Selasa, 29 November 2016

Tiada Pemahaman tanpa Pendalaman




Pernahkah anda membaca lirik atau mendengar lagu-lagu Jawa klasik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?. Hampir pasti lirik-lagu terjemahan itu akan tampak dan terasa "kering", aneh, janggal, kehilangan keindahan, makna tersirat dan pengaruh psikologis-spiritualnya.



Bahasa dalam sebuah lagu memang mudah diterjemahkan tapi tidak untuk "konteks-ruh" yang terikat dengan lagu itu.


Lagu-lagu Jawa klasik biasanya diciptakan oleh Pujangga atau Ulama yang kesehariannya biasa menjalani "laku" spiritual, gemar mengheningkan diri-mengendalikan ego-hawa nafsunya, karenanya, lagu itu biasanya memiliki nilai setara wahyu-petunjuk Tuhan-alam semesta-hati nurani, ada kebenaran di dalamnya. Wajar kemudian lagu-lagu itu bukan hanya indah tapi juga memiliki kekuatan mistik-spiritual, berfungsi sebagai mantra dan doa yang mampu menggetarkan hati-alam semesta. Tapi ada konsekwensinya, untuk bisa memahami-menyelami-memantrai-mendoai lagu-lagu Jawa klasik sepenuhnya, mau tidak mau kita harus belajar memahami konteks-ruh lagu itu, kita harus belajar bahasa dan budaya Jawa, kita juga harus menjalani "laku-tarikat" seperti halnya laku-tarikat yang dilakukan pencipta lagu itu.


Pun demikian sebenarnya dengan kitab suci, dari sisi bahasa memang mudah diterjemahkan tapi tidak untuk konteks, ruh atau makna tersiratnya, kita butuh belajar bahasa dan budaya asal dari kitab suci itu, kita harus belajar "laku-tarikat" pembawa kitab suci itu. Masalahnya sekarang, banyak orang-yang belajar kitab suci saja hanya dari terjemahan tapi dengan pede dan gegabahnya mengklaim itulah kitab suci secara keseluruhannya. Inilah cermin kejahilan, "pemerkosaan" yang sebenarnya, banyak orang "buta" yang sebenarnya cuman memegang buntut gajah tapi langsung mengklaim itulah gajah, mereka buta tapi tidak mawas diri, mengakui-menyadari kalau dirinya buta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar