Agama adalah perkara pengendalian diri..., perkara pengendalian ego-hawa nafsu kita, kehendak "daging" kita. Sesaat sesudah kita gagal mengendalikan keinginan kita untuk kaya, berprasangka, berkuasa atau beristri "lima", saat itu juga kita sebenarnya sudah tidak relijius..., sudah akan sangat sulit mendapat berkah-manfaat hakiki dari agama yaitu keterbimbingan, pengayoman, keterhubungan dengan jati diri kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, Gusti yang bersemayam dalam diri kita.
Jangan berdalih bahkan termasuk dengan kitab suci..., kalau kita memang masih (sangat) ingin kaya, berprasangka, berkuasa atau beristri lima, konsekwen saja, lepas semua atribut agama, jangan lagi bicara tentang agama, tentang Tuhan atau tentang kebenaran..., jangan pula mengatasnamakan agama, Tuhan atau kebenaran untuk (bahkan) niat baik kita sebab kita sendiri sudah menutup jalan-jalan hakiki menuju pemahaman-keterhubungan dengan mereka semua. Kita tidak akan tahu apakah yang kita lakukan dan pengatas-namaan kita itu betul direstui-selaras dengan kehendak agama, Tuhan, hakikat kebenaran. Kita bicara tentang agama, Tuhan dan kebenaranpun hampir pasti cenderung hanya untuk mendukung terpenuhinya ego-hawa nafsu kita.
Energi emosional-spiritual kita itu ibarat sumur timba, jika ember yang satu naik, ember yang lainnya pasti akan turun, jika energi itu lebih kita manfaatkan untuk memenuhi ego-hawa nafsu kita, bagian yang untuk "Tuhan", kesadaran-makrifat kita otomatis pasti akan berkurang. Sekarang banyak bermunculan orang-orang "kreatif" yang berusaha menyatukan kehendak Tuhan dengan kehendak setan..., menutupi keserakahannya, ego-hawa nafsunya dengan agama-kesucian-Tuhan. Mereka berbohong, berprasangka buruk, menumpuk harta, berpolitik, berpoligami bahkan berperang katanya demi agama dan Tuhan. Mereka mengira itu akan menguntungkan dan menyelamatkannya, membuat dunianya sukses, akhiratnyapun tergapai padahal bisa jadi, akan membuat mereka gagal menggapai keduanya.
Jadi ingat bantahan teman debat saya dulu saat saya memintanya untuk sedikit menghormati Kyai (Ulama), dia mengatakan (kurang lebih), "kalau masih sama-sama doyan wanita dan duwit, gak perlulah dipandang lebih benar atau mulia". Dulu siech saya menuduh bantahannya ngawur, gak ada dasarnya..., tapi sekarang, saya mengakui bantahannya itu tepat. Nilai kemuliaan dan kebenaran kita memang bisa diukur dari sejauh mana pengendalian hasrat kita pada wanita, uang, kekuasaan, prasangka atau hal-hal egoistik-ragawi lainnya. Kalau itu masih tinggi, baju relijius menjadi tidak ada artinya, kita masih sama-sama seumpama anak bermain di bibir jurang di hadapan hakikat kebenaran, ringkih, rapuh, akan terpeleset jatuh dalam kesesatan hanya dengan sedikit bergerak dan pemicu.
Tidak (tampak) relijius bukanlah sesuatu yang hina sepanjang kita masih taat hukum dan nilai-nilai moral universal, tidak perlu kita takut akan status itu. Justru, keinginan untuk tampak dan disebut relijius tapi kita mengingkari semua konsekwensinya adalah kemunafikan-penipuan besar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar