Rabu, 25 Oktober 2017

Bacalah dan Ikuti!


Di kampungku, ada satu sungai tempatku dulu menghabiskan sebagian masa kecil hingga remajaku. Namanya sungai Sapi. Sungai ini alirannya sangat deras dengan pasir, batu-batu besar dan kecil memenuhi dasar dan sisinya. Di musim kemarau, tak seberapa airnya bahkan kalau kemarau panjang melanda, sering tidak ada airnya sama sekali. Tapi jika musim hujan datang, jangan ditanya, airnya akan menggelegak ganas hingga bahkan sering berbahaya untuk diseberangi.

Di salah satu bagian dari sungai ini, ada satu jeram tempatku dan teman-teman sebayaku dulu hobi melakukan uji nyali. Jeram ini penuh bebatuan besar, sempit dan dalam. Di satu sisinya terdapat dinding batu padas tajam menjorok ke tengah sungai, siap menghajar benda apapun yang lewat di dekatnya. Untungnya, ujung akhir dari jeram ini adalah bagian sungai yang lebar, dangkal, berpasir, relatif tenang airnya sehingga siapapun yang ditimpa apes saat melewati jeram itu, tidak akan tertimpa apes tambahan, akan terdampar, tidak akan hanyut lebih jauh.

Uji nyali dilakukan bukan dengan naik perahu karet atau ban seperti umumnya dilakukan orang sekarang, melainkan cukup melewati-menghanyutkan diri dalam aliran jeram itu. Awal-awalku melakukan uji nyali, babak belurlah yang terjadi, lutut dan gares (tulang kering) ku sering membentur batu tajam hingga bahkan salah satunya, membuatku gak sanggup berjalan saking sakitnya. Bocor kepala, dadal tangan dan kaki atau kembung dan tersedak parah gara-gara terlalu banyak kemasukan air sungai adalah fenomena yang biasa terjadi di antara para peserta uji nyali. Apalagi kalau uji nyali itu dilakukan sambil bergurau, dilakukan ramai-ramai hingga berujung pada upaya saling mengerjai, menjatuhkan dan menenggelamkan teman, makin tinggilah resikonya. Uniknya, nasib sial teman selalu jadi bahan tertawaan, kalau ada teman yang sampai hidung atau mukanya merah-merah, meringis dan matanya "merkabak" atau hampir menangis, kami semua akan tertawa dan menyorakinya. Yang jelas, sesudah saya dan teman-teman tahu "ilmu" cara mengarungi jeram itu, tantangan, keganasan, kengerian, bahaya, berubah menjadi kesenangan dan kenikmatan tiada tanding, mencandu..., mungkin sama nikmatnya dengan mereka yang hobi berselancar di antara ombak laut yang bergulung tinggi.

Ada satu pelajaran berharga dari hobi masa kecil-mudaku itu. Aliran jeram itu ibarat aliran kehendak alam semesta-esensi ketuhanan. Untuk bisa melewatinya dengan selamat bahkan menyenangkan, diperlukan fokus, ketenangan, santai, tidak boleh gugup, tidak boleh takut, tidak boleh melakukan gerakan ekstrim seperti berhenti atau berbelok mendadak bahkan jika itu untuk menghindari benturan dengan batu padas tajam. Berhenti atau berbelok kasar akan berarti jatuh, jika itu yang terjadi, kita kehilangan kendali, kita hanyut dan tenggelam, tentu, batu-batu kali sing pating jenggeleg dan padas tajam sing pating crengangah siap menyambut kita.

Agama seharusnya datang untuk membimbing kita melewati "jeram", aliran kehendak alam semesta-esensi ketuhanan dengan selamat dan menyenangkan. Tapi sayang sekali, sekarang banyak orang dengan pongahnya justru menjadikannya sebagai alat untuk melawannya. Perlawanan yang sia-sia, akan seumpama rusa melawan singa, berhasil tidak mungkin, mati sudah pasti...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar