Selasa, 31 Desember 2019

Meraga Sukma, Benarkah Pengalaman Benar?



Para pendiri agama biasanya mengklaim dirinya telah terbang ke langit, melihat surga dan neraka, bertemu dengan malaikat, Tuhan atau dewa-dewa..., betulkah...?


Yang mereka alami mungkin hanya meraga sukma atau astral projection. Meraga sukma adalah pengalaman dramatis, jika kita gagal menjaga nalar, kekritisan, keskeptisan dan terutama-ego kita, kita pasti akan hanyut dalam pesonanya, mengira itu pengalaman nyata, mengira kita telah ada di puncak tertinggi kebenaran, padahal yang terjadi sebaliknya, kita ada di dasar jurang kesesatan, kita telah gagal menahan godaan.


Saat meraga sukma, kita bisa terbang ke manapun kita mau, ke Mekah, ke Paris hingga ke kutub atau puncak Himalaya, kita juga bisa terbang ke masa lalu atau masa depan, hingga bahkan terbang ke langit ke tujuh, bertemu dengan malaikat, bidadari, Tuhan atau dewa-dewa..., kalau saya dulu siech, sukanya terbang ke rumah cah KAE, cintaku manisku raja tegaku, melihat bagaimana dia tidur... ^^ Pertanyaannya, apakah apa yang kita lihat saat meraga sukma itu sesuatu yang nyata...?.  Awalnya saya siech mengira itu nyata, tapi setelah berkali-kali mengalami berikut mengamatinya dengan seksama, sekarang saya menyimpulkan, apa yang kita lihat saat meraga sukma hanyalah ilusi-halusinasi yang timbul dari memori, pikiran, imajinasi, konsep yang sebelumnya sudah tertanam di otak kita-alam bawah sadar kita. Tandanya, kita tidak akan mungkin bisa meraga sukma ke tempat yang belum pernah kita kenal, baik nama ataupun gambaran visualnya. Jika kita belum pernah mendengar nama kota "Novosibirsk" berikut melihat bagaimana pemandangan kotanya, kita takkan bisa meraga sukma ke sana. Pun jika kita tidak mengenal konsep tentang langit berikut isinya, tidak mungkin kita bisa "plesiran" ke sana-bertemu para malaikat, dewa-dewa atau bidadari, melihat surga atau neraka, mendapat wahyu, ditunjuk jadi Nabi dan lain-lain.


Pengalaman meraga sukma itu mirip dengan pengalaman mendapat wangsit, hidayah, mukjizat atau karomah, pada dasarnya hanya mimpi, angan-angan, ilusi, halusinasi yang direspons tubuh dan otak kita sebagai sesuatu yang nyata. Bisa saja saat meraga sukma kita bertemu dengan Sheikh Abdul Qadir Jaelani, dia kemudian membagi karomah kadigdayaanya pada kita, dan setelahnya, kita betul jadi digdaya..., atau bagi yang beragama lain, bisa saja saat meraga sukma bertemu dengan Yesus, Buddha atau Wisnu yang kemudian memberi berkat atau mukjizat kesembuhan, dan setelahnya, anda sembuh betulan. Bagi yang terpesona dan hanyut, setelah terpapar pada pengalaman ajaib itu, tentu akan bertambah imannya, memberi kesaksian dimana-mana, bahkan rela mati demi apa yang dikiranya kebenaran itu.


Manusia terlahir dengan naluri-kebutuhan dasar untuk eksis, bukan untuk benar. Sayangnya, eksistensi itu seringkali harus ditopang dengan kesalahan demi kesalahan, kebohongan demi kebohongan. Menjadi benar itu sulit dan berat, salah satu konsekwensinya, akan membuat alam bawah sadar kita kesulitan membantu mewujudkan keinginan-keinginan egoistik kita-membantu menopang eksistensi ragawi kita. Jika kebenaran adalah hal penting (di mata ego kita), agama tidak akan pernah muncul di dunia ini.


Pilih mana, anda sembuh sakitnya, hidup bergelimang harta, tahta dan wanita-karena anda percaya akan keampuhan keris kyai kologupito (status anda sesat), atau anda tak mendapat apa-apa karena anda tidak mempercayainya (status anda benar)...?. Keris kyai kologupito adalah gambaran dari klenik (apapun bentuknya termasuk klenik yang mengklaim bukan klenik ^^)..., salah, sesat, bohong, tapi seringkali menguntungkan, membuat orang sulit lepas darinya...

Sabtu, 07 Desember 2019

Ujung Pasti Menghakimi




Semakin intens kita memandang orang lain salah, sesat, dosa, kafir, semakin mungkin akhirnya itu meledak menjadi tindak kekerasan, hanya dengan sedikit pemicu.


Alam bawah sadar kita itu selalu jujur dan konsekwen, dia selalu menumbuhkan apapun yang ditanam di atasnya, tidak peduli itu benar atau salah, baik atau buruk. Penghakiman orang lain salah, sesat, dosa, kafir, akan dimaknainya sebagai "wirid-afirmasi" untuk MERUBAH..., caranya, tentu-kecilnya dengan dakwah, jika itu tidak berhasil, dengan tekanan, intimidasi, hingga akhirnya, dengan paksaan, penindasan bahkan dengan membunuh.


Jadi, mengharapkan toleransi dari umat yang ajaran agamanya dari ujung ke ujung menghakimi orang lain salah, sesat, dosa, kafir itu sebenarnya sulit. Sebab pasti, makin relijius mereka, NAFSU ingin merubah orang lainnya akan semakin kuat, mereka akan semakin egois, semakin "jahat" secara esensi. Mungkin saja nafsu itu bisa ditekan "kenampakannya", disamarkan, tapi saat menghadapi situasi sulit, terpojok atau tertekan, itu tetap akan dengan mudah meledak, takkan terkuasai..., mereka adalah bahaya laten yang sebenarnya. Lihat konflik Ambon atau konflik agama lainnya..., yang awalnya masyarakat tampak baik dan toleran, dalam sekejap mata berubah menjadi saling bunuh, itu sebenarnya adalah tuaian dari apa yang ditanam sejak lama sebelum konflik itu terjadi, tuaian dari "wirid" "akulah yang benar".


Agama sering mengajarkan pengikutnya untuk tidak sombong, tapi agama selalu memicu pengikutnya merasa benar, yang lain salah. Ironis sebenarnya, sebab klaim-perasaan benar sendiri adalah bentuk kesombongan tertinggi. Kesombongan adalah "pesan" kepada kesadaran lebih tinggi kita kalau kita sudah tahu, tidak perlu "pasokan" pengetahuan lagi..., jelas, kesombongan adalah akar dari segala kejahilan dan kezaliman.


Hidup adalah pilihan, kalau kita bisa memilih menanam sesuatu yang buahnya adalah kesadaran dan pengetahuan, adalah konyol kalau kita lebih memilih menanam sesuatu yang buahnya adalah kemabukan dan kejahilan. Mungkinkah ada Tuhan yang lebih menyukai kemabukan dan kejahilan daripada kesadaran dan pengetahuan...?, bahkan jika betul ada, aku takkan mau menyembahnya...

Minggu, 01 Desember 2019

Nabi, Mengapa Hanya Ada di Timur Tengah?




Ada pertanyaan cukup menggelitik, mengapa tidak ada Nabi dari Eropa, dari China, dari Jepang atau bahkan dari Jawa padahal penduduknya jauh lebih banyak (dibanding penduduk Timur Tengah di era yang sama) dan secara esensi (mungkin) jauh lebih memerlukan ITU...?. Alasannya sebenarnya sederhana saja, karena MEREKA tidak mengenal konsep tentang Nabi. Alasan karena Yahudi bangsa pilihan Tuhan atau Arab itu paling bejat sehingga paling memerlukan Nabi, (maaf) sebenarnya ngawur...!


Tanpa mengenal konsepnya lebih dulu, kita takkan bisa meng-angankan atau mengharapkan suatu obyek hadir atau mewujud dalam diri kita. Jika Anda tak mengenal "konsep" tentang Nyi Roro Kidul sebelumnya, seumur hidup Anda bertapa di pantai laut selatanpun tidak akan mungkin membuat Anda bisa "bertemu" dengannya, bahkan mungkin yang anda temui adalah Poseidon, dewa laut Yunani atau Makco, dewi laut Tiongkok-jika memang konsep itu yang telah Anda kenali-percayai sebelumnya. Pun jika Anda tidak mengenal "konsep" tentang Wali, Santo, Yesus, Maria, leluhur, dewa-dewa, dia takkan bisa "hadir" dalam hidup Anda---memberkati Anda. Orang menjadi Nabi PASTI karena dia sedari awal memang mengharapkan dirinya menjadi Nabi, diakui atau tidak..., dan dia menjadi berharap, tentu karena sedari awal telah mengenal konsep tentangnya.


Alam bawah sadar kita perlu lambang, perlu alat bantu, perlu gambaran jelas agar lebih mudah membantu mewujudkan apapun keinginan kita. Karena kenyataan itulah sebenarnya, (konsep) agama dan Tuhan lahir di hampir semua masyarakat dan budaya. Yang jelas, jika yang kita cari adalah KEBENARAN hakiki, yang harus kita lakukan justru adalah sebaliknya, menghapus atau mengabaikan semua KONSEP (tentang obyek tak nyata-terjangkau-klenik ) yang sudah terlanjur tertanam kuat di alam bawah sadar kita, kita perlu "kekosongan."


Jangan pernah berharap atau bahkan mengklaim kita benar. Kebenaran itu harus dimengerti dengan cara yang pahit dan hasilnyapun kepahitan demi kepahitan (di mata ego badaniah kita), kebenaran hanya untuk orang yang kuat. "Lebih baik dijujuri walau sakit daripada dibohongi", begitu biasanya para wanita NGGAMBLEH..., padahal faktanya (menurut riset), kebahagiaan wanita berbanding lurus dengan kemampuan lelakinya berbohong---wanita akan sengsara jika lelakinya terlalu jujur..., 90 persen wanita (melalui intuisinya) tahu seorang lelaki pembohong atau bukan---tapi kalau lelaki itu menarik secara biologis, wanita akan segera mengabaikan "kabar" itu.


Begitulah gambaran umum umumnya manusia, katanya rindu kebenaran tapi kebahagiaannya dominan "dihidupi" dari kebohongan..., bahkan yang lebih tragis, sudah tahu dibohongipun enggan "beranjak" pergi hanya karena kebohongan itu berselaras dengan "arah" egonya. Hidup Ahok, hidup Anies, anda epik sekali, sama-sama "guru" hebat..., sejarah akan mencatat kisah anda...! ^^

Yang Halal dan Haram, Mutlak atau Nisbi?




Garam itu halal secara syariat, tapi bagi penderita hipertensi, secara esensi akan berubah menjadi haram..., pun dengan gula pada penderita diabetes atau bahkan nyawang bojone tonggo jika anda ngacengan... ^^


Apa yang baiknya dihalalkan atau diharamkan, yang berdosa atau berpahala, yang disucikan atau dihinakan itu "hidup", berubah, berkembang dan berganti, selalu mengikuti konteks, kebutuhan, situasi dan kondisi, kehendak alam semesta. Karenanya, mengunci atau membingkainya secara kaku-keras dalam hukum-hukum syariat sebenarnya konyol. Sebab sebagian besar dari itu semua-bahkan yang paling dasar atau pokok sekalipun akan dengan mudah berubah bahkan berbalik statusnya, menjadi KLENIK dan TAHAYYUL, tak terhubung lagi dengan realitas apa yang esensinya baik-maslahat, yang "rahmatan lil'alamin." Kenyataan itu sangat mudah dimengerti jika kita mengerti sedikit saja bagaimana prinsip-hukum-petunjuk dasar spiritual bekerja-mewujud. Yang kekal, berlaku di setiap tempat, waktu, situasi dan kondisi hanyalah hukum sebab akibat saja, "sapa nandur ngunduh."


Yang jelas, kalau sekarang muncul agama baru, mungkin hewan yang akan diharamkan atau disucikan bukan lagi babi, anjing, ular, unta atau sapi melainkan badak, gajah, orang utan, harimau..., karena memang, hewan-hewan itulah yang sekarang paling perlu diselamatkan, paling perlu dilindungi, paling terancam punah..., dan kalau saya yang bikin agama, jelas saya akan mensyariatkan, "nikahilah wahai para wanita---bujang polos, tanpa dosa dan belum tersentuh kotornya zaman agar hidupmu bahagia sejahtera, tanpa kurang suatu apa, selamat dunia akhirat." Egois, tendensius...?, memang agama pada dasarnya adalah produk ego pembuatnya kok...!


Antara Iman dan Kabar Benar




Wahyu, hidayah, mukjizat, karomah, itu tidaklah datang dari mana-mana, tidak datang dari obyek di luar diri kita..., itu asalnya dari kepala kita, otak kita, pun dengan Tuhan, malaikat, jin, setan, hantu dan "sosok-sosok" ghaib lainnya. Kalau anda beriman, anda tentu akan membantah keras pernyataan itu..., wajar, itu adalah konsekwensi pasti-tarikat wajib agar iman anda terus terasa bermanfaat, berkekuatan, "berkebenaran."


Orang beriman memang akan selangkah lebih mudah-lebih diuntungkan hidupnya---akan mendapat ekstra energi-kekuatan dalam hidupnya..., tapi itu tidak gratis, itu harus ditebus dengan harga yang tidak murah. Harga yang harus dibayar adalah-mereka akan selangkah lebih sulit dalam memahami hakikat kebenaran. Wajar saja, mereka harus berusaha lebih keras dalam menghapus, "mengabaikan" segala "pengkondisian"..., angan-angan, harapan, ego-hawa nafsu yang pasti lebih kuat-lebih banyak mereka tanam-guratkan di alam bawah sadar mereka..., pengkondisian adalah penghalang terbesar dimengertinya kebenaran.


Kebenaran itu hanya untuk orang yang ikhlas, siap dan kuat. Anda tidak mungkin mendapat "kabar" kalau yayang anda itu buaya, raja tega, sewiyah-wiyah, penjahat---saat menghening atau beristikharah jika nyatanya anda masih begitu mengharap-mengangankan dia sebagai sosok baik, polos, tanpa dosa dan belum tersentuh kotornya zaman. Alam bawah sadar anda akan segera memblokir kabar-kabar benar, menggantinya dengan kabar-kabar palsu, kabar yang hanya anda kehendaki, yang sesuai selera-hawa nafsu anda.


Pun demikian dengan "kabar benar" dalam lingkup yang lebih luas..., hanya akan kita pahami jika kita mampu "kosong", mampu mengabaikan kuasa indra, pikiran, angan-angan, prasangka, harapan, hawa nafsu yang maha dahsyat...

Minggu, 24 November 2019

Antara Kebencian dan Pengetahuan




Jika kita sungguh-sungguh mencintai seseorang, kita juga pasti akan mencintai keluarganya, teman-temannya, kampung halamannya, etnisnya, budayanya, bahasanya..., kita ingin "manunggal" dengannya-menjadi seperti dia, kita akan menjadi peniru-pembelajar sangat efektif.


Sebaliknya dengan membenci. Kita tidak mungkin membenci suatu kaum tanpa ikut juga membenci semua hal terkait dengannya termasuk hal-hal baik atau positifnya. Kita tidak mungkin membenci Yahudi, Nasrani, Barat, China, Jepang, Korea, tanpa membenci kemajuan, kekayaan, kepandaian, keberadaban, kedisiplinan, kerja keras. Alam bawah sadar kita itu hebat tetapi lugu, dia memiliki algoritma seperti komputer, matematis sekali, sedikit saja salah menulis "script", sering akan dimaknai sangat berbeda bahkan berbalik dengan yang kita kira atau harapkan. "Ya Tuhan, berilah hamba yang putih, MONTOK, penurut"..., jreeeng, tiba-tiba seekor sapi mendekati anda! ^^ Begitulah kira-kira contoh yang akan terjadi jika kita gagal memberi "input" yang tepat kepada alam bawah sadar kita.


Sayangnya, yang dibenci orang-orang relijius sekarang sering justru adalah kaum-kaum yang maju, kaya, pandai, beradab, disiplin, pekerja keras.., mereka dibenci hanya karena tidak seagama. Secara mental-spiritual itu sebenarnya sama saja membenci-menolak kekayaan, kemajuan, kepandaian dan keberadaban datang dalam hidup mereka, membuat mereka kesulitan belajar secara cepat dan efektif menggapai itu semua. Untuk apa di dunia kaya, maju, pandai, kalau di akhirat dibakar di neraka...?, begitu biasanya mereka menghibur diri..., ya sudah kalau gitu, asal ikhlas saja kalau melihat orang lain kaya, maju, pandai..., jangan ngiri, jangan benci, jangan marah!.


Jepang waktu dikalahkan Amerika bukannya lalu membenci dan mendendam tapi malah "memasrahkan" diri, belajar. Hanya dalam beberapa puluh tahun, Jepang sudah menyamai Amerika. Membenci itu sah-sah saja asal didasari pengetahuan, bukan hanya didasari prasangka, angan-angan, hawa nafsu, klenik dan tahayyul..., sebab ada konsekwensi luas yang harus kita bayar dari membenci, salah perhitungan, membenci-memusuhi orang lain akan bermakna membenci-memusuhi diri kita sendiri...



Sabtu, 23 November 2019

Yang Dipuja, Yang Membentuk Jiwa




Jika engkau belum mengenal Tuhanmu, cukuplah engkau berprasangka baik kepadanya (Rumi). Tepat sekali kata-kata sang Sufi ini. Itulah jalan tengah teradil dan tercerdas bagaimana harusnya "default" kita memandang Tuhan.


Sebab siapa yang kita sembah, puja, idolakan, panuti, tidak peduli itu obyek nyata atau fantasi, dialah yang akhirnya akan membentuk siapa diri kita-karakter kita, yang akan membagi vibrasinya dengan kita, yang akan kita manunggali. Jika kita mewirid-mempercayai Tuhan kita keras, pemarah, pembenci, pendendam, penteror, pengazab, fasis, seksis, misoginis-sebagaimana tuhannya orang-orang relijius ITU, seperti itu jugalah akhirnya kita menjadi..., pun jika kita memilih mewiridkan Tuhan sebagai yang maha sabar, pemaaf, pemurah, pengasih dan penyayang, "khodam" itu juga yang akhirnya akan "merasuki" kita, membimbing kita, membentuk "jagat" kita.


Bahkan jikapun Tuhan kita salah, Tuhan tidak terjangkau atau bahkan Tuhan tidak ada, tapi jika kita memiliki gambaran-gambaran baik-positif-non egoistik tentangnya, setidaknya itu tetap akan membawa kita pada kesadaran, pada makrifat, pada esensi jalan lurus, tidak akan ada ruginya. Sebaliknya, gambaran buruk-egoistik akan Tuhan, sudah pasti akan menjerumuskan kita pada kemabukan-ketidaksadaran, akar dari segala kejahilan, kegelapan bahkan kezaliman, esensi setan. Yang jelas, tidak mungkin Tuhan (jika benar ada) lebih memilih kemabukan daripada kesadaran, itu mengingkari sunatullah-hukum-hukum dasar alam semesta.


Enak dong kalau tuhannya sabar dan pemaaf, setiap saat kita bisa bikin dosa tanpa takut Tuhan marah..., gitu biasanya cibiran dari orang-orang relijius ITU. Kelihatan masuk akal cibirannya, tapi sebenarnya konyol, tidak nyambung, sebab jika kita mampu sabar dan memaafkan, bukan hanya kita akan mampu menghindari dosa, kita juga akan mampu mengerti apa yang sejatinya dosa dan apa yang hanya didudukkan sebagai dosa, klenik-tahayyul tentang dosa...

Jumat, 22 November 2019

Jangan Paksa Otak Kita!



Coba anda berdoa siang malam agar Dewi Persik atau TORA SUDIRO dibukakan pintu hatinya hingga mau jadi YAYANG anda.


Kemungkinan besar akhirnya anda-betul akan melihat Dewi Persik atau Tora Sudiro tampak pesam-pesem, ngguya-ngguyu, kedap-kedip di hadapan anda, terasa sangat nyata, tapi giliran mau anda NGANU, tiba-tiba saja menghilang. Saya sendiri pernah mengalami itu, pernah berdoa siang malam agar cah KAE dadi bojoku, eee..., pungkasane malah KENTIR..., bojone tonggo atau bahkan bantal guling sering jadi tampak seperti cah KAE... ^^


Otak kita tidak bisa dipaksa menghadirkan sesuatu yang esensinya tidak ada atau yang di luar kapasitasnya menghadirkan..., berusaha memaksanya menghadirkan, hanya akan membuat otak rusak atau berontak, menjadi bumerang, menipu kita, membalikkan persepsi kita, membuat kita akhirnya "edan ora konangan."


Pun juga sebenarnya dengan berusaha menghadirkan jin, malaikat atau Tuhan, itu akan memiliki dampak seperti berusaha menghadirkan Dewi Persik atau Tora Sudiro di hidup kita, bahkan jikapun betul sosok-sosok itu ada (seperti betul adanya Dewi Persik atau Tora Sudiro), yang akan hadir di hadapan kita hampir pasti hanyalah ilusi, delusi, halusinasi tentang jin, malaikat atau Tuhan, tipuan otak kita.


Agama yang BENAR hanya akan mengajarkan kita memahami apa yang sejatinya ada atau tidak ada, dan itu memiliki rangkaian "laku" yang jelas, membatasi prasangka, angan-angan, harapan, ego-hawa nafsu kita, sesuatu yang sangat tidak SEKSI. Sayangnya, bahkan agama yang sangat keras mengklaim diri sebagai kebenaran, sering justru adalah agama yang paling minim mengajarkan itu, sebaliknya, paling memicu meledaknya prasangka, angan-angan, harapan, ego-hawa nafsu pengikutnya.


Betul kata Zainuddin MZ, kebanyakan orang lebih suka makan roti walau hanya dalam mimpi daripada makan singkong padahal nyata..., lebih suka KLENIK dan TAHAYYUL asal terasa indah daripada realitas tapi pahit..., lebih suka digombalin LANANG BOYO daripada dijujurin LANANG polos dan tanpa dosa...

Rabu, 13 November 2019

Apakah Ada Agama Yang Benar?




Mengapa tidak ada satupun agama membicarakan fakta-fakta sains bahkan yang sangat sederhana seperti bumi ini bulat dan mengelilingi matahari...?.


Kesadaran lebih tinggi kita sebagai sumber datangnya agama itu tidak didesain untuk mementingkan-mengenali apa yang benar, fakta, realitas..., dia hanya didesain untuk mementingkan-mengenali apa yang benar baik-menguntungkan, yang menopang eksistensi, kecilnya bagi diri pribadi pendiri agama, pengikutnya, etnis atau bangsanya, dan besarnya, bagi umat manusia dan alam semesta secara keseluruhan. Dia bagian dari naluri paling fitrah-dasar-primitif kita, naluri untuk bertahan hidup.


Jadi, kalau ada orang berfikir atau mengklaim agamanya itu sumber sains, berselaras atau mendukung pengembangannya itu sebenarnya konyol, gak mengerti esensi (asal) agama..., atau bahkan (pendiri) agamanya yang ngawur, berani membicarakan sesuatu yang di luar jangkauan-kapasitasnya. Orang Buddha biasanya mengklaim agamanya berselaras dengan sains..., sebenarnya tidak juga, agama Buddha "hanya" tidak membicarakan sains saja.


Sains berkembang jika indra dan akal kita kuat, sementara agama sebaliknya, jika indra kita terlalu kuat-gagal dikuasai, kita terlalu rasional-berakal kuat, kita tidak akan bisa mengambil manfaat esensial-tinggi-spiritual apapun dari agama. Mengapa...?, itu akan membuat kita menjadi sulit pasrah-berserah diri, "kosong", otak kita akan selalu riuh dipenuhi masukan dan pertanyaan. Hidayah, berkah, mukjizat, karomah dan lain-lain manfaat tinggi dari agama itu datang dari keberserah-dirian, kekosongan, "kebodohan", bukan dari indra dan akal yang kuat, agama jelas bukan untuk orang-orang berakal. Orang-orang atau bangsa cerdas-berakal kuat cenderung tidak relijius atau bahkan menjadi ateis itu wajar, merekalah golongan yang paling sulit mengambil manfaat dari agama, bukan karena mereka sombong atau ingin melawan Tuhan, jangan berprasangka.


Agama itu seperti cerita Sangkuriang atau Malin Kundang, bahkan hampir pasti datang dari sumber yang sama, kesadaran lebih tinggi penciptanya. Dia diciptakan untuk "anak-anak", untuk orang berkesadaran rendah, bukan untuk orang "dewasa." Bagi yang sudah dewasa, jangan pertanyakan atau klaim kebenarannya, cukup apresiasi keindahan bahasa atau pesan moralnya. Seiring naiknya kesadaran-kedewasaan, kitapun sebenarnya berpeluang dihidayahi-diwahyui-mendapat ilham untuk membuat "cerita" senada. Jadi ingat kata-kata Jalaluddin Rumi, “Don't be satisfied with stories how things have gone with others, unfold your own myth..."

Benarkah Kita Sudah Beragama?



Hidup adalah kematian dan kematian adalah kehidupan..., syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian (Syeikh Siti Jenar).


Kalau menurut pandangan Sheikh Siti Jenar itu, bukan hanya para TERORIS itu saja yang sebenarnya masih belum beragama atau bertuhan, bahkan hampir semua orang (termasuk yang RELIJIUS, beriman dan bertakwa) juga berstatus sama. Sebab sebelum kita memasuki alam kematian, yaitu matinya (dikuasainya) indra dan ego-hawa nafsu kita, makrifat-petunjuk akan jalan lurus-dari Sang Kebenaran, "AGAMA" itu tidak akan pernah ada. Pun dengan syariat, masih hanya berstatus sebagai KLENIK dan TAHAYYUL, sebab kita masih tidak akan tahu maksud dan lingkup sebenarnya, maslahat-tidaknya. Hanya orang-orang yang sudah mencapai derajat makrifat saja yang baru bisa disebut beragama atau bertuhan. Adakah orang di majelis ITU yang sudah berstatus makrifat, tercerahkan, berkesadaran penuh, "manunggaling kawula lan Gusti?", kalau ada pasti akan langsung keluar (dari majelis ITU), malabeli dirinya dengan sebutan ULAMA saja akan sangat malu...! ^^


Mematikan (menguasai) indra dan ego itu luar biasa berat, seumur hidup kita "bertarikat" menggapainya saja belum tentu tergapai..., seumur hidup kita menghening, berzikir, tidak menikah, tidak makan daging atau bahkan tidak makan apapun saja belum tentu terkuasai apalagi yang tiap saat mengumbarnya seperti kaum ITU. Karenanya-jangankan mengklaim pemilik kebenaran, pemilik kapling surga, pemilik jatah 72 bidadari BAHENOL, kita mengklaim beragama atau bertuhan saja sebenarnya sudah menunjukkan kita sombong, TAKABUR..., kebanyakan kita masih baru sebatas bisa meng-agamakan-menuhankan klenik dan tahayyul-dongeng tentang kebenaran, angan-angan, ego-hawa nafsu kita. "Manusia adalah bangkai najis yang berperilaku congkak"..., sindiran Sheikh Siti Jenar itu tepat sekali, manusia itu tidak tahu apa-apa tapi selalu merasa tahu hanya karena "merasa" telah beragama.


Aku memeluk agama CINTA, CINTA adalah agama dan imanku (Rumi)..., sebab hanya agama yang "bertarikatkan" cinta saja yang akan membawa kita pada pengetahuan, pada agama yang sebenarnya. Aku bukan Yahudi, Nasrani, Majusi atau Muslim, sebab kebenaran hakiki itu bebas, tak bisa dikunci, tak bisa dibingkai..., dia bisa ada dimanapun, pada siapapun...

Minggu, 20 Oktober 2019

Antara Santet dan Agama, Apakah ada Bedanya?




Cukup dengan meyakini sungguh-sungguh di tubuh kita ada paku, beling atau KNALPOT RACING, kita akan merasakan dampak (sakit) yang sama dengan dampak jika benda-benda itu betul nyata ada di tubuh kita.


Itu bisa dilihat pada bagaimana pengobatan alternatif bekerja. Kebanyakan pasien yang datang dengan keluhan sakit karena (mengira) disantet sebenarnya tidak benar-benar karena disantet. Pikiran dan prasangka kuat kalau mereka disantetlah yang membuat mereka jatuh sakit, mengalami psikosomatis berat. Karena penyebabnya prasangka-pikiran, mengobatinyapun biasanya mudah, cukup dengan menguatkan mental dan menciptakan sugesti kalau santetnya telah dibuang. Jalan terbaik kita terhindar dari santet ya jangan pernah berfikir atau berprasangka kalau kita disantet, atau yang lebih baik, jangan percaya santet itu ada. Sebab jika kita tak percaya adanya santet, bahkan jika nyatanya betul santet itu ada, kita akan tetap kebal santet...!.


Cara kerja santet atau sihir di tubuh kita sebenarnya sama persis dengan cara kerja agama, manipulasi pikiran. Anda merasa "sakit" saat melihat salib, patung, tempat ibadah (agama lain), anjing, babi..., atau sebaliknya, merasa syahdu, spiritual, senang...?, atau Anda merasa berjubah lebih baik dari bersarung, bergamis lebih mulia dari berkebaya, berbahasa Arab lebih barokah dari berbahasa lain?. Jujur, anda sebenarnya adalah korban dari "santet-sihir" agama. Pernah melihat tokoh agama yang kerjanya cuman menakut-nakuti, mengintimidasi, mengancam, menteror, melaknat..., atau sebaliknya, mengiming-imingi surga dengan bidadarinya yang montok-montok...?. Tokoh agama seperti itu jelas secara esensi adalah juga tukang santet, mereka hendak menyerang-melemahkan Anda untuk kemudian memanipulasi-menguasai Anda, menciptakan realitas-realitas yang dibentuk dari sesuatu yang semu-palsu di tubuh dan pikiran Anda.


Sulit untuk tidak menyimpulkan kalau orang relijius sebenarnya adalah orang yang hidupnya dominan dikuasai santet, sihir, jin..., sebab merekalah yang realitas di tubuh dan pikirannya paling banyak dibentuk dari sesuatu yang semu, sama seperti umumnya "korban" santet..., merekalah justru yang paling harus lebih dulu dirukyah, bukan malah maunya merukyah orang lain...! ^^

Agama dan Teori Bumi Datar




Teori bumi datar itu konyol, sangat tidak masuk akal, tapi mengapa tetap saja ada jutaan orang "mengimaninya" bahkan di negara-negara Barat yang sudah sangat maju sekalipun...?


Karena ada banyak orang bersedia "mendakwahkannya." Mengapa ada banyak orang bersedia mendakwahkannya...?, karena ada jutaan dolar uang mengalir dari aktifitas itu-dari website-website mereka, seminar-seminar, event-event dan kampanye yang mereka adakan hingga souvenir yang mereka jual. Sama halnya dengan media penyebar hoax, provokasi, teori konspirasi atau cocoklogi yang marak di tanah air kita, pada dasarnya mereka pasti tahu lagh yang mereka sebar adalah informasi palsu atau setidaknya, punya kapasitas mencari tahu-mengklarifikasi palsu-tidaknya informasi itu, tapi berhubung karena informasi palsu ITU, milyaran uang mengalir-karena itu ego relijius-kelompok mereka terdukung, mereka tak peduli.


Pun demikian juga sebenarnya dengan agama, bagaimanapun tidak masuk akalnya suatu ajaran agama, jika agama itu nyatanya menguntungkan ego banyak orang (terutama secara material-harta, tahta, wanita), agama itu akan tetap eksis, diimani banyak orang. Wajar saja, akan tetap ada banyak orang juga yang bersedia mendakwahkannya, mendoktrinkannya "mendelusikannya", "menghalusinasikannya."


Ego kita itu sangat oportunistik, tidak peduli sesuatu itu benar atau salah, baik atau buruk, asal itu dipandang menguntungkan, itu akan tetap didukung. Bahkan jika ada teori bumi ini berbentuk kotak atau kembang-kembang, asal itu dipandang ego kita menguntungkan, kita pasti akan bersedia mendakwahkannya, ego kita akan tetap menemukan jalan efektif bagaimana cara meyakinkan-mendoktrinkan-mendelusikan-menghalusinasikan teori itu baik bagi diri kita sendiri maupun orang lain.


Ego adalah spirit sumber yang oleh banyak agama, budaya dan tradisi spiritual sering mewujud-disebut sebagai setan atau jin. Tidak ada kebenaran tanpa dikuasinya ego. Ego dan kebenaran itu ibarat siang dan malam, memiliki kepentingan yang tidak hanya berbeda, tapi juga berkebalikan, jika yang satu lebih panjang, yang lain akan menjadi lebih pendek. Ego yang tak terkuasai bahkan sanggup menjadikan agama-Tuhan yang harusnya dijadikan "laku-tarikat" memahami kebenaran, malah dijadikannya pengkamuflase kesesatan menjadi tampak dan dirasakan sebagai kebenaran...


Selasa, 08 Oktober 2019

Gendruwo Pohon Elo?




Saya memiliki kebun sempit yang letaknya persis di tebing sungai. Kebun itu cukup menakutkan, rimbun, dingin, gelap dan lembab, wajar saja, kebun itu dipenuhi pohon-pohon raksasa, akar-akarnya bahkan tampak menggantung, menyembul dan membelit tebing. Di antaranya ada pohon trembesi, elo dan sengon yang berusia ratusan tahun. Pohon buah buahan juga ada, durian, mangga, nangka, rambutan dan salak. Bekas kulit ular nglungsungi pating klawer di antara akar-akar pohon, menandakan kebun itu dihuni banyak ular. Tepat di bawah pohon elo terdapat belik atau mata air yang biasa digunakan warga mandi saat kemarau panjang tiba.


Entah kebetulan, hendak ditunjukkan pada rejeki NOMPLOK atau bahkan hendak diazab yang maha kuasa, ndilalah saja suatu sore timbul keinginan saya untuk mengunjungi kebun itu. Siapa tahu ada buah salak yang masak, kan asyik disantap sambil menikmati pemandangan sungai di bawahnya, pikirku. Jadilah sore yang cerah itu saya datang di kebun itu. Sesampai di kebun, tiba-tiba saya mendengar suara cewek cekikikan, penasaran kemudian saya menengok ke sumber suara itu, di belik bawah pohon elo. Subahenoloh, eh salah..., subhanalloh..., ternyata ada wong KAE, gadis tercantik di kampungku lagi mandi bersama teman-temannya..., gak pake apa-apa alias tanpa sehelai benang, polosan..., nganunya yang putih mulus seksi ITU membuatku HANG dadakan, blarungan ora karu-karuan. Tapi hanya sejenak saja, takut ketahuan dan dikira ngintip, tanpa pikir panjang, saya langsung kabur pulang ke rumah.


Sesampainya di rumah, bukannya "cerita" erotis itu berakhir sampai di situ, malah jadi kepikiran. Pemandangan tadi sungguh indah dan menggetarkan, sayang untuk diakhiri, saya ingin melanjutkannya di kemudian hari, pikirku. Ujungnya bisa ditebak, saya jadi rajin pergi ke kebun itu, bukan untuk memetik salak sambil menikmati gemericik air sungai, tapi untuk melihat wong KAE mandi. Tapi namanya juga manusia, tidak ada puasnya, saya yang tadinya cukup puas hanya dengan melihat wong KAE mandi dari jarak cukup jauh, sekitar 20 meteran, tiba-tiba timbul keinginan untuk melihatnya lebih dekat lagi, biar lebih jelas dan transparan lagh, lebih ketok mendonong, kalau bisa, langsung dari balik pohon elo di atas belik itu. Jadilah, dengan mengumpulkan segenap keberanian, suatu sore, niat itu berusaha saya wujudkan, alon-alon asal kelakon, ketamak-ketimik, dengan langkah dan nafas terkendali penuh, saya mendekati pohon elo itu, untungnya, semak belukar yang rimbun membuat saya sulit terlihat siapapun. Tepat saat saya sudah berada dibalik pohon elo itu, belum sempat niat saya kesampaian, tiba-tiba saya mendengar suara orang berteriak-tertawa keras, "Hahaha..., si Nur ngintip...!." Terang saja saya kaget bukan kepalang, celingukan kaya ketek ditulup, mencari tahu siapa orang yang berteriak-tertawa keras itu. Tidak ada orang lain di kebun, saya kemudian naik ke jalan di atas kebun, juga tidak ada orang, sepi, saya bingung, saya kemudian pulang. Sejak hari itu, hati saya diliputi perasaan waswas, takut kalau-kalau orang yang melihat saya ngintip itu menceritakan apa yang dilihatnya pada orang sekampung, dimana mau kutaruh tampang POLOS dan tanpa dosaku ini kalau itu sampai terjadi!. Hari-hariku kemudian diisi dengan kesibukan menyiapkan alibi atau bantahan kalau saya waktu itu tidak sedang ngintip, alibi terkuat, saya hanya sedang mengintip sarang burung, alibi yang cukup masuk akal sebab di kebun saya itu memang banyak sekali sarang burung.


Hari demi hari, bulan demi bulan kemudian berlalu, ternyata "kabar" kalau saya ngintip orang mandi tidak tersebar. Walau hati jadi sedikit tenang, tapi itu justru membuatku penasaran, jadi timbul pertanyaan besar, siapakah gerangan sebenarnya orang yang berteriak-tertawa keras itu...?. Pernah satu waktu saya berfikir itu adalah jin atau gendruwo penghuni pohon elo..., tapi akhirnya-sekarang, saya berani mengambil kesimpulan, itu mungkin suara dari diri saya sendiri, alam bawah sadar saya yang sedang mengingatkan saya kalau ngintip orang mandi itu tidak baik, dosa, maksiatul walmunkar, perbuatan sotonirojim, harus ditinggalkan. Peringatan itu ternyata efektif, buktinya, sejak saat itu, saya tak berani lagi ngintip orang mandi...

Senin, 07 Oktober 2019

Hidayah, Wahyu dan Mukjizat, dari Manakah Berasal?




Pengalaman terpapar sesuatu yang (dikira) ghaib seperti mendapat wahyu, wangsit, jamahan Tuhan, mukjizat, karomah, hidayah atau apapun namanya memang dramatis, membuat yang mengalaminya BESAR KEPALA, mabuk berat. Pertama kali saya mengalaminya saat tengah sakit keras hampir sekarat, saya "mimpi" didatangi seorang Wali, dia berpakaian serba putih, bersurban, berhidung mancung, tanpa bicara sepatah katapun-hanya tesenyum ramah, dia kemudian mengusap punggung saya, hawa hangat tiba-tiba mengalir, tubuh saya bergetar hebat, saya terbangun, ajaibnya, saya yang tadinya sudah hampir tak bisa bernafas dan bergerak, mendadak sembuh.



Tentu saja, sejak peristiwa "spiritual" nan dramatis itu, iman saya terhadap Islam dan NU makin menguat, saya menjadi semakin rajin menziarahi makam para Wali, pun ibadah lainnya, solat dan zikir malam menjadi rutinitas. Hasilnya, "hidayah" demi hidayah akhirnya rutin saya terima dengan berbagai cara dan perantara. Ada satu pola jelas yang bisa saya lihat dari hidayah yang saya terima, hidayah ternyata mengikuti apa yang sedang saya inginkan atau butuhkan. Dimana ego saya berada, di situ hidayah datang, jika saya sedang menginginkan uang, saya akan mendapat hidayah bagaimana cara mendapatkan uang, jika ingin pekerjaan, juga akan ditunjukkan pekerjaan apa yang terbaik untuk saya, pun jika saya ingin tahu jujur-tidaknya, setia-tidaknya, bisa diobati-tidak sakit seseorang dll, saya akan segera "diberitahu" tentang hal itu. Untung saja keinginan saya kebanyakan sederhana dan lurus-lurus saja sehingga hidayah yang saya terima juga lurus, coba kalau saya ini orang haus pujian, harta, tahta atau wanita, mungkin hidayah yang saya terima akan menjadi LIAR, apapun jalan yang mengarah pada didapatnya ITU semua akan mewujud menjadi hidayah termasuk mencuri, merampok, membunuh..., dan juga, NGGELIBENG bojone uonk... ^^



Kenyataan itu tentu membuat pandanganku kalau hidayah itu sesuatu yang datang dari Tuhan, yang maha suci-benar perlahan tapi pasti tak bisa kupertahankan lagi. Puncaknya saat saya mendapat hidayah untuk mempelajari agama Katolik, saya Muslim taat tapi kok diminta mempelajari agama Katolik...?. Untuk waktu yang lama saya memikirkan itu hingga akhirnya saya menyimpulkan, hidayah itu memang benar, dalam arti, jika dilaksanakan akan membuat hidupku lebih baik, lebih sesuai dengan yang saya inginkan, tapi perkara benar-tidaknya agama Katolik, itu perkara lain.



Hidayah (termasuk wahyu, wangsit, mukjizat, karomah, jamahan Tuhan dll yang dikira datang dari sesuatu yang ghaib) tidak lebih dari petunjuk-bantuan alam bawah sadar kita-jati diri kita-ego kita (tentang apa-apa yang paling menguntungkan diri kita, paling menjadi obsesi kita)..., dia tak terkait benar dan salah. Daripada kita percaya dan diperbudak hidayah yang didapat orang lain-yang sebenarnya lebih ditujukan untuk kepentingan mereka sendiri, mengapa tidak kita berusaha mengusahakan hidayah untuk diri kita sendiri-yang pasti akan paling sesuai kondisi dan kebutuhan kita...?

Sabtu, 05 Oktober 2019

Maksud dan Lingkup Kebenaran Agama



Dulu, namanya juga orang Jawa dan NU pula, saya pernah melakukan riyadoh dengan tujuan agar rejeki lancar, dagangan saya laris. Dari riyadoh itu saya mendapat petunjuk, hidayah atau wangsit agar saya berpuasa kapit weton (puasa hari lahir menurut kalender Jawa). Setelah petunjuk itu saya jalankan, ajaib, ternyata benar, terjadi perubahan besar dalam hal rejeki, dagangan saya menjadi laris manis, puasa itu telah membuat suasana hati saya berubah saat berdagang, sejenak seperti orang lain, mungkin itulah yang membuat laris.


Pertanyaannya, apakah jika petunjuk yang saya dapat dari riyadoh itu dijalankan orang lain akan mendatangkan hal yang sama, dagangannya juga menjadi laris...?. Saya yakin BELUM TENTU...!. Petunjuk itu hanya berlaku buat saya, bahkan lebih spesifik lagi, hanya berlaku buat saya dan pada saat dulu saya mengharapkannya. Jangankan dijalankan orang lain, bahkan jika petunjuk itu saya jalankan sekarang, hampir pasti, hasilnya sudah akan berbeda..., wajar saja karena konteks juga sudah berbeda, sudah terjadi perubahan cukup besar pada diri dan lingkungan saya sekarang dan itu pasti menuntut penyikapan berbeda, saya harus melakukan riyadoh-meminta petunjuk lagi untuk tujuan yang sama.


Pun demikian juga sebenarnya dengan agama, pada saat agama itu muncul atau "diciptakan", boleh jadi dia "benar", sangat cocok-baik-menguntungkan bagi pendiri, keluarga, sahabat, etnis atau bangsanya, tapi pasti, saat agama berusaha dibawa "keluar" dari itu semua, dia akan berkurang bahkan kehilangan sama sekali kebenarannya, tidak lagi cukup bisa mendatangkan kebaikan-keuntungan esensial, menopang eksistensi. Agama Yahudi hanya cocok untuk orang Yahudi, di Kan'an (Palestina) dan pada waktu yang tidak terlalu jauh dari saat agama itu muncul, Hindhu hanya cocok untuk orang India dan di anak benua India, Konghuchu hanya cocok untuk orang China, Shinto untuk orang Jepang..., pun dengan agama NGANU, hanya cocok untuk bangsa NGANU. Berusaha membawa agama keluar jauh dari tempat dan waktu asalnya itu sebenarnya konyol, kalaupun bisa, harus diadakan modifikasi keras hingga bahkan di sisi akidahnya..., diperlukan pembaharu bahkan "Nabi" baru untuk setiap "jengkal" perubahan konteks-waktu dan tempat agar suatu agama terus terjaga fungsinya membawa kebaikan-keuntungan. Fundamentalisme agama adalah pertanda KEIDIOTAN nalar dan nurani-spiritualitas, kejahilan sekaligus kezaliman yang dibungkus pencerahan-kebenaran.


Setiap waktu, bangsa, etnis bahkan setiap individu memerlukan agama dan Tuhannya sendiri-sendiri yang harus dicari-diciptakannya sendiri-sendiri pula. Agama universal itu tidak ada dan tidak mungkin, karena-bahkan setiap individu itu unik, memerlukan apa yang baik-menguntungkan-yang menopang eksistensinya sendiri-sendiri pula...

Kamis, 29 Agustus 2019

Yang Benar, yang Menyatu



Ada 300 juta lebih Dewa dipuja di India. Bagi mereka yang sudah terdoktrin monoteisme, tentu akan menganggap itu aneh bahkan konyol, tapi bagi yang sedikit saja mengerti spiritualitas, itu wajar saja, bahkan masih kurang, idealnya Tuhan atau Dewa itu sejumlah orang yang mempercayainya, kalau ada 1 milyar penduduk India yang mempercayainya, sejumlah itu pula harusnya jumlah Dewanya. Sebab setiap orang terlahir unik, memiliki karakter, idealisme dan keinginan-egonya sendiri-sendiri sehingga memerlukan Dewanya sendiri-sendiri pula.


Bahkan yang menganut monoteisme, sebenarnya itu hanya (bisa) sebatas teori dan klaim, kenyataannya, hampir tidak mungkin dipraktekkan kecuali bagi orang yang sudah memiliki kesadaran penuh, tercerahkan atau makrifat. Prasangka dan ego-hawa nafsu akan segera mengambil alih gambaran-definisi tentang Tuhan, ujung akhirnya tetap akan sama, Tuhan sejumlah orang yang mempercayainya, nama tidak akan ada banyak artinya, tidak akan cukup membantu "menemukan" sekaligus menyatukan. Tuhannya orang Yahudi, Kristen dan Islam itu berbeda meskipun sama-sama satu. Bahkan Tuhannya orang Sunni, Syiah, NU dan Muhammadiahpun juga berbeda sekalipun memiliki nama yang sama. Tanda sekelompok orang atau umat itu bertuhan sama adalah menyelaras atau menyatunya vibrasi. Jika itu terjadi, orang pasti akan malu membesar-besarkan kulit, baju, simbol, organisasi..., akan malu menyebut dirinya Sunni, Syiah, NU atau Muhammadiyah..., atau dalam lingkup yang lebih luas-kebenaran yang lebih universal-tinggi, bahkan akan malu menyebut dirinya Yahudi, Kristen, Islam. Wajar saja, menyatunya vibrasi akan berarti tidak akan terlihatnya lagi perbedaan yang perlu ditonjolkan apalagi dipertentangkan. Tuhan, Sang Kebenaran, Dharma, Sang Maha Esa akan tampak seperti matahari, umat, budaya dan bangsa manapun akan mempersepsikannya sama-satu dan benar, matahari itu hangat dan terang.


Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada suatu ruang murni tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah... (Rumi)

Selasa, 20 Agustus 2019

Antara Jin dan Hawa Nafsu



Ada setan/jin yang takut pada salib, ada yang takut pada ayat kursi, pohon bidara atau buah kurma, ada juga yang takutnya pada swastika, simbol yin dan yang, pohon kelor atau bawang putih..., saya sendiri dulu punya jimat anti setan/jin berupa rajah bertuliskan huruf Arab yang entah apa artinya. Manakah yang benar...?. Semua benar dan semua salah tergantung bagaimana kita mempersepsikannya.


Yang jelas, itu kenyataan yang mencerminkan kalau setan/jin itu sebenarnya 100 persen ciptaan (pikiran) manusia (bahkan termasuk Tuhan). Karena dia ciptaan manusia, suka-suka saja orang menggambarkan karakternya berikut apa yang menjadi penangkalnya. Jangan heran kalau kemudian sering sesuatu yang didefinisikan-dideteksi sebagai Tuhan atau Dewa oleh sekelompok umat justru didefinisikan-dideteksi sebagai setan/jin oleh kelompok umat lain.


Pikiran (yang tak terkendali) itu bagian dari ego-hawa nafsu. Ego-hawa nafsu adalah spirit sumber yang dalam banyak tradisi spiritual, budaya dan agama sering mewujud-disebut setan atau jin. Percaya pada setan/jin bahkan termasuk Tuhan (sebagai sosok) jelas menandakan kita tertipu ego-hawa nafsu-setan kita sendiri, kita sudah terjerumus pada klenik/takhayyul, bid'ah dan syirik secara esensi. Sayangnya, justru orang-orang relijiuslah yang biasanya sangat mudah percaya ITU. Tragis sebenarnya, mereka sangat keras mengklaim anti klenik/takhayyul, bid'ah dan syirik, tapi justru menjadi yang terdepan terjebak dalam pusarannya. Ateis bisa jadi justru tauhidnya lebih murni, mereka berpeluang lebih makrifat ditandai lebih mampunya mereka menjaga pikirannya dari berprasangka termasuk dalam memahami-mempersepsikan kebenaran. Tauhid adalah darma, kebenaran yang satu. Mengada-adakan sesuatu yang tidak ada jelas lebih sesat bahkan beresiko bahaya daripada menganggap tidak ada sesuatu yang tidak bisa dibuktikannya. Lebih baik mana, percaya Tuhan yang keras, pemarah, pembenci, pendendam, pengazab, egois, fasis, seksis, misoginis daripada tidak percaya Tuhan sama sekali...?


Setan/jin dan Tuhan-kalaupun dia ada, dia sosok tak terjangkau, jangan serakah ingin menjangkaunya, keserakahan hanya akan membuat ego-hawa nafsu-setan kita akhirnya mengambil alih gambaran-definisi tentangnya, itu adalah puncak dari kesyirikan, berhala...


Minggu, 04 Agustus 2019

Ego, Agama, dan Jalan Lurus



Orang-orang jaman dulu saat bertapa mencari kekayaan atau kekuasaan, konon kabarnya banyak yang mendapat wangsit untuk mencuri, menggarong, meniduri bojone tonggo atau bahkan membunuh sebagai syarat agar cita-citanya itu terkabul. Cerita itu benar, bisa dinapak tilas, diulangi atau dibuktikan siapapun juga.


Dimana ego kita dominan berada,  menentukan bagaimana wujud ilham, hidayah, petunjuk atau wangsit saat kita menjalani "laku" spritual. Jika ego kita berada di titik sangat rendah, ilham, hidayah, petunjuk atau wangsit yang akan kita terima-memang akan memiliki lingkup sangat luas, tapi juga sangat liar..., amalan, ritual atau perbuatan apapun yang akan membangkitkan cakra (kekuatan batin) atau membantu secara langsung terwujudnya keinginan kita, akan dengan segera mewujud menjadi ilham, wahyu, hidayah atau wangsit, tidak peduli itu baik atau buruk, benar atau salah. Masuk Islamnya Dedi Corbuzier atau masuk Kristennya Salmafina, kemungkinan tertinggi hanya mencerminkan-didorong apa yang menjadi ego dominan mereka-agama apa yang dipersepsikan kekuatan bawah sadar mereka paling akan mampu mendukung-mewujudkan egonya, tidak ada kekuatan suci apapun yang mengarahkannya..., gak usah lebay dalam menyanjung atau mencelanya... ^^


Agama sejatinya adalah bentuk paling dasar-sederhana dari "laku" spiritual, karenanya, dia juga terikat pada "hukum kesevibrasian" itu. Dimana ego dominan seseorang diletakkan, menentukan-kecilnya bagaimana dia menafsirkan ajaran agama atau besarnya-menentukan hidayah-petunjuk agama apa yang harus dipeluknya. Abu Bakar Al-Baghdadi dan Jalaluddin Rumi itu sama-sama Muslim, sama-sama berpegang pada Qur'an dan Sunnah, tapi mengapa pikiran dan perilaku mereka bisa sangat berbeda, bagai langit dan bumi, setan dan malaikat...? Yang membedakan mereka tentu adalah tingkat penguasaan ego mereka. Orang yang egonya terkendali, akan menemukan kebaikan pada agama serusak apapun, sebaliknya, yang tak terkendali, agama sebaik apapun tetap hanya akan membawanya pada kerusakan.


Tidak ada agama tanpa pengendalian ego, bukanlah agama kalau tak membawa pada pengendalian ego. Sebab esensi jalan lurus itu hanya ada pada pengendalian ego..., bukan yang lain...

Senin, 22 Juli 2019

Vibrasi dan Hidayah




Tubuh, pikiran, angan-angan, obsesi yang tak terkuasai pada akhirnya-kecilnya akan mewujud menjadi mimpi (kita menganggap itu nyata sampai kita terbangun), besarnya akan mewujud menjadi halusinasi (mimpi yang kita anggap nyata bahkan sampai saat kita terjaga).


Wahyu, wangsit atau apapun namanya bahkan jika isinya adalah sesuatu yang benar, "kemasan" atau pembawanya (seperti malaikat, Tuhan, dewa-dewa, Wali, leluhur dsb) tetaplah hanya merupakan produk tubuh, pikiran, angan-angan, obsesi kita-manusia. Dia ada-hadir karena kita mengimani-mengharapkannya ada, dia adalah cara-perwujudan alam bawah sadar kita, jati diri kita, "sedulur papat lima pancer kita" dalam membantu kita. Sosok yang diimani dialah yang akan "tampak" menghidayahi-merahmati..., hanya orang Kristen yang bisa bertemu Yesus, hanya orang Buddha yang bisa bertemu Buddha, hanya orang Hindhu yang bisa bertemu Krishna..., tapi secara esensi, sebenarnya itu sosok yang sama, hanya "baju"nya saja yang tampak berbeda... ^^ Lantas bagaimana kalau ada orang Islam ketemu Yesus atau orang Kristen dapat hidayah...?. Vibrasi gak bisa dibohongi, itu pasti karena sedari awal orang ITU memang sudah sevibrasi dengan yang ditemuinya atau yang ditemuinya lebih akan membantu terwujudnya apa yang menjadi ego terbesarnya. Contohnya, kalau anda menolak poligami, anda berpeluang lebih besar untuk ketemu Yesus bahkan saat anda beribadah, kalau anda mencintai wayang apapun agama anda, anda lebih berpeluang bertemu dewa-dewa atau menjadi Hindhu..., kalau anda suka kawin cerai, anda cenderung dapat hidayah menjadi apa...?, tahu sendiri lagh! :D


Dilematis sebenarnya-ateis diukur cara apapun itu lebih mungkin untuk benar, tapi karena benarnya itulah justru membuat mereka (para ateis) kesulitan mengakses kekuatan bawah sadarnya yang luar biasa. Sementara yang teis, sekalipun peluang sesatnya lebih besar, tapi nyatanya itulah yang seringkali membuat mereka menjadi lebih baik, lebih kuat, lebih bahagia, lebih mudah mewujudkan keinginan-keinginannya...

Kamis, 30 Mei 2019

Agama, Menguatkan atau Melemahkan?



Orang yang sangat percaya sihir atau santet, melihat ada kembang tercecer di halaman rumahnya saja bisa membuatnya langsung jatuh sakit. Bukan sakit karena disihir atau disantet orang melainkan sakit yang terbentuk karena pikiran, PSIKOSOMATIS, sakit karena mengira ada orang telah menyihir atau menyantetnya..., pasangka yang akhirnya mewujud menjadi realitas.


Cukup sering saya menemui kejadian seperti itu, bahkan saya sendiri pernah menjadi terdakwanya, gara-gara mantanku sakit-sakitan dan PADU terus karo bojone, bapaknya pernah datang kepadaku, dia memelas memintaku untuk mengikhlaskan anaknya hidup dengan yang lain, tidak lagi mengganggu hidupnya. Mengikhlaskan RAIMU, mengganggu matamu..., emangnya saya cowok apaan masih ngarep anakmu yang sudah jadi RONGSOKAN itu..., anakmu disewiyah-wiyah lanange dan jadi sakit-sakitan itu karena sudah gak cantik lagi, suaminya sudah bosan ingin ganti tapi gak punya cukup dalih, bukan karena ulahku SU...!. Prasangka buruk mantanku dan bapaknya terhadapku itu membuat penderitaannya makin bertambah, masalahnya makin rumit, lebih dari yang seharusnya dia tanggung.


Pun demikian dengan orang yang sangat percaya Jokowi itu komunis atau pemimpin zalim, bahkan Jokowi solat, umroh atau berakrab ria dengan rakyatnya saja masih akan dihina dan dicaci maki. Mereka (para pemrasangka-pembenci) itu "sakit" bukan karena melihat fakta-realitas kalau Jokowi itu komunis dan zalim betulan melainkan semata karena prasangka buruk yang terinternalisasi kuat kalau Jokowi itu komunis dan zalim. Prasangka yang akhirnya menjadi pembentuk utama persepsinya, persepsi yang menjatuhkan mereka pada penderitaan, kejahilan bahkan kezaliman.


Agama tanpa laku-kawruh itu hanya akan membentuk manusia-manusia lemah mental-spiritual, nalar-nurani, berhentilah mengira semua agama baik. Agama hanya akan baik jika dia menjadikan "laku-tarikat-tapa brata" sebagai ajaran-ritual utama. Manusia yang lemah mental-spiritual, nalar-nurani itu akan menjadi sangat mudah dimanipulasi, dihipnotis, diprovokasi, disihir dan ujung akhirnya, diperbudak...

Jumat, 24 Mei 2019

Ujung Akhir Pencarian Tuhan



Ujung tertinggi pencarian kita akan Tuhan hanya akan sampai pada diri kita sendiri, jati diri kita, alam semesta ini. Mukjizat, karomah, wahyu, hidayah, berkah atau anugrah-anugrah keilahian lainnya itu tidak datang dari mana-mana-tidak datang dari obyek di luar diri kita, dia datang dari dalam diri kita sendiri..., demikian juga dengan setan, jin, malaikat, dewa-dewa dan sosok-sosok dianggap ghaib lainnya.


Pada saat ujung itu tergapai, kita akan dihadapkan pada 3 pilihan, tetap mengimani Tuhan, menjadi agnostik atau menjadi ateis. Semua pilihan akan menjadi  benar karena pasti didasari argumen yang kuat. Semua pilihan tidak akan menjadi masalah bagi siapapun karena pasti, pilihan yang didasari pengetahuan, hanya akan menyisakan sedikit perbedaan bahkan di antara dua orang yang secara lahir tampak sangat berbeda seperti antara yang teis dan ateis. Jika Buddha Gautama yang tidak mengakui adanya Maha Dewa (Tuhan semesta alam), Yesus yang mengklaim diri sebagai Tuhan dan Jalaluddin Rumi yang bertuhankan Allah bertemu di satu majelis, hampir pasti, tidak akan ada perdebatan apalagi permusuhan diantara mereka. Mereka akan saling menghormati pandangan masing-masing, bisa saja diantara mereka saling meledek tapi pasti dalam suasana penuh canda tawa. Sebab mereka sadar, perbedaan di antara mereka sangatlah kecil, hanya masalah kontek, tuntutan zaman-kondisi masyarakat di mana mereka tinggal, selebihnya, 99% di antara mereka sama.


Masalahnya sekarang, banyak orang relijius menjadikan iman sebagai awal sekaligus ujung akhir keberagamaan mereka-bukannya menjadikannya pintu-laku-tarikat mencari Tuhan. Akibatnya, agama menjadi tetap terkunci sebagai klenik atau tahayyul, tidak membawa pada kawruh atau pengetahuan yang lebih tinggi, yang esensi. Cara beragama seperti itu persis seperti beo yang sangat fasih berdoa atau bersahadat, tetap takkan membuatnya dianggap sebagai sudah beragama. Orang-orang demikian sudah pasti akan terus bermasalah dengan peradaban dan "kemaslahatan", akan gagal mengalirkan diri dengan kehendak Tuhan-alam semesta yang "hidup", berubah dan berkembang.


Tepat sekali kata-kata Sheikh Siti Jenar, "syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian." Sebab sebelum ego kita mati, sebelum kita menguasai raga kita, sebelum kita sampai pada jati diri kita, kita sebenarnya masih dalam status tidur, mimpi, mabuk, "bangkai" yang tidak punya kehendak sendiri, hidup hanya bisa mengikuti naluri, angan-angan, ego, bukan didasari pemahaman atas kebenaran. Agama tidak akan banyak membantu-tidak akan membawa pada kebenaran, sama seperti beo yang berdoa sepanjang hari, tidak akan punya nilai apa-apa, tidak akan membuatnya lepas dari statusnya sebagai burung...

Agama dan Hukum Dasar Alam Semesta



Sekte Islam Salafi sebenarnya tidaklah mengajarkan terorisme dan pembrontakan (bughot), tapi mengapa dimanapun Salafi berkembang, di situ terorisme dan pembrontakan juga berkembang...?. Agama Kristen sebenarnya tidak mengajarkan kekerasan, tapi mengapa sejarahnya tetap saja dipenuhi dengan kekerasan...?


Alam bawah sadar kita adalah matematikawan ulung, jujur dan adil, dia akan menumbuhkan, merealitaskan apapun yang dominan-paling banyak ditanamkan di atasnya, tidak peduli itu baik atau buruk, benar atau salah. Tidak ada artinya di satu sisi kita mengklaim cinta damai, toleran, anti kekerasan, anti terorisme atau pembrontakan, tapi di sisi lain kita terus menebar penghakiman kalau kelompok di luar diri kita itu salah, sesat, kafir, zindiq, musyrik, ahlul bid'ah, kuburiyyun dan sebagainya. Itu akan diterjemahkan oleh alam bawah sadar kita sebagai perintah untuk mengubah, menekan, memaksa, menindas dan bahkan membunuh. "Timbunan" perintah itu pada akhirnya akan meledak menjadi tindak kekerasan hanya dengan sedikit pemicu, melibas habis "cinta damai" kita. Toleransi kita atas sesuatu yang dianggap ancaman atau gangguan dari kelompok di luar diri kita akan menjadi sangat rendah. Lihat kerusuhan bernuansa SARA di negri kita beberapa tahun lalu, kelihatannya saja itu dipicu hal yang sangat sepele, namun sebenarnya tidak, itu dipicu prasangka-penghakiman yang sudah ditimbun bertahun-tahun sebelumnya. Apa yang tampak "lahir" sebagai pemicu itu hanya kebetulan saja, jika tidak ada itupun, pada akhirnya kerusuhan akan tetap terjadi.


Cinta damai atau toleran memang mudah diucapkan, tapi sebenarnya itu "laku" yang teramat berat diterapkan. Karena jelas, kita harus berani dan mampu melepas apa-apa yang paling melekat-paling primordial di diri kita terutama suku, ras, bahkan akidah atau doktrin-doktrin utama agama kita, gambarannya, seperti orang Islam disuruh makan babi atau orang Hindhu disuruh makan sapi. Orang-orang yang lemah, tanpa kawruh, tidak akan mungkin mampu melakukan itu, mereka hanya akan menjadikan cinta damai dan toleransi sebagai pemanis bibir, retorika belaka, tanpa jiwa, tanpa punya akar kuat.


Agama-hukum-hukum dasar alam semesta itu sederhana dan pasti, "sapa nandur ngunduh"..., (agama) yang di luar itu sudah tentu hanya dongeng, klenik, tahayyul, hiasan, simbol, derivat, optional..., bolehlah kita mengagumi keindahan atau peran moralnya, tapi tidak untuk menggantikan atau mempertentangkannya dengan agama-hukum dasar dasar alam semesta, mendudukannya sebagai kebenaran mutlak. Kalau dengan beragama malah memicu kita menjadi pemrasangka, penghakim, pemarah, pembenci, pendendam dan hal-hal tak selaras dengan agama-hukum dasar alam semesta lainnya, maka sejatinya kita telah zalim-rugi, mengejar simbol-baju-hiasan mengorbankan esensi, "mburu uceng kelangan deleg"...

Jumat, 17 Mei 2019

Esensi "Ketuhanan Yang Maha Esa"



Banyak orang sering berfikir-mengklaim kalau sila pertama Pancasila itu terinspirasi dari doktrin tauhid, monotheisme, satunya Tuhan. Padahal sebenarnya tidak, itu berasal dari filosofi yang jauh lebih dalam dan tinggi, "Bhinneka Tinggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa"..., sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengistimewakan satu agama tertentu (yang bertuhan satu, agama Abrahamik-Samawi), dia hanya sedang mengarahkan kita pada esensi kebenaran-ketuhanan yang satu. Sekelas Eggi Sudjana saja tidak memahami itu sampai-sampai menuduh agama yang bertuhan lebih dari satu itu bertentangan dengan Pancasila.


Sebab memang, bertuhan banyak atau satu itu tidak penting secara esensi..., bertuhan banyakpun kalau disembah dengan kekhusukan dan kepasrahan penuh pada akhirnya akan mengantarkan orang pada esensi ketuhanan yang satu. Sebaliknya, bertuhan satu tapi gambaran tentangnya (sifat dan kehendaknya) dibangun semata hanya dari prasangka, angan-angan, hawa nafsu, dongeng, budaya, dogma, tetap saja, Tuhan itu hanya akan berstatus jimat atau berhala yang dihidupi hanya dari iman dan ritual pemujanya. Nama sama sekali takkan membantu kita membawa pada yang esensi..., tas buatan Cibaduyut tidak akan otomatis menjadi Louis Vuitton hanya karena ditempeli label Louis Vuitton..., walaupun inyonge ndower kewer-kewer ngaku-ngaku TORA SUDIRO toh tetep ae ketok olo tur ndeso, buktine, hingga selapuk ini panggah JOMBLO...! ^^


Tauhid-Ketuhanan Yang Maha Esa bukan milik siapa-siapa, bukan milik agama manapun apalagi hanya milik manhaj KAE..., dia milik mereka yang mau dan mampu berserah diri-mengheningkan diri, mampu menguasai tubuh-indra-ego-hawa nafsunya...

Iman dan Kekuasaan Tuhan



Kalau cara bertuhan-beragama kita masih hanya didasari iman (bukan "laku-kawruh"), kekuasaan Tuhan kita hanya akan menjadi sebatas kekuasaan kita "mewirid" kekuasaannya.


Jika Tuhan kita gagal merahmati kita, gagal mengabulkan doa-doa kita, gagal membela kita, berarti itu tanda jelas kita gagal mewirid kekuasaannya-gagal mengimani, mengibadahi dan meritualinya dengan sungguh-sungguh. Iman kita masih hanya sebatas di mulut, baju-fisik, perasaan, tidak sampai berakar-direstui kesadaran lebih tinggi kita. Menyadari-mengakui itu lebih baik walau ego-hawa nafsu kita akan pasti selalu menyangkalnya keras. Jangan seperti wong-wong soleh KAE, di satu sisi-doa-keinginan mereka terus gagal tak terwujud, tapi di sisi lain-bukannya introspeksi malah ngombro-ombro angkoro, mereka justru dengan tak tahu malunya semakin keras dalam mengklaim pemilik kebenaran-pintu surga, paling relijius, paling beriman dan bertakwa..., sikap yang mencerminkan ketidaktahuan, kesombongan bahkan kezaliman. Bahkan jikapun doa-keinginan mereka terwujud, itu sama sekali bukan tanda mereka benar, itu hanya tanda mereka sukses mewirid kekuasaan Tuhan-menciptakan Tuhan. Sebab Sang Kebenaran itu kuat dan otonom, punya arah kehendak sendiri, tak bisa dimanipulasi dan dipaksakan termasuk dengan iman.


Cara bertuhan seperti itu (hanya didasari iman) sebenarnya persis sama dengan cara orang "menuhankan" jimat (keris, pohon, gunung, lautan, makam dsb), keliru besar kalau anda merasa berbeda. Jimat hanya akan menjadi bertuah, menjadi "maha kuasa" jika kita terus mengimaninya, menghormatinya, merituali-mewiridnya (menyembahnya, memuasaninya, menjamasinya, memenyaninya, mengembanginya, mensucikannya, membelanya dll). Jimat akan segera berkurang atau bahkan hilang tuahnya jika kita sudah tidak lagi sungguh-sungguh mengimani, menghormati, merituali-mewiridnya..., iman, hormat, ritual adalah pembangun sekaligus penyelaras-penghubung kita dengan energi, spirit, khodam atau yoni yang tertanam di dalam sebuah jimat, pusaka atau sesembahan.


Sayangnya, cara beragama seperti itulah yang sangat digandrungi banyak orang sekarang, mereka menjadikan iman sebagai "dewa", awal sekaligus ujung dari relijiusitas. Padahal iman hanya mengarahkan kita pada kekuatan, bukan kebenaran. Iman tanpa laku-kawruh akan pincang, membuat kita mudah tertipu dan terjerumus, hanya menjadikan agama sebagai ritual menciptakan sekaligus "memperbudak" Tuhan, menyembah ego kita sendiri, syirik akbar, bukannya menjadikannya ritual memahami-menyelaraskan diri dengan sifat-sifat dan kehendak hakikinya yang satu-universal, tauhid...

Sabtu, 11 Mei 2019

Iman dan Keserakahan, Apakah Ada Bedanya?



Dulu saya sering dinasehati ibu saya, "banyak zikir dan ibadah nak biar gak mudah digendam (dihipnotis) orang." Nasihat itu kuturuti tapi kenyataannya tetap saja saya beberapa kali jadi korban gendam, ibu saya sendiri yang menasehati juga mengalami nasib sama. Tragisnya, yang menggendam saya dan ibu saya justru orang yang tampaknya relijius, sangat mengerti agama dam sedang berjuang demi agama..., uang saya pernah dikuras habis setelah seorang pedagang sovenir (kaligrafi) keliling mengatakan kalau hasil jualan sovenirnya sebagian akan disumbangkan ke pesantren dan anak yatim.


Siapa bilang orang relijius atau beriman itu lebih kebal terhadap gendam, hipnotis, sihir, santet, pelet, welek, tulah, laknatan, gangguan jin, kesurupan, hasutan, kebohongan, teori konspirasi dan lain-lain manipulasi-serangan mental-batin?. Justru sebaliknya, mereka sebenarnya jauh lebih rawan..., secara mental-spiritual mereka ibarat pemilik rumah yang membiarkan pintunya terus terbuka, akan lebih mudah dimasuki "maling" dengan segala maksud dan kepentingannya.


Iman-kepercayaan (tanpa dasar) itu masih bagian dari ego atau hawa nafsu, sama dengan prasangka, harapan, keserakahan, dia akan melemahkan kesadaran. Jika kita gagal memfilter dan menguasainya, dia akan berarti terbukanya benteng-pintu-aura menuju jantung kesadaran kita. Efeknya, kita akan dengan mudah diserang-dikuasai orang lain, kesadaran kita diambil-alih, akan juga membuat kita mudah terhubung ke kekuatan-dunia kegelapan. Orang beriman yang bahkan tidak sengaja menjatuhkan kitab sucinya bisa terkena sial seumur-umur, tapi bagi yang tak mengimaninya, menjadikannya bungkus tempepun takkan memiliki dampak apa-apa..., orang beriman melihat orang berpenampilan atau berkata-kata relijius akan langsung melemah kesadarannya, cukup dengan sedikit modal kata-kata manis, dia bisa langsung terhipnotis, terpelet, terhasut..., lihat tuch sekarang, cuman modal jenggot, jubah, sorban ditambah sedikit "ngayat", wong-wong KAE bisa menjadikan orang lain bak budak, apapun kata-katanya langsung dipercaya dan dituruti.


Jadi ingat temanku dulu, seorang santri tulen, ngaku memiliki jimat dan doa pengusir jin, tapi lucunya, dia justru yang paling takut jin dan paling sering ngaku diganggu jin... ^^ Iman-kepercayaannya terhadap jin telah membuatnya kehilangan otoritasnya sendiri...

Kamis, 09 Mei 2019

Surga dan Ego Manusia



Surga menurut orang Eropa: tempat yang hangat, hijau dan cerah sepanjang tahun, pulau-pulau tropis adalah surga bagi orang Eropa. Surga menurut Kristen/Buddha: tempat orang hidup di alam roh yang bebas penderitaan, bebas dari kehendak daging-ego-hawa nafsu. Surga menurut Islam: taman rindang penuh sungai dan bidadari MONTOK bergeletakan, surga menurut Islam adalah tempat orang bisa bebas mengumbar hawa nafsu.


Dari kenyataan itu saja kita bisa mengerti pola-pola umum agama-budaya berikut darimana sebenarnya mereka berasal. Wajar surganya orang Eropa seperti itu, mereka tinggal di daerah dingin dekat kutub, hawa hangat, pemandangan hijau, cuaca cerah adalah kenikmatan tak ternilai, hanya datang saat musim-musim tertentu saja. Yesus dan Buddha adalah orang tercerahkan, wajar mereka berpandangan-justru keterikatan pada daging/ego-hawa nafsu adalah neraka yang sebenarnya, bebas dari itu akan berarti puncak kesadaran-kebahagiaan. Wajar surganya Islam seperti itu, bangsa Arab tinggal di padang pasir yang tandus, jarang pohon, tanpa sungai, dengan lelaki yang sangat memuja seks, jika tidak digambarkan seperti itu, mungkin tidak akan ada orang Arab tertarik memeluk Islam.


Agama datang dari persepsi kesadaran lebih tinggi pendirinya tentang apa yang baik, yang menguntungkan, yang menopang eksistensi-kecilnya bagi diri pribadi pendirinya, keluarganya, bangsanya, besarnya-bagi umat manusia secara keseluruhan..., dia sangat dipengaruhi-terikat konteks-situasi dan kondisi masyarakat dimana agama lahir. Mungkin jika ada agama lahir di tanah Jawa, surga yang digambarkannya adalah "tempat semua anggota keluarga bisa berkumpul kembali dalam kedamaian." Karena memang itulah hal yang paling diobsesikan orang Jawa. Yang jelas, kalau ada agama yang menggambarkan surga sebagai "tempat penuh Coca-Cola dengan wong KAE pesam-pesem, ngguya-ngguyu, kedap-kedip, jogat-joget, mungkin saya takkan kuasa untuk tak segera memeluknya... ^^


Perkara wujud atau gambaran surga (dan agama secara umum) sejatinya tidak lebih dari perkara marketing saja, perkara pragmatis, perkara apa yang secara faktual dipersepsikan menarik oleh suatu masyarakat. Pendiri agama adalah marketer ulung yang mendapat ilmu-ilmu marketingnya dari kesadaran lebih tingginya. Gambaran surga (dan agama secara umum) bukanlah perkara benar atau salah karena memang dia berasal dari "tempat" yang tak didesain untuk mengenali-mementingkan itu...


Kamis, 02 Mei 2019

Antara Akal dan Relijiusitas



Bisakah akal berselaras dengan agama...?. Menurutku tidak mungkin kecuali kita memandang agama sebagai "laku" atau tarikat-ritual menguasai ego-indra, mengabaikan sisi dogma dari agama. Mungkin hanya akal dalam tataran yang sangat sederhana saja yang bisa diselaraskan dengan agama.


Akal menuntut bukti, agama menuntut iman, sesuatu yang jelas bertolak belakang, berusaha menyatukannya hanya akan menghasilkan orang-orang seperti ZAKIR NAIK atau HARUN YAHYA, melacurkan akalnya demi mendukung ego relijiusnya, retorikanya memang tampak hebat, membuai dan mempesona tapi tak punya substansi kebenaran apa-apa. Atau seperti argumen beragama orang Salafi atau Farisi, terkesan sangat rapi-ilmiah-benar-masuk akal memang, tapi justru karena itulah mereka telah menguras dan menghalangi semua yang indah-indah, humanis bahkan yang esensi-hakikat dari agama, menyisakan agama hanya sebatas simbol dan ritual kering dan kaku, tanpa makna dan jiwa. Atau kalau di Indonesia, seperti Rocky Gerung, hanya sedang mengeksploitasi "bahasa", hukum dan teori filsafat yang agung demi memoles ego politiknya agar tampak masuk akal. Mereka telah menggunakan anugrah akalnya di tempat yang salah..., yang harusnya digunakan untul menopang dimengertinya kebenaran hakiki malah hanya digunakan menopang dan memoles egonya agar terasa dan tampak sebagai kebenaran.


Bahkan jika agama anda mengatakan bumi ini berbentuk kotak atau kembang-kembang, sudah terima saja, tidak perlu berusaha dipoles-poles, diplintir-plintir, dicocok-cocokkan biar tampak masuk akal, agama sama sekali tidak butuh itu. Bagaimanapun tidak masuk akalnya suatu ajaran agama, kalau anda imani dengan sungguh-sungguh, tetap akan memberi anda energi dan keberkahan. Biarlah cerita Adam-Hawa atau banjir Nuh diterima apa adanya tanpa perlu menghubung-hubungkannya dengan sains karena itu memang tidak perlu dan tidak akan bisa.


Lain halnya kalau yang ingin anda ikuti adalah akal (termasuk hati, kesadaran lebih tinggi anda), penyabot utamanya adalah ego-sesuatu yang indah-indah terutama sekali, khayalan indah kalau agama andalah yang paling benar. Selagi anda tak mampu menguasai khayalan itu, anda tidak mungkin bisa jadi manusia yang sepenuhnya berakal...

Kebenaran dan Kesengsaraan



Ada yang berusaha memahami kebenaran dengan seumur hidup tidak menikah..., ada yang berusaha memahami kebenaran dengan berkhalwat dan beruzlah-menyingkirkan diri dari riuhnya dunia..., ada juga yang berusaha memahami kebenaran dengan bertapa brata, ngukut panca indra, hidup dalam kezuhudan, tidak makan, minum dan tidur. Dengan jalan-jalan berat itupun tidak ada jaminan apapun orang akan sampai pada pemahaman akan hakikat kebenaran.


Sekiranya kita tahu, sadar, mengerti betapa sulit dan beratnya laku-ritual untuk memahami apa yang benar bahkan untuk perkara yang sangat kecil dari hidup kita, kita pasti akan sangat malu bahkan takut bermudah-mudah mengklaim kalau diri kita benar. Mudah mengklaimnya sama dengan ketidaktahuan, kegegabahan bahkan kesombongan. Hanya akan sangat sedikit orang yang akan sanggup menempuh jalan-jalan menuju dimengertinya kebenaran, ukurlah diri. Tepat sekali kata-kata temanku dulu saat dia kuminta sedikit menghormati Ulama, dia seorang yang (kelihatannya) ateis ditandai dengan seringnya dia merendahkan/mengejek Ulama, waktu itu dia dengan ketus menjawab, "kalau masih doyan mangan lan ngeue, dia masih sama lagh seperti kita, gak usahlah menganggap dia lebih benar atau mulia." Saya dulu membantah keras argumennya itu, sesat dan ngawur pikirku, penistaan terhadap Ulama, tidak ada dasar dan dalilnya..., tapi sekarang saya sadar, secara esensi memang seperti itulah kenyataannya, kebenaran hanya milik mereka yang mampu menguasai raganya, panca indranya, egonya, hawa nafsunya, bukan milik orang yang berbaju atau menguasai banyak "teori" tentang agama.


Sekarang ironis, banyak orang yang sekedar mengendalikan prasangka, amarah, kebencian, iri hati, birahi dan "laku" ringan lainnya saja tidak mampu, tapi sangat keras dalam berbicara, merasa dan mengklaim kebenaran. Jelas mereka sangat tidak tahu malu dan tidak tahu diri..., jahil sekaligus takabur secara hakikat, kebenaran ada pada pengendalian akan hal ITU, bukan malah memicu hal ITU...

Jumat, 12 April 2019

Tiada Tuhan tanpa Pengendalian Ego



Waktu masih relijius dulu, saya ini, setiap kali melihat ada orang atau negri kafir tampak baik, damai, pintar, maju, kaya, bukannya berbesar hati mengapresiasi malah selalu timbul "rasa sakit yang tak terungkap"..., bukannya memicu introspeksi-menjadikannya pelajaran berharga, malah justru membuatku makin "ngombro-ombro angkoro", berusaha menyangkal-menipu diri hingga bahkan menghakimi. Saya yakin begitu juga yang terjadi dengan orang relijius lain.


Kafir memang sengaja dibuai-dijerumuskan Allah dengan "dunia", tujuannya agar mereka kelak masuk neraka, itulah salah satu dalil yang biasa kugunakan untuk menghibur diri..., atau, Allah sudah menentukan kalau dunia adalah surga bagi kafir dan neraka bagi Muslim..., kafir itu hanya pura-pura baik, hatinya pasti jahat terutama terhadap Muslim..., kafir menjadi kaya dan maju pasti karena menghalalkan segala cara, mereka tidak mengenal halal-haram, baik-buruk, benar-salah..., dan lain-lain pikiran jahil dan zalimku.


Orang yang sungguh-sungguh beragama-menyembah Tuhan pada akhirnya akan sampai pada satu "titik" Tuhan yang sama, akan memahami apa itu tauhid, "Ketuhanan Yang Maha Esa" atau "Bhinneka Tunggal Ika." Nama dan sosok Tuhan dalam agama-agama hanyalah alat, wasilah atau jimat yang "keampuhan" atau efektifitasnya menghubungkan dengan Tuhan hakiki bergantung pada bagaimana itu mampu menurunkan ego pemercaya atau penyembahnya-pada bagaimana itu mampu menguatkan nalar, membukakan pintu hati pemercaya-penyembahnya.


Tidak ada artinya perasaan atau klaim hanya Tuhan kitalah yang benar jika nyatanya itu tidak membawa pada pelemahan ego..., Tuhan kita itu tetap akan kalah perkasa, kalah kuasa, kalah besar, kalah baik, tidak akan mampu memberkahi-membimbing kita dibanding Tuhannya orang-orang yang kita anggap salah, sesat, kafir tapi nyatanya mampu membuat ego mereka melemah.


Kita kalah baik, kalah damai, pintar, maju, kaya, jelas karena memang kita kalah diberkahi-dibimbing..., dan itu jelas sebabnya, karena kita kalah dalam cara bertuhan dengan benar. Tidak usahlah terus ngeles, menyangkalnya..., kalau nyatanya hati kecil kita masih menganggap ITU sesuatu yang penting, kita harusnya jujur mengakui...

Rabu, 03 April 2019

Antara Tuhan dan Angan-Angan



Pernah pada suatu malam, guru saya mengajak beberapa muridnya (termasuk saya) bermeditasi di sebuah tempat yang kelihatannya angker. Setelah beberapa jam bermeditasi, satu-persatu murid kemudian ditanya apa yang mereka lihat. Ada yang menjawab melihat ular besar, ada yang menjawab melihat tuyul, gendruwo..., dan ada juga yang menjawab tidak melihat apa-apa, termasuk saya. Saya jelas kecewa, jadi merasa tidak berbakat melihat hantu, jin, setan dan hal-hal ghaib lainnya, kemampuan yang waktu itu saya idamkan. Tapi kemudian guru saya mengatakan, justru yang tidak melihat apa-apalah yang berbakat melihat kebenaran yang lebih tinggi, tempat ini tidak ada apa-apanya, ular, tuyul, gendruwo dll itu hanyalah produk angan-angan mereka saja, indra-pikiran mereka terdistorsi wujud tempat ini yang tampak angker.


Pun sebenarnya seperti itulah yang terjadi pada banyak orang relijius sekarang, hanya karena melihat ayat atau teks-teks agama yang tampak "angker", mereka lantas menyimpulkan Tuhan juga pasti angker. Kegagalan mereka mengendalikan angan-angan, prasangka, hawa nafsunya, telah memunculkan ilusi-delusi bahkan halusinasi akan Tuhan (yang benar). Tidak mungkin Tuhan itu pemarah, pembenci, pendendam, pengazab, egois, rasis, seksis, fasis..., itu hanya Tuhan "hantu" yang diciptakan mereka sendiri, persis seperti ular besar, tuyul, gendruwo dll yang "diciptakan" teman-teman saya itu dulu.


Tuhan (jikapun ada) itu akan seperti alam semesta ini, netral saja..., seperti gunung berapi, jika kita mampu membaca-menyesuaikan diri dengan sifat-sifat dan kehendak hakikinya, gunung berapi akan menjadi rahmat, akan memberi kita tanah yang subur, air yang bersih, udara yang nyaman dan pemandangan yang indah, tapi jika kita gagal "mengerti", gunung berapi pada satu waktu pasti akan menjadi azab yang membinasakan kita.


Apakah ibadah akan membuat kita "dirahmati" dan maksiat "diazab" Tuhan-alam semesta ini...?. Belum tentu..., ibadah akan menghindarkan kita dari azab hanya jika itu meningkatkan "eling lan waspada" kita, kesadaran-makrifat kita, kemampuan membaca sifat dan kehendak Tuhan-alam semesta ini..., sebaliknya, perbuatan yang tampak, dihakimi dan dihukumi semaksiat apapun (oleh suatu agama atau seseorang) tapi kalau nyatanya itu tak membuat orang "mabuk", tetap takkan membawa orang itu pada "benturan" dengan Tuhan-alam semesta ini.


Masalahnya sekarang, banyak orang makin banyak beribadah tapi justru kewaspadaan-kesadaran-makrifatnya malah makin melemah dan menurun, tak jauh beda dengan mereka yang bermaksiat, tragis sebenarnya, sebab pasti-pada akhirnya, justru ibadah-agama merekalah yang akan mendatangkan AZAB..., tepat sekali perkataan Asy-Syadzily, "maksiat bersembunyi dibalik taat"...

Senin, 01 April 2019

Tuhan dan Pohon Elo Itu...



Di seberang jalan depan rumahku, dulu ada sebatang pohon Elo raksasa yang dikeramatkan warga. Konon kabarnya, air sadapan pohon itu mampu menyembuhkan segala penyakit. Tiap pagi menjelang subuh, ada saja orang yang menyadap airnya, bahkan di hari-hari tertentu, ada orang yang membakar kemenyan dan bermeditasi. Banyak orang mengaku sembuh sakitnya setelah minum air sadapan pohon itu.


Pertanyaannya, betulkah sakit mereka sembuh disebabkan khasiat nyata air pohon itu...?. Saya benar-benar tidak yakin, paling mungkin mereka sembuh disebabkan iman kuat mereka atas khasiat air pohon itu..., iman yang akhirnya membuat pohon itu lama kelamaan berubah menjadi "Dewa" atau "Tuhan", lengkap dengan kuasa yang dikehendaki warga, yang maha menyembuhkan.


Kehendak atau tuntutan kalau Tuhan mesti diimani, dibela, dimuliakan atau disembah itu menunjukkan kalau Tuhan (sebagaimana digambarkan-ditawarkan agama-agama) itu jelas sebenarnya pada akhirnya akan menjadi 100% ciptaan manusia..., tidak jauh beda dengan yang terjadi pada pohon Elo itu, iman yang terus-menerus diwirid atasnya membuatnya akhirnya berubah menjadi "Elo yang maha kuasa", "Elo yang maha menyembuhkan", menjadi Dewa-Tuhan secara de facto.


Mengimani, membela, memuliakan, menyembah adalah energi, semakin banyak kita melakukannya (terhadap obyek apapun) akan semakin banyak pula energi yang akan tertimbun..., konsekwensinya, akan semakin kuat-maha kuasa pula obyek yang kita imani, bela, muliakan, sembah itu---semakin mampu menghubungkan kita dengan kekuatan bawah sadar kita. Keris, batu cincin atau bahkan BOTOL yang sungguh-sungguh kita imani, bela, muliakan, sembah, akan lebih berkuasa dibanding Tuhan yang maha esa, tinggi, agung, besar, perkasa, tapi tidak kita imani dengan sungguh-sungguh.


Kalau yang ingin kita cari-dapatkan adalah ENERGI-sarana memenuhi EGO kita, mengimani, membela, memuliakan, menyembah obyek yang kita anggap tinggi, memang adalah cara termudah kita mendapatkannya..., tapi kalau yang ingin kita cari-dapatkan adalah KEBENARAN, justru itulah yang paling harus kita hindari..., energi itu sama dengan harta, tahta atau wanita, "meteng-metengi jagad", semakin kita terobsesi dan terfokus padanya, akan semakin susah kita untuk jernih dan adil, melihat yang benar...