Sabtu, 23 Juni 2018

Antara Obsesi, Kemelekatan dan Jalan Lurus



Apa bedanya Ibrahim yang mendapat wahyu mengorbankan anaknya agar bisa dekat dengan Tuhannya, orang Jawa jaman dulu mendapat wangsit menumbalkan anaknya demi mendapat kekayaan atau orang Indian Amerika mendapat petunjuk untuk menjadikan anaknya sebagai sesaji ritual tolak balak...?.


Sebenarnya hampir tidak ada, mereka sama-sama obsesif akan satu hal dan (maaf) sama-sama memiliki standar moral yang rendah. Gak perlu marah lagh bagi yang kadung memujanya, menganggapnya suci tanpa cela ^^


(Karakter) petunjuk yang didapat saat kita menjalani praktik-praktik mistik mencerminkan apa yang paling menjadi obsesi kita, bagaimana tingkat moralitas kita dan apa yang paling mungkin menjadi alat meledakkan energi agar obsesi kita itu bisa terwujud.


Anak adalah hal yang paling "melekat" pada diri umumnya orang. Diperlukan energi besar untuk melepaskan kemelekatan pada anak, tega-mampu mengorbankan anak akan berarti bangkitnya energi yang berguna untuk membantu mewujudkan apa yang menjadi obsesi seseorang. Tapi pasti, kalau sedari awal standar moral kita tinggi, obsesi terkendali, tidak mungkin kita akan mendapat petunjuk hal-hal yang merugikan siapapun saat menjalani praktik-praktik mistik termasuk petunjuk untuk mengorbankan anak. Petunjuk akan terfilter, hanya pelaku mistik yang egois-obsesif yang akan berpeluang mendapat petunjuk liar, tanpa batasan dan kendali, oportunistik.


Sedikit bedanya, Ibrahim sadar sebelum terlambat, nuraninya berontak-menolong-membimbing sebelum ego-obsesinya itu berhasil menjerumuskannya, sama seperti Werkudara yang segera ditolong nurani atau jati dirinya sebelum mati tenggelam di lautan kerena obsesinya akan "ilmu kasampurnan".


Kemelekatan-ego lahiriyah adalah penghalang utama kita dari pengetahuan, itulah sebenarnya yang hendak dilawan agama dari jaman ke jaman. Bagaimanapun absurdnya ritual mengorbankan anak, itu juga dalam rangka melepas sebuah kemelekatan. Orang-orang Katolik, Hindu, Buddha atau Sufi lebih memilih hidup asketik, sangat zuhud, mengasingkan diri bahkan selibat, jelas itu adalah satu upaya (tarikat) membatasi apa yang boleh melekat pada diri mereka.


Tepat sekali kata Yesus, "lebih mudah bagi onta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk surga" dan doa Muhammad, "Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin, dan masukkan aku ke dalam surga bersama orang-orang miskin". Yang diinginkan Yesus dan Muhammad tentu adalah dibatasinya kemelekatan pada harta, tidak menjadikan harta sebagai obsesi-aqidah-tauhid, penentu utama pemikiran, perilaku, standar moral, bahagia tidaknya seseorang. Sebab memang, selama kita masih sangat melekat-cinta pada dunia-ego, harta, tahta, wanita, etnis, bangsa bahkan surga..., pengetahuan akan kebenaran-jalan lurus-jalan menuju surga pasti akan terblokir...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar