Sudah sangat sering saya meliihat penghakiman orang relijius katanya pertumbuhan sangat rendah jumlah penduduk di negara-negara maju adalah cermin gagalnya nilai-nilai non-relijius (demokrasi, hak azasi, humanisme, sekulerisme, atheisme, emansipasi, hedonisme) dalam mendukung lestarinya umat manusia di muka bumi ini.
Penghakiman yang dangkal sekaligus konyol. Kalau penghakiman itu diucapkan 14 atau 20 abad yang lalu, tentu saya akan sangat setuju. Keengganan menyegerakan perkawinan dan berkembang biak sebanyak-banyaknya akan menjadi masalah besar mengingat waktu itu angka harapan hidup sangat rendah. Penyakit tak terobati, bencana alam tak terprediksi, konflik dan peperangan yang terus terjadi hingga serangan hewan buas menjadi penyebabnya. Salah satu jalan bagi suatu umat atau masyarakat untuk tetap bisa eksis dan mendominasi adalah kawin sedini mungkin dan berkembang biak sebanyak mungkin. Rendahnya pertumbuhan penduduk di negara-negara maju sekarang justru mencerminkan hal yang sebaliknya, mereka sedang berada di titik idealnya, mereka sedang merasa sangat aman ditandai-dibuktikan dengan melemahnya naluri-naluri untuk mempertahankan eksistensi diri-masyarakatnya terutama naluri untuk berkembang biak.
Jadi, kalau penghakiman itu diucapkan sekarang..., saat konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi yang mendasari munculnya aturan yang memicu penghakiman itu sudah berubah total bahkan berbalik, jelas salah tempat. Ibarat orang masih mengobarkan permusuhan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda padahal Belanda jelas-jelas sudah pergi, tak lagi menjajah. Orang masih ingin memaksakan pelaksanaan aturan yang sama padahal jumlah umat manusia sudah sangat banyak..., melebihi jumlah yang bisa ditopang suatu wilayah, negara dan bahkan bumi ini. Tanda-tandanya nyata terlihat sekarang, demi menopang hidup manusia yang jumlahnya sudah sangat banyak di bumi ini, terjadi kerusakan-pencemaran lingkungan parah, pemanasan global yang memicu bencana alam, kepunahan massal, wabah penyakit hingga bahkan menguatnya naluri bersaing, menguasai, berperang dan membunuh di antara sesama umat manusia. Keadaan yang pasti pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup, kuantitas bahkan eksistensi manusia itu sendiri.
Bagaimanapun, penghakiman itu adalah cermin gagalnya (fundamentalisme) agama membawa umat pada tujuan hakiki agama itu sendiri. Fundamentalisme agama membuat penganut agama menjadi tidak mampu mengikuti-membaca arah kehendak alam yang hidup, berubah dan berkembang..., gagal memahami apa-apa yang terbaik-termaslahat bagi umat manusia saat waktu, tempat, situasi dan kondisi sudah berubah-berbeda dari saat agama itu datang..., membuat manusia terkunci pada kebaikan masa lalu yang sering sudah tidak mungkin lagi tetap bernilai kebaikan di masa sekarang.
Agama adalah potret-cermin apa-apa yang terbaik bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, tempat, situasi dan kondisi. Let's follow the flow. Tugas relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah memaksakan aturan yang sudah kehilangan konteks-sudah berbeda waktu, tempat, situasi dan kondisi itu-menerapkan agama secara radikal, melainkan memahami aturan apa yang terbaik yang harus diterapkan sekarang, di sini, dalam situasi dan kondisi ini. Mungkin kalau sekarang muncul agama atau sekte agama baru, salah satu aturan atau syariat utama yang akan muncul adalah sunah menunda perkawinan, sunah memiliki sesedikit mungkin anak dan wajib hanya memiliki satu istri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar