Rabu, 13 November 2019

Apakah Ada Agama Yang Benar?




Mengapa tidak ada satupun agama membicarakan fakta-fakta sains bahkan yang sangat sederhana seperti bumi ini bulat dan mengelilingi matahari...?.


Kesadaran lebih tinggi kita sebagai sumber datangnya agama itu tidak didesain untuk mementingkan-mengenali apa yang benar, fakta, realitas..., dia hanya didesain untuk mementingkan-mengenali apa yang benar baik-menguntungkan, yang menopang eksistensi, kecilnya bagi diri pribadi pendiri agama, pengikutnya, etnis atau bangsanya, dan besarnya, bagi umat manusia dan alam semesta secara keseluruhan. Dia bagian dari naluri paling fitrah-dasar-primitif kita, naluri untuk bertahan hidup.


Jadi, kalau ada orang berfikir atau mengklaim agamanya itu sumber sains, berselaras atau mendukung pengembangannya itu sebenarnya konyol, gak mengerti esensi (asal) agama..., atau bahkan (pendiri) agamanya yang ngawur, berani membicarakan sesuatu yang di luar jangkauan-kapasitasnya. Orang Buddha biasanya mengklaim agamanya berselaras dengan sains..., sebenarnya tidak juga, agama Buddha "hanya" tidak membicarakan sains saja.


Sains berkembang jika indra dan akal kita kuat, sementara agama sebaliknya, jika indra kita terlalu kuat-gagal dikuasai, kita terlalu rasional-berakal kuat, kita tidak akan bisa mengambil manfaat esensial-tinggi-spiritual apapun dari agama. Mengapa...?, itu akan membuat kita menjadi sulit pasrah-berserah diri, "kosong", otak kita akan selalu riuh dipenuhi masukan dan pertanyaan. Hidayah, berkah, mukjizat, karomah dan lain-lain manfaat tinggi dari agama itu datang dari keberserah-dirian, kekosongan, "kebodohan", bukan dari indra dan akal yang kuat, agama jelas bukan untuk orang-orang berakal. Orang-orang atau bangsa cerdas-berakal kuat cenderung tidak relijius atau bahkan menjadi ateis itu wajar, merekalah golongan yang paling sulit mengambil manfaat dari agama, bukan karena mereka sombong atau ingin melawan Tuhan, jangan berprasangka.


Agama itu seperti cerita Sangkuriang atau Malin Kundang, bahkan hampir pasti datang dari sumber yang sama, kesadaran lebih tinggi penciptanya. Dia diciptakan untuk "anak-anak", untuk orang berkesadaran rendah, bukan untuk orang "dewasa." Bagi yang sudah dewasa, jangan pertanyakan atau klaim kebenarannya, cukup apresiasi keindahan bahasa atau pesan moralnya. Seiring naiknya kesadaran-kedewasaan, kitapun sebenarnya berpeluang dihidayahi-diwahyui-mendapat ilham untuk membuat "cerita" senada. Jadi ingat kata-kata Jalaluddin Rumi, “Don't be satisfied with stories how things have gone with others, unfold your own myth..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar