Ada yang berusaha memahami kebenaran dengan seumur hidup tidak menikah..., ada yang berusaha memahami kebenaran dengan berkhalwat dan beruzlah-menyingkirkan diri dari riuhnya dunia..., ada juga yang berusaha memahami kebenaran dengan bertapa brata, ngukut panca indra, hidup dalam kezuhudan, tidak makan, minum dan tidur. Dengan jalan-jalan berat itupun tidak ada jaminan apapun orang akan sampai pada pemahaman akan hakikat kebenaran.
Sekiranya kita tahu, sadar, mengerti betapa sulit dan beratnya laku-ritual untuk memahami apa yang benar bahkan untuk perkara yang sangat kecil dari hidup kita, kita pasti akan sangat malu bahkan takut bermudah-mudah mengklaim kalau diri kita benar. Mudah mengklaimnya sama dengan ketidaktahuan, kegegabahan bahkan kesombongan. Hanya akan sangat sedikit orang yang akan sanggup menempuh jalan-jalan menuju dimengertinya kebenaran, ukurlah diri. Tepat sekali kata-kata temanku dulu saat dia kuminta sedikit menghormati Ulama, dia seorang yang (kelihatannya) ateis ditandai dengan seringnya dia merendahkan/mengejek Ulama, waktu itu dia dengan ketus menjawab, "kalau masih doyan mangan lan ngeue, dia masih sama lagh seperti kita, gak usahlah menganggap dia lebih benar atau mulia." Saya dulu membantah keras argumennya itu, sesat dan ngawur pikirku, penistaan terhadap Ulama, tidak ada dasar dan dalilnya..., tapi sekarang saya sadar, secara esensi memang seperti itulah kenyataannya, kebenaran hanya milik mereka yang mampu menguasai raganya, panca indranya, egonya, hawa nafsunya, bukan milik orang yang berbaju atau menguasai banyak "teori" tentang agama.
Sekarang ironis, banyak orang yang sekedar mengendalikan prasangka, amarah, kebencian, iri hati, birahi dan "laku" ringan lainnya saja tidak mampu, tapi sangat keras dalam berbicara, merasa dan mengklaim kebenaran. Jelas mereka sangat tidak tahu malu dan tidak tahu diri..., jahil sekaligus takabur secara hakikat, kebenaran ada pada pengendalian akan hal ITU, bukan malah memicu hal ITU...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar