Kalau kita sedang dalam posisi berbohong tapi terus didesak untuk berkata jujur, apakah reaksi yang paling praktis dan umum dilakukan untuk menutupinya?. Marah-marah tentunya, kita akan menjadi ofensif-agresif, akan menghardik orang yang terus mendesak kita untuk jujur dengan tuduhan tidak percayaan, menghina, berprasangka buruk, tidak menghargai atau retorika intimidatif lainnya..., atau bahkan, kita akan menyerangnya secara fisik.
Pun demikian sebenarnya saat kita beragama..., saat akal-nurani-alam bawah sadar-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita menilai tafsir-pandangan keagamaan kita sulit untuk dibuktikan-ditunjukkan kemuliaan, kesempurnaan atau kebenarannya, marah-marahlah cara paling praktis dan umum untuk mengkamuflase-menutupinya, kita akan menjadi ofensif-agresif, menuduh siapapun yang mengkritisi pandangan keagamaan kita sebagai sedang menista atau menghina pandangan keagamaan kita, dan itu, sering memiliki mekanisme yang tidak disadari. Kita merasa marah karena benar padahal sejatinya, kita marah demi menutupi kesalahan, demi melindungi ego kita yang terancam.
Karena kenyataan itulah, satu-satunya jalan agar pandangan keagamaan kita itu menyamankan-menentramkan, tidak membebani, tidak terus-menerus menuntut dibela-dilindungi, tidak memicu kita menjadi ofensif-agresif, hobi marah-marah atau mengamuk, kita harusnya senantiasa melibatkan akal-hati-nurani kita saat memilih atau memahami-menafsirkan agama, bukan terus-menerus hanya menggunakan prasangka, emosi, ego-hawa nafsu kita yang pasti menyesatkan, merumitkan hidup kita sendiri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar