Tahun 2000-an, saat saya kebingungan mencari kerja, saya didaftarkan Bapak saya bekerja di sebuah instansi pemerintah, sayangnya, mendaftarkannya dengan cara membayar alias menyuap. Mengetahui itu, saya langsung mundur dan memarahi Bapak saya, bahkan saya meminta Bapak saya meminta kembali uang suap yang sudah kadung diberikan pada pejabat di instansi pemerintah itu. Begitulah salah satu idealisme saya waktu muda, anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), idealisme populer aktifis, politisi, mahasiswa dan anak muda waktu itu.
Dalam perkara cintapun saya punya idealisme yang tidak kalah keras, sekali menyatakan cinta, akan kupegang selamanya, takkan pernah kucabut hingga nyawa tercabut, akan tetap setia hingga akhir masa. Bagi saya, cinta dan kesetiaan adalah perkara sakral yang akan menjadi batu penguji integritas, moralitas bahkan spiritualitas kita, ketidakmampuan menghormatinya akan berarti tiadanya integritas, rendahnya moral, kurangnya kawruh.
Sekarang, teman-teman seangkatan saya yang dulu menyuap demi bisa bekerja di instansi pemerintah, sudah sukses semua, menjadi orang terpandang..., sementara saya yang sok idealis, masih gedangkrangan hanya demi sesuap nasi. Sekarang, wanita yang dulu pernah jadi bagian dari idealismeku, yang sewiyah-wiyah, yang semaunya sendiri, hidupnya sudah bahagia, bukan dengan saya, tapi dengan yang lain, sementara saya yang sok setia, sok menjadi pecinta sejati, pecinta abadi, sok mengorbankan segalanya demi cinta, merana. Kadang ada perasaan menyesal di dalam diri ini, memangnya siapa saya kok berani-beraninya sok kuat, sok idealis, mengapa saya tidak ikut arus saja, menjadi pragmatis seperti orang-orang toh resikonya juga tidak besar.
Menjadi idealis (yang disadari, bukan idealis karbitan-emosional-ikut-ikutan) itu ibarat orang ikut tarikat sufi, pahit dan sengsaranya sudah pasti, hasilnya gak pernah pasti..., ibarat orang nunggu randane, kelakon dadi randa belum tentu, jikapun kelakon, belum tentu mau... ^^ Ini adalah latihan mental-spiritual yang sebenarnya, sarana sempurna menguji tekad dan kepasrahan kita. Jadi, dimaklumi saja kalau sekarang banyak politisi, ide dan perkataannya sering berubah 180 derajat, dari perajut tenun kebangsaan menjadi perobeknya, dari nasionalis menjadi fundamentalis, dari sosialis menjadi kapitalis..., memang berat kok konsisten menjadi idealis karena lawannya adalah ego kita sendiri.
Tapi ada satu kebanggaan tak ternilai saat kita berhasil melewati godaan besar idealisme..., seterpuruk apapun, kita tetap masih bisa menghibur diri..., masih bisa berkata, aku telah jujur..., aku telah setia hingga akhir...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar