Ujung tertinggi pencarian kita akan Tuhan hanya akan sampai pada diri kita sendiri, jati diri kita, alam semesta ini. Mukjizat, karomah, wahyu, hidayah, berkah atau anugrah-anugrah keilahian lainnya itu tidak datang dari mana-mana-tidak datang dari obyek di luar diri kita, dia datang dari dalam diri kita sendiri..., demikian juga dengan setan, jin, malaikat, dewa-dewa dan sosok-sosok dianggap ghaib lainnya.
Pada saat ujung itu tergapai, kita akan dihadapkan pada 3 pilihan, tetap mengimani Tuhan, menjadi agnostik atau menjadi ateis. Semua pilihan akan menjadi benar karena pasti didasari argumen yang kuat. Semua pilihan tidak akan menjadi masalah bagi siapapun karena pasti, pilihan yang didasari pengetahuan, hanya akan menyisakan sedikit perbedaan bahkan di antara dua orang yang secara lahir tampak sangat berbeda seperti antara yang teis dan ateis. Jika Buddha Gautama yang tidak mengakui adanya Maha Dewa (Tuhan semesta alam), Yesus yang mengklaim diri sebagai Tuhan dan Jalaluddin Rumi yang bertuhankan Allah bertemu di satu majelis, hampir pasti, tidak akan ada perdebatan apalagi permusuhan diantara mereka. Mereka akan saling menghormati pandangan masing-masing, bisa saja diantara mereka saling meledek tapi pasti dalam suasana penuh canda tawa. Sebab mereka sadar, perbedaan di antara mereka sangatlah kecil, hanya masalah kontek, tuntutan zaman-kondisi masyarakat di mana mereka tinggal, selebihnya, 99% di antara mereka sama.
Masalahnya sekarang, banyak orang relijius menjadikan iman sebagai awal sekaligus ujung akhir keberagamaan mereka-bukannya menjadikannya pintu-laku-tarikat mencari Tuhan. Akibatnya, agama menjadi tetap terkunci sebagai klenik atau tahayyul, tidak membawa pada kawruh atau pengetahuan yang lebih tinggi, yang esensi. Cara beragama seperti itu persis seperti beo yang sangat fasih berdoa atau bersahadat, tetap takkan membuatnya dianggap sebagai sudah beragama. Orang-orang demikian sudah pasti akan terus bermasalah dengan peradaban dan "kemaslahatan", akan gagal mengalirkan diri dengan kehendak Tuhan-alam semesta yang "hidup", berubah dan berkembang.
Tepat sekali kata-kata Sheikh Siti Jenar, "syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian." Sebab sebelum ego kita mati, sebelum kita menguasai raga kita, sebelum kita sampai pada jati diri kita, kita sebenarnya masih dalam status tidur, mimpi, mabuk, "bangkai" yang tidak punya kehendak sendiri, hidup hanya bisa mengikuti naluri, angan-angan, ego, bukan didasari pemahaman atas kebenaran. Agama tidak akan banyak membantu-tidak akan membawa pada kebenaran, sama seperti beo yang berdoa sepanjang hari, tidak akan punya nilai apa-apa, tidak akan membuatnya lepas dari statusnya sebagai burung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar