Rabu, 15 November 2017

Aku Tak Bisa Hidup Tanpamu...


Aku tak bisa hidup tanpamu..., darahku, nafasku, jiwaku telah kutambatkan kepadamu. Jangankan melihat kenyataan engkau pergi, membayangkan engkau pergi saja sudah membuat jantungku serasa berhenti berdetak, tubuhku mendingin dan melemas, ilang bebayune.

Hanya engkaulah yang sempurna..., yang setia, yang terindah, termanis, terbaik, tercinta, terpuja..., hanya engkaulah yang membuatku berani menghadapi dunia-membuat dadaku mengembang bak pahlawan, ototku mengeras bak Hercules, semangatku membaja bak Gajah Mada, otakku mencerdas bak Albert Einstein, pedeku melambung bak Tora Sudiro..., siap menghadapi siapapun yang mengganggumu, siap berbuat apapun demi kebahagian dan kemuliaanmu. Hanya engkaulah yang mampu mengisi seluruh pikiran, rencana, mimpi dan imajinasiku tentang masa depan, tanpa keraguan sedikitpun akan keterwujudannya.

Begitulah gambaran dramatis saat saya kedanan wong KAE, mengalami ilusi, delusi bahkan halusinasi berat, tak lagi mampu memandang dunia dengan adil dan obyektif..., semua dari dia tampak indah, matanya, bibirnya, senyumnya, tawanya, pipinya, pinggulnya, susunya, bicaranya, sedihnya, rajuknya, marahnya, tak ada yang cela, tampak sempurna, penuh pesona..., sementara di sisi lain, kelemahan, kekurangan dan bahkan kesalahan apapun dari dia, selalu ada beribu alasan, dalih dan alibi untuk menyangkal sekaligus memaklumi dan memaafkannya.  "Mabuk" yang indah memang pada awalnya, tapi nestapalah di penghujungnya..., benar memang yang kuyakini, tapi sesatlah yang sejatinya, kuat memang kelihatannya, tapi kerapuhanlah yang sebenarnya melanda.

Kenyataan sama terjadi saat saya mengalami ilusi, delusi dan halusinasi disebabkan agama, Tuhan, kebenaran, "mabuk" agama..., akibatnyapun sama, kejahilan, kezaliman, azab.

Ilusi, delusi dan halusinasi apapun pemicunya, seindah dan sesuci apapun dirasakannya, esensinya tetaplah sama, dia adalah candu, alkohol, narkotik..., tak lebih dari upaya ego-hawa nafsu kita mengumpulkan energi agar hasrat-hasratnya tergapai. Sayangnya, dia memberi itu tidaklah gratis, harus ditebus dengan lumpuhnya akal hingga bahkan matinya nurani kita.

Kalau ilusi, delusi dan halusinasi kita hanya disebabkan wanita, tentu dampaknya akan terbatas, tersadarnyapun mudah bahkan akhirnya itu akan pasti menjadi pelajaran sangat berharga..., menjadi masalah besar kalau ilusi, delusi dan halusinasi kita itu menyangkut agama, Tuhan atau kebenaran..., itu sama saja kita sedang membiarkan diri bertaruh untuk keseluruhan hidup dan martabat kita-masyarakat kita dengan harga hanya sebotol oplosan.

Sayangnya, sekarang banyak orang relijius dengan mudahnya merendahkan, meremehkan, mencibir mereka yang berilusi, berdelusi dan berhalusinasi disebabkan wanita tapi mereka sendiri sedang berilusi, berdelusi dan berhalusinasi disebabkan agama, Tuhan, kebenaran..., sesuatu yang jauh lebih beresiko dan berbahaya..., mereka ibarat merendahkan perokok sementara diri mereka sendiri penyabu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar