Kamis, 21 Juni 2018

Tiada Tauhid Tanpa Makrifat



Kalau memang betul Ilah atau sesembahan kita itu eksis, nyata, dapat dijangkau, bukan sekedar FIKSI, mitos, dongeng atau angan-angan, siapapun yang menyembahnya, dari agama dan budaya manapun, akan memiliki dampak mental-spiritual yang sama. Akan terjadi penyelarasan vibrasi, spirit, kehendak..., akan terjadi "manunggaling kawula lan Gusti", penyatuan persepsi antara yang disembah dan yang menyembah dan antara sesama para penyembah.


Kenyataannya, banyak orang relijius sekarang mengklaim sangat keras kalau sesembahan mereka itu paling benar-eksis-otentik tapi bukti berkata lain. Bahkan masih dalam satu agama atau sekte saja, dampak mental-spiritual penyembahannya ibarat langit dan bumi. Yang satu makin relijius-makin rajin menyembah Tuhannya, menjadi makin egois, keras dan bengis..., sementara yang lain sebaliknya, makin lembut, baik hati dan tidak sombong. Yang satu (contoh: Front Pembela NGANU) saat berdoa memuji kebesaran Tuhan, spirit yang datang jelas adalah spirit ego-setan yang melumpuhkan kesadaran hingga titik terendahnya..., sementara yang lain (contoh: kaum Sufi), saat berdoa untuk lafal dan hal yang sama, dampaknya sebaliknya, melemahnya ego, menguatnya nurani, jati dirinya, menaikkan kesadaran atau makrifatnya. Kenyataan yang mencerminkan (sebagian besar) dari mereka sebenarnya hanya sedang menyembah Tuhan FIKSI, hanya menyembah nama, cerita, prasangka bahkan hawa nafsunya akan Tuhan, berhala tanpa wujud, bukan menyembah esensinya, senyatanya Tuhan.


(Jimat) kulit macan itu dibawa siapapun dan beragama apapun akan memiliki dampak spiritual yang sama, berpeluang mendatangkan khodam atau spirit-kekuatan macan saat "ditirakati" atau pemiliknya sedang dalam posisi sangat terdesak atau terancam. Pun demikian seharusnya Tuhan (yang nyata-benar), tauhid yang murni..., itu bukanlah perkara simbol, teori atau dogma melainkan perkara spirit-realitas yang harus digapai melalui pengamatan dan pengalaman, tarikat. Dia harusnya dipersepsikan sama oleh siapapun, dia harusnya menyatukan, bukan memicu perpecahan. Sheikh Siti Jenar, Mansyur Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi atau orang tercerahkan manapun dan dari tradisi agama apapun pasti memiliki persepsi yang sama tentang kebenaran atau Tuhan, akan "berbhinneka tunggal ika, tan hana darma mangrwa". Merekalah yang tauhidnya paling murni, Tuhannya esa, bukan hanya sekedar diklaim atau didudukkan sebagai murni dan esa...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar