Waktu masih menjadi orang relijius, saya dulu itu takut sekali keluarga saya, teman-teman saya, masyarakat saya dan orang-orang yang saya kasihi lainnya masuk neraka karena melanggar (apa yang saya kira) sebagai perintah agama atau Tuhan.
Apakah ketakutan itu membuat saya menjadi lebih rasional, lembut dan sabar dalam mengajak mereka semua-orang-orang yang saya kasihi mengikuti aturan-perintah agama sehingga bisa terhindar dari (apa yang saya pikirkan sebagai) neraka?. Ternyata tidak, jika nasihat, "khotbah" saya diabaikan, yang sering terjadi justru rasa marah dan frustrasi hingga kemudian muncul ide dan kehendak meledak-ledak untuk memaksa termasuk dengan kekerasan agar mereka-orang-orang yang saya kasihi itu patuh tanpa syarat terhadap ajaran agama yang saya percayai. Saya mendadak merasa bak pahlawan atau mujahid yang tanpa ragu siap memaksa dan melawan siapa saja serta mati kapan dan dimana saja demi "mengobati" rasa takut saya itu.
Apa yang pernah saya alami itu menunjukkan secara gamblang kalau ketakutan bagaimanapun adalah tipu daya raga, setan, ego-hawa nafsu yang membodohkan-menyesatkan dan menzalimkan..., melumpuhkan nalar-menutup hati, dua sumber daya pengawal-penunjuk kelurusan kita. Dia hanya menguatkan naluri untuk menghindar atau melawan, bukan menguatkan kemampuan memahami apa yang hakikatnya baik dan benar..., dia hanya mengarahkan kita untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, bukan mengarahkan kita memahami alasan dibalik apapun perbuatan kita..., dia tidak akan membantu mendekatkan kita pada obyek yang kita takuti, melainkan menjauhkannya. Sayang sekali, masih sangat banyak orang relijius sekarang yang menjadikan ketakutan sebagai alat utama mengajarkan agama. Sesuatu yang ironis sebenarnya, agama mengklaim sebagai kebenaran tapi jalan-jalan menuju pemahaman terhadapnya (termasuk dikendalikannya ketakutan), malah diingkari bahkan dihakimi sebagai kesesatan.
Takutlah hanya untuk sesuatu yang kita ketahui secara esensi buruk, yang mengancam eksistensi kita-umat manusia. Takut Tuhan (termasuk neraka) bagus jika yang dimaksud adalah takut melawan esensi kehendak Tuhan, sunatullah, kehendak alam semesta..., bukan takut pada tafsir, mitos, prasangka, angan-angan, "cerita" tentang kehendak Tuhan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar