Mengagamakan atau mensakralkan pengalaman spiritual yang dialami seseorang hanya akan memicu kultus atau pemberhalaan yang berbahaya, akan mengunci dan membekukan, menutup peluang datangnya pengalaman spiritual yang lebih baik-sempurna-universal dari orang berbeda. Pengalaman spiritual itu sesuatu yang biasa, mudah dicapai, tidak layak dijadikan agama atau dipandang sebagai pengalaman benar-suci. Bertemu Tuhan, Malaikat atau Dewa-Dewa itu bisa dilakukan siapa saja asal mempercayainya dan punya tekad bertemu dengannya. Perkara Tuhan, Malaikat atau Dewa-Dewa yang ditemui itu asli atau palsu, itu urusan lain, siapa juga yang bisa menjamin Tuhan, Malaikat, Dewa-Dewa yang ditemui orang-orang jaman dulu ITU asli...?. Orang Jawa atau Indonesia itu memiliki peluang yang sama dengan orang India, Yahudi atau Arab, jangan pernah merasa inferior.
Satu-satunya hal yang pantas diagamakan yaitu jalan-jalan menuju dicapainya pengalaman spiritual itu berikut batas-batas apa yang boleh dipercaya-diikuti dan tidak boleh dipercaya-diikuti, boleh disampaikan pada orang lain atau tidak boleh disampaikan pada orang lain saat kita mengalaminya. Pengalaman spiritual yang isinya bertentangan dengan nalar dan hati-nurani-prinsip kemaslahatan harus ditolak biarpun yang menyampaikannya ngaku-ngaku Tuhan, Jibril atau Wisnu..., itu jelas tidak lebih dari setan, perwujudan dari ego-hawa nafsu kita. Kalau kita mendapat petunjuk menyembelih anak, kafir, 40 perawan, 100 pandita dll demi mendekatkan diri pada Tuhan, meraih kekuasaan atau harta, itu bukan untuk diikuti, hanya pantas dijadikan cermin kalau ego kita ternyata masih begitu tinggi..., hati kita masih begitu kotor dan rendah. Ego yang rendah-hati yang jernih-suci akan membuat pengalaman-petunjuk spiritual menjadi tersaring, hanya yang baik dan benar saja yang akan "berani" datang, tidak menjadi pragmatis-oportunistik, semuanya masuk asal menguntungkan diri pribadi atau kelompok kita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar