Jika engkau belum mengenal Tuhanmu, cukuplah engkau berprasangka baik kepadanya (Rumi). Tepat sekali kata-kata sang Sufi ini. Itulah jalan tengah teradil dan tercerdas bagaimana harusnya "default" kita memandang Tuhan.
Sebab siapa yang kita sembah, puja, idolakan, panuti, tidak peduli itu obyek nyata atau fantasi, dialah yang akhirnya akan membentuk siapa diri kita-karakter kita, yang akan membagi vibrasinya dengan kita, yang akan kita manunggali. Jika kita mewirid-mempercayai Tuhan kita keras, pemarah, pembenci, pendendam, penteror, pengazab, fasis, seksis, misoginis-sebagaimana tuhannya orang-orang relijius ITU, seperti itu jugalah akhirnya kita menjadi..., pun jika kita memilih mewiridkan Tuhan sebagai yang maha sabar, pemaaf, pemurah, pengasih dan penyayang, "khodam" itu juga yang akhirnya akan "merasuki" kita, membimbing kita, membentuk "jagat" kita.
Bahkan jikapun Tuhan kita salah, Tuhan tidak terjangkau atau bahkan Tuhan tidak ada, tapi jika kita memiliki gambaran-gambaran baik-positif-non egoistik tentangnya, setidaknya itu tetap akan membawa kita pada kesadaran, pada makrifat, pada esensi jalan lurus, tidak akan ada ruginya. Sebaliknya, gambaran buruk-egoistik akan Tuhan, sudah pasti akan menjerumuskan kita pada kemabukan-ketidaksadaran, akar dari segala kejahilan, kegelapan bahkan kezaliman, esensi setan. Yang jelas, tidak mungkin Tuhan (jika benar ada) lebih memilih kemabukan daripada kesadaran, itu mengingkari sunatullah-hukum-hukum dasar alam semesta.
Enak dong kalau tuhannya sabar dan pemaaf, setiap saat kita bisa bikin dosa tanpa takut Tuhan marah..., gitu biasanya cibiran dari orang-orang relijius ITU. Kelihatan masuk akal cibirannya, tapi sebenarnya konyol, tidak nyambung, sebab jika kita mampu sabar dan memaafkan, bukan hanya kita akan mampu menghindari dosa, kita juga akan mampu mengerti apa yang sejatinya dosa dan apa yang hanya didudukkan sebagai dosa, klenik-tahayyul tentang dosa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar