Agama itu seperti obat, justru dialah yang paling perlu diuji, didiskusikan, dikritisi bahkan (kalau perlu) diolok-olok, dinista dan dicaci-maki jika memang tidak sesuai dengan fakta-fakta sains atau hukum-hukum dasar moral-spiritualitas..., bukan malah dikultuskan, ditabukan, diberhalakan, tidak boleh disenggol sedikitpun.
Wajar saja, dia-agama menyangkut sisi paling vital dan berharga dari hidup kita, yang menjadi pertaruhan akan baik atau tidaknya kita, selamat atau tidaknya kita, bisa menjadi manusia yang seutuhnya atau tidak kita. Obat dan agama yang paling tahan bantinglah yang paling layak dipercaya, paling mungkin datang dari sang maha benar..., bukan yang bahkan "disenggol" sedikit aja pengikutnya takut dan marah, menganggap itu ancaman dan penghinaan.
Orang yang marah saat agamanya dikritisi itu seumpama orang yang marah saat diberitahu SUSU kuda liar secara ilmiah ternyata tidak punya khasiat apa-apa, pasti, dia marah semata karena sumber penghasilannya terancam atau karena harapan, imajinasi, sugesti, delusi, mimpi indahnya tentang susu kuda liar berusaha dibangunkan, dia menolak realitas kalau sakitnya mungkin tak bisa disembuhkan hanya dengan SUSU..., dia menolak realitas kalau agamanya mungkin takkan mampu membawanya pada kebenaran-jalan lurus, surga, Tuhan..., dia marah karena egonya diganggu..., dia marah pada pahlawannya sendiri.
Daripada mengimani agama yang terus berusaha "disusu kuda liarkan", dijimatkan atau diberhalakan, terus menolak diuji dan dikritisi, dihidupi hanya dari kepercayaan, sugesti, delusi, mimpi, imajinasi, ego-hawa nafsu-kepentingan pemeluknya, lebih baik mengimani keris atau batu cincin saja, dampak mental-spiritualnya 100% sama, tapi dampak buruknya pasti lebih minimal...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar