Saat saya ada di perantauan, Ibu saya dulu selalu tahu kondisi saya, apakah sedang sedih atau bahagia, sedang sakit atau sehat, sedang bermasalah atau penuh berkah. Sampai sekarangpun masih seperti itu, dia tahu selera makan saya, perasaan atau isi hati saya, keinginan-keinginan saya..., "cinta" yang membuat saya kadang malu dan tidak enak sendiri. Dia sering menyediakan makanan yang dia sendiri berpantang memakannya, dia tahu cewek yang sedang saya taksir, dia juga tahu kalau hati saya sedang hancur akibat disewiyah-wiyah sepada-pada.
Ujung akhir dari penyembahan itu sama dengan ujung akhir dari cinta yaitu puncak empati-menyatunya kehendak, pikiran, perasaan, perilaku, pengetahuan kita dengan obyek yang kita sembah-cintai. Kalau kita memang betul sedang menyembah Tuhan atau mencintai pasangan kita, kita harus mampu membaca-mengerti sekaligus ikhlas mengalirkan-menenggelamkan diri dalam kehendak-kehendak hakikinya.
Yang mana Tuhan dan yang mana setan itu jelas, bahkan orang-orang tak beragama atau tak bertuhan-melalui akal dan nuraninya saja pasti tahu-mengerti itu. Sekarang tragis, banyak orang relijius merasa dan mengklaim sangat keras katanya sedang menyembah Tuhan tapi perilakunya justru menunjukkan hal yang sebaliknya, hanya sedang menyembah setan..., sama seperti banyak lelaki yang merasa dan mengklaim sedang mencintai wanitanya tapi perilakunya menunjukkan kalau mereka hanya sedang mencintai dirinya sendiri, hawa nafsunya, nganunya.
Tiada penyembahan dan cinta tanpa empati, tanpa mengenal, tanpa makrifat, tanpa kawruh, tanpa pencerahan. Itu tak lebih dari penyembahan-cinta pada tahayyul, prasangka, harapan, angan-angan yang akan dengan mudah "dibajak" ego kita untuk kemudian disimpangkan, berakhir menjadi hanya sebatas penyembahan-cinta terhadap diri kita sendiri, ego kita, hawa nafsu kita, "setan" kita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar