Sabtu, 25 November 2017

Hakikat Hijrah



Berhijrah dari satu agama, aliran agama atau cara beragama ke agama, aliran agama atau cara beragama yang lain tanpa diikuti hijrahnya kesadaran atau makrifat kita ke tingkat yang lebih tinggi itu seumpama kita lepas dari mulut harimau tapi kemudian jatuh ke mulut buaya, hakikatnya masih sama, belum kemana-mana, belum berhijrah, hanya berbeda bungkusnya saja, masih sama-sama tergigit dan terbelenggu.


Lucu sekaligus mengenaskan, banyak orang relijius sekarang merasa dan mengklaim sudah berhijrah tapi pemikiran-sikap-perilakunya malah menunjukkan tanda-tanda yang sebaliknya, sedang berbalik mundur ke belakang. Mereka justru menjadi semakin egois, keras, gemar berprasangka dan menghakimi, merasa baik, benar dan menang sendiri..., "wirid-tarikat-laku" yang jelas hanya akan mencegah mereka dari didapatnya pengetahuan akan jalan-jalan yang lurus, sebaliknya, mengembalikan mereka pada kegelapan, kejahilan, setan, kezaliman..., kebalikan dari hijrah. 


Jadi ingat dulu waktu masih menjadi orang relijius, perkara jenggot saja bisa memicu ribuan prasangka dan penghakiman, seolah jenggot adalah pengukur sempurna relijiusitas, moralitas bahkan aqidah. Yang tidak berjenggot berarti bukan "saudara" saya, tidak sepemahaman dengan saya, agama dan moralnya masih lemah, diragukan. Saya pikir dulu saya telah berhijrah, selangkah lebih dekat pada agama, Tuhan, kebenaran, tapi sekarang saya menyadari, saya hanya sedang tergelapkan "jargon" hijrah, berdelusi tentang hijrah. Akibatnya fatal, saya "bangkrut", berhijrah cuman semeter tapi kemudian memicu sepuluh meter berbalik mundur ke belakang..., selangkah mengikuti aturan atau syariat agama tapi kemudian memicu sepuluh langkah penurunan kesadaran...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar