Rabu, 04 April 2018

Antara Agama dan Sandiwara Radio



Jaman saya kecil dulu (sekitar SD hingga awal SMP), saya adalah penggemar berat sandiwara radio. Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Misteri Nini Pelet dll pernah rutin saya dengar seri demi seri hingga tamat. Saya hampir tak bisa melewatkan satu seripun, apapun saya korbankan demi tetap mendengarnya. Waktu itu saya mengira-berfikir kalau cerita-adegan dalam sandiwara radio (dan juga film, dongeng, novel, cerpen dll) itu sesuatu yang nyata terjadi, saya tidak cukup kritis, tidak mempertanyakan bagaimana proses sesuatu yang saya yakini "nyata" itu bisa tersaji di radio.


Entah berkah atau musibah, suatu hari saya melihat kupasan-liputan proses membuat sandiwara radio di TVRI, kalau tidak salah di acara Apresiasi Film Indonesia..., ternyata cuman "gitu". Saya terguncang dan bersedih, saya berusaha menyangkalnya, untuk beberapa tahun, saya masih (berusaha) tidak mempercayainya. Mosok siech, cerita yang terasa begitu "serius", indah, dramatis dan menghibur itu ternyata cuman bohongan, rekayasa, dibuat bahkan sambil cekikikan...?. Saya tetap dan terus mabuk sandiwara radio, hanyut dalam setiap cerita demi ceritanya, tetap menjadi marah, takut, senang, sedih mengikuti alur emosi yang dibangun sang sutradara.


(Sebagian besar) "cerita" agama itu sebenarnya persis seperti cerita sandiwara radio, film, dongeng, novel, cerpen dll (di mata kita waktu kecil), begitu indah, dramatis, menghibur, mencandu, mengaduk-aduk emosi kita, sering dikira nyata tapi hakikatnya tetaplah tak lebih dari imajinasi. Saat kita tahu proses membuatnya, kita akan "patah hati", merasa hampa, galau, sedih, takut, putus asa..., bagi kita yang lemah, bodoh dan egois, akan berusaha terus menyangkalnya, sulit untuk ikhlas menerima kenyataan pahit itu, sama seperti saya dulu sulit mengikhlaskan kenyataan kalau sandiwara radio itu tidak lebih dari gurauan, produk imajinasi yang dibuat dengan maksud hanya untuk sekedar mendapatkan uang. Lihat tuch, saking kuatnya penyangkalan, banyak orang relijius sekarang sudah sampai taraf gila dalam memelintir-melintir, menekuk-nekuk, mencocok-cocokkan (ayat) agama agar tampak selaras dengan sains, akal sehat dan nurani, mereka tidak menerima realitas apapun yang merongrong imajinasi-iman indahnya.


Kekuatan sejati ada pada menerima kebenaran-kenyataan sekalipun pahit, bukan kuat menyangkalnya hanya karena itu terasa manis, menyenangkan dan menguntungkan. Kebenaran sejati hanya untuk orang yang siap, ikhlas, pasrah menerima itu apapun konsekwensinya, bukan untuk orang yang masih dipenuhi pamrih, prasangka, harapan, angan-angan, ego-hawa nafsu atas apa yang dianggapnya benar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar