Senin, 25 Desember 2017

Yang Menyembah, yang Mendapat Berkah



Sangat sering saya mendengar perkataan yang bernada mengejek atau merendahkan dari orang-orang yang fanatik agama asing, "agama asli Nusantara adalah menyembah pohon dan batu", katanya. Intinya, mereka hendak menghakimi agama asli Nusantara sebagai kuno, tidak bermutu, tidak lengkap, tidak masuk akal, tidak sempurna, tidak bisa dijadikan pedoman.


Bahkan, menyembah pohon dan batu (termasuk menyembah gunung, sungai, lautan dan lain sebagainya) masih jauh lebih baik jika ternyata itu lebih mampu mengkhusukkan-mengheningkan, meluruhkan ego kita daripada menyembah dewa-dewa agung dan suci atau Tuhan yang maha esa tapi hanya sambil lalu..., tapi justru memicu meningginya ego kita, membuat kita menjadi sombong, merasa lebih benar, lurus, terhormat, terpelajar, berpengetahuan, rasional dan beradab dibanding orang atau pemeluk agama lain termasuk agama asli Nusantara.


Pohon dan batu itu secara default mempunyai sifat netral, sama seperti goa Hiro, sungai Gangga atau bukit Tursina, setinggi-tingginya penyembahan kita terhadapnya, tidak akan memicu tertransfernya energi negatif-buruk apapun kepada kita. Sementara menyembah dewa-dewa agung atau suci, Tuhan yang maha esa, bisa menjadi sangat berbahaya jika kita gagal mengenali sifat-sifat dan kehendak hakikinya, akan membuat kita tergelincir dan tersesat, berakhir menjadi hanya menjadi penyembah dongeng, mitos, tahayyul, pendiri-tokoh agama, ego-hawa nafsu dan prasangka atau harapan kita.


Muhammad bermeditasi di goa Hiro, Buddha Gautama bermeditasi di bawah pohon Bodi, Musa bermeditasi di bukit Tursina, pertapa-pertapa Hindhu bermeditasi di gunung Himalaya. Menyembah pohon dan batu atau bentuk-bentuk alam lainnya itu adalah awal atau sumber dari lahirnya agama-agama (asing) yang diklaim modern. Jelas tidak masuk akal kalau justru penganut agama-agama modern itu malah merendahkannya, itu sama saja merendahkan satu "guru", asal muasal atau sumber kawruh-ilmu tertinggi mereka sendiri.


Tujuan hakiki dari penyembahan dalam segala bentuk dan bajunya adalah terkuasainya ego-hawa nafsu, panca indra. Ego-hawa nafsu, panca indra yang terkuasai akan berarti datangnya kawruh, petunjuk atau pengetahuan, berkat dan rahmat. Jangan pernah merendahkan atau mempermasalahkan apapun obyek yang disembah seseorang. Selama yang disembah itu masih mampu mengkhusukkannya, membawa pada terkuasainya ego-hawa nafsu-panca indranya, orang itu berada dalam arah menuju kebenaran hakiki..., menuju jalan lurus, pencerahan, makrifat...

Mukjizat Dibalik Bidah



Apa yang hakikinya baik atau maslahat bagi seseorang, suatu kaum, suatu bangsa atau umat manusia secara keseluruhan itu selalu berubah, berkembang dan berganti seiring berubahnya waktu, tempat, situasi dan kondisi yang melingkupinya.


Karenanya, pembaruan, inovasi atau bid'ah termasuk dalam syariat, ajaran atau aturan agama adalah keharusan, "panggilan", "aliran" yang harus terus berusaha dipahami, didorong dan diikuti. Itu adalah sunatullah, hukum dasar alam semesta-kehendak hakiki Tuhan yang tidak bisa dilawan atau diingkari kalau seseorang, suatu kaum, suatu bangsa atau umat manusia secara keseluruhan ingin tetap eksis, ingin tetap menjadi "khalifah" di muka bumi ini. Berusaha mengingkari atau melawannya adalah bentuk kesombongan, kebodohan, kegelapan, bid'ah, syirik, kekafiran tertinggi secara hakikat..., yang akan memicu azab, hukuman atau musibah dalam segala bentuknya.


Satu-satunya sunatullah, hukum dasar alam semesta-kehendak hakiki Tuhan yang pasti, tidak berubah atau berganti adalah hukum sebab akibat, tabur tuai, karma. Agama manapun pasti dan harus menjadikan itu sebagai aqidah atau pokok keimanan, harus mengikatkan diri pada prinsip-hukum itu tanpa syarat. Sebaliknya, prinsip-hukum itu tidak bisa diikat atau dimanipulasi oleh agama manapun, suatu agama hanya bisa memberinya "baju-bingkai" atau "cerita-dongeng" tentangnya, sementara esensinya tetaplah bebas dan universal. Orang yang berbuat jahat siapapun dia, beragama apapun, siapapun korbannya dengan niat apapun tetaplah pendosa, sedang menanam keburukan bagi dirinya sendiri.


Agama yang baik, yang lurus, yang benar bukanlah agama yang murni, yang asli, yang anti bid'ah, justru sebaliknya, agama yang membolehkan, memfasilitasi bahkan mendorong lahirnya bid'ah, mendorong dibentuknya ajaran, aliran, sekte atau bahkan agama baru, dengan catatan, bid'ah itu timbul dari kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, dari akal dan hati kita..., bukan bid'ah yang timbul dari kepentingan, "tipu daya" ego-hawa nafsu kita. Sebab hanya dengan itu, misi hakiki agama akan tetap terjaga dan tercapai, tetap mampu menjaga umat manusia pada kebaikannya, senantiasa dekat pada sunatullah, hukum dasar alam semesta, kehendak hakiki Tuhan... 

Kamis, 21 Desember 2017

Kiblat Agama



Orang-orang keturunan Jawa di Suriname (terletak di Amerika Selatan) kalau membangun masjid biasanya arah kiblatnya akan sama dengan arah kiblat saat mereka masih tinggal di Jawa yaitu menghadap arah barat.


Secara sains, geografi, matematika, menentukan kiblat dengan cara seperti itu jelas sangat keliru. Menghadap barat di Suriname tidaklah memiliki konsekwensi sama dengan menghadap barat di Jawa yang akan berarti sama dengan menghadap kiblat atau ka'bah, bahkan justru sebaliknya, akan berarti membelakangi kiblat-ka'bah. Bumi ini bulat, jauh lebih dekat jarak antara Suriname ke Mekah jika ditempuh melalui arah timur daripada ditempuh melalui arah barat, konsekwensinya, arah kiblat harusnya juga menghadap timur, bukan barat.


Bagaimanapun itu adalah pelajaran sangat berharga, satu satir getir, cermin "gunung es" gagalnya penganut agama memahami makna-tujuan hakiki dari ajaran-perintah agamanya sendiri. Untungnya, yang disalah-pahami hanya kiblat fisik ibadah, salah menentukan arah kiblat fisik tidaklah memiliki konsekwensi buruk apapun. Bagaimana kalau yang disalahpahami adalah kiblat hakikat-tujuan hakiki beragama?. Sudah pasti itu akan menjadi masalah bahkan musibah besar..., yang akan membuat agama kehilangan fungsi-tujuan hakikinya, akan membuat agama justru menjadi musuh ilmu, pengetahuan, kemanusiaan, peradaban, kesadaran, pencerahan. Dan itulah kenyataan yang sekarang ini justru banyak terjadi.


"Kiblat" agama adalah kemaslahatan-kebaikan, rahmatan lil'alamin, memayu hayuning bawana. Dan kiblat itu "hidup", memiliki sifat bebas, mengalir, fleksibel, berubah dan berkembang mengikuti berubahnya ruang, waktu, situasi, kondisi, konteks..., tidak bisa diikat, dibingkai, dibungkus secara keras dengan tradisi atau teks-teks agama. Tradisi atau teks agama yang baik diterapkan pada satu tempat, waktu, orang atau kaum, belum tentu akan baik pula jika ditempatkan pada tempat, waktu, orang atau kaum yang berbeda.


Sayangnya, akibat kakunya para penganut agama memegang tradisi, adat, kebiasaan dan teks-teks agama ditambah mewabahnya kebodohan serta kuatnya pengaruh ego-hawa nafsu, kiblat itu sering berubah, bergeser bahkan berbalik, menyimpang sangat jauh..., menjadi berkiblat pada ego-hawa nafsu yang memicu mudarat-keburukan, azab-musibah bagi alam semesta, disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak...

Rabu, 20 Desember 2017

Kutukan Mayoritas



Kehidupan beragama dalam masyarakat tanpa ditopang "kesadaran" itu memiliki pola-mekanisme yang sama dengan kehidupan berharta, bertahta atau berwanita, semakin ditumpuk-banyak-menjadi mayoritas, akan semakin melalaikan, menggelapkan, membodohkan, menjumudkan, mengkorupkan dan menzalimkan.


Siklus Polibios atau "cakra manggilingan" akan juga berlaku pada kehidupan beragama. Kejayaan, kemapanan, kesalehan (lahiriyah) atau kemayoritasan sudah pasti akan memicu kelalaian, kelalaian memicu kelemahan, kelemahan memicu kehancuran, kehancuran memicu pembelajaran, pembelajaran memicu pencerahan, pencerahan memicu kejayaan, kejayaan memicu kelalaian, kelalaian memicu kelemahan dan seterusnya.


Wajar saja, dalam posisi kuat-berkuasa-mayoritas atau kaya, terlalu sulit bagi siapapun untuk mampu tetap "sadar", menjaga empatinya, menjaga sikap adilnya, menjaga sikap zuhudnya, menjaga sikap waspadanya. Kenikmatan-kesenangan yang diperoleh dari kekuatan-kekuasaan-kemayoritasan atau kekayaan akan segera melumpuhkan-mengkeruhkan-menutup akal dan hati-persepsi spiritualnya kecuali bagi mereka yang ikhlas bersedia mengimbanginya dengan mengkawruhkan-menzuhudkan-mentasawufkan-menspiritualitaskan-mensadarkan diri.


Beruntunglah mereka yang dilahirkan sebagai etnis atau pemeluk agama minoritas, asal disikapi positif, kelemahan mereka akan memaksa-membuat akal dan hati-persepsi spiritualitasnya lebih terasah dan terpacu demi terus mampu menjaga eksistensinya, mereka secara default pasti akan menjadi lebih kuat baik secara mental maupun spiritual dibanding mereka yang dilahirkan sebagai etnik atau pemeluk agama mayoritas. Beruntunglah mereka yang dilahirkan sebagai etnis atau pemeluk agama mayoritas tapi tetap mampu menjaga kesadarannya, kemayoritasannya tidak akan berujung pada kelalaian dan kelemahannya untuk kemudian memicu kejatuhannya...

Jumat, 15 Desember 2017

Cinta Tak Pernah Salah



Banyak orang relijius sekarang terobsesi dengan kebencian dan permusuhan hingga bahkan sudah sampai pada taraf menjadikannya tarikat, wirid, ibadah, aqidah dan Tuhan. Mereka merasa benar, suci dan bahkan heroik saat membenci atau memusuhi orang yang tidak seagama maupun sebaliknya, dibenci dan dimusuhi orang yang tidak seagama. Konon kabarnya, membenci dan memusuhi orang tidak seagama adalah perintah Tuhan, semakin dibenci dan dimusuhi orang yang tidak seagama, menandakan semakin benarnya keberagamaan seseorang, semakin ada di jalan yang lurus, jalan Tuhan, semakin teguh berpegang pada ajaran-kitab suci agamanya.


Pandangan yang tragis sekaligus konyol sekali, mencerminkan gagalnya mereka-para penganut agama berfikir, berlogika, memahami konteks, lingkup, alasan, asal-muasal-sebab serta tujuan hakiki suatu ajaran agama. Atau bahkan mencerminkan gagalnya pendiri agama memprediksi-mengantisipasi perubahan-perubahan sosial-budaya, moral dan cara beragama masyarakat jauh hari setelah masa hidupnya-didirikannya agama. Orang masih berfikir kalau orang yang tidak seagama atau tidak bertuhan itu pasti zalim-jahat dan sesat di saat segalanya justru sudah berubah dan berbalik, sekarang orang yang seagamalah yang sering lebih zalim-jahat dan lebih sesat dari yang tak seagama.


Orang beragama (harusnya) itu seumpama orang yang bersedia menolong sesamanya tanpa syarat atau pamrih..., semua orang pasti akhirnya akan mencintainya bahkan termasuk musuh-musuhnya. Tidak ada yang salah dengan cinta, sebab dialah kehendak dan hukum paling dasar dari Tuhan-alam semesta. Ditempatkan dimanapun, dia akan baik, mencerminkan kebenaran, akan menjadi berkah dan rahmat termasuk dicintai orang yang tak seagama hingga bahkan dicintai orang jahat. Dibenci orang yang tidak seagama baru mencerminkan kalau kita benar sepanjang yang tidak seagama itu nyata dan terbukti punya niat egois-zalim-jahat terhadap kita, bukan dibenci karena kita sendirilah yang egois-zalim-jahat terhadap mereka.


Musuh hakiki suatu (penganut) agama itu bukan (penganut) agama lain melainkan ego, hawa nafsu, setan..., dan dia bisa berdiam dimanapun, di dalam orang yang seagama, berbeda agama, bertuhan atau tidak bertuhan. Saat dia-ego, hawa nafsu, setan berkuasa, dia akan menjadi ancaman bagi siapapun yang ada dalam jangkauannya tidak peduli seagama atau tidak, bertuhan atau tidak. Jangan geer karena kita telah dibenci penganut agama lain, sebab boleh jadi, itu terjadi semata karena kita telah menjadi "setan", telah zalim dan jahat, menjadi ancaman bagi mereka...

Rabu, 06 Desember 2017

Yang Egois, yang Terpecah



Banyak orang Islam sekarang terobsesi dengan persatuan atau ukhuwah Islamiyah tapi tujuannya tragis sekaligus sarkastis sekali, katanya agar umat Islam ditakuti umat lain. Tujuan yang egoistik sekali..., yang justru akan mencegah mereka dari dicapainya persatuan itu sendiri. Hanya preman, penjahat, diktator, fasis, rasis, komunis, teroris yang terobsesi dengan ketakutan, orang baik-baik takkan pernah menginginkan itu, mereka lebih memilih dicintai atau dihormati bahkan oleh musuh-musuh mereka.


Keinginan untuk ditakuti itu datang dari naluri primitif kita..., dari amarah, lawamah dan sufiyah kita..., dari hasrat untuk berprasangka, mendominasi, menindas, menguasai, memperbudak, mengeksploitasi pihak lain. Ego itu buta..., kalau kita tidak mampu menahan amarah terhadap orang lain, kita juga akan susah menahan amarah terhadap keluarga kita sendiri..., kalau kita egois terhadap umat lain, akan egois pula akhirnya kita terhadap umat sendiri. Tanpa kemampuan mengenali sekaligus mengendalikannya, niat sebaik atau sesuci apapun akan segera terbajak dan tersimpangkan, jatuh dalam perangkapnya.


Persatuan atau ukhuwah hakiki itu hanya milik mereka yang mau dan mampu mengenali sekaligus mengendalikan egonya. Umat yang bersatu karena berhasil mengendalikan ego, takkan membuat umat lain manapun merasa takut atau terancam, jangan salah mengira. Persatuan yang tumbuh dari-didasari niat-niat egoistik itu ibarat persatuan orang untuk mencuri atau merampok, sangatlah rapuh..., mungkin awalnya akan mempermudah dicapainya tujuan bersama tapi pada akhirnya akan memicu perpecahan lebih dalam, akan membuat mereka ribut dan hancur sendiri, berebut hasil dari persatuan "sesat" itu...

Senin, 04 Desember 2017

Ujung Penyembahan dan Cinta



Saat saya ada di perantauan, Ibu saya dulu selalu tahu kondisi saya, apakah sedang sedih atau bahagia, sedang sakit atau sehat, sedang bermasalah atau penuh berkah. Sampai sekarangpun masih seperti itu, dia tahu selera makan saya, perasaan atau isi hati saya, keinginan-keinginan saya..., "cinta" yang membuat saya kadang malu dan tidak enak sendiri. Dia sering menyediakan makanan yang dia sendiri berpantang memakannya, dia tahu cewek yang sedang saya taksir, dia juga tahu kalau hati saya sedang hancur akibat disewiyah-wiyah sepada-pada.


Ujung akhir dari penyembahan itu sama dengan ujung akhir dari cinta yaitu puncak empati-menyatunya kehendak, pikiran, perasaan, perilaku, pengetahuan kita dengan obyek yang kita sembah-cintai. Kalau kita memang betul sedang menyembah Tuhan atau mencintai pasangan kita, kita harus mampu membaca-mengerti sekaligus ikhlas mengalirkan-menenggelamkan diri dalam kehendak-kehendak hakikinya.


Yang mana Tuhan dan yang mana setan itu jelas, bahkan orang-orang tak beragama atau tak bertuhan-melalui akal dan nuraninya saja pasti tahu-mengerti itu. Sekarang tragis, banyak orang relijius merasa dan mengklaim sangat keras katanya sedang menyembah Tuhan tapi perilakunya justru menunjukkan hal yang sebaliknya, hanya sedang menyembah setan..., sama seperti banyak lelaki yang merasa dan mengklaim sedang mencintai wanitanya tapi perilakunya menunjukkan kalau mereka hanya sedang mencintai dirinya sendiri, hawa nafsunya, nganunya.


Tiada penyembahan dan cinta tanpa empati, tanpa mengenal, tanpa makrifat, tanpa kawruh, tanpa pencerahan. Itu tak lebih dari penyembahan-cinta pada tahayyul, prasangka, harapan, angan-angan yang akan dengan mudah "dibajak" ego kita untuk kemudian disimpangkan, berakhir menjadi hanya sebatas penyembahan-cinta terhadap diri kita sendiri, ego kita, hawa nafsu kita, "setan" kita...

Minggu, 03 Desember 2017

Tiada Penyatuan tanpa Pencerahan



Orang Salafi percaya Muslim akan bersatu hanya jika mau berpegang sepenuhnya pada Qur'an dan Sunnah..., orang Hizbut Tahrir percaya itu jika Muslim bersedia menegakkan Khilafah..., sementara orang Syiah lain lagi, percaya itu jika Muslim mengikuti Ahlul Bait Nabi.


Pandangan-pandangan yang sarkastik sekali..., apakah mereka tidak sedang mengatakan hal yang sebaliknya, justru kengototan berpegang pada keyakinan-keyakinan itulah yang menjadi penyebab utama perpecahan Muslim...?. Faktanya, orang yang paling keras menyerukan persatuan Muslim adalah juga orang yang paling egois, paling keras mengklaim kalau hanya dirinya-pandangan-alirannyalah yang benar, yang akan membawa persatuan..., pandangan yang jelas justru memicu sulitnya persatuan itu sendiri.


Perpecahan itu selalu timbul karena tingginya ego, karena masing-masing pihak enggan berunding, berkompromi, mengurangi tuntutannya terutama atas apa yang dikira sebagai kebenaran. Ego yang tinggi, kecilnya akan memicu lemahnya empati-kemampuan untuk memahami-mengerti-mengakomodasi persepsi, perasaan, kehendak orang lain, besarnya memicu kejahilan-kegagalan memahami hakikat kebenaran..., lebih besar lagi, memicu kezaliman-perlakuan tidak adil terhadap pihak-pihak yang tidak sepaham.


Ajaran serancu apapun masih bisa ditolong, masih bisa dipersatukan jika pemercayanya memiliki tradisi mengendalikan ego yang kuat. Wajar saja, ego yang terkendali akan berarti lebih mudahnya menangkap-memahami sesuatu yang esensi, jika esensi dipahami, yang "indrawi" termasuk perbedaan "pakaian" dan pandangan keagamaan menjadi tak banyak berarti, akan meluruh dengan sendirinya. Sebaliknya, ajaran seindah apapun akan segera berubah menjadi "mesin perang" jika pemercayanya gagal mengendalikan egonya..., wajar saja, ego yang tak terkendali akan membuat orang dalam posisi "mabuk", lumpuh nalar dan hati, hidup hanya bisa mengikuti naluri-naluri primitifnya-hal yang menguntungkan diri pribadi-kelompoknya saja.


Muslim bukannya kurang ini-itu, hanya kurang kemampuan mengendalikan ego-hawa nafsu..., amarah, lawamah dan sufiyahnya. Jika itu bisa diatasi, pasti, sebagian besar masalah akan selesai..., ribuan perbedaan akan tampak sebagai keindahan, anugrah, rahmat yang disyukuri, bukan malah memicu perpecahan, permusuhan dan peperangan yang dikutuki..., dan yang terpenting, Muslim takkan lagi terus berbenturan dengan sains, akal, nurani, demokrasi, hak azasi, emansipasi dan umat lain...

Sabtu, 02 Desember 2017

Yang Menghormati, yang Diberkahi



Seorang atheist yang mampu menghormati sesama manusia, sesama mahluk dan alam semesta ini, akan lebih diberkahi dan dirahmati daripada theist yang hanya mampu menghormati apa yang mereka kira sebagai Tuhan atau hanya mampu menghormati mereka yang beragama atau bertuhan sama.


Menghormati (termasuk memuja, menyembah, mencinta) apa dan siapapun obyeknya itu akan meluruhkan ego kita..., ego yang luruh akan berarti luruhnya juga satu tirai penghalang kesadaran-makrifat kita, akan membukakan pintu hati, tempatnya berkah, rahmat, pengetahuan, kekuatan, bimbingan, pengayoman..., akan menghubungkan kita dengan diri sejati kita, akan menghubungkan kita dengan obyek yang kita hormati. Semakin banyak obyek yang kita hormati dan semakin sering kita menghormatinya, semakin banyak pula kita hakikinya sedang beribadah.


Jangan geer, sombong, merasa benar dan menang sendiri karena kita telah merasa beriman kepada Tuhan..., iman kita tidak akan banyak berguna jika tidak berujung pada dihormatinya sesama manusia, sesama mahluk dan alam semesta ini. Justru, kegeeran, kesombongan perasaan benar dan menang sendiri kita karena telah bertuhan itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg", akan membabat habis manfaat spiritual dari iman kita kepada Tuhan, membuat kita bangkrut justru di tempat yang harusnya membuat kita beruntung.


Agama atau Tuhan bagaimanapun teori, dogma atau syariatnya, esensi atau hakikatnya tetaplah sama, sarana kita meluruhkan ego, "tapa nyepi" dan "tapa ngrame", dengan "laku-tarikat" terbesarnya adalah penghormatan terhadap sesama manusia, sesama mahluk dan alam semesta ini. Jika agama atau pemahaman agama kita tidak memicu kita pada hal itu semua, kita tertipu parah, merasa telah beruntung padahal aslinya buntung, merasa telah terbimbing padahal aslinya tersesatkan, merasa diberkahi padahal aslinya diazab, merasa kuat padahal aslinya lemah...

Kamis, 30 November 2017

Keserakahan dan Kebenaran



Keserakahan itu memiliki dampak mental-spiritual yang sama dengan passion, minat atau obsesi yang kuat, membuat kita akhirnya dibanjiri energi, "penglihatan", "pembimbing" dan "pengawal", "kesadaran" untuk mencapai apapun tujuan kita, apapun yang kita serakahi.


Sayangnya, keserakahan itu mengumpulkan  energinya dari "merampok" energi yang biasa kita gunakan untuk berbuat adil, jujur, baik, benar, lurus, pintar, bermoral, berbelas kasih. Dia harus dihidupi dari pengabaian terhadap itu semua, dari penyikapan-penilaian-penganggapan tidak penting hal-hal di luar apa yang kita serakahi. Jika kita serakah terhadap harta, hanya informasi yang menuju didapatnya harta itu yang akan dengan mudah "terlihat", tidak peduli informasi itu masuk akal atau tidak, benar atau salah, merugikan atau tidak bagi diri dan orang lain.


Akibatnya, sulit bagi siapapun yang gagal mengendalikan keserakahannya untuk tidak jatuh menjadi egois, bodoh, sesat, jahat, pragmatis, oportunis, fasis, rasis, seksis hingga bahkan teroris. Mereka dalam status "mabuk parsial", kesulitan menilai-mengukur secara adil dan obyektif apapun yang terkait dengan hal-hal yang diserakahinya, mudah tersesatkan. Bahkan Tuhanpun akan kalah jika berhadapan dengan orang serakah, akan dengan mudah diperbudaknya, akan hanya dijadikan pemoles agar keserakahannya menjadi tampak dan dirasakan suci.


Keserakahan jelas bukan hanya perkara harta, tahta atau wanita, tapi juga meliputi perkara pikiran, perasaan, prasangka, harapan, angan-angan. Pikiran, perasaan, prasangka, angan-angan berlebihan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, diberkahi, dirahmati, akan masuk surga, itu sama merusaknya dengan keserakahan berlebihan terhadap harta, tahta atau wanita, akan membuat apapun yang tidak mengarah pada diraihnya pikiran, perasaan, harapan, angan-angan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, diberkahi, dirahmati, akan masuk surga, diabaikan termasuk kebenaran-kebaikan hakiki.


Esensi agama adalah sarana pengendalian terhadap keserakahan. Jika agama tidak tidak mampu membuat keserakahan pemercayanya terkendali, agama akan gagal membawa pemercayanya pada jalan lurus, sudah tidak layak lagi disebut agama. Sayangnya, banyak orang relijius sekarang  justru menunjukkan gejala makin serakah, ini adalah musibah tapi dikira berkah, orang menjadi tersesat dan tergelapkan justru di tempat yang harusnya terbimbing dan tercerahkan...

Rabu, 29 November 2017

Candu Prasangka



Dulu, di perguruan saya, pada suatu malam, pernah diadakan meditasi bersama di suatu tempat yang dianggap angker. Setelah beberapa jam meditasi, kemudian satu persatu murid ditanya apa yang mereka lihat. Jawabannya beragam, ada yang mengaku melihat anak kecil lewat di depan mereka, ada yang mengaku melihat ular besar dan ada pula yang mengaku tidak melihat apa-apa termasuk saya.


Karena niat saya "ngaji" adalah untuk melihat hal-hal ghaib, tentu saya jadi kecewa, saya merasa tak berbakat, tidak ada gunanya saya membuang-buang waktu dan tenaga untuk sesuatu yang bukan tempat terbaik saya. Tapi kemudian guru saya menjelaskan, justru yang tidak melihat apa-apalah yang berbakat untuk mendapat pengetahuan yang lebih tinggi..., tempat ini tidak ada apa-apanya, prasangka mereka yang mengaku melihat apa-apalah yang kemudian memicu halusinasi mereka kalau tempat ini ada apa-apanya.


Kalau kita ingin melihat betapa bahayanya prasangka, belajarlah mistik atau spiritualitas. Di situ akan terlihat jelas dampak langsung dari prasangka yaitu ilusi, delusi hingga halusinasi. Jika kita berprasangka suatu tempat dihuni hantu, hantulah yang akhirnya akan muncul saat kita bermeditasi di situ, bukan hantu betulan tapi hanya hantu angan-angan. Jika kita berprasangka Yahudi, Asing, Aseng, Syiah, Jokowi dan lain sebagainya sebagai biang segala masalah, hanya informasi yang akan mendukung prasangka kita itu juga yang akan tampak-menghampiri hidup kita..., yang akhirnya memicu ilusi, delusi dan halusinasi kalau Yahudi, Asing, Aseng, Syiah, Jokowi dan lain sebagainya adalah betul biang segala masalah.


Menahan diri untuk tidak berprasangka itu memiliki dampak yang sama dengan menahan diri untuk tidak makan, menahan diri untuk tidak berbicara atau menahan diri untuk tidak tidur..., itu adalah salah satu bentuk "tapa brata" yang berujung pada dicapainya kesadaran-pengetahuan..., berujung pada terhindarnya kita dari kejahilan dan kezaliman.


Menahan diri untuk tidak berprasangka harusnya menjadi standar utama perilaku orang-orang relijius. Sebab tanpa itu, kita sejatinya sedang menutup diri dari mendapat pengetahuan yang asli, yang benar, yang nyata..., kita akan terus terjerumus pada pengetahuan semu, kejahilan, klenik, tahayyul, ilusi, delusi atau halusinasi yang memundurkan, menyesatkan dan menzalimkan.


Sayangnya, sekarang terbalik, justru orang-orang relijiuslah yang paling sering berprasangka hingga bahkan menganggap itu bagian dari ibadah atau aqidah. Sungguh tragis, di satu sisi, mereka gemar mengklaim sebagai pemilik pengetahuan atau kebenaran tapi di sisi lain, jalan-jalan menuju didapatnya pengetahuan dan kebenaran itu justru ditutupnya rapat.


Ikhlas mengakui ketidaktahuan hanya perlu mengorbankan sedikit ego kita, tapi dengan itu kita telah membuka pintu-pintu pengetahuan tanpa batas. Membiarkan ketidaktahuan berkembang menjadi prasangka adalah cermin gagalnya kita mengendalikan ego kita, kegagalan yang kelihatannya menguntungkan dan menyenangkan tapi menjerumuskan...

Senin, 27 November 2017

Yang Beragama, yang Mengendalikan Ego



Istikharah kita tidak akan pernah bisa membawa kita pada petunjuk jodoh terbaik jika sedari awal kita sudah memendam obsesi, prasangka atau gambaran akan bagaimana jodoh yang kita anggap terbaik itu. Jika sedari awal kita terobsesi pada kecantikan atau kekayaan, kecantikan atau kekayaan jugalah ilham-petunjuk yang akhirnya kita dapatkan, bukan yang terbaik.


Kenyataan sama terjadi saat kita istikharah untuk memilih partai atau pemimpin, kalau sedari awal kita sudah terobsesi pada relijiusitas, pada ideologi tertentu, pada penampilan, wibawa atau kegagahan, tidak mungkin kita akan bisa mendapat petunjuk partai atau pemimpin terbaik dalam istikharah kita..., obsesi kita itulah yang akhirnya akan mengambil alih, menyamar sebagai Tuhan-kebenaran, memberi kita petunjuk yang salah.


Selama kita tidak mampu mengendalikan hasrat-hasrat ragawi-duniawi kita, ego-hawa nafsu kita, jangankan akal atau tingkat pendidikan kita, agama atau spiritualitaspun tetap takkan mampu membawa kita pada pemahaman atas hakikat kebenaran. Sekhusuk apapun ritual, doa atau ibadah kita, seheroik apapun perjuangan kita demi agama atau Tuhan, hanya akan sampai pada ilham-petunjuk bagaimana memenuhi hasrat-hasrat ragawi-duniawi, ego-hawa nafsu kita itu..., kebenaran hanya akan menjadi mimpi, angan-angan, delusi.


Memang, terpenuhinya hasrat-hasrat ragawi-duniawi, ego-hawa nafsu kita itu akan terasa sangat menguntungkan dan menyenangkan, akan tampak sebagai berkah atau rahmat, bukti benarnya jalan atau agama yang kita ikuti. Tapi itu sebenarnya hanya godaan, tipuan dan jebakan yang menjerumuskan, yang akan menjauhkan kita dari niat awal kita beragama-berspiritual yaitu dipahaminya hakikat kebenaran. Jika kita terpaku pada itu semua, merasa telah benar hanya karena beruntung, diberkahi, telah kaya, berkuasa atau beristri lima, terpaku juga sebenarnya kemampuan kita memahami kebenaran, tidak akan berkembang lebih jauh. Jadi ingat teman saya, merasa dagangannya menjadi laris hanya karena setiap subuh menjelang membuka kios, dia selalu berdoa sambil menebar garam keliling pasar. Ironis, dagangan laris, rejeki lancarnya telah membuatnya jatuh dalam kebodohan dan kekonyolan tanpa ada banyak peluang untuk sadar.


Masalahnya sekarang, orang yang paling keras mengklaim kebenaran sering adalah orang yang justru paling tidak mampu mengendalikan hasrat-hasrat ragawi-duniawi, ego-hawa nafsunya..., mereka ibarat preman mengklaim baik hati, sikap-perilakunya sendiri sudah membantah keras apa yang diklaimnya itu...

Minggu, 26 November 2017

Bagong Dadi Guru



Bagong, panakawan atau pengiring Pandawa pada suatu hari menemukan pakaian kebesaran Batara Guru, raja kahyangan Suralaya di sebuah gua. Pakaian itu kemudian dikenakannya. Setelah dikenakan, mendadak dia berubah, tampak sebagai Batara Guru. Dewa-dewa kemudian menjadi hormat dan tunduk kepadanya, apapun perintahnya dituruti, gagal mengenalinya sebagai Bagong.


Tapi namanya juga Bagong, memakai pakaian kebesaran Batara Guru tidak otomatis membuatnya menjadi Batara Guru yang sesungguhnya, malah membuatnya menjadi tampak konyol, terlihat dari perkataan, ide dan perilaku-kebijakannya yang hanya sesuai seleranya sendiri. Dari mengadakan kontes kecantikan bidadari, menyuruh para bidadari memakai rok mini, mewajibkan dewa-dewa memakai blangkon sampai mengganti makanan dewa-dewa dari jambu nirmolo-pelem pertonggo jiwo dengan dawet, minuman kesukaannya. Setiap ada dewa yang protes atau mengkritisi kebijakannya, dia langsung memerintahkan Yamadipati untuk mencabut nyawanya. Bedanya apa dengan perilaku banyak "Ulama" sekarang?. Hanya dengan modal (sedikit) teks agama, jubah atau sorban, mereka merasa telah menjadi Ulama, masyarakatpun percaya. Mereka berkata-berfatwa sesukanya, kalau ada yang protes atau mengkritisi, langsung dihakiminya sesat, layak dihukum mati.


Memakai jubah Ulama, Pandita atau Brahmana tapi memiliki kesadaran hanya setingkat Sudra. Itulah fenomena "Bagong dadi Guru" yang marak terjadi di alam nyata sekarang. Orang yang harusnya dibimbing malah membimbing. Orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa akan apa-apa yang hakikat, yang baik dan yang benar, malah dijadikan panutan. Orang yang hidup masih hanya bisa mengikuti kebiasaan, tradisi, prasangka, naluri, ego-hawa nafsu, malah mengajarkan kesucian.


Ilmu-kesadaran itu tidak terletak pada teks-teks agama apalagi hanya pada pakaian kebesaran agama, itu hanya teori dan simbol dari ilmu. Merasa dan mengklaim menjadi-berkesadaran Ulama, Pandita atau Brahmana hanya karena telah mempelajari teks-teks agama apalagi hanya karena telah memakai pakaian kebesaran agama itu ibarat Bagong dadi Guru, kalau tidak menjadi lucu ya menyesatkan...

Sabtu, 25 November 2017

Hakikat Hijrah



Berhijrah dari satu agama, aliran agama atau cara beragama ke agama, aliran agama atau cara beragama yang lain tanpa diikuti hijrahnya kesadaran atau makrifat kita ke tingkat yang lebih tinggi itu seumpama kita lepas dari mulut harimau tapi kemudian jatuh ke mulut buaya, hakikatnya masih sama, belum kemana-mana, belum berhijrah, hanya berbeda bungkusnya saja, masih sama-sama tergigit dan terbelenggu.


Lucu sekaligus mengenaskan, banyak orang relijius sekarang merasa dan mengklaim sudah berhijrah tapi pemikiran-sikap-perilakunya malah menunjukkan tanda-tanda yang sebaliknya, sedang berbalik mundur ke belakang. Mereka justru menjadi semakin egois, keras, gemar berprasangka dan menghakimi, merasa baik, benar dan menang sendiri..., "wirid-tarikat-laku" yang jelas hanya akan mencegah mereka dari didapatnya pengetahuan akan jalan-jalan yang lurus, sebaliknya, mengembalikan mereka pada kegelapan, kejahilan, setan, kezaliman..., kebalikan dari hijrah. 


Jadi ingat dulu waktu masih menjadi orang relijius, perkara jenggot saja bisa memicu ribuan prasangka dan penghakiman, seolah jenggot adalah pengukur sempurna relijiusitas, moralitas bahkan aqidah. Yang tidak berjenggot berarti bukan "saudara" saya, tidak sepemahaman dengan saya, agama dan moralnya masih lemah, diragukan. Saya pikir dulu saya telah berhijrah, selangkah lebih dekat pada agama, Tuhan, kebenaran, tapi sekarang saya menyadari, saya hanya sedang tergelapkan "jargon" hijrah, berdelusi tentang hijrah. Akibatnya fatal, saya "bangkrut", berhijrah cuman semeter tapi kemudian memicu sepuluh meter berbalik mundur ke belakang..., selangkah mengikuti aturan atau syariat agama tapi kemudian memicu sepuluh langkah penurunan kesadaran...

Rabu, 22 November 2017

Konsekwensi Sembah



Memuja atau menyembah gunung akan membuat kita terhubung dengan gunung, berujung pada dipahaminya karakter gunung itu, membuat kita lebih bisa mengunduh berkahnya, menghindari bahayanya. Memuja atau menyembah leluhur, pahlawan atau orang suci, akan membuat kita terhubung dengan spirit-energi-memori leluhur, pahlawan atau orang suci itu, berujung pada didapatnya spirit-energi-memori cinta, pengetahuan, semangat atau pengayoman mereka. Memuja atau menyembah dewa-dewa akan membuat kita terhubung dengan dewa-dewa itu, berujung pada didapatnya berkah atau kekuatan dari dewa-dewa itu.


Pertanyaannya, bagaimana dampak akhirnya jika yang kita puja itu Tuhan yang maha esa? Itu ibarat kita menyembah "kertas kosong", bisa diisi apa saja atau bahkan tidak diisi apa-apa. Konsekwensinya, kalau beruntung, kita tidak sembarangan mengisinya, kita akan mencapai "kasunyatan", kekosongan, makrifat, persepsi tunggal akan hakikat kebenaran, pencerahan, tapi kalau gagal, kita sembarangan mengisi kertas kosong itu-mengisi hanya sesuai keinginan atau prasangka kita, hampir pasti, menyembah Tuhan yang maha esa hanya akan berujung pada kesesatan, penyembahan terhadap setan-ego-hawa nafsu kita sendiri.


Wajar saja, Tuhan yang esa sekalipun indah didengar-tampak sempurna tapi tidak punya obyek yang bisa dikenali-dideteksi langsung oleh indra dan kesadaran kita bagaimanapun khusuk penyembahan kita, paling hanya bisa dikenali kehendak atau hukum-hukum dasarnya. Agama Buddha tidak mengenal atau mengabaikan Tuhan itu wajar karena memang sosok Tuhan tidak bisa dijangkau-diamati, tidak seperti sosok leluhur, gunung atau dewa-dewa..., berarti Buddha telah memilih membiarkan "kertas kosongnya" tidak diisi apa-apa. 


Manakah agama-cara-obyek yang disembah yang benar...?. Agama adalah "laku-tarikat" memahami kehendak Tuhan-alam semesta-kebenaran, bukan Tuhan atau kebenaran itu sendiri. Mengimani atau mengklaim ada agama yang benar boleh-boleh saja, itu hak masing-masing, tapi kalau dipandang lebih dalam, semua agama bisa benar tapi juga bisa salah. Yang jelas, kalau "ditirakati" dengan benar, mungkin semua agama pada akhirnya akan membawa kita pada kebenaran...

Sabtu, 18 November 2017

Iman, Kebenaran dan Surga



Kekuatan iman, pikiran, prasangka, harapan, motivasi, sugesti, memang sanggup membuat kita menang duel melawan sepuluh orang, lelaki berbalik merasa sebagai wanita, wanita menyukai sesama wanita, pasir disabda jadi emas, orang sakit disentuh sembuh, memfitnah, menindas, menganiaya, membunuh dirasakan sebagai kesucian dan kenikmatan..., tapi apakah kekuatan iman, pikiran, prasangka, harapan, motivasi, sugesti itu sanggup mencegah satu sel saja di tubuh kita untuk tidak menua dan mati...?.


Tidak akan sanggup, nyatanya, kalaupun ada orang berhasil mencapai puncak iman-obsesi untuk hidup abadi, yang akhirnya menjadi abadi paling hanya sebatas spirit, ide, keinginan, kesadaran dan (dalam batas tertentu) struktur DNA, sifat-sifat genetiknya..., yang kemudian berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada keabadian (fisik) pada organisme multi seluler termasuk manusia.


Ada batas dimana kekuatan iman, pikiran, prasangka, harapan, motivasi, sugesti bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-keinginan kita, melampaui batas itu, kekuatan iman takkan berguna..., kita akan seumpama berdoa-berusaha membalikkan arah terbit matahari, sia-sia saja, kita sedang melawan takdir, sunatullah, kehendak-hukum-hukum dasar alam semesta, ngotot memaksakan diri hanya akan berujung pada hancurnya diri kita, rusaknya otak kita, kita menjadi tidak lagi mengenali arah, mengira timur sebagai barat..., sama seperti saat saya dulu terobsesi dengan wong KAE..., melihat istri orang lewat, tampak sebagai wong KAE, bikin malu aja, sudah kadung menyapa dan merayunya je, jebul dudu wong KAE... ^^


Sekarang banyak orang relijius begitu yakin hanya dengan iman bisa mengantarkan mereka pada semua keinginan mereka terutama keinginan akan kebenaran dan surga. Akibatnya tragis, keyakinan itu sering memicu perilaku yang sangat kontraproduktif terhadap terwujudnya obsesi-keinginan mereka itu, justru menjauhkan mereka dari kebenaran dan surga itu sendiri. Lihat saja, mereka mati-matian berusaha memanipulasi diri dan masyarakat agar tetap beriman termasuk dengan menggunakan cara-cara yang malah mematikan pemahaman atas jalan-jalan hakiki menuju kebenaran dan surga itu sendiri, melalui pembodohan, intimidasi, teror hingga hasutan pada keserakahan. Akibatnya pasti, persis seperti saya dulu gagal mengendalikan keyakinan-keinginan-obsesi untuk hidup bersama wong KAE, ilusi, delusi dan halusinasi beratlah yang terjadi.


Kebenaran dan surga itu seperti arah datang terbit matahari..., tidak akan bisa "dimanipulasi" melalui iman, hanya bisa dipahami-digapai melalui kesadaran, makrifat, pencerahan. Iman yang tidak berujung pada itu semua atau minimal, perilaku yang bersumber dari itu semua, hanya akan berujung pada ilusi, delusi akan kebenaran dan surga...

Kamis, 16 November 2017

Menghakimi, Menzalimi Diri



Apakah mungkin orang yang sedari kecil sudah didoktrin anjing itu najis, bisa bersikap ramah terhadap anjing...?. Tidak mungkin, bagaimanapun baik dan lucunya anjing, mereka akan memandang anjing sebagai setan atau monster mengerikan, dipandang dengan penuh kebencian, ketakutan, amarah, memicu fobia, paranoia dan trauma. Satu teman saya dulu, mendengar suara anjing dari jauh saja reflek langsung lari tunggang langgang bahkan naik pohon, sementara satu teman yang lainnya, langsung ingin membantainya.


Apakah mungkin orang yang sedari kecil sudah didoktrin kalau orang yang tidak seagama itu buruk, jahat, sesat atau salah bisa ikhlas bersikap ramah terhadap orang yang tidak seagama...?. Tidak mungkin, bagaimanapun ramah dan baiknya orang yang tidak seagama, akan dipandangnya dengan penuh kecurigaan, akan ada beribu alasan untuk tetap membencinya, menjauhinya, menzaliminya bahkan menganiayanya. Saya dulu, kalau pengin makan mangga tapi gak punya duwit, langsung melirik kebun mangga milik tetangga saya yang China, lalu dengan entengnya menghibur diri, "gak papalah nyolong mangga toh yang dicolong mangga milik China kafir".


Semakin banyak kita menumpuk atau memendam prasangka-penghakiman kalau orang lain itu buruk, jahat, sesat atau salah, semakin mungkin untuk akhirnya kita sendirilah yang jatuh dalam keburukan, kejahatan, kesesatan atau kesalahan. Tidak akan banyak gunanya kita berusaha menutupi-menetralisir itu dengan hanya sedikit "polesan".


Memendam prasangka-penghakiman kalau orang lain buruk, jahat, sesat atau salah itu sama dengan kita memendam kekesalan, kekecewaan atau amarah, mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya itu akan meledak menjadi tindak kekerasan atau amukan hanya dengan sedikit pemicu..., mau tidak mau, suka tidak suka, itu akan membunuh "makrifat" kita, melemahkan nalar, menutup hati, membuat kita kehilangan kemampuan menilai apa-apa yang benar dan maslahat.


Semakrifat-makrifatnya kita-manusia, hanya punya kapabilitas menilai buruk, jahat, sesat atau salahnya pandangan-perbuatan seseorang sebatas didasari pada merugikan tidaknya pandangan-perbuatan orang itu bagi diri-orang lain. Tidak perlu "kemaruk", mengambil hak dan wewenang yang bukan milik dan kapabilitas kita, mengumbar prasangka-penghakiman kalau orang lain buruk, jahat, sesat atau salah termasuk dengan dalih agama. Lebih baik belajar sadar diri, sesuatu yang kita tidak tahu pasti, diikhlaskan saja untuk sang maha benar dan tahu yang menghakimi-mengambil keputusan...

Antara Kebenaran dan Susu Kuda Liar


Mengimani susu kuda liar mampu menyembuhkan segala penyakit, memang betul (dalam batas tertentu) akan membuat iman-kepercayaan kita itu mewujud menjadi kenyataan, membuat apapun sakit kita, sembuh hanya dengan minum susu kuda liar.

Tapi mengimani kalau diri kita ada di jalan yang benar, jalan Tuhan, kecil kemungkinannya untuk bisa membawa hal yang sama, membuat iman-kepercayaaan kita mewujud menjadi kenyataan, membuat kita dipahamkan pada jalan yang benar, jalan Tuhan. Justru sebaliknya, itu adalah "wirid" bagi tertutupnya nalar dan hati kita..., dampaknya jelas, hanya akan mengantarkan kita pada DELUSI tentang jalan yang benar, jalan Tuhan atau bahkan, menjerumuskan kita pada jalan sesat, jalan setan. Kalaupun kita benar, itu hanya kebetulan, kebenaran spekulasi, tidak disadari.

Sekarang, banyak orang relijius-di satu sisi sangat keras dalam merasa, mengklaim dan berbicara jalan yang benar, jalan Tuhan, tapi di sisi lain, cara mereka mengimani agama-jalan kebenaran-jalan Tuhan itu persis seperti cara orang mengimani khasiat susu kuda liar..., tidak jauh beda dengan mereka yang mengimani klenik, jimat, dukun atau tahayyul..., hanya ditumbuhkan dari prasangka, sugesti, motivasi, afirmasi bahkan indoktrinasi..., cara yang mudah, indah dan dramatis memang, tapi jelas justru menjauhkan mereka dari kebenaran itu sendiri, sesuatu yang mereka obsesikan. Mereka merasa-mengklaim anti klenik, jimat, perdukunan dan tahayyul tapi hakikinya masih percaya dan memuja itu semua, masih membangun iman hanya dari angan-angan..., tanpa dasar, tanpa sadar, tanpa pengetahuan.

Susu kuda liar itu baiknya bukan hanya untuk diimani, tapi juga untuk diteliti. Sebab kesembuhan, "kebenaran" karena iman-kepercayaan-sugesti itu terbatas dan rapuh, tak bisa diandalkan, tak bisa dijadikan sandaran-patokan. Pun dengan (hakikat) kebenaran, harusnya untuk dibaca-dipahami dengan segenap sumber daya tinggi-non egoistik kemanusiaan kita, akal dan hati-nurani kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, bukan hanya sekedar diimani. Iman hanya untuk sesuatu yang tak bisa diukur, dijangkau, diketahui, diprediksi..., dan hanya untuk yang secara nyata mendatangkan maslahat-kebaikan, bukan iman yang memudaratkan, menjahilkan, menzalimkan, mengazabkan...

Rabu, 15 November 2017

Ironi Janji Surga


Janji surga (sebagai tempat mengumbar syahwat-hawa nafsu) itu sama dengan janji uang bisa digandakan, janji investasi berbunga fantastis atau janji daun sirsak 10 ribu kali lebih ampuh dari kemoterapi..., hanya berguna bagi orang bodoh dan atau orang egois-hedonis-serakah..., hanya efektif untuk mendorong orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, bukan mendorongnya memahami apa yang harus dilakukan-hakikat kebenaran..., hanya akan melemahkan kesadaran, membuat orang mudah terdoktrin, termanipulasi, terhipnotis untuk kemudian tereksploitasi.

Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud menyembahnya...?. Tepat sekali kritik pedas kaum Sufi atas fenomena ibadah-beragama yang hanya didasari harapan akan surga ini. Justru pamrih dan ketertarikan-imajinasi berlebihan terhadap (kenikmatan) syurga menjadi penghalang terbesar kekhusukan kita beribadah, bersujud, berzikir, bermeditasi-menghening. Itu akan membuat pikiran kita meliar-sulit dikendalikan, terus merampok-membelenggu-mengunci ibadah-sujud-zikir-meditasi kita tetap sebatas sebagai amalan lahiriyah semata, tanpa mampu meningkatkan kesadaran-makrifat, tanpa bisa membawa kita pada petunjuk-pengetahuan.

Melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena kita tahu-sadar konsekwensinya, tahu-sadar baik buruknya pada akhirnya akan menjadi yang lebih mudah, "murah" dan menentramkan, sama seperti saat kita berpegang pada dokter untuk menyembuhkan sakit kita atau berpegang pada saintis dalam memahami alam semesta ini...

Aku Tak Bisa Hidup Tanpamu...


Aku tak bisa hidup tanpamu..., darahku, nafasku, jiwaku telah kutambatkan kepadamu. Jangankan melihat kenyataan engkau pergi, membayangkan engkau pergi saja sudah membuat jantungku serasa berhenti berdetak, tubuhku mendingin dan melemas, ilang bebayune.

Hanya engkaulah yang sempurna..., yang setia, yang terindah, termanis, terbaik, tercinta, terpuja..., hanya engkaulah yang membuatku berani menghadapi dunia-membuat dadaku mengembang bak pahlawan, ototku mengeras bak Hercules, semangatku membaja bak Gajah Mada, otakku mencerdas bak Albert Einstein, pedeku melambung bak Tora Sudiro..., siap menghadapi siapapun yang mengganggumu, siap berbuat apapun demi kebahagian dan kemuliaanmu. Hanya engkaulah yang mampu mengisi seluruh pikiran, rencana, mimpi dan imajinasiku tentang masa depan, tanpa keraguan sedikitpun akan keterwujudannya.

Begitulah gambaran dramatis saat saya kedanan wong KAE, mengalami ilusi, delusi bahkan halusinasi berat, tak lagi mampu memandang dunia dengan adil dan obyektif..., semua dari dia tampak indah, matanya, bibirnya, senyumnya, tawanya, pipinya, pinggulnya, susunya, bicaranya, sedihnya, rajuknya, marahnya, tak ada yang cela, tampak sempurna, penuh pesona..., sementara di sisi lain, kelemahan, kekurangan dan bahkan kesalahan apapun dari dia, selalu ada beribu alasan, dalih dan alibi untuk menyangkal sekaligus memaklumi dan memaafkannya.  "Mabuk" yang indah memang pada awalnya, tapi nestapalah di penghujungnya..., benar memang yang kuyakini, tapi sesatlah yang sejatinya, kuat memang kelihatannya, tapi kerapuhanlah yang sebenarnya melanda.

Kenyataan sama terjadi saat saya mengalami ilusi, delusi dan halusinasi disebabkan agama, Tuhan, kebenaran, "mabuk" agama..., akibatnyapun sama, kejahilan, kezaliman, azab.

Ilusi, delusi dan halusinasi apapun pemicunya, seindah dan sesuci apapun dirasakannya, esensinya tetaplah sama, dia adalah candu, alkohol, narkotik..., tak lebih dari upaya ego-hawa nafsu kita mengumpulkan energi agar hasrat-hasratnya tergapai. Sayangnya, dia memberi itu tidaklah gratis, harus ditebus dengan lumpuhnya akal hingga bahkan matinya nurani kita.

Kalau ilusi, delusi dan halusinasi kita hanya disebabkan wanita, tentu dampaknya akan terbatas, tersadarnyapun mudah bahkan akhirnya itu akan pasti menjadi pelajaran sangat berharga..., menjadi masalah besar kalau ilusi, delusi dan halusinasi kita itu menyangkut agama, Tuhan atau kebenaran..., itu sama saja kita sedang membiarkan diri bertaruh untuk keseluruhan hidup dan martabat kita-masyarakat kita dengan harga hanya sebotol oplosan.

Sayangnya, sekarang banyak orang relijius dengan mudahnya merendahkan, meremehkan, mencibir mereka yang berilusi, berdelusi dan berhalusinasi disebabkan wanita tapi mereka sendiri sedang berilusi, berdelusi dan berhalusinasi disebabkan agama, Tuhan, kebenaran..., sesuatu yang jauh lebih beresiko dan berbahaya..., mereka ibarat merendahkan perokok sementara diri mereka sendiri penyabu...

Kamis, 09 November 2017

Kekuatan Dibalik Kegagalan


Kegagalan yang meruntuhkan keakuan itu masih lebih berharga dari kesuksesan yang meninggikannya.

Keakuan yang runtuh itu ibarat runtuhnya dinding rumah tempat harta karun tertimbun, terlihat sebagai musibah tapi hakikatnya anugrah, kehilangan yang sedikit untuk akhirnya mendapat banyak. Sebab karena itu, akan berarti terlihat dan didapatnya harta karun yang kita cari dan dambakan..., akan berarti terbukanya pintu hati kita, tempatnya kesadaran, pengetahuan, kekuatan lebih tinggi kita..., modal sangat berharga kita untuk bangkit, membangun kembali kekuatan, kehormatan dan kemuliaan kita.

Kegagalan yang terus disangkal-diingkari-tidak diakui itu ibarat kita hanyut dan tenggelam tapi menolak meminta tolong hanya karena kita merasa lebih pandai, kuat, benar, diberkahi, akan selamat tanpa harus meminta tolong. Penolakan yang akan pasti membuat kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tinggi kita tidak terpanggil dan tergugah menolong kita, terus tertutup dan tertidur. Penolakan yang akan membuat kita-maksud hati ingin mendapat banyak, malah akhirnya tak mendapat apapun.

Sayangnya, banyak orang relijius sekarang, sudah jelas gagal tapi justru keakuannya menjadi semakin meninggi, mereka-bukannya berusaha mencari pemecahan di dalam dirinya sendiri, malah sibuk mencari kambing hitam di luar sana. Bukannya belajar menyadari-mengenali kelemahan dan kekuatan diri tapi malah terus memupuk prasangka akan keburukan dan kejahatan orang lain.

Jauh panggang dari api, mereka mengabaikan permata dalam dirinya hanya karena silau pada kilauan pecahan kaca di kejauhan...

Rabu, 08 November 2017

Mukjizat Bekerja dengan Cinta


Jikalau kau bekerja dengan rasa cinta, engkau menyatukan dirimu dengan dirimu.

Kau satukan dirimu dengan orang lain, dan sebaliknya..., serta kau dekatkan dirimu kepada Tuhan.

Dan apakah yang dinamakan bekerja dengan rasa cinta?.

Laksana menenun kain dengan benang yag ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmulah yang akan mengenakan kain itu.

Bagai membangun rumah dengan penuh kesayangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan mendiaminya di masa depan.

Seperti menyebar benih dengan kemesraan, dan memungut panen dengan kegirangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan makan buahnya kemudian.

(Khalil Gibran)

Teman-teman saya dulu (banyak yang sarjana tapi masih menganggur) sering meminta saya membimbing-mengajarinya cara beternak itik petelur dan ayam kampung sebagaimans profesi yang saya jalankan dulu. Sayangnya, walau sudah sekuat tenaga saya membimbing-mengajari sekaligus memotivasi, tidak ada satupun di antara mereka yang berhasil, kalau tidak menyerah karena kesulitan menangani beragam masalahnya ya menyerah karena merugi terus-terusan.

Mengapa itu bisa terjadi...?. Tiadanya cinta, passion, minat yang kuat..., mungkin mereka ingin beternak karena terpaksa saja, hanya profesi sela, batu loncatan sebelum mendapat pekerjaan yang sesuai dengan cita-cita atau ijazahnya. Keadaan yang membuat mereka, bagaimanapun pintar dan cerdasnya, masih hanya seumpama robot, anjing atau burung beo..., boleh saja sangat responsif, hebat dalam mencontoh, meniru apa yang (tampak) saya ajarkan tapi tidak akan bisa mencontoh spirit, jiwa, jantung, "wahyu-pulung" dari cara beternak itik dan ayam kampung. Padahal spirit, jiwa, jantung, wahyu-pulung itulah yang membuat kita akan terus dibanjiri petunjuk bagaimana memecahkan masalah, bagaimana berinovasi, bagaimana tetap eksis di tengah situasi yang sangat sulit-menantang.

Cinta, passion, minat yang kuat akan membuat "suket godong dadi rowang", membuat kita menjadi sangat efektif dan efisien dalam belajar dan menggapai sesuatu. Tugas utama seorang guru atau orang tua jelas, bukan hanya menyampaikan, mengajari apalagi mendoktrin melainkan mengarahkannya untuk memiliki cinta, passion, minat yang kuat utamanya pada ilmu, pengetahuan, kebaikan...

Minggu, 05 November 2017

Yang Sesat, yang Anti Hakikat


Sesat adalah saat kita gagal memahami sekaligus mengikuti apa kata kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, jati diri kita, pamomong kita, makrifat kita, "Gusti" yang bersemayam di dalam diri kita. Apakah yang dikatakannya...?, apa-apa yang terbaik-termaslahat kecilnya bagi diri pribadi kita, keluarga kita, etnis kita, bangsa kita, besarnya bagi umat manusia-alam semesta secara keseluruhan.

Karenanya, sesat itu sangatlah fleksibel secara baju-syariat tapi sangat keras secara esensi-hakikat. Hari ini, di tempat ini, dalam kondisi ini, mungkin profesi berdagang bagi saya adalah profesi sesat, tapi besok, di tempat lain, dalam kondisi lain, mungkin justru sebaliknya, berdaganglah profesi paling lurus bagi saya. Pun demikian dalam perkara berbudaya, berideologi, berpolitik bahkan beragama, kesesatan itu sangat kontekstual-kondisional, apa yang baik-tidak sesat pada masa lalu belum tentu masih menjadi yang baik pada masa kini apalagi pada masa depan.

Ask yourself..., heningkan diri..., satu-satunya jalan agar kita konsisten untuk tidak sesat ya pahamilah yang esensi termasuk esensi apa yang sesat itu..., sebab yang esensi itu kuat dan pasti, tidak akan bisa dimanipulasi, dipoles atau dikamuflase dengan dalih dan dalil sekuat apapun, siapapun yang terjerumus di dalamnya, akan "terhukum" dengan sendirinya. Sebab itu sama saja sedang melawan kehendak alam-kehendak esensi Tuhan, sunatullah..., sama saja membendung sungai dengan tumpukan merang atau memaksa matahari agar terbit dari barat, sia-sia saja, sekuat apapun iman kita, tidak akan sanggup membantu-menolong kita...

Sabtu, 04 November 2017

Antara Relijiusitas dan Hedonitas


Agama adalah perkara pengendalian diri..., perkara pengendalian ego-hawa nafsu kita, kehendak "daging" kita. Sesaat sesudah kita gagal mengendalikan keinginan kita untuk kaya, berprasangka, berkuasa atau beristri "lima", saat itu juga kita sebenarnya sudah tidak relijius..., sudah akan sangat sulit mendapat berkah-manfaat hakiki dari agama yaitu keterbimbingan, pengayoman, keterhubungan dengan jati diri kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, Gusti yang bersemayam dalam diri kita.

Jangan berdalih bahkan termasuk dengan kitab suci..., kalau kita memang masih (sangat) ingin kaya, berprasangka, berkuasa atau beristri lima, konsekwen saja, lepas semua atribut agama, jangan lagi bicara tentang agama, tentang Tuhan atau tentang kebenaran..., jangan pula mengatasnamakan agama, Tuhan atau kebenaran untuk (bahkan) niat baik kita sebab kita sendiri sudah menutup jalan-jalan hakiki menuju pemahaman-keterhubungan dengan mereka semua. Kita tidak akan tahu apakah yang kita lakukan dan pengatas-namaan kita itu betul direstui-selaras dengan kehendak agama, Tuhan, hakikat kebenaran. Kita bicara tentang agama, Tuhan dan kebenaranpun hampir pasti cenderung hanya untuk mendukung terpenuhinya ego-hawa nafsu kita.

Energi emosional-spiritual kita itu ibarat sumur timba, jika ember yang satu naik, ember yang lainnya pasti akan turun, jika energi itu lebih kita manfaatkan untuk memenuhi ego-hawa nafsu kita, bagian yang untuk "Tuhan", kesadaran-makrifat kita otomatis pasti akan berkurang. Sekarang banyak bermunculan orang-orang "kreatif" yang berusaha menyatukan kehendak Tuhan dengan kehendak setan..., menutupi keserakahannya, ego-hawa nafsunya dengan agama-kesucian-Tuhan. Mereka berbohong, berprasangka buruk, menumpuk harta, berpolitik, berpoligami bahkan berperang katanya demi agama dan Tuhan. Mereka mengira itu akan menguntungkan dan menyelamatkannya, membuat dunianya sukses, akhiratnyapun tergapai padahal bisa jadi, akan membuat mereka gagal menggapai keduanya.

Jadi ingat bantahan teman debat saya dulu saat saya memintanya untuk sedikit menghormati Kyai (Ulama), dia mengatakan (kurang lebih), "kalau masih sama-sama doyan wanita dan duwit, gak perlulah dipandang lebih benar atau mulia". Dulu siech saya menuduh bantahannya ngawur, gak ada dasarnya..., tapi sekarang, saya mengakui bantahannya itu tepat. Nilai kemuliaan dan kebenaran kita memang bisa diukur dari sejauh mana pengendalian hasrat kita pada wanita, uang, kekuasaan, prasangka atau hal-hal egoistik-ragawi lainnya. Kalau itu masih tinggi, baju relijius menjadi tidak ada artinya, kita masih sama-sama seumpama anak bermain di bibir jurang di hadapan hakikat kebenaran, ringkih, rapuh, akan terpeleset jatuh dalam kesesatan hanya dengan sedikit bergerak dan pemicu.

Tidak (tampak) relijius bukanlah sesuatu yang hina sepanjang kita masih taat hukum dan nilai-nilai moral universal, tidak perlu kita takut akan status itu. Justru, keinginan untuk tampak dan disebut relijius tapi kita mengingkari semua konsekwensinya adalah kemunafikan-penipuan besar...

Selasa, 31 Oktober 2017

Antara Agama dan Sains



Agama dan sains itu sesuatu yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang, tidak mungkin bisa selaras, kalaupun ada bagian yang selaras, itu hanya kebetulan saja. Karenanya, jangan ngotot berusaha menyelaraskannya, jangan jadi penghayal dan pemabuk hanya untuk memenuhi hasrat menguatkan iman kita.


Agama mempunyai misi membawa kita pada kebaikan, kemaslahatan, keselamatan. Sementara sains mempunyai misi membawa kita pada kebenaran, realitas, fakta. Kalau kita pernah belajar atau menjalani "laku" spiritual, kita akan mengerti itu. Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita sebagai sumber utama dari agama, hanya tahu-mementingkan apa yang baik-kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya baik bagi umat manusia secara keseluruhan. Kita beribadah, berpuasa, berzikir atau bermeditasi puluhan tahunpun, tidak akan pernah menghasilkan penemuan sains, hanya bisa menghasilkan penemuan tentang apa-apa yang baik yang harus dilakukan diri atau masyarakat kita..., dan itu, tidak mempedulikan benar-tidaknya, masuk akal-tidaknya.


Cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Nyi Roro Kidul atau cerita-cerita dongeng lainnya secara esensi itu sama dengan agama..., hampir pasti, asal ide-inspirasi dari cerita itu juga sama, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita. Secara sains jelas isi cerita itu salah, tidak masuk akal, tidak pernah ada, hanya hayalan belaka. Tapi apakah karena cerita itu tidak sesuai sains lantas dengan gegabah mesti kita campakkan, hilangkan dari benak masyarakat kita...?. Kalau cerita itu nyatanya masih mampu mambawa masyarakat pada kebaikan, mampu membentuk moral dan budaya yang lebih baik dan beradab, untuk apa harus ekstrim kita tolak...?.


Jadi ingat sebuah pohon elo raksasa di pinggir sungai depan rumah saya yang sekarang sudah tidak ada. Dulu, air sadapan dari pohon itu dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit, banyak kesaksian yang mendukungnya, setiap pagi sebelum terbit matahari, ada saja orang menyadap airnya. Secara sains, jelas keyakinan air pohon elo itu berkhasiat salah besar, tidak ada bukti ilmiahnya. Secara agamapun keyakinan itu masuk kategori sesat, bid'ah, syirik, tidak dibenarkan. Tapi kalau nyatanya keyakinan itu telah membuat banyak orang terbantu, tidak perlu repot-repot keluar banyak uang untuk menyembuhkan sakit yang dideritanya, mengapa keyakinan itu harus kita tolak dan musuhi...?.


Tugas-upaya-jihad tersuci relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah ngotot mengklaim kebenaran suatu (cerita-dongeng) agama berikut memaksakan penerapannya tapi mengukur dengan segenap akal dan hati kita-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita apakah (cerita-dongeng) agama itu masih mampu membawa kebaikan bagi masyarakat kita sekarang. Jika ternyata tidak, kita harus ikhlas untuk melakukan pembaruan atau mentafsir ulang. Kalau cerita Malin Kundang ternyata lebih memicu orang tua menjadi tiran daripada membuat anak menjadi berbakti, mengapa kita terus ngotot menjaga keaslian isi cerita-dongeng itu...?. Kalau suatu (tafsir) agama sudah lebih banyak memproduksi teroris ketimbang humanis, apakah masih layak kita terus mempertahankan (tafsir) agama itu...?.


Pun demikian dengan tugas utama saintifik kita, bukanlah membabi-buta memaksakan penyampaian atau penerapan suatu kebenaran atau fakta..., jika kebenaran atau fakta itu justru memicu hal yang buruk bagi masyarakat, kita harus ikhlas menyimpannya. Tidak ada artinya kebenaran jika itu tidak membawa masyarakat pada kebaikannya...

Idealisme dan Ego


Tahun 2000-an, saat saya kebingungan mencari kerja, saya didaftarkan Bapak saya bekerja di sebuah instansi pemerintah, sayangnya, mendaftarkannya dengan cara membayar alias menyuap. Mengetahui itu, saya langsung mundur dan memarahi Bapak saya, bahkan saya meminta Bapak saya meminta kembali uang suap yang sudah kadung diberikan pada pejabat di instansi pemerintah itu. Begitulah salah satu idealisme saya waktu muda, anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), idealisme populer aktifis, politisi, mahasiswa dan anak muda waktu itu.

Dalam perkara cintapun saya punya idealisme yang tidak kalah keras, sekali menyatakan cinta, akan kupegang selamanya, takkan pernah kucabut hingga nyawa tercabut, akan tetap setia hingga akhir masa. Bagi saya, cinta dan kesetiaan adalah perkara sakral yang akan menjadi batu penguji integritas, moralitas bahkan spiritualitas kita, ketidakmampuan menghormatinya akan berarti tiadanya integritas, rendahnya moral, kurangnya kawruh.

Sekarang, teman-teman seangkatan saya yang dulu menyuap demi bisa bekerja di instansi pemerintah, sudah sukses semua, menjadi orang terpandang..., sementara saya yang sok idealis, masih gedangkrangan hanya demi sesuap nasi. Sekarang, wanita yang dulu pernah jadi bagian dari idealismeku, yang sewiyah-wiyah, yang semaunya sendiri, hidupnya sudah bahagia, bukan dengan saya, tapi dengan yang lain, sementara saya yang sok setia, sok menjadi pecinta sejati, pecinta abadi, sok mengorbankan segalanya demi cinta, merana. Kadang ada perasaan menyesal di dalam diri ini, memangnya siapa saya kok berani-beraninya sok kuat, sok idealis, mengapa saya tidak ikut arus saja, menjadi pragmatis seperti orang-orang toh resikonya juga tidak besar.

Menjadi idealis (yang disadari, bukan idealis karbitan-emosional-ikut-ikutan) itu ibarat orang ikut tarikat sufi, pahit dan sengsaranya sudah pasti, hasilnya gak pernah pasti..., ibarat orang nunggu randane, kelakon dadi randa belum tentu, jikapun kelakon, belum tentu mau... ^^ Ini adalah latihan mental-spiritual yang sebenarnya, sarana sempurna menguji tekad dan kepasrahan kita. Jadi, dimaklumi saja kalau sekarang banyak politisi, ide dan perkataannya sering berubah 180 derajat, dari perajut tenun kebangsaan menjadi perobeknya, dari nasionalis menjadi fundamentalis, dari sosialis menjadi kapitalis..., memang berat kok konsisten menjadi idealis karena lawannya adalah ego kita sendiri.

Tapi ada satu kebanggaan tak ternilai saat kita berhasil melewati godaan besar idealisme..., seterpuruk apapun, kita tetap masih bisa menghibur diri..., masih bisa berkata, aku telah jujur..., aku telah setia hingga akhir...

Senin, 30 Oktober 2017

Ketakutan yang Membodohkan


Waktu masih menjadi orang relijius, saya dulu itu takut sekali keluarga saya, teman-teman saya, masyarakat saya dan orang-orang yang saya kasihi lainnya masuk neraka karena melanggar (apa yang saya kira) sebagai perintah agama atau Tuhan.

Apakah ketakutan itu membuat saya menjadi lebih rasional, lembut dan sabar dalam mengajak mereka semua-orang-orang yang saya kasihi mengikuti aturan-perintah agama sehingga bisa terhindar dari (apa yang saya pikirkan sebagai) neraka?. Ternyata tidak, jika nasihat, "khotbah" saya diabaikan, yang sering terjadi justru rasa marah dan frustrasi hingga kemudian muncul ide dan kehendak meledak-ledak untuk memaksa termasuk dengan kekerasan agar mereka-orang-orang yang saya kasihi itu patuh tanpa syarat terhadap ajaran agama yang saya percayai. Saya mendadak merasa bak pahlawan atau mujahid yang tanpa ragu siap memaksa dan melawan siapa saja serta mati kapan dan dimana saja demi "mengobati" rasa takut saya itu.

Apa yang pernah saya alami itu menunjukkan secara gamblang kalau ketakutan bagaimanapun adalah tipu daya raga, setan, ego-hawa nafsu yang  membodohkan-menyesatkan dan menzalimkan..., melumpuhkan nalar-menutup hati, dua sumber daya pengawal-penunjuk kelurusan kita. Dia hanya menguatkan naluri untuk menghindar atau melawan, bukan menguatkan kemampuan memahami apa yang hakikatnya baik dan benar..., dia hanya mengarahkan kita untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, bukan mengarahkan kita memahami alasan dibalik apapun perbuatan kita..., dia tidak akan membantu mendekatkan kita pada obyek yang kita takuti, melainkan menjauhkannya. Sayang sekali, masih sangat banyak orang relijius sekarang yang menjadikan ketakutan sebagai alat utama mengajarkan agama. Sesuatu yang ironis sebenarnya, agama mengklaim sebagai kebenaran tapi jalan-jalan menuju pemahaman terhadapnya (termasuk dikendalikannya ketakutan), malah diingkari bahkan dihakimi sebagai kesesatan.

Takutlah hanya untuk sesuatu yang kita ketahui secara esensi buruk, yang mengancam eksistensi kita-umat manusia. Takut Tuhan (termasuk neraka) bagus jika yang dimaksud adalah takut melawan esensi kehendak Tuhan, sunatullah, kehendak alam semesta..., bukan takut pada tafsir, mitos, prasangka, angan-angan, "cerita" tentang kehendak Tuhan...

Kamis, 26 Oktober 2017

Cerdiknya Ego


26/10/2017 13:00. Wis ngopi setengah gelas nembe eling nek aku kie lagi puasa..., setelah itu godaan setanpun datang, "daripada yang setengah gelas lagi itu mubazir, lebih baik dihabiskan saja sekalian, puasanya diganti besok saja". Akhirnya yang setengah gelas lagi itu kuhabiskan... ^^

Setan, ego-hawa nafsu, memang hebat, sangat cerdik, pandai membungkus sesuatu yang buruk, salah, berbahaya menjadi tampak baik dan benar. "Menghindari kemubaziran" adalah satu perbuatan mulia, perintah agama, siapa siech yang tidak tertarik ingin melakukan itu...?. Saya boleh saja kuat menghadapi godaan puasa lainnya (contohnya tadi pagi, melihat cewek seksi gak saya lirik, gak membuat pikiranku melayang kemana-mana sehingga timbul birahi), tapi saat setan, ego-hawa nafsu saya menggunakan dalih atau kata-kata indah-suci "menghindari kemubaziran" sebagai "bungkus" godaan, ternyata nalar saya langsung lumpuh, menjadi lupa akan niat awal saya yang sebenarnya jauh lebih mulia, tak sebanding dengan mudarat memubazirkan setengah gelas kopi. Saya mendadak kreatif mencari dalih untuk mendukung hasrat saya menghabiskan kopi mantap yang tersisa itu.

Apa yang terjadi pada saya itu tadi jelas merupakan gambaran umum bagaimana susahnya kita mengenali tipu daya setan, ego-hawa nafsu kita berikut menguasainya. Berapa banyak orang sekarang bernasib sama seperti saya itu tadi...?. Mereka boleh saja kuat untuk tidak mencuri, berbohong, minum alkohol atau berzina..., tapi coba saat mereka dihadapkan pada kata-kata "membela agama", "menegakkan hukum Allah", "amar ma'ruf nahi munkar" dll, nalar mereka langsung lumpuh, sering tidak menyadari kalau itu tak lebih dari "bungkus" godaan-tipu daya setan, ego-hawa nafsunya sendiri yang pasti hanya akan menjerumuskan mereka pada kemudaratan, kebodohan, kesesatan, kezaliman bahkan kehancuran...

Rabu, 25 Oktober 2017

Bacalah dan Ikuti!


Di kampungku, ada satu sungai tempatku dulu menghabiskan sebagian masa kecil hingga remajaku. Namanya sungai Sapi. Sungai ini alirannya sangat deras dengan pasir, batu-batu besar dan kecil memenuhi dasar dan sisinya. Di musim kemarau, tak seberapa airnya bahkan kalau kemarau panjang melanda, sering tidak ada airnya sama sekali. Tapi jika musim hujan datang, jangan ditanya, airnya akan menggelegak ganas hingga bahkan sering berbahaya untuk diseberangi.

Di salah satu bagian dari sungai ini, ada satu jeram tempatku dan teman-teman sebayaku dulu hobi melakukan uji nyali. Jeram ini penuh bebatuan besar, sempit dan dalam. Di satu sisinya terdapat dinding batu padas tajam menjorok ke tengah sungai, siap menghajar benda apapun yang lewat di dekatnya. Untungnya, ujung akhir dari jeram ini adalah bagian sungai yang lebar, dangkal, berpasir, relatif tenang airnya sehingga siapapun yang ditimpa apes saat melewati jeram itu, tidak akan tertimpa apes tambahan, akan terdampar, tidak akan hanyut lebih jauh.

Uji nyali dilakukan bukan dengan naik perahu karet atau ban seperti umumnya dilakukan orang sekarang, melainkan cukup melewati-menghanyutkan diri dalam aliran jeram itu. Awal-awalku melakukan uji nyali, babak belurlah yang terjadi, lutut dan gares (tulang kering) ku sering membentur batu tajam hingga bahkan salah satunya, membuatku gak sanggup berjalan saking sakitnya. Bocor kepala, dadal tangan dan kaki atau kembung dan tersedak parah gara-gara terlalu banyak kemasukan air sungai adalah fenomena yang biasa terjadi di antara para peserta uji nyali. Apalagi kalau uji nyali itu dilakukan sambil bergurau, dilakukan ramai-ramai hingga berujung pada upaya saling mengerjai, menjatuhkan dan menenggelamkan teman, makin tinggilah resikonya. Uniknya, nasib sial teman selalu jadi bahan tertawaan, kalau ada teman yang sampai hidung atau mukanya merah-merah, meringis dan matanya "merkabak" atau hampir menangis, kami semua akan tertawa dan menyorakinya. Yang jelas, sesudah saya dan teman-teman tahu "ilmu" cara mengarungi jeram itu, tantangan, keganasan, kengerian, bahaya, berubah menjadi kesenangan dan kenikmatan tiada tanding, mencandu..., mungkin sama nikmatnya dengan mereka yang hobi berselancar di antara ombak laut yang bergulung tinggi.

Ada satu pelajaran berharga dari hobi masa kecil-mudaku itu. Aliran jeram itu ibarat aliran kehendak alam semesta-esensi ketuhanan. Untuk bisa melewatinya dengan selamat bahkan menyenangkan, diperlukan fokus, ketenangan, santai, tidak boleh gugup, tidak boleh takut, tidak boleh melakukan gerakan ekstrim seperti berhenti atau berbelok mendadak bahkan jika itu untuk menghindari benturan dengan batu padas tajam. Berhenti atau berbelok kasar akan berarti jatuh, jika itu yang terjadi, kita kehilangan kendali, kita hanyut dan tenggelam, tentu, batu-batu kali sing pating jenggeleg dan padas tajam sing pating crengangah siap menyambut kita.

Agama seharusnya datang untuk membimbing kita melewati "jeram", aliran kehendak alam semesta-esensi ketuhanan dengan selamat dan menyenangkan. Tapi sayang sekali, sekarang banyak orang dengan pongahnya justru menjadikannya sebagai alat untuk melawannya. Perlawanan yang sia-sia, akan seumpama rusa melawan singa, berhasil tidak mungkin, mati sudah pasti...

Senin, 23 Oktober 2017

Mengalirkan Diri, Memaslahatkan Diri


Sudah sangat sering saya meliihat penghakiman orang relijius katanya pertumbuhan sangat rendah jumlah penduduk di negara-negara maju adalah cermin gagalnya nilai-nilai non-relijius (demokrasi, hak azasi, humanisme, sekulerisme, atheisme, emansipasi, hedonisme) dalam mendukung lestarinya umat manusia di muka bumi ini. 

Penghakiman yang dangkal sekaligus konyol. Kalau penghakiman itu diucapkan 14 atau 20 abad yang lalu, tentu saya akan sangat setuju. Keengganan menyegerakan perkawinan dan berkembang biak sebanyak-banyaknya akan menjadi masalah besar mengingat waktu itu angka harapan hidup sangat rendah. Penyakit tak terobati, bencana alam tak terprediksi, konflik dan peperangan yang terus terjadi hingga serangan hewan buas menjadi penyebabnya. Salah satu jalan bagi suatu umat atau masyarakat untuk tetap bisa eksis dan mendominasi adalah kawin sedini mungkin dan berkembang biak sebanyak mungkin. Rendahnya pertumbuhan penduduk di negara-negara maju sekarang justru mencerminkan hal yang sebaliknya, mereka sedang berada di titik idealnya, mereka sedang merasa sangat aman ditandai-dibuktikan dengan melemahnya naluri-naluri untuk mempertahankan eksistensi diri-masyarakatnya terutama naluri untuk berkembang biak.

Jadi, kalau penghakiman itu diucapkan sekarang..., saat konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi yang mendasari munculnya aturan yang memicu penghakiman itu sudah berubah total bahkan berbalik, jelas salah tempat. Ibarat orang masih mengobarkan permusuhan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda padahal Belanda jelas-jelas sudah pergi, tak lagi menjajah. Orang masih ingin memaksakan pelaksanaan aturan yang sama padahal jumlah umat manusia sudah sangat banyak..., melebihi jumlah yang bisa ditopang suatu wilayah, negara dan bahkan bumi ini. Tanda-tandanya nyata terlihat sekarang, demi menopang hidup manusia yang jumlahnya sudah sangat banyak di bumi ini, terjadi kerusakan-pencemaran lingkungan parah, pemanasan global yang memicu bencana alam, kepunahan massal, wabah penyakit hingga bahkan menguatnya naluri bersaing, menguasai, berperang dan membunuh di antara sesama umat manusia. Keadaan yang pasti pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup, kuantitas bahkan eksistensi manusia itu sendiri. 

Bagaimanapun, penghakiman itu adalah cermin gagalnya (fundamentalisme) agama membawa umat pada tujuan hakiki agama itu sendiri. Fundamentalisme agama membuat penganut agama menjadi tidak mampu mengikuti-membaca arah kehendak alam yang hidup, berubah dan berkembang..., gagal memahami apa-apa yang terbaik-termaslahat bagi umat manusia saat waktu, tempat, situasi dan kondisi sudah berubah-berbeda dari saat agama itu datang..., membuat manusia terkunci pada kebaikan masa lalu yang sering sudah tidak mungkin lagi tetap bernilai kebaikan di masa sekarang. 

Agama adalah potret-cermin apa-apa yang terbaik bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, tempat, situasi dan kondisi. Let's follow the flow. Tugas relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah memaksakan aturan yang sudah kehilangan konteks-sudah berbeda waktu, tempat, situasi dan kondisi itu-menerapkan agama secara radikal, melainkan memahami aturan apa yang terbaik yang harus diterapkan sekarang, di sini, dalam situasi dan kondisi ini. Mungkin kalau sekarang muncul agama atau sekte agama baru, salah satu aturan atau syariat utama yang akan muncul adalah sunah menunda perkawinan, sunah memiliki sesedikit mungkin anak dan wajib hanya memiliki satu istri...

Sabtu, 21 Oktober 2017

Tiada Agama tanpa Penguasaan Ego


Jika ego-obsesi kita terhadap uang tak terkendali, tumpukan koran akan tampak sebagai tumpukan uang, orang mau menipu dikira mau membantu, keburukan-kejahatan tak lagi dirasa menyesakkan..., pun demikian jika ego-obsesi kita terhadap jabatan, wanita atau bahkan agama tak terkendali..., dampaknya sama, melumpuhkan kesadaran, membuat kita "sesat di jalan yang terang".

Sayangnya, banyak orang sekarang justru memandang ego-obsesi tak terkendali terhadap agama itu sebagai bukan sesuatu yang buruk bahkan dianggap sebagai ekspresi kesalehan atau ibadah. Padahal jelas, ego-obsesi itu perkara substansi, esensi, hakikat..., diletakkan di manapun tidak akan merubah nilai dan dampaknya..., akan memabukkan, menyesatkan.

"Syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian" (Sheikh Siti Jenar). Kematian di sini maksudnya adalah matinya ego-obsesi-hawa nafsu, kehendak raga kita. Tepat sekali kata-kata Sang Sheikh itu. Jauh lebih penting bagi kita untuk belajar mengenali-menguasai ego kita, "mematikan" diri lebih dulu daripada belajar agama atau syariat. Sebab jika ego kita tak terkendali, hampir pasti, ayat-ayat cintapun akan dipahami sebagai ayat-ayat setan, rahmat bagi alam semesta malah memicu musibah bagi alam semesta, godaan setan akan dikira petunjuk Tuhan, keburukan dikira kebaikan, meruntuhkan agama dikira membela-menegakkan agama.

Jadi ingat dulu waktu masih menjadi orang relijius, pernah ditolak cinta ama cewek solehah, bukannya itu membuatku menjadi introspeksi, sadar kalau aku ini kurang gagah sehingga wajar ditolak..., malah membuatku marah dan menghakimi kalau cewek yang menolakku itu tak mengerti agama, tak mau dibimbing ke jalan yang lurus, tak mau mengikuti tuntunan Rasul untuk tak menolak cinta-pinangan orang soleh. Agama telah sangat sukses membuatku menjadi sombong, pemarah, egois, penuh prasangka dan penghakiman, mau benar dan menang sendiri..., sukses mengkamuflase ego saya menjadi tampak dan dirasakan suci...