Minggu, 15 Oktober 2017

Akar Agama dan Budaya


Orang Islam tidak makan babi, orang Hindu tidak makan sapi, orang Barat tidak makan merpati, orang Buddha tidak makan daging apapun, orang China makan daging apapun. Manakah yang benar...?. Boleh jadi semua benar atau sebaliknya, semua salah..., kontekslah yang menentukan, asal ditempatkan pada konteks yang benar, sesuai situasi-kondisi saat ajaran itu datang, semua ajaran menjadi benar.

Kalau kita memahami bagaimana mekanisme kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita mempersepsikan dunia, kita akan memahami mengapa ajaran-ajaran itu muncul dan sering sangat berbeda antara ajaran satu dengan yang lainnya. Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita sebagai sumber utama dari agama-budaya-moral hanya tahu-mementingkan apa yang terbaik bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, di suatu tempat, situasi dan kondisi, bukan apa yang benar, pada semua masyarakat, pada semua waktu, tempat, situasi dan kondisi.

Teks atau penjelasan-alasan mengenai ajaran-ajaran itu boleh apa saja, boleh karena alasan haram, disucikan, bersahabat, membawa keburukan atau yang lainnya, tapi maksud hakikinya tetaplah sama, mengikuti aturan itu akan membawa kebaikan. Mungkin di masa lalu, babi di Timur Tengah telah membawa wabah penyakit atau mengganggu keseimbangan persediaan pangan sehingga diharamkan, sapi memberi manfaat begitu banyak bagi orang India sehingga disucikan, merpati bagi orang Barat jadi lambang kesucian dan kesetiaan sehingga dirasa tak pantas dikonsumsi, segala jenis daging menganggu konsentrasi bagi Buddha Gautama saat bermeditasi sehingga harus ditinggalkan.

Melihat kenyataan itu, tugas hakiki relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah mempromosikan fundamentalisme, berusaha memaksakan penerapan aturan yang jelas berlaku sangat kontekstual, hanya berlaku pada situasi dan kondisi tertentu, pada suatu waktu dan tempat untuk diterapkan pada semua situasi dan kondisi, waktu dan tempat. Tugas kita adalah memahami apa-apa yang terbaik bagi masyarakat kita sekarang, di sini, dalam situasi dan kondisi ini untuk kemudian "mendakwahkannya", menjadi "syariat" atau norma baru di tengah-tengah masyarakat kita. Fundamentalisme hanya akan membuat agama kehilangan fungsi hakikinya sebagai alat-tarikat pencerah, pemaham apa-apa yang baik, yang pasti hidup, berubah dan berkembang.

Yang jelas, seandainya sekarang muncul agama baru, hampir pasti, aturan tentang hewan yang tidak boleh dimakan akan berubah total, menjadi harimau, badak, orang utan, ikan paus atau hewan terancam punah lainnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar