Rabu, 29 November 2017

Candu Prasangka



Dulu, di perguruan saya, pada suatu malam, pernah diadakan meditasi bersama di suatu tempat yang dianggap angker. Setelah beberapa jam meditasi, kemudian satu persatu murid ditanya apa yang mereka lihat. Jawabannya beragam, ada yang mengaku melihat anak kecil lewat di depan mereka, ada yang mengaku melihat ular besar dan ada pula yang mengaku tidak melihat apa-apa termasuk saya.


Karena niat saya "ngaji" adalah untuk melihat hal-hal ghaib, tentu saya jadi kecewa, saya merasa tak berbakat, tidak ada gunanya saya membuang-buang waktu dan tenaga untuk sesuatu yang bukan tempat terbaik saya. Tapi kemudian guru saya menjelaskan, justru yang tidak melihat apa-apalah yang berbakat untuk mendapat pengetahuan yang lebih tinggi..., tempat ini tidak ada apa-apanya, prasangka mereka yang mengaku melihat apa-apalah yang kemudian memicu halusinasi mereka kalau tempat ini ada apa-apanya.


Kalau kita ingin melihat betapa bahayanya prasangka, belajarlah mistik atau spiritualitas. Di situ akan terlihat jelas dampak langsung dari prasangka yaitu ilusi, delusi hingga halusinasi. Jika kita berprasangka suatu tempat dihuni hantu, hantulah yang akhirnya akan muncul saat kita bermeditasi di situ, bukan hantu betulan tapi hanya hantu angan-angan. Jika kita berprasangka Yahudi, Asing, Aseng, Syiah, Jokowi dan lain sebagainya sebagai biang segala masalah, hanya informasi yang akan mendukung prasangka kita itu juga yang akan tampak-menghampiri hidup kita..., yang akhirnya memicu ilusi, delusi dan halusinasi kalau Yahudi, Asing, Aseng, Syiah, Jokowi dan lain sebagainya adalah betul biang segala masalah.


Menahan diri untuk tidak berprasangka itu memiliki dampak yang sama dengan menahan diri untuk tidak makan, menahan diri untuk tidak berbicara atau menahan diri untuk tidak tidur..., itu adalah salah satu bentuk "tapa brata" yang berujung pada dicapainya kesadaran-pengetahuan..., berujung pada terhindarnya kita dari kejahilan dan kezaliman.


Menahan diri untuk tidak berprasangka harusnya menjadi standar utama perilaku orang-orang relijius. Sebab tanpa itu, kita sejatinya sedang menutup diri dari mendapat pengetahuan yang asli, yang benar, yang nyata..., kita akan terus terjerumus pada pengetahuan semu, kejahilan, klenik, tahayyul, ilusi, delusi atau halusinasi yang memundurkan, menyesatkan dan menzalimkan.


Sayangnya, sekarang terbalik, justru orang-orang relijiuslah yang paling sering berprasangka hingga bahkan menganggap itu bagian dari ibadah atau aqidah. Sungguh tragis, di satu sisi, mereka gemar mengklaim sebagai pemilik pengetahuan atau kebenaran tapi di sisi lain, jalan-jalan menuju didapatnya pengetahuan dan kebenaran itu justru ditutupnya rapat.


Ikhlas mengakui ketidaktahuan hanya perlu mengorbankan sedikit ego kita, tapi dengan itu kita telah membuka pintu-pintu pengetahuan tanpa batas. Membiarkan ketidaktahuan berkembang menjadi prasangka adalah cermin gagalnya kita mengendalikan ego kita, kegagalan yang kelihatannya menguntungkan dan menyenangkan tapi menjerumuskan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar