Di dekat rumahku yang di pojok kampung ini, ada sebuah tikungan jalan yang dulu dikenal angker, wingit kepati-pati. Tikungan ini jelas telah merampas sebagian besar kegembiraan masa kecilku. Saat terang bulan, hampir tidak pernah saya berani keluar rumah sendirian untuk bermain bersama teman-teman, pun saat ada acara hiburan malam, sering saya hanya bisa gigit jari. Memang, sesekali saya berani keluar malam, tapi pulangnya pasti akan gemetar menggigil ketakutan saat melewati tikungan itu.
Bukan tanpa alasan tikungan itu dianggap angker, kanan-kirinya adalah kebun bambu dengan semak belukar yang rimbun tak terurus, beberapa makam tua juga ada di kebun itu. Kalau malam datang, suasana menjadi gelap dan dingin, maklum, tidak ada satupun rumah di dekatnya, rumahku adalah yang terdekat. Di ujung tikungan itu ada tebing sungai yang dipenuhi pohon-pohon besar dengan akar-akar yang menyembul dan menggantung, bekas kulit ular nglungsungi pating klawer menandakan tebing itu dihuni banyak ular. Tidak jauh dari tikungan itu ada gudang besar yang kosong, rusak, kotor, tak terurus dan terjamah. Kecelakaan cukup sering terjadi di tikungan itu, ban pecah, buljoin copot, atau bahkan motor atau mobil tiba-tiba nyelonong nyungsep di semak-semak hingga nyemplung ke sungai adalah hal biasa. Saya sendiri heran, dulu mendengar bunyi ban meletus kok kayaknya jadi agenda rutin, sebentar-sebentar tor, sebentar-sebentar tor.
Berbagai "spesies" hantu konon menghuni tikungan itu, hantu jaring (antu brojo), saleh (hantu berpenampilan seperti orang soleh, kyai, haji), hingga HANTU WANITA CANTIK BERPAYUNG konon sering menampakkan diri. Saya sendiri pernah melihat benda mirip keris tapi tanpa gagang dan luk bersinar terang kemerahan terbang di depanku. Pernah saya (entah mimpi atau hanya halusinasi, saya ragu, maklum masih kecil) saat pulang malam dari bermain, saya melihat gudang kosong di dekat tikungan itu tampak terang benderang, suasana sangat riuh, terdengar alunan musik, sepertinya ada orang berpesta di dalamnya, tapi setelah besoknya saya periksa, gudang itu tenyata masih tetap kotor tak terurus, tak ada tanda-tanda bekas orang berpesta. Pernah juga saat saya sakit dan digendong ibu hendak dibawa ke mantri, saya melihat burung sangat besar menatap saya tajam sambil mengepakkan sayapnya di salah satu pohon dekat tikungan itu, saya ketakutan dan kemudian ndusel di punggung ibu, kata ibu itu cuman burung kokok beluk gak usah takut, mosok kokok beluk segede rajawalinya Brama Kumbara..?, protesku waktu itu.
Dari sekian banyak spesies hantu itu, yang cukup fenomenal dan ditakuti (terutama oleh para lelaki apalagi yang hidung belang atau bujangan) adalah hantu wanita cantik berpayung. Konon kabarnya, hantu itu akan muncul jika terjadi hujan gerimis saat sande kala atau menjelang matahari terbenam, paling rawan muncul adalah saat seharian hujan menyisakan gerimis di sore hari. Hantu itu akan menawari tumpangan payung pada lelaki yang lewat di tikungan itu. Siapapun lelaki yang tergoda alias mau menerima tawarannya, dia akan "diselong", menghilang terlempar ke alam lain tanpa tahu kapan akan kembali. Cukup mengerikan, apalagi bagi mereka yang merasa mata wadonan atau hidung belang.
Cerita tentang hantu wanita cantik berpayung itu menjadi semakin dramatis setelah satu tetangga saya konon menjadi korbannya, dia seorang bujang kiring alias lapuk. Dia pernah tiba-tiba menghilang dari kampung, beberapa tahun kemudian dia kembali lagi, tapi dalam keadaan agak linglung. Dia kemudian bercerita kalau suatu sore sepulang dari membeli minyak tanah, hujan rintik-rintik, saat melewati tikungan itu, dia dihampiri seorang wanita cantik membawa payung, dia kemudian menawari tumpangan payungnya itu, "ayo mas daripada kehujanan dingin ikut saya aja, gratis kok", barangkali seperti itulah cara wanita itu menawarkan payungnya, sambil pesam-pesem, kedap-kedip ngguya-ngguyu tentunya. Dia-tetangga saya itu mengaku menerima tawaran wanita itu, tapi setelahnya dia terlempar ke alam lain, entah dimana, seperti mimpi, sadar-sadar sudah kembali di kampungnya, tertidur nyungsep di halaman rumahnya.
Yang jelas, sekarang tikungan itu sudah tidak tampak angker lagi, kebun bambu sudah dibabat dan diganti deretan rumah, gudang tua sudah dibongkar dan diganti taman bermain, tebing sungai sudah longsor dan diganti turap beton, pun dengan makam tua, sudah hanyut terbawa banjir, lampu neon besar juga sudah terpasang menerangi tikungan itu. Uniknya, sejak "modernisasi" itu, tidak ada lagi "kesaksian" orang melihat hantu di tikungan itu. Hantu ternyata kalah dengan modernisasi, kalah dengan rumah dan lampu. Pertanyaannya, apakah pengalaman dramatis saya dan banyak orang lain tentang adanya hantu di tikungan itu dulu memang nyata...?. Awalnya saya sulit untuk mengakui itu sebagai tidak nyata, tapi sekarang saya harus mengakui, mungkin ketakutan kitalah yang membuat hantu itu tampak ada padahal sejatinya tidak ada...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar