Agama pada dasarnya adalah persepsi-penilaian kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya atas apa (ajaran-adat-budaya-mitos) yang terbaik yang harus dipercaya-diterapkan pada satu masyarakat, satu waktu, satu tempat, satu situasi dan kondisi..., sesuatu yang sangat terikat pada konteks. Sementara "cerita" bagaimana agama datang, sepenuhnya tergantung budaya, prasangka dan ego-obsesi pendirinya. Jika pendirinya orang Yahudi atau Arab, tentu pendirinya akan "merasa" mendapat wahyu dari Jibril berikut menunjuk dirinya menjadi Nabi, jika pendirinya orang Jawa, mungkin merasa Sanghyang Wenanglah yang memberi wahyu, jika orang India, Wisnu, Brahma atau Syiwa.
Karena kenyataan itu, agama sebenarnya tidak bisa (secara kaku-ekstrim) dikunci-didogmakan-diorganisasikan atau diuniversalkan-disebarkan jauh dari tempat asalnya. Sebab dia akan segera kedaluwarsa seiring berubahnya konteks-alasan yang menjadi dasar munculnya agama itu-seiring berubahnya masyarakat, waktu, tempat, situasi dan kondisi. Satu-satunya sisi dari agama yang bisa dikunci-didogmakan-diorganisasikan, diuniversalkan-disebarkan jauh dari tempat asalnya adalah cara atau metode memahami apa yang terbaik itu, sisi laku-tarikat atau spiritual dari agama. Sebab hanya itulah yang akan membuat agama tetap mampu fleksibel-upgradable, mengalir mengikuti arah "terkini" kehendak alam sehingga tetap mampu pula membawa kemaslahatan bagi pengikutnya dimanapun dan kapanpun.
Seandainya sekarang muncul agama baru di sini (Indonesia), mungkin, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya akan mempersepsikan kalau hewan yang perlu diharamkan atau disucikan bukan lagi babi atau sapi melainkan harimau, badak, gajah, banteng, orang utan dan lain-lain..., logis saja, itu adalah hewan yang terancam punah, terus diburu, mengharamkan atau mensucikannya jelas akan berarti keselamatan-kelestariannya. Sementara "kuil" tersucinya adalah hutan dan gunung-gunung, wajar saja, itu adalah sumber air utama umumnya orang Indonesia, mensucikannya akan berarti berkah, kesehatan dan energi-kekuatan bagi siapa saja yang memanfaatkan air yang mengalir darinya.
Hampir semua seni, adat, budaya hingga filsafat asli-tradisional orang Jawa (atau banyak etnis lain) sejatinya juga merupakan agama sekalipun tidak mengklaim diri sebagai agama, dia adalah "non-organized religion". Dia memiliki akar-lahir dari sesuatu yang sama dengan agama-agama yang datang dari Timur Tengah, India, Eropa atau tempat lainnya yaitu kesadaran-pengetahuan lebih tinggi penciptanya. Orang Jawa jaman dulu bahkan untuk menciptakan sebuah lagu akan didahului dengan puasa atau meditasi hingga berhari-hari, wajar kemudian lagu-lagu yang tercipta akan memiliki kekuatan mantra atau doa seperti halnya mantra atau doa suci agama-agama. Jangan under-estimate atau menilainya rendah hanya karena itu "buatan" lokal, tidak serumit buatan asing..., dalam hal agama-spiritualitas, justru semakin sederhana, tidak terdogma atau terorganisasi (non-organized) akan semakin baik sebab dia akan semakin fleksibel, semakin mungkin untuk kompatible dengan kebutuhan nyata-hakiki-spesifik pengikutnya, akan semakin kecil kemungkinannya memicu konflik atau benturan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar