Selasa, 22 November 2016

Tiada Kebenaran tanpa "Pembatasan"





Dulu, saat berargumen tentang perkara agama dengan Bapak saya, Bapak saya sering mengatakan gini, "kalau kamu sudah mampu berpuasa empat puluh hari empat puluh malam, bolehlah kamu ngotot mengklaim hanya pandangan kamu yang benar, pandangan yang lain salah semua".


Karena waktu itu saya menilai pandangan Bapak saya itu ngawur, mengada-ada, tidak syar'i, tidak "ilmiyah", tidak ada dalil-tuntunannya, tentu saya tolak mentah-mentah. Penjelasan apapun dia tentang maksud kata-katanya itu tidak bisa kuterima dan tidak bisa kupahami, akal-hati saya sudah terkunci, saya tetap teguh pada pandangan awal saya.


Tapi sekarang saya mengerti maksud kata-kata Bapak saya itu. Kemampuan berpuasa empat puluh hari empat puluh malam adalah cermin telah dikuasainya ego-hawa nafsu, fisik-indra. Jika itu telah digapai, pandangan, persepsi dan tafsir apapun terhadap suatu hal termasuk agama pasti relatif akan lebih jujur, adil dan obyektif, terbebas dari pengaruh "rasa", prasangka, harapan atau kepentingan, itu adalah cermin puncak dari kezuhudan. Saya sekarang sadar kalau pandangan-pemahaman keagamaan saya dulu ternyata sering salah, sangat dangkal, parsial, emosional, hanya didasari gejolak "rasa" saja.


Umat Islam sekarang sulit bersatu dan berdamai jelas karena tidak mampunya berpuasa "empat puluh hari empat puluh malam", kurangnya "tirakat" atau pengendalian ego-hawa nafsu sehingga kurang pula "kesadaran-ma'rifat", akibatnya, semua tafsiran atas hidup, agama dan dunia ini cenderung hanya mengikuti rasa, prasangka, harapan atau kepentingan, bukan atas petunjuk dari sang maha benar...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar