian atau ceramah agama. Yang gemar diikutipun ustad-ustad yang tidak jelas status keilmuan dan kesadaran atau makrifatnya. Biasanya mereka-ustad itu hanya memahami teks atau tafsir agama, itupun sebatas yang dari sekte yang dipegangnya saja..., mereka hanya memahami sisi paling dangkal sekaligus berbahaya dari agama.


Ironis sebenarnya, bagaimanapun itu cermin masyarakat kita semakin SERAKAH saja dalam beragama, terjangkit "virus" kapitalisme, pragmatisme, praktisisme dan bahkan oportunisme dalam beragama..., maunya mendapat banyak tapi upaya yang bersedia mereka jalani sedikit saja. Mereka sedang membohongi diri, mewiridkan perasaan gembira, benar dan tenang untuk sesuatu yang tidak ada sebab atau alasan hakikinya, mirip dengan mereka yang mencari perasaan itu dari rokok, alkohol atau narkotik. Serakah hanya memberi kita energi-kekuatan, sebaliknya, itu akan melemahkan mental-spiritual, nalar-nurani kita..., membuat kita mudah menjadi zalim, tersesat, dibohongi, dihasut, dihipnotis, diindoktrinasi, dieksploitasi dan diperbudak tanpa sedikitpun kita sadari.


Tidak ada yang mudah dari (memahami) kebenaran, keberkahan, surga. Itu tetap harus digapai melalui "laku-tarikat" yang "berdarah-darah" membelenggu-mengorbankan seluruh ego-ego fisik-material-duniawi kita, "ngolah roso mbanting rogo", "mati sajroning urip"..., tidak bisa dibeli dan diwakilkan dengan apapun. Siapapun leluhur kita, tinggal dimanapun, berbangsa dan beragama apapun, berapapun uang yang kita miliki, kita tetap harus menghinakan, merendahkan, melemahkan, memasrahkan, memiskinkan dan menyengsarakan diri untuk menggapai itu semua. Inilah sisi paling demokratis dari hidup manusia, raja atau rakyat jelata harus melakukan hal yang sama untuk "membeli" sesuatu yang sama.


Tidak ada artinya merasa atau mengklaim telah mendapat hidayah atau berhijrah kalau nyatanya ego atau hawa nafsu kita masih begitu tinggi, masih sangat emosional, penuh prasangka, kebencian, iri hati, hedonik, binal..., itu menandakan kita masih kurang "laku", hidayah dan hijrah kita hanya delusi-halusinasi. Kita masih ada di tempat yang sama bahkan mungkin mundur ke belakang. Kita hanya mendapat hidayah dari ego, "setan" kita, bukan dari sang kebenaran. Status kita masih sama dengan orang-orang jaman dulu yang mendapat "hidayah-wahyu" untuk membunuh anak, tetangga atau musuhnya demi mendekatkan diri dengan Tuhan, mendapat kekayaan atau kekuasaan...

Kamis, 02 Agustus 2018

Kecanduan Agama, Berkah atau Azab?


Merasa gembira, bahagia, tenang dan damai karena telah (taat-fanatik) beragama itu tidak menunjukkan kalau anda atau agama yang anda anut itu benar melainkan semata menunjukkan anda telah mengalami adiksi atau KECANDUAN, telah mengalami perubahan, kekacauan dan ketidakseimbangan struktur fisik-kimia otak-tubuh anda.


Itu nilainya sama dengan mereka yang merasa gembira, bahagia, tenang dan damai karena hasratnya untuk merokok, minum alkohol, berjudi, bermain game, membuka media sosial atau bahkan yang lebih ekstrim--memfitnah, menghasut, menindas atau membunuh seperti yang terjadi pada banyak orang relijius sekarang telah terpenuhi. Jangan salah, seorang perokok berat bisa merasa lebih gembira, bahagia, tenang, damai bahkan syahdu atau "spiritual" daripada orang relijius manapun saat hasrat mereka akan rokok terpenuhi, sebaliknya akan "sakau", mengalami sakit-penderitaan keras jika itu tidak atau belum terpenuhi. 


Adiksi (termasuk fobia, trauma, paranoia) adalah penghalang besar kita dari memahami realitas-hakikat kebenaran, berlaku adil-proporsional-obyektif. Sayangnya, hampir semua agama justru memicu itu atau bahkan menjadikan itu "wirid" yang wajib dan berusaha terus ditanamkan. Itu membuat umumnya penganut agama menjadi ringkih, mudah terjerumus pada kebodohan dan kezaliman, mudah terhipnotis, tertipu, termanipulasi dan terbudak, atau sebaliknya menghipnotis, menipu, memanipulasi dan memperbudak. Mereka menjadi tidak seimbang dalam merespon-menyikapi dunia, yang kecil dan remeh akan tampak besar dan penting, sebaliknya, yang besar-penting justru menjadi tampak kecil-remeh. Teman saya lebih suka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok daripada makanan, tetangga saya berkali-kali ditipu orang yang penampilan dan gaya bicaranya tampak relijius.


Seorang perokok berat ditunjukkan sebanyak apapun data bahaya rokok pasti akan menyangkalnya keras. Tahu baginya takkan memicu untuk sadar dan mengikuti (apa yang diketahuinya itu). Saya dulu punya teman seorang dokter tapi perokok berat, saat kukritisi kebiasaannya itu, dia menjawab, "saya tahu betul resiko-bahaya merokok dan saya siap menanggungnya jika itu menimpa saya". Pun demikian dengan orang yang sudah kecanduan agama, kebenaran bagi mereka hanya sebatas perasaan dan klaim, hakikatnya merekalah justru penolak terkuat kebenaran. Mereka pasti tahu kalau banyak sekali bagian dari ajaran agama mereka yang tidak sesuai dengan nalar dan nurani mereka, tapi berhubung itu sudah ditanamkan begitu kuat, sudah sampai pada tahap merubah struktur fisik-kimia otak-tubuh, mereka tidak kuasa meninggalkannya.


Mencandulah hanya pada sesuatu yang secara hakiki memang baik bagi diri kita dan umat manusia secara keseluruhan, pada kebenaran. Dan untuk bisa memahami-menggapai itu, kita harus ikhlas melepaskan seluruh kecanduan kita pada yang lain termasuk kecanduan terhadap agama...

Perang dan Jalan Tuhan



Pandawa mengalami keraguan hebat saat perang Mahabarata hendak dimulai, mereka tidak tega harus berbunuh-bunuhan dengan saudara dan guru-gurunya sendiri, jiwa panditanya terus memberontak. Baru setelah dinasihati dan dihasut habis-habisan oleh Kresna, pelindungnya, jiwa ksatria Pandawa tergugah. Pandawa adalah ksatria yang harus kukuh memenuhi kewajibannya sebagai ksatria, tidak boleh terlalu melibatkan rasa dan hati, begitu nasihat utama Kresna.


Pandawa adalah "ksatria pinandita", nyatanya toh mereka tetap harus melepas "baju" panditanya saat berperang untuk kemudian sepenuhnya menjadi ksatria. Tidak ada perang di jalan Tuhan atau perang suci sebab saat kita berperang, semua jalan Tuhan sudah tidak mungkin bisa dilihat lagi, kita terlepas dari keterhubungan dengannya. Orang kalau masih bertuhan saat berperang, pasti akan kalah bahkan sekedar memulai berperang saja tidak akan mau, seperti Pandawa saat hendak memulai perang baratayuda. Semua perang bahkan perang dalam rangka membela diri atau membela kebenaran membutuhkan setan sebagai "bahan bakar" agar energi kita menjadi fokus dan maksimal, tidak ada yang melemahkan, mengganggu dan membajak termasuk (suara-suara) Tuhan.


Perang adalah tugas dan kewajiban para "ksatria" yang menjadikan pembangunan kekuatan (otot) sebagai "wirid" atau "tarikat" utama, bukan kewajiban para "pandita" atau ulama yang menjadikan keterhubungan dengan kebenaran (hati-Tuhan) sebagai tarikat utama. Kewajiban para pandita adalah perang melawan ego atau hawa nafsunya, dirinya sendiri termasuk perang terhadap hasrat atau keinginan diri untuk berperang (secara fisik), bukan malah sebaliknya, menjadi penghasut utama perang.


Pilih salah satu saja kalau ingin kesempurnaan, menjadi pandita (orang benar) atau ksatria (orang kuat), jangan kemaruk mau dua-duanya, bajunya pandita-ulama-relijius tapi haus perang. Itu hanya menunjukkan kita tengah berbohong, menipu masyarakat, mengatasnamakan Tuhan untuk sesuatu yang jelas adalah "seruling" setan...

Jumat, 27 Juli 2018

Benarkah Semua Agama Sama?



Kalau dampak mental-spiritual dari doa itu berbeda antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lain, bolehlah satu pemeluk agama tertentu-terutama yang doanya paling sering dikabulkan mengklaim agamanyalah yang paling benar, paling diberkahi Tuhan.


Nyatanya kan tidak, doa dan dampaknya itu sangat universal, sekuler dan demokratis. Siapa yang paling khusuk, pasrah, ikhlas, disadari dan didasari cinta, dialah yang doanya akan paling berenergi-paling akan menggetarkan alam semesta-Tuhan yang maha kuasa, paling akan didengarkan dan dikabulkan, tidak peduli apapun agamanya bahkan tidak beragama atau tidak bertuhan sekalipun. Ucapan selamat pagi atau selamat datangnya seorang ateis yang ikhlas, fokus, disadari dan didasari cinta akan lebih berenergi dan bermanfaat daripada ucapan salam panjangnya seorang relijius tapi tidak mengerti artinya, hanya basa-basi, sambil lalu, hatinya kering dari cinta. Doa adalah sepenuhnya persoalan hati, hanya hati yang jadi penentu, bukan yang lain termasuk pakaian, agama atau bahasa yang kita anut-gunakan.


Mendoakan kehancuran Israel, tapi justru Israel makin perkasa..., mendoakan kehinaan orang yang tak seagama (kafir), tapi justru kafir makin mulia..., mendoakan dikaruniai pemimpin adil, tapi justru pemimpin yang datang zalim semua..., mendoakan kemajuan dan kepandaian umat, tapi justru yang datang kemunduran dan kebodohan. Sudah begitu mereka mengklaim dirinya paling benar, paling dirahmati Tuhan..., jelas ada masalah sangat besar dari realitas itu..., itu mencerminkan-jangankan mereka sudah sampai pada "penglihatan" akan mana yang benar, bahkan untuk sekedar berdoa dengan benar saja belum mampu.


Batas minimal yang didapat dari doa (yang benar) adalah ilham atau petunjuk cara-cara untuk mewujudkan apa yang kita doakan. Jika kita berdoa ingin kaya, kita akan mendapat ilham atau petunjuk langkah apa yang harus kita tempuh untuk menuju kekayaan itu. Kalau itu saja tidak didapat, kita harusnya bercermin diri, mungkin cara berdoa kita salah atau mungkin isi doa kita terlalu egoistik-penuh hawa nafsu sehingga malah membuat hati kita-tempatnya kehendak dan kekuatan Tuhan bersemayam, tertutup dan mati, gagal menghidayahi dan merahmati kita.


Mendoakan kehancuran, kehinaan atau kecelakaan orang lain itu konyol. Energi-spirit hati-ketuhanan itu halus dan hanya bisa digapai dengan cara yang halus. Kalau mengharapkan orang lain hancur, hina, celaka, gunakan saja tangan anda, itu jauh lebih efektif..., jangan libatkan Tuhan, akan sia-sia...

Imanku dan Imanmu, Sudahkah Cukup Terbukti?



Dulu, setiap kali saya membayangkan wong KAE dimaem priyo seje di malam ke siji, hati ini selalu hancur berkeping-keping, tubuh menjadi dingin dan lemas, mrebes mili, nalongso kedaluwarso, aku merasa takkan sanggup melanjutkan hidup lagi jika itu terjadi.


Tapi setelah apa yang kubayangkan itu ternyata betul terjadi, ada perasaan aneh yang tiba-tiba datang menyeruak, sangat spiritual. Perasaan cinta penuh gairah yang tadinya meledak-ledak, berubah menjadi perasaan sayang sebagai teman, sahabat atau keluarga yang murni, tidak ada dendam atau sakit hati biarpun terang telah disewiyah-wiyah. Segala hal dari dia yang tadinya tampak indah, cantik, seksi, mempesona..., senyumnya, tawanya, rambutnya, pipinya, susunya, pinggulnya, kakinya, menjadi tak mampu berbicara apa-apa lagi, berganti seperti melihat kakak, adik atau saudara perempuan sendiri, yang kuharapkan darinya hanya kebaikan dan kebahagiannya semata.


Cinta suci diuji saat semua unsur ego kita di dalamnya tercerabut..., jika setelah itu masih menyisakan cukup banyak cinta sebagai teman, sahabat, keluarga atau sesama manusia di hati kita, berarti cinta kita betul suci. Sebaliknya, jika itu juga tercerabut, sejatinya kita hanya sedang mencintai ego kita akan seorang wanita bagaimanapun syahdu dan suci perasaan cinta kita. Kita hanya sedang berdelusi tentang cinta, kita seorang pragmatis-oportunis, hanya menjadikan ego kita sebagai pusat-tujuan-sesembahan, yang lainnya hanya dijadikan alat.


Betul kata Yesus, bahkan cukup dengan kita menginginkan seorang wanita (yang bukan hak kita) saja sudah (terhitung) berzina. Terlalu idealis kelihatannya, tapi memang harus begitu. Pada akhirnya keimanan dan moralitas kita bisa diukur dari sejauh mana respon tubuh-pikiran kita akan sesuatu yang hakikinya (mengarah pada) keburukan-dosa atau sebaliknya, kebaikan-pahala. Kalau kita tidak menggigil ketakutan saat hendak menzalimi-memfitnah, ngehoax, menganiaya, membunuh, nggarong, nyolong, korupsi, horni melihat istri tetangga mung nganggo NGANU dll, berarti kita sebenarnya masih belum cukup beriman dan bermoral, pun demikian kalau kita tidak bergembira-berbahagia saat melakukan sesuatu yang baik..., iman dan moralitas kita masih hanya sebatas di mulut, penampilan, perasaan atau klaim..., masih ada di sisi terdangkal dari diri kita, belum diafirmasikan-diwirid kuat apalagi didasari pengetahuan-kawruh-kesadaran tinggi.


Jadi ingat istri tetanggaku dulu, orangnya cantik, seksi, bahenol..., gaya berpakaiannya mirip artis, gaul dan up to date, selalu bikin deg-degan. Kalau dia mandi tidak di kamar mandi tapi di sumur yang hanya dipagari daun kelapa seadanya. Dari jendela kamarku ini akan terlihat jelas, cetho welo-welo MENDONONG termasuk NGANUNYA saat dia mandi. Bagaimanapun dia telah mengajarkan padaku akan arti hakiki iman dan moral, dia telah meruntuhkan egoku, membuatku sadar, iman dan moralku (dulu) ternyata masih lemah dan palsu...

Kamis, 26 Juli 2018

Agama dan Pengalaman Spiritual



Dijadikannya pengalaman spiritual yang dialami seseorang sebagai agama itu seumpama diceritakannya pengalaman spiritual yang dialami seorang pengikut tarikat sufi pada orang lain. Seharusnya haram-terlarang sebab pengalaman spiritual itu sering sangat menipu, hanya godaan setan-halusinasi kosong, tingkat kebenarannya sangat bergantung pada kejernihan atau kesucian hati kita. Jika kita masih kuat dikuasai ego atau hawa nafsu, kecil kemungkinannya pengalaman spiritual yang kita dapat itu benar atau universal, paling-paling hanya akan menjadi petunjuk-alat untuk memenuhi ego kita saja, disadari atau tidak.


Mengagamakan atau mensakralkan pengalaman spiritual yang dialami seseorang hanya akan memicu kultus atau pemberhalaan yang berbahaya, akan mengunci dan membekukan, menutup peluang datangnya pengalaman spiritual yang lebih baik-sempurna-universal dari orang berbeda. Pengalaman spiritual itu sesuatu yang biasa, mudah dicapai, tidak layak dijadikan agama atau dipandang sebagai pengalaman benar-suci. Bertemu Tuhan, Malaikat atau Dewa-Dewa itu bisa dilakukan siapa saja asal mempercayainya dan punya tekad bertemu dengannya. Perkara Tuhan, Malaikat atau Dewa-Dewa yang ditemui itu asli atau palsu, itu urusan lain, siapa juga yang bisa menjamin Tuhan, Malaikat, Dewa-Dewa yang ditemui orang-orang jaman dulu ITU asli...?. Orang Jawa atau Indonesia itu memiliki peluang yang sama dengan orang India, Yahudi atau Arab, jangan pernah merasa inferior.


Satu-satunya hal yang pantas diagamakan yaitu jalan-jalan menuju dicapainya pengalaman spiritual itu berikut batas-batas apa yang boleh dipercaya-diikuti dan tidak boleh dipercaya-diikuti, boleh disampaikan pada orang lain atau tidak boleh disampaikan pada orang lain saat kita mengalaminya. Pengalaman spiritual yang isinya bertentangan dengan nalar dan hati-nurani-prinsip kemaslahatan harus ditolak biarpun yang menyampaikannya ngaku-ngaku Tuhan, Jibril atau Wisnu..., itu jelas tidak lebih dari setan, perwujudan dari ego-hawa nafsu kita. Kalau kita mendapat petunjuk menyembelih anak, kafir, 40 perawan, 100 pandita dll demi mendekatkan diri pada Tuhan, meraih kekuasaan atau harta, itu bukan untuk diikuti, hanya pantas dijadikan cermin kalau ego kita ternyata masih begitu tinggi..., hati kita masih begitu kotor dan rendah. Ego yang rendah-hati yang jernih-suci akan membuat pengalaman-petunjuk spiritual menjadi tersaring, hanya yang baik dan benar saja yang akan "berani" datang, tidak menjadi pragmatis-oportunistik, semuanya masuk asal menguntungkan diri pribadi atau kelompok kita...

Rabu, 25 Juli 2018

Surga dan Ketakutan pada Neraka



Saat kita jatuh ke air yang dalam, cukup dengan bersikap tenang atau diam saja, kita akan selamat, berat jenis tubuh kita lebih kecil daripada berat jenis air, kita akan terapung. Tapi sebagian besar orang terutama yang tidak bisa berenang biasanya justru akan "ngotot" berusaha menyelamatkan diri, gagal tenang, menghabiskan semua energinya secara membabi-buta. Mereka akhirnya tenggelam dan mati, gagal selamat justru karena rasa takutnya akan tenggelam dan kematian, karena kengototannya untuk tetap hidup-selamat.


Pun dengan saat beragama, hampir pasti, banyak orang akan mati "tenggelam", masuk neraka justru karena ketakutan tak terkendalinya pada neraka. Ketakutan pada neraka membuat mereka gagal tenang dan fokus, memandang dan mengukur secara jernih-adil-obyektif-proporsional apa yang benar, baik, perlu diprioritaskan atau dikesampingkan. Seluruh energi-sumber daya tinggi kemanusiaan mereka akan terampas dan terkuras habis demi menghindari diri dari (bayangan, angan-angan akan) neraka. Mereka menjadi kehilangan alat navigasi utama yang menjaga mereka tetap ada di jalan lurus, menggapai surga-menghindar dari neraka.


Lihat saja, banyak orang menjadi membenci-menolak akal-sains, hati-nurani-spiritualitas, sekulerisme, liberalisme, demokrasi, hak azasi, kemajuan, NKRI, Pancasila, seni-budaya Nusantara, negara atau orang yang tidak seagama hingga bahkan menjadi seorang fasis, rasis, seksis, teroris..., diakui atau tidak, sebagian besar perilaku itu didorong rasa takut (tak terkendali) mereka pada neraka. Rasa takut yang akhirnya menjatuhkan mereka pada kejahilan dan kezaliman kaffah, lahir batin.


Rasa takut itu untuk dikenali dan dikuasai, bukan untuk dihasut, didramatisir dan didewakan. Takut untuk sesuatu yang nyata fakta saja seringkali merugikan dan berbahaya apalagi takut untuk sesuatu yang masih hanya mitos-tahayyul, masih hanya bisa diimani. Orang yang ikhlas ingin membimbing masyarakat pada jalan yang lurus tidak mungkin mau menggunakan ketakutan sebagai alat-senjata..., itu hanya cocok sebagai alat membodohi, memanipulasi dan memperbudak...

Senin, 23 Juli 2018

Agama dan Hipnotis


Dulu, sekitar 20 tahun yang lalu, saya pernah menjadi korban hipnotis atau gendam. Yang menghipnotis saya adalah penjual barang-barang seni bernuansa relijius. Penampilan dan kata-katanya juga sangat relijius, santri banget pokoknya, sulit membayangkan kalau dia ternyata seorang penjahat.


Dia menawarkan barang dagangannya dari rumah ke rumah termasuk rumahku. Awalnya saya siech tak begitu tertarik dengan barang dagangannya itu, tapi setelah dia menyalami saya ramah berikut mengatakan dengan sangat meyakinkan kalau sebagian hasil jualannya akan disedekahkannya ke masjid, pesantren dan kaum dhuafa, saya menjadi tak berdaya, berbalik tertarik. Bahkan saat dia tiba-tiba menaikkan harga jualannya berlipat-lipat (setelah tahu saya berhasil dikuasainya), saya menurut saja, justru saya merasa bahagia, syahdu bahkan suci, telah berbelanja sambil beribadah, membantu saudara sesama muslim, membela agama Allah.


Uang hasil kerja berhari-hari amblas. Saya sadar saya telah dihipnotis beberapa jam setelah penjual itu pergi, perasaan bahagia, syahdu dan suci yang tadi menguasai segera berubah menjadi rasa amarah yang amat sangat, barang seni yang kubeli tadi kulempar hingga hancur berantakan tak peduli itu adalah kaligrafi ayat-ayat suci. Ingin aku menghajar keras penjual itu, saya sedang kesulitan keuangan, kebutuhan banyak dan mendesak tapi kok malah seenaknya dikerjain seperti itu, pakai bawa-bawa agama dan nama orang dan lembaga yang saya hormati lagi.


Pelajaran berharga apa yang bisa didapat dari pengalaman pahit yang saya alami itu...?. Beragama tanpa ditopang kesadaran atau kawruh, nalar, hati, jati diri kita itu seperti saya berbuat baik atau bersedekah karena dihipnotis itu, sejatinya tidak punya nilai bahkan bisa bernilai negatif, buruk atau dosa..., kita telah merugikan diri sendiri dan berpotensi besar merugikan orang lain. Sayangnya, kebanyakan tokoh agama sekarang justru lebih suka menggunakan cara "hipnotis" saat "menjual" agama, mereka lebih suka melumpuhkan kesadaran umat daripada menguatkannya, mereka hanya sedang mencari keuntungan diri, bukan sedang membawa umat pada jalan yang lurus...

Minggu, 22 Juli 2018

Hantu Wanita Cantik Berpayung


Di dekat rumahku yang di pojok kampung ini, ada sebuah tikungan jalan yang dulu dikenal angker, wingit kepati-pati. Tikungan ini jelas telah merampas sebagian besar kegembiraan masa kecilku. Saat terang bulan, hampir tidak pernah saya berani keluar rumah sendirian untuk bermain bersama teman-teman, pun saat ada acara hiburan malam, sering saya hanya bisa gigit jari. Memang, sesekali saya berani keluar malam, tapi pulangnya pasti akan gemetar menggigil ketakutan saat melewati tikungan itu.


Bukan tanpa alasan tikungan itu dianggap angker, kanan-kirinya adalah kebun bambu dengan semak belukar yang rimbun tak terurus, beberapa makam tua juga ada di kebun itu. Kalau malam datang, suasana menjadi gelap dan dingin, maklum, tidak ada satupun rumah di dekatnya, rumahku adalah yang terdekat. Di ujung tikungan itu ada tebing sungai yang dipenuhi pohon-pohon besar dengan akar-akar yang menyembul dan menggantung, bekas kulit ular nglungsungi pating klawer menandakan tebing itu dihuni banyak ular. Tidak jauh dari tikungan itu ada gudang besar yang kosong, rusak, kotor, tak terurus dan terjamah. Kecelakaan cukup sering terjadi di tikungan itu, ban pecah, buljoin copot, atau bahkan motor atau mobil tiba-tiba nyelonong nyungsep di semak-semak hingga nyemplung ke sungai adalah hal biasa. Saya sendiri heran, dulu mendengar bunyi ban meletus kok kayaknya jadi agenda rutin, sebentar-sebentar tor, sebentar-sebentar tor.


Berbagai "spesies" hantu konon menghuni tikungan itu, hantu jaring (antu brojo), saleh (hantu berpenampilan seperti orang soleh, kyai, haji), hingga HANTU WANITA CANTIK BERPAYUNG konon sering menampakkan diri. Saya sendiri pernah melihat benda mirip keris tapi tanpa gagang dan luk bersinar terang kemerahan terbang di depanku. Pernah saya (entah mimpi atau hanya halusinasi, saya ragu, maklum masih kecil) saat pulang malam dari bermain, saya melihat gudang kosong di dekat tikungan itu tampak terang benderang, suasana sangat riuh, terdengar alunan musik, sepertinya ada orang berpesta di dalamnya, tapi setelah besoknya saya periksa, gudang itu tenyata masih tetap kotor tak terurus, tak ada tanda-tanda bekas orang berpesta. Pernah juga saat saya sakit dan digendong ibu hendak dibawa ke mantri, saya melihat burung sangat besar menatap saya tajam sambil mengepakkan sayapnya di salah satu pohon dekat tikungan itu, saya ketakutan dan kemudian ndusel di punggung ibu, kata ibu itu cuman burung kokok beluk gak usah takut, mosok kokok beluk segede rajawalinya Brama Kumbara..?, protesku waktu itu.


Dari sekian banyak spesies hantu itu, yang cukup fenomenal dan ditakuti (terutama oleh para lelaki apalagi yang hidung belang atau bujangan) adalah hantu wanita cantik berpayung. Konon kabarnya, hantu itu akan muncul jika terjadi hujan gerimis saat sande kala atau menjelang matahari terbenam, paling rawan muncul adalah saat seharian hujan menyisakan gerimis di sore hari. Hantu itu akan menawari tumpangan payung pada lelaki yang lewat di tikungan itu. Siapapun lelaki yang tergoda alias mau menerima tawarannya, dia akan "diselong", menghilang terlempar ke alam lain tanpa tahu kapan akan kembali. Cukup mengerikan, apalagi bagi mereka yang merasa mata wadonan atau hidung belang.


Cerita tentang hantu wanita cantik berpayung itu menjadi semakin dramatis setelah satu tetangga saya konon menjadi korbannya, dia seorang bujang kiring alias lapuk. Dia pernah tiba-tiba menghilang dari kampung, beberapa tahun kemudian dia kembali lagi, tapi dalam keadaan agak linglung. Dia kemudian bercerita kalau suatu sore sepulang dari membeli minyak tanah, hujan rintik-rintik, saat melewati tikungan itu, dia dihampiri seorang wanita cantik membawa payung, dia kemudian menawari tumpangan payungnya itu, "ayo mas daripada kehujanan dingin ikut saya aja, gratis kok", barangkali seperti itulah cara wanita itu menawarkan payungnya, sambil pesam-pesem, kedap-kedip ngguya-ngguyu tentunya. Dia-tetangga saya itu mengaku menerima tawaran wanita itu, tapi setelahnya dia terlempar ke alam lain, entah dimana, seperti mimpi, sadar-sadar sudah kembali di kampungnya, tertidur nyungsep di halaman rumahnya.


Yang jelas, sekarang tikungan itu sudah tidak tampak angker lagi, kebun bambu sudah dibabat dan diganti deretan rumah, gudang tua sudah dibongkar dan diganti taman bermain, tebing sungai sudah longsor dan diganti turap beton, pun dengan makam tua, sudah hanyut terbawa banjir, lampu neon besar juga sudah terpasang menerangi tikungan itu. Uniknya, sejak "modernisasi" itu, tidak ada lagi "kesaksian" orang melihat hantu di tikungan itu. Hantu ternyata kalah dengan modernisasi, kalah dengan rumah dan lampu. Pertanyaannya, apakah pengalaman dramatis saya dan banyak orang lain tentang adanya hantu di tikungan itu dulu memang nyata...?. Awalnya saya sulit untuk mengakui itu sebagai tidak nyata, tapi sekarang saya harus mengakui, mungkin ketakutan kitalah yang membuat hantu itu tampak ada padahal sejatinya tidak ada...

Senin, 16 Juli 2018

Mentauhidkan Tuhan atau Berhala?



Banyak orang relijius sekarang mengira yang dimaksud berhala hanya sebatas patung, kuburan, jimat dan lain-lain..., cukup dengan menghindari itu semua, dengan pede bahkan sombongnya mereka mengira dan mengklaim akidahnya telah lurus, tauhidnya murni.


Klaim sekaligus pandangan yang konyol sekali, dangkal, mereka hanya sedang bermimpi, berkhayal bahkan beronani tentang akidah dan tauhid. Jelas mereka itu ibarat kata pepatah, "lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya", merasa telah terlepas dari kekeliruan padahal yang terjadi hanya berpindah dari satu kekeliruan ke kekeliruan yang lain yang bahkan sering lebih parah..., mereka masih ada di tempat yang sama, tidak sedang berhijrah kemanapun tapi mengira sudah sedemikian pergi jauh, telah lurus, menjadi pemilik kebenaran. Kejahilan batin menjadi pemicu semua itu.


Bahkan menyembah Allah, Tuhan Yang Esa, Sanghyang Tunggal, Maha Dewa, tetap masih akan bernilai menyembah berhala jika definisi-gambaran kita tentangnya masih hanya atas dasar dogma, pikiran, angan-angan, perasaan atau prasangka kita. Nama Allah hanya akan menjadi label, baju, sarana menutupi kepalsuan, sama seperti tas buatan Cibaduyut yang dilabeli Hermes. Kita sendirilah-ego kita yang akhirnya menjadi pencipta Tuhan untuk kemudian kita sembah sendiri, sementara Tuhan sebagai esensi, ditinggalkan jauh.


Tuhan itu seperti buah anggur, hanya orang yang pernah memakannya yang akan mampu mendefinisikan rasanya dengan tepat. Siapapun yang pernah memakannya, tidak peduli apa agama, etnis atau bangsanya, pasti akan memiliki "ruh" definisi yang sama, hanya gaya atau susunan kata-katanya saja yang mungkin berbeda. Tuhan itu seperti orang NGANU, bagi saya yang masih bujang tingting, polos, tanpa dosa dan belum tersentuh kotornya zaman ini, tentu hanya akan jadi misteri, segala definisi, cerita dan gambaran tentangnya masih berstatus tahayyul dan bid'ah belaka. Saya boleh saja mendengar atau membaca cerita-definisi tentangnya dari teman saya yang sudah kulino NGANU, tapi tetap saja itu tak bisa menandingi luas dan lengkapnya pengetahuan yang didapat saat saya mempraktekkannya langsung.


Cukup dengan sekali kita merasakan hadirnya Tuhan dalam hidup kita, itu lebih bernilai daripada seumur hidup kita mempelajari teori atau "cerita" tentangnya. Selamanya kita akan tahu jalan, akan bisa menyusun definisi tentangnya dengan tepat, akan bisa mantauhidkan atau mengesakannya, akan terhindar dari sirik-berhala. Tuhan, kebenaran, surga hanya bisa dimengerti, didefinisikan dan digapai melalui "jalan-laku" pengendalian ego, raga, pikiran, angan-angan..., agama yang tidak menjadikan itu sebagai akidah dan syariat utama, tidak akan pernah bisa membawa pengikutnya kepadanya...

Kebenaran Itu Pahit, Jangan Terobsesi Dengannya!


Kebenaran adalah saat kita memilih untuk tidak menyuap walaupun karena itu kita akan tersisih dan tercampak, kehilangan peluang emas kita..., atau saat seorang politisi lebih memilih kalah demi tetap memegang teguh idealismenya mencerdaskan masyarakat daripada menang tapi harus membodohi mayarakat dengan menjual isu SARA atau hal-hal primordial lainnya.


Sungguh berat dan pahit karena yang sedang kita lawan adalah ego-ego primitif-paling dasar kita, naluri-keinginan kita untuk tetap eksis, hidup senang, aman dan nyaman. Kalaupun di dalam suatu kebenaran terdapat keuntungan, itu tentu bukanlah keuntungan untuk diri pribadi atau kelompok kita saja melainkan keuntungan yang sifatnya universal, esensial dan jangka panjang..., sekarang kita benar, mungkin baru dua atau tiga generasi berikutnya masyarakat akan mengerti dan mengapresiasinya. Gusdur itu sekarang sering dicaci-maki orang "soleh" tapi beberapa generasi mendatang pasti dia akan jadi pahlawan.


Ada tanggung jawab teramat besar dari klaim kalau kita benar, jangan mudah terobsesi dengannya. Seandainya siapapun diwajibkan memikul tanggung jawab besar itu, hampir pasti hanya akan ada sangat sedikit orang yang mau atau berani mengklaim dirinya benar. Mudah mengklaim benar hanya mencerminkan kita itu bodoh, spekulatif, gegabah, geer, oportunistik bahkan sombong, kita hanya sedang mengikuti kehendak ego atau hawa nafsu kita saja apapun alasan yang melatar belakanginya termasuk alasan-alasan yang sifatnya relijius.


Jadi ingat temanku dulu, seorang ateis (kayaknya), dia selalu nyinyir, sinis, apriori, apatis, skeptis terhadap apapun penampilan, perkataan dan perbuatan seorang ulama (di daerahku). Ketika saya minta dia sedikit saja menghormatinya, dia menjawab dengan ketus, "kalau masih sama-sama doyan NGANU, kita masih sama kok, gak perlu dipandang lebih benar atau mulia". Dulu saya membantah keras kata-katanya itu, tapi sekarang saya mengakui, kata-katanya itu benar. Kalau kita masih terobsesi pada harta, tahta, wanita bahkan termasuk agama, Tuhan dan surga, kebenaran tidak akan pernah bisa kita mengerti, pandangan kita akan terbajak, terdistorsi, tersimpangkan apa yang kita obsesikan itu...

Minggu, 15 Juli 2018

Lingkungan, Pembentuk DNA Agama


Kurma hanya bisa tumbuh baik di gurun pasir, kelapa di daerah tropis, teh di dataran tinggi, manusia di bumi.


Pun demikian dengan agama..., waktu, tempat, lingkungan, situasi dan kondisilah yang membentuk DNA-nya. Karenanya, tidak ada agama yang bisa universal, bisa "ditanam" dengan baik di setiap tempat, waktu, situasi dan kondisi. Semakin universal suatu agama justru akan semakin tidak efektif dalam membawa kemaslahatan bagi pengikutnya, akan semakin sedikit yang bisa dibicarakan, akan semakin sulit menangani persoalan-persoalan spesifik pengikutnya.


Setiap tempat, jaman, etnis, bangsa harusnya memiliki agamanya sendiri-sendiri, kalaupun terpaksa mengimport, harus dilakukan "edit keras" atas DNA-nya, hanya sisi universal dari agama yang boleh dipertahankan..., sementara yang lainnya harus dominan diisi muatan lokal. Bid'ah, pembaruan bahkan perpecahan dalam agama adalah kebutuhan, panggilan dan kehendak alam yang tidak bisa diingkari, mengingkarinya sama saja mengingkari "aliran" kebaikan, kebenaran, Tuhan, surga. Agama apapun yang akan diimport ke Indonesia, tempat yang harusnya paling disucikan adalah hutan dan gunung-gunung darimana sumber air orang Indonesia berasal, bukan Yerusalem, Mekah atau Sungai Gangga..., sebab itulah yang menentukan berkah tidaknya air yang masuk ke tanam-tanaman kita, hewan-hewan peliharaan kita, dan akhirnya, ke tubuh kita. Konyol orang Indonesia, gunung dijadikan tempat hiburan, diskotik bahkan PENGANUAN, sementara tempat yang disucikan, ada di negri antah berantah.


Fundamentalisme agama kelihatannya baik bahkan suci (menurut pemeluk fanatik agama tentunya), tapi hakikinya sebenarnya tidak, itu pasti akhirnya akan menghancurkan agama itu sendiri atau kalau tidak, menghancurkan masyarakat pemeluknya..., sama seperti wong KAE yang melepas ikan asing Arapaima di sungai Brantas, kalau gak ikan Arapaimanya yang akhirnya mati ya ikan lokalnya yang akan mati..., atau bahkan mati dua-duanya...

Sabtu, 14 Juli 2018

Bahaya Agama Teror bagi Otak Kita


Pikiran adalah energi yang "maha kuasa" termasuk berkuasa membentuk realitas siapa diri kita. Apa pikiran yang dominan kita bangun-hidupi-pelihara menentukan bagian mana di otak kita yang akan berkembang dan menyusut sekaligus (akhirnya) terwaris secara genetik.

Pikiran akan ketakutan dan amarah jelas hanya akan mengembangkan bagian otak kita yang mengatur respons menghindar/melarikan diri dan menyerang. Sebaliknya, itu akan menyusutkan bagian otak yang mengatur kecerdasan kita, IQ kita, bahkan nurani-moralitas-sisi spiritual kita. Jalan lurus, kebenaran atau Tuhan jelas sangat tidak mungkin bisa dipahami melalui hasutan akan ketakutan dan amarah, itu hanya efektif untuk membangkitkan kekuatan atau energi sebagai alat mencapai tujuan-tujuan egoistik-naluriah kita.

Jadi, agama yang di satu sisi menjadikan ketakutan dan amarah sebagai "akidah" tapi di sisi lain mengklaim sebagai kebenaran, datang dari Tuhan, akan membawa penganutnya pada surga itu sebenarnya kontradiktif, tidak sesuai antara klaim asal dan tujuan yang hendak dicapai dengan ajaran, laku atau tarikatnya. Agama seperti itu bahkan sebenarnya berbahaya hingga ke fisik dan gen kita, itu bisa membalikkan arah evolusi kita, membuat anak cucu kita kembali menjadi "hewan", kuat emosi dan ototnya tapi bodoh otaknya. Akibatnya, mereka akan lebih mudah dieksploitasi orang lain, terus menyusut kecerdasan, moralitas, sisi tinggi kemanusiaannya.

Otak adalah harta paling berharga kemanusiaan kita, lindungi dia..., ketakutan dan amarah hanyalah alat orang lain melumpuhkan kita untuk kemudian mengeksploitasinya..., tidak lebih dari itu. Kalau memang mau menunjukkan pada jalan yang benar, pada Tuhan, pada surga, harusnya bukan ketakutan dan amarah yang dihasut dan dibesarkan, tapi akal dan hati-nurani kita...

Tuhan dan Kitab Suci


Petunjuk akan jalan yang lurus, benar, baik atau menguntungkan itu bisa datang pada siapa saja, kapan dan dimana saja, tidak ada yang bisa menguncinya, siapa yang rajin mengheningkan diri, dia lebih berpeluang mendapatkannya..., tidak ada nabi terakhir secara hakikat.


Jadi, membukukan suatu petunjuk (spesifik-kasuistis-kontekstual) dalam sebuah kitab suci itu sebenarnya konyol sekali, salah nalar, jelas itu adalah satu bentuk pengkerdilan, pemenjaraan bahkan PEMBUNUHAN terhadap Tuhan. Kitab suci (atau agama) seharusnya membatasi diri hanya mengatur atau memberi petunjuk cara mendapat petunjuk (Tuhan) kalau memang menghendaki itu bisa berlaku selamanya. Tidak segalanya ingin diatur dan dibicarakan karena itu pasti membuat kitab suci justru akan semakin menjauh dari ketepatannya dalam menilai apa yang lurus, benar, baik atau menguntungkan seiring berubahnya konteks, waktu, tempat, situasi dan kondisi.


Kalau begitu agama menjadi tidak sempurna dong karena tidak memberi petunjuk, mengatur dan membicarakan semua sisi dari hidup kita...?. Justru sebaliknya, kesempurnaan sekaligus kewibawaan agama akan terus terpelihara berkat kesediaannya memberi jalan bagi terbentuknya aturan dan pengetahuan baru yang lebih sempurna, tidak akhirnya terkikis dan terbunuh kekakuan, keegoisan dan keserakahannya sendiri. Dengan kesediaannya untuk tidak menjadi penutup jalan, mengunci kesempurnaan-kebaikan-pengetahuan di titik tertentu-terendahnya, agama akan bisa jadi induk-guru-inspirator abadi kesempurnaan hidup pengikutnya atau bahkan umat manusia secara keseluruhan..., akan selamanya mampu menyesuaikan diri dengan peradaban, kemajuan dan kemanusiaan, bukan malah terus berbenturan dengan itu semua.


Agama adalah ajaran-petunjuk-aturan tentang pengendalian ego-pengheningan diri, selebihnya hanya politik atau budaya. Tuhan masih hidup hingga kini, masih bisa memberi petunjuk..., mengabaikannya demi satu petunjuk dari masa lalu (apalagi yang sudah nyata kedaluwarsa) itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg"..., kita akan kehilangan kesempatan mendapat petunjuk-petunjuk baru yang pasti tanpa batas..., kita akan menjadi penyembah kitab suci, bukan Tuhan...

Rabu, 11 Juli 2018

Ada Neraka Dibalik Janji Surga


Teman saya seorang lulusan S2, cerdas dan relijius. Tapi lucunya, berkali-kali dia ditipu orang, yang terakhir bahkan sangat parah, puluhan juta rupiah melayang. Dia kelihatan menjadi sangat tidak berdaya, hilang akal dan pertimbangan saat berhadapan dengan orang relijius atau minimal, berpenampilan dan bertutur kata relijius dengan tawaran atau janji-janji berbumbu relijius pula. Dia akan langsung percaya hingga bahkan sering sampai rela menyerahkan segalanya.


Ada "neraka" dibalik janji surga terutama "tipe" surga yang di dalamnya digambarkan dipenuhi kenikmatan egoistik-ragawi. Wajar saja, setiap janji, harapan, angan-angan yang sifatnya egoistik-ragawi, yang terkait dengan naluri keserakahan kita itu pasti akan melemahkan kesadaran atau makrifat kita, eling lan waspada kita. Dampaknya jelas, akan membuat kita kesulitan melihat-memahami kebenaran atau jalan lurus, modal utama kita menggapai surga atau Tuhan, akan membuat kita mudah tersesat dan terjerumus tanpa disadari.


Janji surga itu seumpama janji "lanang boyo", indah memang terasanya, tapi itu dibuat hanya untuk menipu, memanipulasi dan mengeksploitasi seorang wanita, bukan janji ikhlas demi kebahagiaan sang wanita. Surga yang sesungguhnya itu ada pada "lanang ndeso" yang bersahaja, yang tak pernah mau dan mampu berjanji-memanipulasi, melainkan selalu memberi bukti, sesuatu yang nyata fakta. Justru saat kita sudah kebal terhadap segala macam janji (dan intimidasi, tentunya), kebenaran itu akan mudah dilihat, nalar kita akan merdeka dan berkembang, hati akan memeka dan terbuka, petunjuk dan pengetahuan akan datang membanjir.


Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud menyembahnya?. Tepat sekali kata-kata Sufi besar ini. Sebab harapan akan surga dan ketakutan akan neraka itu akan membuat pikiran kita sulit kosong-pasrah-berserah diri, tanpa kekosongan, "keterisian" tidak akan mungkin terjadi...

Senin, 09 Juli 2018

Agama dan Obat



Agama itu seperti obat, justru dialah yang paling perlu diuji, didiskusikan, dikritisi bahkan (kalau perlu) diolok-olok, dinista dan dicaci-maki jika memang tidak sesuai dengan fakta-fakta sains atau hukum-hukum dasar moral-spiritualitas..., bukan malah dikultuskan, ditabukan, diberhalakan, tidak boleh disenggol sedikitpun.


Wajar saja, dia-agama menyangkut sisi paling vital dan berharga dari hidup kita, yang menjadi pertaruhan akan baik atau tidaknya kita, selamat atau tidaknya kita, bisa menjadi manusia yang seutuhnya atau tidak kita. Obat dan agama yang paling tahan bantinglah yang paling layak dipercaya, paling mungkin datang dari sang maha benar..., bukan yang bahkan "disenggol" sedikit aja pengikutnya takut dan marah, menganggap itu ancaman dan penghinaan.


Orang yang marah saat agamanya dikritisi itu seumpama orang yang marah saat diberitahu SUSU kuda liar secara ilmiah ternyata tidak punya khasiat apa-apa, pasti, dia marah semata karena sumber penghasilannya terancam atau karena harapan, imajinasi, sugesti, delusi, mimpi indahnya tentang susu kuda liar berusaha dibangunkan, dia menolak realitas kalau sakitnya mungkin tak bisa disembuhkan hanya dengan SUSU..., dia menolak realitas kalau agamanya mungkin takkan mampu membawanya pada kebenaran-jalan lurus, surga, Tuhan..., dia marah karena egonya diganggu..., dia marah pada pahlawannya sendiri.


Daripada mengimani agama yang terus berusaha "disusu kuda liarkan", dijimatkan atau diberhalakan, terus menolak diuji dan dikritisi, dihidupi hanya dari kepercayaan, sugesti, delusi, mimpi, imajinasi, ego-hawa nafsu-kepentingan pemeluknya, lebih baik mengimani keris atau batu cincin saja, dampak mental-spiritualnya 100% sama, tapi dampak buruknya pasti lebih minimal...

Dogma dan Kehendak Tuhan



Banyak orang relijius sekarang hobi ngeles, ayat-ayat perang, kebencian atau permusuhan dalam kitab suci harus ditafsirkan secara tepat, katanya, disesuaikan dengan konteks atau sebab-sebab turunnya, tidak boleh dipahami hanya secara tekstual. Sebenarnya siech pandangan itu tepat, dengan catatan, asal mereka bersedia konsekwen, mereka harus mau juga menafsirkan SEMUA ayat kitab suci tanpa kecuali, jangan hanya yang dianggap merugikan atau merendahkan citra agama mereka saja.


Sebab apa yang benar-baik-menguntungkan bagi seseorang, suatu kaum, etnis, bangsa, itu akan selalu berubah, berkembang dan berganti, tidak bisa DIKUNCI dalam sebuah kitab suci. Alqur'an adalah cermin apa yang benar-baik-menguntungkan Muhammad dan pengikutnya pada abad ke 7 di Semenanjung Arabia, demikian juga kitab-kitab lainnya, dia cermin "produk" terbaik pada zaman, tempat dan masyarakatnya. Bahkan hanya sedikit berganti tahun atau tempat saja, apa yang dipersepsikan benar-baik-menguntungkan oleh kesadaran lebih tinggi kita, sudah pasti akan berubah, kitab suci perlu ditafsir ulang, diperbaharui, atau bahkan DIGANTI...!. Kita pindah ke kota lain saja sudah harus belajar memahami profesi dan perilaku terbaik yang harus kita jalankan kok, tidak mungkin ada kitab suci mampu BENAR sepanjang masa, di semua tempat, masyarakat, situasi dan kondisi.


Coba lihat Perjanjian Lama (Yahudi,) dan Perjanjian Baru (Kristen), banyak aturan atau perjanjian di dalamnya yang berubah, apakah berarti Tuhan itu mencle-mencle...?. Tidak juga, Tuhan memang harus terus memperbaharui aturan dan perjanjiannya kok sebab memang, apa yang baik dan penting bagi manusia memang selalu BARU. Itu pasti (seharusnya) akan terjadi juga pada aturan (kitab) agama lain manapun. Bahkan termasuk juga kitab yang mengklaim paling baru, terakhir atau sempurnapun, tidak akan sanggup mengikuti kebaruan manusia..., hanya asal atau sumber dari kitab suci itu saja yang akan sanggup mengikutinya..., itulah yang harusnya menjadi pegangan utama kita dalam beragama...

Yang Melumpuhkan Kesadaran, Datang dari Setan



Dulu saya mengira, marah, membenci, berperang karena agama itu betul adalah bagian dari ibadah, perintah Tuhan, sesuatu yang suci dan mulia. Saya gagal mengidentifikasi setan justru setelah fanatik mengikuti lembaga-ajaran yang mengklaim diri paling anti setan.


Sesaat kita marah, membenci atau berperang apapun alasannya, kesadaran kita sudah pasti lumpuh, kita sudah tak mungkin lagi bisa mengenali kehendak (hakiki) Tuhan, akal termanipulasi, hati tertutup dan mati. Kita hanya akan dibanjiri energi-kekuatan, bukan bimbingan pada kebenaran. Energi itu seperti kekuasaan, cenderung korup. Energi tidak dibutuhkan untuk memahami kebenaran bahkan sebaliknya, kita akan mudah terperosok karenanya, menjadi spekulatif, mudah mendudukkan apapun sebagai kebenaran termasuk tahayyul, angan-angan, prasangka, keinginan, kesesatan, setan.


Tidak mungkin Tuhan mengajarkan sesuatu yang justru akan menjauhkan manusia dari kebenaran, dari kemampuan memahami sifat dan kehendaknya. Semua hal yang melumpuhkan kesadaran itu pasti datang dari setan. Tragisnya, sekarang ini, yang dominan melumpuhkan kesadaran sering justru adalah agama. Kenyataan yang mengakibatkan-jangankan agama "perang", agama "damai" saja bisa memicu perang. Sulit dibantah kalau tingkat kesadaran orang-orang relijius ITU hanya setara orang mabuk, sangat lemah. Namanya juga orang mabuk, disenggol sedikit aja bisa membuatnya jadi pembunuh. Bedanya apa preman mabuk yang ngamuk karena disenggol saat joget dangdut dengan orang relijius yang ngamuk saat doktrin agamanya sedikit dikritisi...?, tidak ada. Ketidaksadaran adalah sumber dari segala sumber kejahilan dan kezaliman. Tanpa ditopang kesadaran, ajaran agama yang baik sekalipun belum tentu memicu hal yang baik bahkan sebaliknya, bisa memicu keburukan lebih besar atas nama kebaikan itu.


Agama (yang benar) itu seumpama bahasa krama inggil. Kita tidak mungkin bisa marah-marah dengan menggunakan bahasa krama inggil. Sesaat kita menggunakannya, amarah kita pasti akan dan harus turun..., ego-hawa nafsu kita takkan bisa terekspresi-terwakili oleh bahasa krama inggil. Pun dengan agama, kalau dengan beragama tak membuat ego-hawa nafsu kita otomatis turun-kesadaran naik, agama itu sudah pasti salah secara esensi, tidak akan membawa pengikutnya pada kebenaran, jalan lurus, surga, Tuhan.


Mengorbankan kesadaran bahkan demi sesuatu yang nyata benar dan baiknya saja berpotensi berbahaya apalagi demi sesuatu yang masih hanya bisa diimani benar dan baiknya. Agama (yang benar) tidak mungkin membangun iman dan ketakwaan pengikutnya dari lumpuhnya kesadaran..., sebab justru kesadaranlah sumber hakiki kebenaran itu sendiri. (Pendiri) agama yang dominan menggunakan strategi pelumpuhan kesadaran demi mendapat pengikut hanya handak menipu, memanipulasi, menguasai orang lain demi kepentingan dirinya sendiri, dengan mengatasnamakan Tuhan...

Minggu, 01 Juli 2018

Musa, Rahwana, Gajah Mada, Apakah Ada Bedanya?


Musa mendapat wahyu-perintah agar dia dan kaumnya pergi berhijrah ke tanah Kan'an. Tanah Kan'an waktu itu bukanlah tanah kosong, Musa harus merampasnya, membantai dan mengusir penduduk aslinya. Pertanyaannya, mungkinkah Tuhan yang maha kasih merestui pembantaian dan pengusiran, hanya berbelas kasih pada orang Yahudi?. Rahwana mendapat kesaktiannya melalui tapa brata, itu adalah rahmat dari dewa-dewa atas keteguhannya berdoa-mengabdi kepadanya. Rahwana adalah simbol utama angkara murka. Pertanyaannya, apakah mungkin dewa-dewa yang maha bijaksana mendukung sifat-sifat angkara murka seperti halnya ada pada Rahwana?. Gajah Mada sukses mewujudkan cita-citanya menyatukan Nusantara karena "bertirakat" (tercermin dari sumpah palapanya)..., bagaimanapun, Gajah Mada adalah seorang fasis dan kolonialis/penjajah (terutama bagi orang non Jawa). Pertanyaannya, betulkah Tuhan yang maha adil mendukung fasisme dan kolonialisme?.


Bahkan agama, spiritualitas, meditasi, tapa brata, berkhalwat atau uzlah, tidak akan ada gunanya-tidak akan membawa kita pada kebenaran hakiki-universal jika yang dominan menjadi obsesi kita masih syahwat, ego atau hawa nafsu, kenikmatan ragawi-duniawi. Yang akan mewahyui, membimbing dan merahmati kita tetap akhirnya adalah "ego-setan" kita yang mewujud atau menyamar sebagai dewa-dewa, malaikat atau Tuhan. Alam bawah sadar kita akan menjadi sangat pragmatis-oportunistik, licik, disadari ataupun tidak..., kita akan selalu dibimbing-ditunjukkan pada apa yang paling menguntungkan dan itu sering kali tanpa harus kehilangan rasa dan citra positif kita..., kita bisa menjadi penjahat paling brutal dengan tetap merasa dan tampak sebagai pahlawan atau bahkan orang suci.


Cukup dengan melihat apa yang keluar dari mulut seorang spiritualis, nabi, pertapa, ulama, kita bisa tahu, dia ngomong atas "bisikan" siapa..., kalau yang keluar hanya menguntungkan dirinya sendiri, kelompoknya, etnisnya, bangsanya, sudah pasti itu dari ego-setan bagaimanapun hebat kesaktian, karomah atau mukjizatnya..., bagaimanapun tampak suci klaim dan penampilannya.


Jantung (akidah) agama (yang benar) adalah pengendalian ego atau hawa nafsu, yang bukan itu sejatinya bukanlah agama, hanya sesuatu yang sedang didudukkan sebagai agama...

Rabu, 27 Juni 2018

Mencintai Cinta, Mencintai Pengetahuan


Banyak orang relijius sekarang sangat membenci cinta, menganggap itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berusaha membatasi cintanya hanya untuk orang yang seagama, semazhab atau sekelompok, yang di luar itu harus dibenci, dikerasi dan dimusuhi. Mereka mengira dengan itu diri-kelompoknya akan dirahmati Tuhan, menjadi kuat, membuat orang atau kelompok lain takut dan tunduk.


Harapan yang sia-sia, delusional. Sebab bahkan untuk mengubah atau menundukkan musuh-orang lain, diperlukan cinta. Cinta akan menumbuhkan keterhubungan, empati dan makrifat-pengetahuan termasuk makrifat atas jalan-jalan termudah untuk merubah atau menundukkan orang lain. Tanpa cinta, kita akan buta, tak tahu jalan, tak terbimbing..., berfikir dan berbuat hanya atas dasar taklid dan spekulasi.


Memang, cinta akhirnya akan menyisakan sangat sedikit dari hasrat kita untuk mengubah atau menundukkan orang lain. Kita akan mengerti kalau sebagian besar yang kita kira sebagai hal yang perlu dirubah atau ditundukkan hanyalah "fiksi" belaka. "Penemuan-pengetahuan" yang pasti bertentangan dengan akidah banyak di antara kita (yang beragama NGANU) yang (umumnya) menuntut membenci, memaksa dan menindas. Tapi bagi orang-orang yang mampu berfikir, justru itulah alat pengukur sempurna apakah akidah kita itu benar atau salah, datang dari sang kebenaran atau hanya datang dari prasangka, kebodohan dan ego-hawa nafsu-setan kita saja.


Kebencian pada cinta itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg". Mungkin dengan itu dalam jangka pendek ego-ego kita akan terpenuhi..., tapi dalam jangka panjang pasti tidak, kita akan jatuh menjadi makhluk bodoh dan zalim, gagal beradab dan berakal, gagal tahu, gagal terbimbing pada kebenaran, kemuliaan dan kekuatannya.


Cintailah cinta, betul kata Ahmad NGANU..., tapi saya ragu apakah dia tahu maksud hakiki lirik indah lagunya itu... ^^

Senin, 25 Juni 2018

Antara Iman, Syirik dan Sihir


Semua penganut agama, disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, hampir pasti justru adalah pelaku syirik dan sihir yang utama-terbanyak..., pasti menyembah berhala bahkan termasuk yang mengkaim sangat anti berhala, pasti yang paling gemar menyihir orang melalui doa, kata-kata, prasangka dan laknatannya. Wajar saja, sebab iman sendiri adalah sumber utama kesyirikan sekaligus pemicu utama bangkitnya energi sihir.


Syirik itu nikmat, memudahkan dan mencandu..., bayangkan, cukup menyembah batu, kuburan, gunung, pohon, lautan, habib atau bahkan botol saja, hajat-hajat kita bisa terpenuhi. Orang-orang bodoh, egois dan lemah akan sulit lepas dari jeratan pesonanya. Pun dengan sihir, itu adalah cara mudah memanipulasi, menguasai dan memperbudak orang lain..., orang relijius jelas adalah yang paling akan memiliki kekuatan sihir, jika mereka gagal mengendalikan egonya, akan juga yang paling mudah terjerumus memanfaatkannya.


Memangnya anda tahu arah energi spiritual anda saat berdoa atau beribadah sehingga dengan pede bahkan angkuhnya mengklaim tidak berbuat syirik atau sihir...?. Tidak menyembah patung, jimat, keris, kuburan, tapi kalau energi spiritual anda saat berdoa mengarah ke tempat ibadah, kitab suci, pakaian keagamaan, sorban, jenggot, simbol-simbol keagamaan, tokoh-tokoh keagamaan, ya tetap saja status anda syirik secara hakikat. Tidak menggunakan boneka sihir, buhul-buhul, sempak atau rambut orang tapi kalau nyatanya energi spiritual anda diarahkan pada kecelakaan orang lain melalui doa buruk atau laknatan anda, status anda tetaplah tukang sihir.


Syirik adalah mengingkari realitas, fakta, kebenaran hakiki..., mengimani FIKSI, sesuatu yang pada dasarnya tidak ada, yang (rasa) adanya hanya timbul dari penimbunan energi prasangka-spiritual kita saja. Bahkan suka berpenampilan relijius saja sudah syirik atau minimal mengarah pada kesyirikan..., lama-lama itu akan terasa keramat dan barokah. Sihir adalah berusaha menguasai atau mencelakakan orang lain dengan menggunakan energi pikiran-spiritual kita apapun metode atau caranya, bahkan termasuk dengan yang menggunakan simbol-simbol agama.


Satu-satunya cara menghindari syirik ea menghapus ketergantungan rasa keagamaan kita pada benda, tempat, orang atau "cerita", menggunakan hanya hati kita saat beragama. Jika perasaan kita saat memakai jins atau topi sama dengan saat kita memakai sarung atau sorban, beribadah di masjid sama dengan di gereja, melihat orang Arab sama dengan melihat orang China, melihat babi sama dengan melihat onta, saat itulah kita mulai terhindar dari kesyirikan, mulai adil-obyektif dalam melihat dunia, tanpa terlalu melibatkan rasa dan prasangka kita. Sementara menghindari sihir, cukup dengan mengendalikan ego, menghindari pikiran, perkataan, prasangka dan doa buruk, kebencian.


Lha wong melihat padang pasir, pohon kurma, onta atau orang Arab aja njerit-njerit histeris kok ngaku tidak syirik, ente hanya memindahkan yang menjadi obyek kesyirikan saja Bro...!. Lha wong melihat Jokowi aja benci setengah dewa kok ngaku anti sihir, kebencianmu itu sama saja sedang mengirim "paku" atau "silet" ke tubuh Jokowi...!

Sabtu, 23 Juni 2018

Antara Obsesi, Kemelekatan dan Jalan Lurus



Apa bedanya Ibrahim yang mendapat wahyu mengorbankan anaknya agar bisa dekat dengan Tuhannya, orang Jawa jaman dulu mendapat wangsit menumbalkan anaknya demi mendapat kekayaan atau orang Indian Amerika mendapat petunjuk untuk menjadikan anaknya sebagai sesaji ritual tolak balak...?.


Sebenarnya hampir tidak ada, mereka sama-sama obsesif akan satu hal dan (maaf) sama-sama memiliki standar moral yang rendah. Gak perlu marah lagh bagi yang kadung memujanya, menganggapnya suci tanpa cela ^^


(Karakter) petunjuk yang didapat saat kita menjalani praktik-praktik mistik mencerminkan apa yang paling menjadi obsesi kita, bagaimana tingkat moralitas kita dan apa yang paling mungkin menjadi alat meledakkan energi agar obsesi kita itu bisa terwujud.


Anak adalah hal yang paling "melekat" pada diri umumnya orang. Diperlukan energi besar untuk melepaskan kemelekatan pada anak, tega-mampu mengorbankan anak akan berarti bangkitnya energi yang berguna untuk membantu mewujudkan apa yang menjadi obsesi seseorang. Tapi pasti, kalau sedari awal standar moral kita tinggi, obsesi terkendali, tidak mungkin kita akan mendapat petunjuk hal-hal yang merugikan siapapun saat menjalani praktik-praktik mistik termasuk petunjuk untuk mengorbankan anak. Petunjuk akan terfilter, hanya pelaku mistik yang egois-obsesif yang akan berpeluang mendapat petunjuk liar, tanpa batasan dan kendali, oportunistik.


Sedikit bedanya, Ibrahim sadar sebelum terlambat, nuraninya berontak-menolong-membimbing sebelum ego-obsesinya itu berhasil menjerumuskannya, sama seperti Werkudara yang segera ditolong nurani atau jati dirinya sebelum mati tenggelam di lautan kerena obsesinya akan "ilmu kasampurnan".


Kemelekatan-ego lahiriyah adalah penghalang utama kita dari pengetahuan, itulah sebenarnya yang hendak dilawan agama dari jaman ke jaman. Bagaimanapun absurdnya ritual mengorbankan anak, itu juga dalam rangka melepas sebuah kemelekatan. Orang-orang Katolik, Hindu, Buddha atau Sufi lebih memilih hidup asketik, sangat zuhud, mengasingkan diri bahkan selibat, jelas itu adalah satu upaya (tarikat) membatasi apa yang boleh melekat pada diri mereka.


Tepat sekali kata Yesus, "lebih mudah bagi onta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk surga" dan doa Muhammad, "Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin, dan masukkan aku ke dalam surga bersama orang-orang miskin". Yang diinginkan Yesus dan Muhammad tentu adalah dibatasinya kemelekatan pada harta, tidak menjadikan harta sebagai obsesi-aqidah-tauhid, penentu utama pemikiran, perilaku, standar moral, bahagia tidaknya seseorang. Sebab memang, selama kita masih sangat melekat-cinta pada dunia-ego, harta, tahta, wanita, etnis, bangsa bahkan surga..., pengetahuan akan kebenaran-jalan lurus-jalan menuju surga pasti akan terblokir...

Jumat, 22 Juni 2018

Betulkah Kita Beriman?



Kalau kita betul beriman tapi kemudian melakukan hal yang buruk-buruk, yang bertentangan dengan prinsip dasar iman kita, pasti, kita akan ditimpa azab seumur-umur, akan dikutuk dan diserang alam bawah sadar kita sendiri..., akan terjadi pertentangan dahsyat di dalam diri kita, yang pasti menguras nalar, energi dan konsentrasi kita.


Jadi, kalau ada orang beriman yang hobi korupsi, marah-marah, ngamukan, berbohong atau memfitnah tapi kok tampak baik-baik saja, kemungkinannya hanya ada dua, dia mengimani sesuatu yang salah atau dia sebenarnya tidak cukup beriman, imannya hanya sebatas di mulut-perasaan-klaim-tampilan saja, tidak sampai ke hati-alam bawah sadarnya atau bahkan dia munafik, pura-pura beriman saja.


Apa yang sungguh-sungguh kita imani akan membentuk pola energi-hukum-realitas diri yang sulit dimanipulasi, ditipu, disembunyikan.


Saya ini orang yang tak bisa bersandiwara, tak bisa romantis dan serius. Kalau saya bersandiwara, ETOK-ETOK romantis, galau atau galak misalnya, pasti, saya akan ngakak sendiri, atau kalau enggak, orang yang melihat saya yang akan ngakak. Pernah saya dulu berupaya ngromantisi wong KAE, eee..., bukannya de'e terbuai dan jatuh ke pelukan malah ngakak guling-guling..., ora luwes blas jarene nggonku belagak jadi LANANG SEJATI... ^^ Pernah saya dulu etok-etok NGGALAKI junior saya, eee..., setelah sukses, dianya tampak culun plus ketakutan parah, malah sayanya yang nyemprot nyembur gak bisa menahan tawa melihat lucu itu :D


Seperti itulah kira-kira dampak dari mengingkari realitas yang terbentuk dari iman..., berfikir, melihat atau berbuat sesuatu yang pada dasarnya tak sejalan dengan spirit-energi-vibrasi iman kita, sama saja sedang menyerang diri kita sendiri. Aa Gym kalau ditunjukkin keris, salib atau patung, kesenggol anjing atau babi, bisa kejang-kejang terserang stroke dia, bukan Allah yang menyebabkan itu, tapi dirinya sendiri, alam bawah sadarnya, imannya..., pun demikian dengan saya jika melihat janur kuning melengkung neng ngarep umahe wong manis KAE, salah kedaden bisa dadi wong EDAN anyaran kie hiks..., bukan edan karena diazab Allah tapi edan karena diazab keyakinan-harapan-obsesi saya sendiri...

Kamis, 21 Juni 2018

Tiada Tauhid Tanpa Makrifat



Kalau memang betul Ilah atau sesembahan kita itu eksis, nyata, dapat dijangkau, bukan sekedar FIKSI, mitos, dongeng atau angan-angan, siapapun yang menyembahnya, dari agama dan budaya manapun, akan memiliki dampak mental-spiritual yang sama. Akan terjadi penyelarasan vibrasi, spirit, kehendak..., akan terjadi "manunggaling kawula lan Gusti", penyatuan persepsi antara yang disembah dan yang menyembah dan antara sesama para penyembah.


Kenyataannya, banyak orang relijius sekarang mengklaim sangat keras kalau sesembahan mereka itu paling benar-eksis-otentik tapi bukti berkata lain. Bahkan masih dalam satu agama atau sekte saja, dampak mental-spiritual penyembahannya ibarat langit dan bumi. Yang satu makin relijius-makin rajin menyembah Tuhannya, menjadi makin egois, keras dan bengis..., sementara yang lain sebaliknya, makin lembut, baik hati dan tidak sombong. Yang satu (contoh: Front Pembela NGANU) saat berdoa memuji kebesaran Tuhan, spirit yang datang jelas adalah spirit ego-setan yang melumpuhkan kesadaran hingga titik terendahnya..., sementara yang lain (contoh: kaum Sufi), saat berdoa untuk lafal dan hal yang sama, dampaknya sebaliknya, melemahnya ego, menguatnya nurani, jati dirinya, menaikkan kesadaran atau makrifatnya. Kenyataan yang mencerminkan (sebagian besar) dari mereka sebenarnya hanya sedang menyembah Tuhan FIKSI, hanya menyembah nama, cerita, prasangka bahkan hawa nafsunya akan Tuhan, berhala tanpa wujud, bukan menyembah esensinya, senyatanya Tuhan.


(Jimat) kulit macan itu dibawa siapapun dan beragama apapun akan memiliki dampak spiritual yang sama, berpeluang mendatangkan khodam atau spirit-kekuatan macan saat "ditirakati" atau pemiliknya sedang dalam posisi sangat terdesak atau terancam. Pun demikian seharusnya Tuhan (yang nyata-benar), tauhid yang murni..., itu bukanlah perkara simbol, teori atau dogma melainkan perkara spirit-realitas yang harus digapai melalui pengamatan dan pengalaman, tarikat. Dia harusnya dipersepsikan sama oleh siapapun, dia harusnya menyatukan, bukan memicu perpecahan. Sheikh Siti Jenar, Mansyur Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi atau orang tercerahkan manapun dan dari tradisi agama apapun pasti memiliki persepsi yang sama tentang kebenaran atau Tuhan, akan "berbhinneka tunggal ika, tan hana darma mangrwa". Merekalah yang tauhidnya paling murni, Tuhannya esa, bukan hanya sekedar diklaim atau didudukkan sebagai murni dan esa...

Kamis, 31 Mei 2018

Kekerasan dan Jalan Lurus


Semakin kita terhubung dengan hati-kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tinggi kita, semakin kecil kemungkinan dan kecendrungan kita untuk memilih kekerasan sebagai "akidah", gaya hidup, cara utama kita mencapai tujuan-tujuan hidup kita termasuk tujuan-tujuan keagamaan kita. Kita hanya akan mau menggunakan kekerasan jika lahir-batin kita, nalar-hati kita mengetahui itu memang jalan yang efektif, bermaslahat lebih besar dan sudah tidak ada jalan lain yang bisa digunakan.


Kekerasan apapun dasar dan tujuannya tetaplah datang dari ego-hawa nafsu-setan kita. Sebagaimana sesuatu yang datang dari ego lainnya, dia tentu harus ditebus dengan harga yang teramat mahal yaitu berupa diturunkan atau direndahkannya standar-batasan moral kita-dibungkam dan bahkan dibunuhnya nalar dan hati kita. Tujuannya jelas, supaya ego kita menjadi lebih leluasa dalam menghasut dan mengeksploitasi, meminta "restu" fisik-emosi, alam bawah sadar kita-naluri rendah-primitif kita dalam membantu terpenuhinya kehendak-kehendaknya. Hanya dengan direndahkan-diturunkan standar-batasan moral kita, potensi kekuatan fisik-emosi, alam bawah sadar kita-naluri rendah-primitif kita yang kuat tapi "buta" itu akan sepenuhnya bangkit dan meledak, mau menjadi "budak" kita.


Praktik atau budaya kekerasan lahir dari minim atau sempitnya range pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki seseorang atau suatu masyarakat, lahir dari kejahilan dan kelemahan yang ditambah dengan tingginya ego-rendahnya moral. Dia menandakan kalau seseorang atau suatu masyarakat itu miskin jalan, bimbingan dan kekuatan sehingga membuatnya menjadi sangat kaku sekaligus spekukatif, terpaku hanya pada satu jalan, tidak memiliki alternatif jalan lain saat berusaha mewujudkan keinginan-keinginannya. 


Bagaimana tingkat kebenaran suatu agama jelas tercermin dari bagaimana cara agama itu menyikapi atau menghukumi kekerasan (dan hal-hal egoistik lainnya). Agama yang benar, baik dan tinggi tidak akan mungkin mengajarkan itu. Semakin minim agama mengajarkan, menghasut, atau merestui kekerasan, tidak peduli bagaimanapun tidak masuk akal ajarannya, agama itu pada akhirnya akan semakin mendekatkan pemeluknya pada jalan lurus, pada tauhid hakiki, pada kebenaran, pada pengetahuan, pada kekuatan, pada makrifat, pada pencerahan, pada Tuhan, pada surga...

Sabtu, 12 Mei 2018

Kenisbian Dogma



Melakukan atau tidak melakukan sesuatu, percaya atau tidak percaya sesuatu semata atas dasar janji surga dan ancaman neraka itu ironis..., akan memicu umat terus taklid-jumud, sulit membuatnya menjadi sadar-makrifat, memahami akar, alasan, hikmah dibalik janji dan ancaman itu..., sulit membuatnya mengerti apa yang harus dilakukan dan dipercaya dalam lingkup yang lebih luas dan rumit.


Apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, dipercaya atau tidak dipercaya oleh masyarakat itu hidup, berubah dan berkembang, mengalir mengikuti konteks-latar belakang, tempat, waktu, situasi dan kondisi, tidak bisa dikunci dengan dogma. Konsekwensinya, agama seharusnya tidak berpusat pada dogma-teks melainkan berpusat pada "laku-tarikat". Agama yang berpusat pada dogma secara teknis-logika akan berakhir saat hidup pendirinya juga berakhir. Wajar saja, dogma seindah atau sesempurna apapun tidak akan mampu mengikuti "aliran" apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan, dipercaya dan tidak dipercaya..., itu memerlukan pembaharu dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, situasi-kondisi ke situasi-kondisi, orang yang terus menjaga komunikasinya dengan Tuhan-alam semesta.


Agama yang (relatif) akan terjaga kebenaran-kemaslahatannya itu seperti perguruan silat atau sekolah modern, kebanggaan terbesarnya adalah saat murid menjadi lebih hebat dari pendiri atau guru-gurunya..., saat murid menemukan ide-ide, penemuan-penemuan atau ilmu-ilmu baru yang lebih hebat atau sempurna..., bukan malah menjadikan pendiri atau guru-gurunya sebagai ujung-batas ilmu, melebihinya dianggap ancaman, bid'ah atau sesat, menjadi dimusuhi.


Dan itu bisa dilihat dari fokus atau sisi dominan apa yang diajarkan agama. Jika agama lebih fokus-dominan mengajarkan-menunjukkan akar-sumber darimana asal agama berasal atau dengan kata lain, menunjukkan cara menciptakan (ajaran) agama, bukan malah mengunci-memaksa pengikut hanya mengcopy-paste ajaran (agama) yang sudah ada..., maka kebenaran agama itu akan (relatif) terjaga dari waktu ke waktu...

Kamis, 03 Mei 2018

Konsekwensi Hakiki Obsesi



Jika kita sangat terobsesi dengan seorang wanita, kita istikharah, berdoa, bertafakur atau menyepi berbulan-bulanpun tidak akan menghasilkan "sasmita", petunjuk atau pertanda yang benar tentang wanita itu. Hanya sasmita yang mendukung obsesi kita itu saja yang akan tampak dan terperhatikan. Sasmita-informasi buruk apapun tentang dia akan terblokir atau terabaikan, tidak dianggap, tidak akan membuat kita mempertimbangkannya.


Pun saat kita sangat terobsesi dengan surga, agama atau Tuhan, kita akan mabuk bahkan gila, kehilangan sebagian kesadaran kita. Kita tidak akan lagi mampu menangkap-menerima-memahami-mengikuti secara adil dan obyektif-proporsional sasmita atau petunjuk akan hakikat kebenaran dan kebaikan. Nalar kita melumpuh, hati menutup dan mati, takkan mampu lagi membimbing-menghidayahi kita lagi. Kita akan takut dan memusuhi bayangan, pamomong, jati diri bahkan Tuhan (yang benar) kita sendiri. Obsesi kita akan segera berubah menjadi "Tuhan" yang disembah dan diikuti, disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak. Kita akan mengira mendapat petunjuk Tuhan, Tuhan ada di pihak kita padahal hakikinya sebaliknya, kita hanya sedang mendapat petunjuk dari dan ada di pihak obsesi, ego, hawa nafsu atau setan kita.


Obsesi adalah bagian dari (upaya) ego atau hawa nafsu memperjuangkan kepentingannya, dia hanya memberi kita limpahan energi atau kekuatan (sugestif-emosional), tidak lebih dari itu. Sayangnya, dia memberi itu semua tidak gratis, harus dibeli dengan harga yang teramat mahal yaitu dengan mati dan terbungkamnya kecerewetan, kasih sayang, pengetahuan sisi-sisi tinggi kemanusiaan kita, nalar dan hati kita, pembimbing-penasihat hebat kita. Kenyataan yang akan membuat hidup kita mudah dan sering jatuh dalam tahayyul, spekulasi dan egoisme-pragmatisme-oportunisme ekstrim. Obsesi harus dikendalikan apalagi jika itu menyangkut sisi-sisi paling vital dari hidup-kemanusiaan kita, menyangkut lurus-tidaknya, baik-tidaknya hidup kita dan umat manusia secara keseluruhan.


Tidak ada gunanya istikharah jika kita masih terobsesi pada kecantikan, keseksian, ketampanan, kekayaan, kekuasaan. Istikharah hanya akan menjadi budak pendukung-pembenar obsesi kita itu saja. Pun juga, tidak ada gunanya kita berusaha mencari kebenaran jika kita masih terobsesi pada surga, agama atau Tuhan. Kebenaran akan tersimpangkan, terbajak dan terkudeta, hanya akan menjadi mimpi, ilusi, delusi bahkan halusinasi..., sekedar memenuhi-menyenangkan selera obsesi kita saja...

Senin, 30 April 2018

Tidak Menghakimi, Tidak Menzalimi



Ambon dulunya adalah daerah yang aman, damai, toleran, saling menghargai..., tapi coba lihat, hanya karena persoalan yang sangat sepele, dalam sekejap mata, Ambon berubah menjadi "neraka". Pun demikian yang terjadi dengan banyak daerah lain di Indonesia dan dunia. 


Mengapa itu bisa terjadi...?. Agama yang mereka peluk, mereka rusuh itu faktor dominannya bukanlah karena dipalak, dicuri, dianiaya atau yang lainnya melainkan karena keyakinan kalau orang Kristen atau Islam itu sesat, musuh Allah. Keyakinan yang seperti bom waktu, akhirnya meledak menjadi amukan, tidak tertanggungkan lagi untuk tubuh memendamnya. Palestina atau konflik lainnya menjadi masalah yang sangat sulit terselesaikan jelas penyebab dominannya juga sama, karena agama terlibat keras dalam konflik itu.


Untuk setiap kita memandang atau menghakimi rendah, buruk, salah atau dosa terhadap orang atau umat lain, kita menimbun satu energi amarah, semakin banyak yang ditimbun, semakin mungkin itu akhirnya akan meledak menjadi amukan, kekerasan atau kezaliman. Alam bawah sadar kita itu seperti matematika yang sangat jujur dalam menghitung, seperti ladang yang akan menumbuhkan apapun yang ditabur di atasnya. Hanya ada satu konsekwensi saat ditanamkan atasnya penghakiman rendah, buruk, salah atau dosa, yaitu dorongan untuk merubahnya, dan itu pasti, kecilnya dengan dakwah, berikutnya dengan tekanan-intimidasi hingga paksaan..., kalau tidak mau berubah juga, besarnya, bunuh.


Karenanya, bagaimanapun tampak baiknya, orang yang paling akan menjadi bahaya laten terhadap sesamanya tetaplah orang relijius (dogmatis-tekstual-organized), wajar saja, merekalah yang pasti akan menjadi yang paling sering-banyak menghakimi..., kebaikannya takkan menghentikan konsekwensi dari wirid-afirmasi buruk yang ditanamkan di alam bawah sadarnya..., itu akan tetap tumbuh dan berpotensi meledak sewaktu-waktu hanya dengan sedikit pemicu.


Membatasi apa yang dianggap rendah, buruk, salah, atau dosa itu sangat penting untuk menjaga diri kita dari peluang berlaku zalim. Kemaruk pada penghakiman memang nikmat, kita akan merasa pahlawan, baik, benar, penting, tahu..., tapi itu juga membawa kutukan kerasnya sendiri, yang bisa menghapus kebaikan seumur hidup kita hanya karena sekejap amarah yang tiba-tiba meledak, yang gagal dikendalikan.


Rendah, buruk, salah, dosa itu perkara hakikat yang "hidup", hanya orang orang-orang makrifat saja yang akan mampu memahaminya, kalau kita masih orang biasa, jangan pertaruhkan kemanusiaan kita untuk sesuatu yang kita tidak tahu persis duduk perkaranya...

Senin, 23 April 2018

Ego dan Wahyu



Bagaimana tingkat ego, keserakahan dan moralitas kita menentukan seberapa lebar range petunjuk, hidayah, ilham, wangsit atau wahyu saat kita menjalani "laku penyuwunan" atau riyalat.


Jika kita sangat egois-serakah sementara standar moral kita rendah, petunjuk akan memiliki range sangat lebar-banyak, tapi sayang, akan sangat oportunistik, apa saja mungkin-tersedia termasuk petunjuk untuk menjadi-berbuat jahat seperti menipu, memfitnah, memanipulasi, menteror hingga membunuh. Pernah mendengar cerita orang jaman dulu mengorbankan keluarga, tetangga, orang tua atau anaknya demi mendapatkan kekayaan atau kekuasaan?. Cerita itu benar, itulah salah satu contoh petunjuk yang akan didapat (saat menjalani laku spiritual) jika seseorang kelewat egois-serakah sementara di sisi lain, kelewat rendah moralitasnya. Kuat-berani mengorbankan sesama manusia apalagi orang terdekatnya akan berarti meledaknya energi mental-spiritual, membuat seseorang menjadi lebih mudah mewujudkan apapun yang menjadi obsesi, ego atau keserakahannya.


Hukum-hukum, fenomena, pola-pola yang terjadi pada dunia spiritual adalah proyeksi, cermin, gambaran sempurna konsekwensi, akibat, ujung dari sebuah pola pikir-perilaku yang terjadi di dunia nyata, ego akan menumbuhkan-menghasilkan ego (yang lebih besar). Banyaknya politisi dan agamawan kita sekarang yang gemar menghalalkan segala cara, berbohong, menghasut, memfitnah..., mengeksploitasi agama, golongan, etnis atau ras jelas adalah cermin tingginya ego atau keserakahan mereka. Sementara Tuhan, negara, rakyat, hanya dijadikan atas nama saja, kalau mereka tidak egois dan serakah, ide-ide kotor seperti itu takkan tumbuh-menghampiri kepala mereka. Orang-orang seperti itu, jikapun hidup dalam tradisi kuat agama atau spiritualitas, tetap takkan membuatnya jadi lebih baik, tetap hanya akan menjadikan itu sebagai sarana memenuhi ego-keserakahannya.


Jantung agama (dan spiritualitas) adalah pengendalian ego-keserakahan-hawa nafsu, semakin kuat-intensif agama mengajarkan itu, akan semakin tinggi kemungkinan agama itu mampu membawa penganutnya pada jalan lurus, pada kebenaran, pada kemaslahatan, pada Tuhan...

Sabtu, 21 April 2018

Agama dan Kehendak Alam



Agama pada dasarnya adalah persepsi-penilaian kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya atas apa (ajaran-adat-budaya-mitos) yang terbaik yang harus dipercaya-diterapkan pada satu masyarakat, satu waktu, satu tempat, satu situasi dan kondisi..., sesuatu yang sangat terikat pada konteks. Sementara "cerita" bagaimana agama datang, sepenuhnya tergantung budaya, prasangka dan ego-obsesi pendirinya. Jika pendirinya orang Yahudi atau Arab, tentu pendirinya akan "merasa" mendapat wahyu dari Jibril berikut menunjuk dirinya menjadi Nabi, jika pendirinya orang Jawa, mungkin merasa Sanghyang Wenanglah yang memberi wahyu, jika orang India, Wisnu, Brahma atau Syiwa.


Karena kenyataan itu, agama sebenarnya tidak bisa (secara kaku-ekstrim) dikunci-didogmakan-diorganisasikan atau diuniversalkan-disebarkan jauh dari tempat asalnya. Sebab dia akan segera kedaluwarsa seiring berubahnya konteks-alasan yang menjadi dasar munculnya agama itu-seiring berubahnya masyarakat, waktu, tempat, situasi dan kondisi. Satu-satunya sisi dari agama yang bisa dikunci-didogmakan-diorganisasikan, diuniversalkan-disebarkan jauh dari tempat asalnya adalah cara atau metode memahami apa yang terbaik itu, sisi laku-tarikat atau spiritual dari agama. Sebab hanya itulah yang akan membuat agama tetap mampu fleksibel-upgradable, mengalir mengikuti arah "terkini" kehendak alam sehingga tetap mampu pula membawa kemaslahatan bagi pengikutnya dimanapun dan kapanpun.


Seandainya sekarang muncul agama baru di sini (Indonesia), mungkin, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya akan mempersepsikan kalau hewan yang perlu diharamkan atau disucikan bukan lagi babi atau sapi melainkan harimau, badak, gajah, banteng, orang utan dan lain-lain..., logis saja, itu adalah hewan yang terancam punah, terus diburu, mengharamkan atau mensucikannya jelas akan berarti keselamatan-kelestariannya. Sementara "kuil" tersucinya adalah hutan dan gunung-gunung, wajar saja, itu adalah sumber air utama umumnya orang Indonesia, mensucikannya akan berarti berkah, kesehatan dan energi-kekuatan bagi siapa saja yang memanfaatkan air yang mengalir darinya.


Hampir semua seni, adat, budaya hingga filsafat asli-tradisional orang Jawa (atau banyak etnis lain) sejatinya juga merupakan agama sekalipun tidak mengklaim diri sebagai agama, dia adalah "non-organized religion". Dia memiliki akar-lahir dari sesuatu yang sama dengan agama-agama yang datang dari Timur Tengah, India, Eropa atau tempat lainnya yaitu kesadaran-pengetahuan lebih tinggi penciptanya. Orang Jawa jaman dulu bahkan untuk menciptakan sebuah lagu akan didahului dengan puasa atau meditasi hingga berhari-hari, wajar kemudian lagu-lagu yang tercipta akan memiliki kekuatan mantra atau doa seperti halnya mantra atau doa suci agama-agama. Jangan under-estimate atau menilainya rendah hanya karena itu "buatan" lokal, tidak serumit buatan asing..., dalam hal agama-spiritualitas, justru semakin sederhana, tidak terdogma atau terorganisasi (non-organized) akan semakin baik sebab dia akan semakin fleksibel, semakin mungkin untuk kompatible dengan kebutuhan nyata-hakiki-spesifik pengikutnya, akan semakin kecil kemungkinannya memicu konflik atau benturan...

Rabu, 18 April 2018

Tempat Suci Kita, Jimat Kita



Tempat suci adalah "jimat", sarana kita menimbun energi-memori positif. Seperti halnya jimat pada umumnya, tempat suci-kecilnya akan membantu kita "menggetarkan" alam semesta sehingga pikiran, perkataan, harapan, doa-doa kita menjadi lebih mudah terwujud atau dikabulkan..., sementara besarnya, tempat suci akan membantu kita mengheningkan diri, menghubungkan kita dengan jati diri kita-alam semesta, menggapai kesadaran, makrifat atau pencerahan.


Jelas adalah pengrusakan dan PENISTAAN besar kalau tempat suci sampai digunakan untuk tujuan yang sebaliknya, untuk membangun-menimbun energi-memori negatif seperti prasangka, amarah, kebencian, kedengkian, keserakahan, birahi. Itu sama saja mengencingi lumbung beras atau mata air sumber minum kita sendiri. Tempat suci akan kehilangan barokahnya, akan berubah menjadi tempat angker, penuh aura-energi negatif yang merusak, melemahkan, menjahilkan, menzalimkan, menutup hati. Ironis kalau ada orang yang-yangan di tempat suci, umat marah besar, dianggap itu mengotori tempat suci tapi ada orang yang berkata kotor penuh ego-hawa nafsu, umat mingkem bahkan mengira itu bagian dari ibadah-kesucian. Itu jelas adalah ego dan kejahilan berbajukan kebaikan dan Tuhan, umat gagal makrifat terhadap apa-apa yang hakikinya baik bagi tempat sucinya sendiri.


Tempat dan benda apapun di sekitar kita adalah memori-ladang yang akan merekam dan menumbuhkan apapun energi yang dipaparkan kepadanya. Lindungi, bela dan sucikanlah tempat suci kita dengan hanya berfikir, berkata, berdoa dan berbuat yang baik-baik saja saat kita ada di dalamnya. Sebab tanpa itu, nasib tempat suci pada akhirnya tidak akan jauh beda dengan mall, diskotik atau rumah NGANU, bukan Tuhan yang ada di dalamnya, tapi setan..., bukan berkah, keberuntungan dan jalan lurus yang kita dapat, tapi musibah, kerugian dan kesesatan...