Rabu, 30 November 2016

Pikiran-Prasangka Kita, Ujian Berat Kita




Dulu sewaktu masih aktif di sebuah perguruan silat-suatu malam saya dan teman-teman saya diajak guru saya untuk latihan meditasi di suatu tempat yang terbilang angker. Setelah beberapa jam bermeditasi, guru saya kemudian menanyai satu persatu apa yang dilihat murid selama meditasi itu. Jawabannya macam-macam, ada yang mengaku melihat anak kecil lewat di depan mereka, ada yang melihat ular besar, ada yang tidak melihat apa-apa termasuk saya.


Karena saya termasuk yang tidak melihat apa-apa, terang saja saya jadi merasa sedih, saya jadi merasa tak berbakat melihat hal-hal ghaib, sesuatu yang sebenarnya saya idam-idamkan waktu itu. Guru saya kemudian menjelaskan justru yang tidak melihat apa-apalah yang lebih berbakat mendapat pengetahuan lebih tinggi. Kalau hanya ingin "melihat" hantu, jin, setan dan sejenisnya, jauh lebih mudah dengan cara nyimeng atau nyabu daripada susah-susah bermeditasi. Sayang sekali, penjelasan guru saya itu dulu saya abaikan, tidak membuatku bersemangat, paling cuman untuk menghibur saja pikirku, pokoknya saya ingin melihat hantu, kalau tidak bisa berarti saya bodoh, tidak berbakat.


Tapi sekarang saya mengerti apa yang dikatakan guru saya itu dulu. Melihat hantu, jin, setan atau yang sejenisnya lebih merupakan cermin kegagalan seseorang menjaga-mengendalikan pikiran-prasangkanya sendiri ketimbang cermin orang itu telah memiliki indra-pengetahuan "lebih". Kegagalan itu memicu kerusakan fungsi otak, membuat otak "terpaksa" menghasilkan hal-hal palsu-ilusi, delusi atau halusinasi demi memenuhi-mewujudkan pikiran-prasangkanya itu. Orang yang mengaku mampu melihat hantu, jin, setan atau yang sejenisnya pasti akan juga berpotensi mengaku melihat malaikat atau Tuhan-mengaku menjadi Nabi, jatuh di jurang kesesatan terdalam. Sekarang saya jadi mengerti mengapa syarat utama orang mengikuti toriqoh adalah harus memahami syariat-norma-hukum positif terlebih dulu, wajar saja, jika itu tidak dimengerti, pikiran-prasangka atau hawa nafsu orang itu akan dengan mudah mengambil alih kesadarannya, menjadi liar-tak terkendali.


Kegagalan menjaga-mengendalikan pikiran-prasangka bukan hanya menjadi masalah utama dalam dunia spiritual tapi juga dalam dunia "rasional". Lihat saja sekarang, masih sangat banyak masyarakat kita yang "terbelenggu" pikiran-prasangka kalau orang yang tak seagama pasti jahat, FPI sedang membela Islam sementara Jokowi musuh Islam. Mereka menjadi bodoh dan zalim tapi merasa pintar, benar dan saleh, mereka tampak sadar-terjaga tapi hakikatnya sedang bermimpi, mabuk bahkan gila, tertipu pikiran, prasangka, harapan, angan-angan, hawa nafsunya sendiri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar