Rabu, 30 November 2016

Pikiran-Prasangka Kita, Ujian Berat Kita




Dulu sewaktu masih aktif di sebuah perguruan silat-suatu malam saya dan teman-teman saya diajak guru saya untuk latihan meditasi di suatu tempat yang terbilang angker. Setelah beberapa jam bermeditasi, guru saya kemudian menanyai satu persatu apa yang dilihat murid selama meditasi itu. Jawabannya macam-macam, ada yang mengaku melihat anak kecil lewat di depan mereka, ada yang melihat ular besar, ada yang tidak melihat apa-apa termasuk saya.


Karena saya termasuk yang tidak melihat apa-apa, terang saja saya jadi merasa sedih, saya jadi merasa tak berbakat melihat hal-hal ghaib, sesuatu yang sebenarnya saya idam-idamkan waktu itu. Guru saya kemudian menjelaskan justru yang tidak melihat apa-apalah yang lebih berbakat mendapat pengetahuan lebih tinggi. Kalau hanya ingin "melihat" hantu, jin, setan dan sejenisnya, jauh lebih mudah dengan cara nyimeng atau nyabu daripada susah-susah bermeditasi. Sayang sekali, penjelasan guru saya itu dulu saya abaikan, tidak membuatku bersemangat, paling cuman untuk menghibur saja pikirku, pokoknya saya ingin melihat hantu, kalau tidak bisa berarti saya bodoh, tidak berbakat.


Tapi sekarang saya mengerti apa yang dikatakan guru saya itu dulu. Melihat hantu, jin, setan atau yang sejenisnya lebih merupakan cermin kegagalan seseorang menjaga-mengendalikan pikiran-prasangkanya sendiri ketimbang cermin orang itu telah memiliki indra-pengetahuan "lebih". Kegagalan itu memicu kerusakan fungsi otak, membuat otak "terpaksa" menghasilkan hal-hal palsu-ilusi, delusi atau halusinasi demi memenuhi-mewujudkan pikiran-prasangkanya itu. Orang yang mengaku mampu melihat hantu, jin, setan atau yang sejenisnya pasti akan juga berpotensi mengaku melihat malaikat atau Tuhan-mengaku menjadi Nabi, jatuh di jurang kesesatan terdalam. Sekarang saya jadi mengerti mengapa syarat utama orang mengikuti toriqoh adalah harus memahami syariat-norma-hukum positif terlebih dulu, wajar saja, jika itu tidak dimengerti, pikiran-prasangka atau hawa nafsu orang itu akan dengan mudah mengambil alih kesadarannya, menjadi liar-tak terkendali.


Kegagalan menjaga-mengendalikan pikiran-prasangka bukan hanya menjadi masalah utama dalam dunia spiritual tapi juga dalam dunia "rasional". Lihat saja sekarang, masih sangat banyak masyarakat kita yang "terbelenggu" pikiran-prasangka kalau orang yang tak seagama pasti jahat, FPI sedang membela Islam sementara Jokowi musuh Islam. Mereka menjadi bodoh dan zalim tapi merasa pintar, benar dan saleh, mereka tampak sadar-terjaga tapi hakikatnya sedang bermimpi, mabuk bahkan gila, tertipu pikiran, prasangka, harapan, angan-angan, hawa nafsunya sendiri...

Selasa, 29 November 2016

Tiada Pemahaman tanpa Pendalaman




Pernahkah anda membaca lirik atau mendengar lagu-lagu Jawa klasik yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia?. Hampir pasti lirik-lagu terjemahan itu akan tampak dan terasa "kering", aneh, janggal, kehilangan keindahan, makna tersirat dan pengaruh psikologis-spiritualnya.



Bahasa dalam sebuah lagu memang mudah diterjemahkan tapi tidak untuk "konteks-ruh" yang terikat dengan lagu itu.


Lagu-lagu Jawa klasik biasanya diciptakan oleh Pujangga atau Ulama yang kesehariannya biasa menjalani "laku" spiritual, gemar mengheningkan diri-mengendalikan ego-hawa nafsunya, karenanya, lagu itu biasanya memiliki nilai setara wahyu-petunjuk Tuhan-alam semesta-hati nurani, ada kebenaran di dalamnya. Wajar kemudian lagu-lagu itu bukan hanya indah tapi juga memiliki kekuatan mistik-spiritual, berfungsi sebagai mantra dan doa yang mampu menggetarkan hati-alam semesta. Tapi ada konsekwensinya, untuk bisa memahami-menyelami-memantrai-mendoai lagu-lagu Jawa klasik sepenuhnya, mau tidak mau kita harus belajar memahami konteks-ruh lagu itu, kita harus belajar bahasa dan budaya Jawa, kita juga harus menjalani "laku-tarikat" seperti halnya laku-tarikat yang dilakukan pencipta lagu itu.


Pun demikian sebenarnya dengan kitab suci, dari sisi bahasa memang mudah diterjemahkan tapi tidak untuk konteks, ruh atau makna tersiratnya, kita butuh belajar bahasa dan budaya asal dari kitab suci itu, kita harus belajar "laku-tarikat" pembawa kitab suci itu. Masalahnya sekarang, banyak orang-yang belajar kitab suci saja hanya dari terjemahan tapi dengan pede dan gegabahnya mengklaim itulah kitab suci secara keseluruhannya. Inilah cermin kejahilan, "pemerkosaan" yang sebenarnya, banyak orang "buta" yang sebenarnya cuman memegang buntut gajah tapi langsung mengklaim itulah gajah, mereka buta tapi tidak mawas diri, mengakui-menyadari kalau dirinya buta...

Senin, 28 November 2016

Iman Kita, Energi Kita, Realitas Kita




Kepercayaan atau iman tidaklah mencerminkan-menandakan kebenaran apapun, dia hanya mencerminkan keberhasilan kita mengarahkan-memfokuskan pikiran kita, "memanipulasi-mencuci" otak kita.



Agama itu seperti jimat atau pusaka, hanya akan berkekuatan-memiliki dampak psikologis-batin jika diimani-dipercaya dan ditirakati-diamalkan dengan sungguh-sungguh. Iman-kepercayaan adalah password atau pintu yang menentukan berdampak tidaknya agama atau pusaka itu, sementara tirakat dalam segala bentuknya (doa, puasa, ibadah, zikir dll) menentukan sampai seberapa kuat dampak itu.


Apa yang kita percaya menentukan-membentuk "realitas" siapa diri kita berikut bagaimana nasib kita. Bagi orang yang sangat percaya akan kebenaran atau kekeramatan ajaran agamanya, hanya dengan tidak sengaja menjatuhkan kitab suci agamanya itu saja bisa mendatangkan masalah atau musibah besar. Sebaliknya, bagi orang yang tidak percaya, merobek-robek, menginjak-injak atau mengencingi kitab suci itu tidak akan punya dampak apa-apa. Pun demikian dengan orang yang sangat percaya kalau negeri kita ini adalah negeri toghut (berhala/setan) tapi tidak segera pergi meninggalkan negri ini, hidupnya pasti tidak akan berkah-akan terus tertimpa masalah-azab-musibah, bukan masalah-azab-musibah dari Allah tapi dari pikiran-alam bawah sadarnya sendiri yang terus ditanami-diwiridi dengan prasangka buruk. Kalau kita bisa memilih untuk hanya percaya pada yang baik-baik, yang menguntungkan diri kita, adalah konyol bahkan tragis kalau kita ngotot memilih percaya pada hal yang buruk-buruk, yang merugikan diri kita sendiri sebagaimana umumnya kepercayaan orang-orang fundamentalis-teroris itu. Orang-orang yang gemar menghina kepercayaan orang lain (misalnya dengan menginjak-injak keris) itu sebenarnya tidak sedang menunjukkan apapun selain menunjukkan kalau mereka itu jahil (bodoh) dan egois. Mereka tidak memiliki bahkan "kawruh" yang sangat dasar, mereka tidak punya empati, hidup hanya mengikuti ego-hawa nafsunya. Demikian juga dengan mereka yang terlalu sensitif, mudah marah jika kepercayaan atau agamanya dikritisi, disudutkan atau dihina, "maqom" akal-spiritualnya tidak jauh berbeda-sama rendahnya dengan mereka yang gemar menghina kepercayaan-agama orang lain. Hampir pasti, orang yang gemar menghina adalah juga orang yang mudah merasa terhina.


Selama orientasi kepercayaan-keberagamaan seseorang itu lebih ke dalam-pribadi, tidak keluar-mengganggu hak orang lain, sebenarnya tidak pantas bagi siapapun untuk menghina kepercayaan-agama orang itu. Hak kita hanya sebatas "mengingatkan-menyadarkan" itupun jika kepercayaan itu sudah bertentangan dengan akal sehat dan persepsi hati-spiritual, sudah menimbulkan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat...

Minggu, 27 November 2016

Keabadian Energi-Spirit-Memori Manusia




Di tempat terjadinya kecelakaan hebat, bunuh diri atau pembunuhan biasanya orang Jawa akan secara suka rela-bergotong-royong mengadakan upacara selamatan, ruwatan, atau tahlilan. Bagi orang yang tidak "tahu" tentu akan menghakimi itu amalan bodoh, konyol, sia-sia, bid'ah atau sesat, tapi tidak bagi yang tahu, justru itu adalah amalan cerdas, mencerminkan tingginya "ma'rifat" leluhur, orang yang menciptakan-mengawali ritual itu.



Energi-spirit-memori cinta, kebahagiaan, kebijaksanaan, kebencian, amarah, dendam, ketakutan, keserakahan akan hidup abadi sekalipun orang yang memilikinya telah mati. Mereka akan terus mempengaruhi, menginspirasi, mengganggu, menghantui bahkan merasuki orang-orang yang masih hidup.
Meninggal dunia dengan tenang terjadi saat seseorang tidak banyak meninggalkan energi-spirit-memorinya atau hanya meninggalkan energi-spirit-memori baik-positif seperti cinta, kebahagiaan, kebijaksanaan, optimisme serta energi-spirit-memori dari akal-hati lainnya saat meninggal dunia. Sebaliknya, mati penasaran terjadi saat seseorang dominan meninggalkan energi-spirit-memori buruk-negatif seperti amarah, kebencian, ketakutan, dendam, keserakahan serta energi-spirit-memori dari ego-hawa hawa nafsu lainnya.


Orang berziarah kubur, bertawasul, bersolawat, membaca barzanzi atau  manakib, membuat syair dan lagu pujian, mematungkan para pahlawan apapun syariat atau teorinya sebenarnya tujuannya sama, sarana menyelaraskan diri, menyerap, mengcopy-paste energi-spirit-memori kebaikan, kesalehan, kebijaksanaan, kekuatan, optimisme, semangat dari orang-orang hebat yang sudah meninggal dunia.


Orang mengadakan upacara penguburan, selamatan, tahlilan apapun syariat atau teorinya sebenarnya tujuannya satu, untuk meminimalisir-menetralisir energi-spirit-memori terutama yang berakibat buruk-negatif dari orang-orang yang sudah meninggal dunia sehingga tidak begitu membawa pengaruh buruk bagi orang yang masih hidup, agar mereka sepenuhnya bisa "meninggalkan" dunia ini, agar yang ditinggalkan juga ikhlas.


Mengapa orang Mesir kuno atau orang Katolik suka mengawetkan mayat raja dan orang saleh mereka?, karena tubuh seseorang adalah tempat paling kuat menyimpan energi-spirit-memori yang dimilikinya selagi hidup, selama jasad utuh, siapapun akan lebih mudah "mengakses", menyelaraskan diri, menyerap, mengcopy-paste energi-spirit-memori mereka. Mengapa orang Jawa biasanya akan menolak teroris atau penjahat besar dikubur di kampungnya?, karena itulah cara efektif agar kampung mereka terhindar dari paparan energi-spirit-memori buruk teroris atau penjahat itu.


Mengapa para Wali, orang atau pertapa suci biasanya jasadnya utuh, tidak membusuk?, itu adalah cermin niat-keinginan mereka agar energi kebaikan, kemuliaan, kebijaksanaan, karomah mereka tetap abadi, memberkati-bisa dengan mudah diakses orang-orang yang masih hidup cukup dengan menziarahi kubur atau jasad mereka.


Mengapa orang Hindhu membakar mayat, orang Majusi atau Tibet memberikan mayatnya untuk dimakan burung sementara Amerika menghilangkan mayat Osama bin Laden?, karena itulah cara paling praktis melepas hubungan orang yang sudah meninggal dunia dengan dunia ini, saat jasad seseorang hilang, daya pengaruh-inspirasi energi-spirit-memori pada orang yang masih hidup akan sangat berkurang, bagi orang yang semasa hidupnya jahat, ini tentu akan sangat baik.


Mengapa budaya membuat jimat atau pusaka ada di hampir semua masyarakat di dunia ini?. Jimat adalah sarana efektif kita menyimpan energi-spirit-memori sesuai keinginan atau kebutuhan kita. Jika yang kita simpan-wiridkan-tirakatkan adalah energi-spirit-memori positif seperti doa atau harapan baik, ini tentu akan sangat berguna, membuat pemilik jimat mudah terpapar, terhubung, terselaras energi-spirit-memori positif yang tersimpan dalam jimat itu. Setiap agama memiliki pakaian, aksesoris dan tempat ibadah khusus keagamaan tujuannya juga dalam rangka membuat jimat, menjadikan itu tempat menyimpan energi-spirit-memori doa, iman, keikhlasan, kekhusukan, ketawakalan, kesabaran atau ajaran agama lainnya...

Sabtu, 26 November 2016

Matikan Ego, Hidupkan Diri!




Tanpa "kesadaran-ma'rifat", hidup ini tidak akan lebih dari mimpi, terasa nyata-kita merasa kaya, merasa kuat, merasa hebat, merasa menyetubuhi padahal hakikatnya itu tak lebih dari ilusi-tipuan akibat kuatnya prasangka, angan-angan, harapan, ego-hawa nafsu-keinginan kita.


Tepat sekali apa yang dikatakan Syeikh Siti Jenar, "manusia adalah bangkai najis yang berperilaku congkak". Kita sering merasa baik, benar, pintar, suci, mulia, hingga merasa dekat dengan Tuhan padahal sering kali itu tidak lebih dari "mimpi-delusi" yang tumbuh dari kuatnya keterikatan kita pada "bangkai-daging", tubuh-fisik, ego-hawa nafsu kita..., apa yang menjadi realitas di diri kita sering justru sebaliknya, kita jahat, salah, bodoh, kotor, hina, jauh dari Tuhan. Kita masih sama dengan hewan yang hidup hanya menuruti kehendak raga-naluri primitifnya. Apakah dengan beragama derajat kita akan menjadi lebih tinggi dari hewan...?, belum tentu, agama seringkali tidak lebih dari cara "sesat" tapi indah kita menuruti naluri hewani kita untuk mempertahankan diri-tetap eksis, hidup abadi-ekspresi penyangkalan terhadap kefanaan. Apakah dengan berpendidikan tinggi otomatis membuat kita menjadi makhluk yang lebih "tinggi"...?, belum tentu juga, pendidikan tinggi seringkali hanyalah cara kita untuk memenuhi naluri primitif kita untuk mendominasi-menguasai orang lain.


Kehidupan dimulai saat "kematian" tiba. Hanya dengan kesediaan kita belajar "mematikan" kehendak "bangkai-daging", tubuh-fisik, ego-hawa nafsu, kita akan "bangun", "pensiun" dari status kita sebagai "hewan-bangkai", memulai kehidupan baru-kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang bersandar pada realitas-ma'rifat-kesadaran-pencerahan, "manunggaling kawula lan Gusti"..., tanpa itu, hidup kita masih akan terjebak di alam mimpi, angan-angan, kemabukan, begitu emosional-dramatis dirasakannya tapi palsu, tidak ada sandaran kebenaran-realitasnya...

Sucikanlah Tempat Suci Kita




Menjadikan tempat ibadah atau tempat yang dihormati-disucikan lainnya sebagai tempat menghasut amarah, kebencian, birahi, keserakahan atau hal-hal egoistik-syahwati lainnya adalah tragedi besar.


Itu sama saja sedang merusak-menghancurkan fungsi hakiki tempat ibadah itu sendiri, membuatnya kehilangan energi-aura-spirit positif atau keramat-barokahnya. Jika itu yang terjadi, tempat ibadah tidak akan bisa lagi membantu naiknya kesadaran-ma'rifat umat..., tidak lagi mampu membantu menghubungkan umat-pemakai-pengunjungnya dengan Tuhan-alam semesta-hati-diri sejatinya. Bahkan sebaliknya, tempat ibadah akan berubah menjadi tempat angker atau berhala, "dihuni" energi-aura-spirit negatif yang melalaikan, merusak, membawa keburukan, hanya dijadikan sarana umat memenuhi ego-hawa nafsunya.


Tempat ibadah, tempat berdoa, tempat yang dihormati atau disucikan itu ibarat magnet, akan sangat efektif menyerap energi-aura-spirit perkataan, pikiran, perasaan, perbuatan dari orang-orang yang ada di dalamnya. Jika yang ada di dalamnya dominan berkata, berdoa, berfikir, berperasaan, berbuat yang buruk-buruk-yang melalaikan, akan dominan pula energi-aura-spirit buruk yang akan terserap-mengendap di dalamnya. Energi-aura-spirit buruk akan membunuh nalar, mengotori-menutup hati, kunci penghubung umat dengan Tuhan-alam semesta-hati-diri sejatinya.


Tanpa kesedian kita menjaga kesuciannya, nilai-dampak spiritual tempat ibadah tidak akan berbeda dengan pasar, diskotik atau bahkan tempat pelacuran, bukannya membawa umat pada kesadaran-ma'rifat, kedamaian, keberuntungan, kebaikan dan Tuhan..., malah sebaliknya, membawa umat pada kelalaian, kegelapan, keburukan, kesesatan, setan-hawa nafsu. Sucikanlah tempat suci kita dengan hanya berkata, berdoa, berfikir, berperasaan dan berbuat suci saat kita ada di dalamnya...

Jumat, 25 November 2016

Menenangkan Diri, Menyelamatkan Diri




Tubuh manusia ditakdirkan lebih ringan dari air, sekalipun kita tidak bisa berenang, saat jatuh di air, kita takkan tenggelam jika kita mampu bersikap tenang dan bernafas teratur. Tapi sayang sekali, kebanyakan orang yang tidak bisa berenang, saat jatuh di air akan gugup dan panik, tidak mampu mengontrol gerak tubuh dan nafasnya, akibatnya, niat-hasrat kuatnya untuk hidup-menyelamatkan diri malah hampir pasti berujung pada kematiannya, tenggelam.


Pun demikian sebenarnya saat hidup kita jatuh di "air", mengalami cobaan-permasalahan atau tantangan hidup yang berat, jika kita "gugup dan panik", akan sulit bagi kita untuk bangkit dan selamat, sebaliknya, jika kita mampu menenangkan diri, bertafakur, berkomtemplasi, berzikir atau bermeditasi, mengatur "nafas", kita akan lebih mudah melihat pemecahan, mendengar suara-petunjuk Tuhan-alam semesta tentang apa-apa yang terbaik bagi diri kita, lebih mudah untuk bangkit-selamat.


Sayang sekali, sekarang ini banyak politisi dan agamawan kita justru berperilaku seperti umumnya orang tidak bisa berenang jatuh di air, saat menghadapi kejatuhan, permasalahan atau tantangan, mereka bukannya berusaha menenangkan diri-mengatur "nafas" malah sebaliknya menjadi sangat reaktif, egois dan agresif, kata-kata dan perilakunya tidak terkendali, mereka mengira itu akan membangkitkan-menyelamatkan diri, agama, partai, atau negaranya, padahal-seperti halnya reaksi umum orang tidak bisa berenang jatuh di air, hampir pasti itu justru akan "membunuhnya"...

Kamis, 24 November 2016

Tulah Kebencian




Kerajaan Romawi pada awalnya sangatlah memusuhi orang Kristen, mereka-orang Kristen dikejar-kejar, dianiaya, ditindas bahkan dibunuh. Tapi sejarah kemudian berbalik, Kerajaan Romawilah yang berganti menjadi pelindung dan penyebar utama agama Kristen ke seluruh Eropa bahkan dunia.


Bangsa Mongol pernah menaklukkan-membumihanguskan hampir semua kerajaan Islam mulai dari Asia Tengah, Selatan hingga Timur Tengah, tapi kemudian, keturunan dari bangsa Mongollah yang membangkitkan kembali bahkan meluaskan-membesarkan kerajaan-kerajaan Islam itu.


Bangsa Yahudi memiliki sejarah penindasan, penganiayaan dan pembantaian yang luar biasa di Eropa, sekarang, orang Eropalah yang menjadi pelindung terkuat Bangsa Yahudi, tanpa perlindungan mereka-bangsa Eropa, negara Israel mungkin tidak akan pernah bisa eksis.


Kebencian-kejahatan tanpa dasar-hanya didasari prasangka dan ego-hawa nafsu itu akan membawa konsekwensi-karma-kutukannya sendiri.


Sekarang banyak orang-atas nama sesuatu yang diklaim sebagai kebenaran, berperilaku seperti bangsa Romawi, Mongol atau Eropa dulu, menjadi serakah, gemar membenci, menganiaya, menindas, membunuh dan menghancurkan siapapun yang tidak mau menuruti kehendaknya. Mereka mengira dengan itu, diri, agama, etnis atau bangsanya akan terbela, terjaga eksistensinya. Padahal sangat belum tentu, boleh jadi hakikinya mereka justru sedang menghancurkan diri, agama, etnis atau bangsanya sendiri, sementara di sisi lain, memupuk perlindungan, kebesaran-kejayaan dari agama, etnis dan bangsa yang mereka benci, aniaya, tindas, bunuh dan hancurkan.


Konsekwensi pertobatan jiwa-karma-hukuman alam semesta atas kebencian-kejahatan tanpa dasar itu keras. Jangan pernah membenci-menjahati siapapun yang secara esensi baik atau benar apa dan bagaimanapun tampak baju-lahirnya. Bencilah-jahatilah sesuatu yang lahir-batin kita, akal-kesadaran/ma'rifat kita tahu itu memang layak-maslahat dibenci-dijahati, bukan membenci-menjahati sesuatu hanya atas dasar prasangka, spekulasi, ego-hawa nafsu, karena itu bisa jadi, hakikatnya sedang membenci-menjahati diri kita sendiri...

Selasa, 22 November 2016

Tiada Kebenaran tanpa "Pembatasan"





Dulu, saat berargumen tentang perkara agama dengan Bapak saya, Bapak saya sering mengatakan gini, "kalau kamu sudah mampu berpuasa empat puluh hari empat puluh malam, bolehlah kamu ngotot mengklaim hanya pandangan kamu yang benar, pandangan yang lain salah semua".


Karena waktu itu saya menilai pandangan Bapak saya itu ngawur, mengada-ada, tidak syar'i, tidak "ilmiyah", tidak ada dalil-tuntunannya, tentu saya tolak mentah-mentah. Penjelasan apapun dia tentang maksud kata-katanya itu tidak bisa kuterima dan tidak bisa kupahami, akal-hati saya sudah terkunci, saya tetap teguh pada pandangan awal saya.


Tapi sekarang saya mengerti maksud kata-kata Bapak saya itu. Kemampuan berpuasa empat puluh hari empat puluh malam adalah cermin telah dikuasainya ego-hawa nafsu, fisik-indra. Jika itu telah digapai, pandangan, persepsi dan tafsir apapun terhadap suatu hal termasuk agama pasti relatif akan lebih jujur, adil dan obyektif, terbebas dari pengaruh "rasa", prasangka, harapan atau kepentingan, itu adalah cermin puncak dari kezuhudan. Saya sekarang sadar kalau pandangan-pemahaman keagamaan saya dulu ternyata sering salah, sangat dangkal, parsial, emosional, hanya didasari gejolak "rasa" saja.


Umat Islam sekarang sulit bersatu dan berdamai jelas karena tidak mampunya berpuasa "empat puluh hari empat puluh malam", kurangnya "tirakat" atau pengendalian ego-hawa nafsu sehingga kurang pula "kesadaran-ma'rifat", akibatnya, semua tafsiran atas hidup, agama dan dunia ini cenderung hanya mengikuti rasa, prasangka, harapan atau kepentingan, bukan atas petunjuk dari sang maha benar...


Tiada Penyelarasan tanpa Takzim dan Cinta





Saat Jepang dikalahkan Amerika, bukannya Jepang menjadi membenci-antipati kepada Amerika, malah sebaliknya, membuatnya menjadi introspeksi, takzim untuk kemudian berguru kepada Amerika. Hanya 50 tahun setelah itu, Jepang sudah menyamai Amerika tanpa banyak kehilangan identitasnya sebagai bangsa.


Saat Sunan Kalijaga dikalahkan Sunan Bonang, itu tak membuatnya mendendam, menjadikannya musuh bebuyutan, malah sebaliknya, Sunan Kalijaga ikhlas merendahkan diri-berguru pada Sunan Bonang. Sekarang, Sunan Kalijaga mendominasi alam pemikiran, etika, filsafat, spiritualitas dan relijiusitas orang Jawa.


Saya dulu sangat membenci guru bahasa Indonesia saya, akibatnya, nilai bahasa Indonesia saya tidak pernah jauh dari angka 6, sebaliknya, saya sangat suka dengan guru kimia saya, dramatis, nilai kimia selalu tinggi, di atas 8. Padahal siapapun pasti akan menilai kalau pelajaran kimia itu jauh lebih sulit dari pelajaran bahasa Indonesia. Kebencian saya pada guru bahasa Indonesia telah melumpuhkan akal-hati, membuat saya sulit belajar, menarik-menyerap ilmu dari dia.


Saat kita membenci orang baik atau pandai, kita sebenarnya tengah menolak kebaikan dan kepandaian datang dalam hidup kita. Sebab kebaikan dan kepandaian adalah vibrasi energi-spirit yang terikat-terhubung, satu paket dengan pelaku dari kebaikan dan kepandaian itu. Jika kita ingin jadi orang baik dan pandai, tidak bisa tidak, kita juga harus belajar takzim, mencintai orang baik dan pandai siapapun dia.


Sekarang banyak orang membenci orang baik atau pandai hanya karena orang itu beda agama, etnis atau bangsa. Sikap yang jelas fatal, karena itu sama saja sedang menciptakan vibrasi-mengundang energi-spirit kejahatan dan kebodohan. Apa gunanya seseorang itu seagama, seetnis, atau sebangsa tapi jahat dan bodoh?, itu malah akan lebih banyak mendatangkan kemudaratan bagi agama, etnis dan bangsa itu sendiri. Ironisnya, orang yang gemar membenci orang baik dan pandai biasanya adalah orang yang berteriak sangat keras katanya ingin membuat umat atau bangsa bangkit dari keterpurukan, jadi umat dan bangsa yang beradab dan maju..., mereka ibarat orang ingin menjadi sarjana tapi membenci bersekolah..., menolak akar-penyebab-jalan dari apa yang diharapkannya datang...

Senin, 21 November 2016

Pikiran Kita, Energi Kita, Pertaruhan Kita





Dulu, saat lagi asyik ngobrol bersama teman di teras rumah kontrakan saya, tiba-tiba ada belalang hinggap di taman depan kontrakan saya itu. Karena sejak kecil saya memang sangat suka belalang, belalang itu kemudian saya tangkap, saya bakar pakai korek api, lalu saya santap. Melihat apa yang saya lakukan itu, teman saya dengan ekspresi aneh langsung ngomong, "idiiih, amit-amit nggragas amat, mosok belalang dimakan, jangan-jangan kamu suka makan coro juga ea?". Mendengar reaksi lebay teman saya itu, saya iseng penuh humor menjawab sekenanya, "jangan salah, belalang berprotein tinggi loh, khasiatnya luar biasa, bisa bikin sehat luar dalam, perkasa siang malam, gak percaya, buktikan saja...!".


Barangkali karena penasaran ditambah kenyataan dirinya dalam keadaan kurang sehat dan perkasa, teman saya itu kemudian diam-diam mencoba membuktikan kata-kata saya itu ditandai dengan-beberapa bulan kemudian dia ngomong sama saya, "ternyata betul loh belalang bisa bikin sehat dan perkasa, bisa jadi jamu, bisa bikin greng, membuatku mendadak njemprak, aku telah membuktikannya". Mendengar "testimoni" teman saya itu saya sebenarnya ingin ngakak guling-guling, tapi berhubung saya "tahu" siapa teman saya itu, keinginan itu saya empet. Saya gak ingin dia menjadi kurang sehat dan loyo kembali setelah tahu kalau yang saya katakan dulu itu cuman "gombal amoh".


Pertanyaannya, apakah teman saya itu menjadi sehat dan perkasa karena belalang itu atau apakah karena sugesti saja setelah mendengar retorika "bakul obat" saya tentang khasiat belalang...?. Saya yakin sebabnya adalah yang kedua, pikiran, kepercayaan dan prasangka baik dia terhadap kata-kata saya telah membangkitkan energi spiritual, prana atau chi dia, merubah secara dramatis reaksi dan kondisi tubuh-pikiran dia. Teman saya itu jelas masuk dalam kategori orang "hypnotisable-indoktrinable", kata-kata apapun mudah dipercaya, masuk ke alam bawah sadarnya sehingga sangat memungkinkan untuk efek placebo itu terjadi.


Alam bawah sadar kita ibarat ladang, tempat menanam pikiran, kepercayaan atau prasangka untuk kemudian dituai menjadi energi yang bisa digunakan mewujudkan, "membenarkan" apa yang kita pikirkan, percaya atau prasangkakan itu. Sayangnya, alam bawah sadar kita tidak mengenali apa-apa yang baik apalagi yang benar, dia hanya akan membesarkan dan mewujudkan apa-apa yang konsisten ditanamkan-diafirmasikan-diwiridkan-didoktrinkan. Kenyataan itu sering dieksploitasi politikus, kapitalis dan agamis egois-oportunis kita. Mereka gemar menanamkan-mengafirmasikan-mewiridkan-mendoktrinkan pikiran, kepercayaan, dan prasangka yang secara esensi salah dan buruk..., gemar menebar hoax, tahayyul, fitnah, cocoklogi, teori konspirasi demi membantu terwujudnya ego-ego diri mereka sendiri. Fundamentalis-teroris itu adalah contoh korban ekstrimnya, sesuatu yang jelas salah-burukpun menjadi tampak dan dirasakan benar-baik-suci...


Rabu, 16 November 2016

Mahalnya Harga Prasangka





Dulu, waktu masih menjadi karyawan di sebuah klinik swasta, saya sering menjumpai pasien yang mengaku sudah berobat di Puskesmas tapi tidak sembuh juga, dia minta obat yang lebih bagus, lebih kuat, lebih ampuh atau lebih tinggi dosisnya.


Padahal standar dan prosedur pelayanan sebuah instalasi kesehatan di manapun juga sama, obat diberikan sesuai indikasi-kondisi medis. Dokter di klinik saya biasanya hanya mengganti kemasan atau merek obatnya saja, diganti yang kemasannya lebih keren, merek yang lebih bonafide, harga yang lebih mahal, serta memberinya tambahan suplemen atau vitamin. Kalaupun diberi obat yang lebih kuat, biasanya harus diperiksa-diinterview lebih lanjut-cermat sebab hampir pasti, semakin kuat-ampuh suatu obat akan semakin banyak kontra indikasi dan efek sampingnya, tidak semua orang boleh mengkonsumsinya.


Prasangka buruk sebagian masyarakat kita terhadap kualitas pengobatan di Puskesmas telah membuat mereka harus membayar lebih mahal dan menanggung resiko lebih tinggi untuk menyembuhkan sakit yang sama. Berobat di Puskesmas waktu itu hanya 5 ribu perak sementara berobat di klinik tempat saya bekerja, 10 kali lipatnya, padahal standar diagnosis dan obatnya sama, mungkin hanya lebih bagus di sisi pelayanan, nasihat tambahan dan keramahannya saja, sesuatu yang tidak esensial.


Pun demikian sebenarnya saat kita dihantui prasangka buruk terhadap etnis, ras, atau agama yang berbeda, kita pasti juga akan membayar "mahal", kita akan kesulitan untuk berlaku adil-obyektif, kehilangan banyak peluang-kesempatan untuk belajar dan peluang-kesempatan lainnya...


Spirit-Pikiran Kita, Magnet Kita





Mengapa partai Gerindra bisa sangat "sepantun" dengan PKS padahal secara "baju" dan ideologi sebenarnya sangat berbeda?. Mengapa juga Solo yang dulu menjadi basis Komunis sekarang justru menjadi basis Fundamentalis?.


Kalau kita pernah membaca buku "The Secret Law of Attraction" kita akan mengerti penyebabnya. Gerindra dan PKS boleh saja tampak berbeda tapi secara spirit sebenarnya sama, sama-sama fasis dan oportunistik. Spirit itulah yang kemudian menjadi "magnet" yang membuat mereka mudah sepaham, saling menaut satu sama lainnya. Pun demikian dengan Komunis dan Fundamentalis, sekalipun kelihatan sangat berbeda bahkan bertolak belakang tapi sebenarnya tidak untuk spirit mereka, ada persamaan sangat mendasar diantara mereka, sama-sama suka mengintimidasi-menteror, mengindoktrinasi-mencuci otak, suka kekerasan-memaksa, suka menghalalkan segala cara. Persamaan spirit inilah yang membuat mereka menjadi seperti dua sisi mata uang, boleh saja bertolak belakang, "mungkur rai" tapi jarak diantara mereka sebenarnya sangat dekat, mudah bertukar posisi satu dengan yang lainnya, sama seperti cinta dan benci yang juga sangat mudah bertukar posisi. Lihat, di awal-awal kemunculan hingga awal-awal kemerdekaaan, banyak tokoh Komunis di negara kita adalah juga orang Fundamentalis, itu menunjukkan banyaknya persamaan spirit diantara mereka.


Spirit-pikiran yang kita wiridkan-afirmasikan akan menjadi "magnet" yang menghubungkan-menarik apa dan siapa saja yang masuk dalam lingkup-jangkauan-atmosfir "warna-karakter"nya, menentukan siapa yang akan membentuk diri kita-mengambil alih kesadaran kita. Spirit angkara murka akan menarik spirit orang-orang gelap-jahat, sementara spirit kebaikan akan menarik spirit orang-orang suci-tercerahkan. Karenanya, belajar mengenali arah spirit-pikiran kita adalah hal yang sangat vital-yang menentukan "wujud" akhir kita, tanpa itu, hampir pasti, kita akan sering tertipu, merasa sedang ada di jalan Tuhan, jalan kebenaran padahal hakikinya ada di jalan setan, jalan kesesatan, merasa sedang membela agama, rakyat atau negara tapi hakikinya sedang mengeksploitasi-meruntuhkannya...

Agama Manakah yang Benar?





Mengapa semua agama mengajarkan ibadah atau penyembahan, kurban, sedekah, sesaji dalam segala bentuknya...?. Mengapa pula mengajarkan kezuhudan, puasa, cinta, empati, syukur, ikhlas, berserah diri, kontemplasi, zikir, meditasi...?. Karena memang itulah "amalan-amalan" yang akan mampu melemahkan kekuasaan ego-hawa nafsu, "daging" atau panca indra kita. Ego-hawa nafsu yang melemah akan berarti menguatnya kekuasaan akal-hati, kesadaran-ma'rifat, kemampuan membaca-mendengar suara hati-tempatnya pengetahuan dan kekuatan, kebijaksanaan, modal utama kita memahami kebaikan dan kebenaran, sarana menggapai berkat, rahmat, kebahagiaan, kemuliaan dan keselamatan.


Jadi, sebenarnya, tidak perlu banyak berdebat atau atau saling klaim tentang agama atau aliran agama mana yang benar. Pemikiran, perkataan, perbuatan bahkan nasib penganutnya menjadi cermin sempurna. Tidak ada gunanya kita ngotot mengklaim kalau agama atau aliran agama kita benar jika nyatanya kita lebih egois, lebih dikuasai hawa nafsu, menjadi pemarah, pembenci, pendendam, pendengki, binal, serakah. Itu telah secara gamblang menunjukkan kalau agama, aliran agama atau pemahaman agama kita telah salah secara esensi, tidak akan membawa kita pada kesadaran-ma'rifat, kemampuan membaca-mendengar suara hati-suara Tuhan-suara alam semesta..., karenanya, tidak akan mampu juga mengantarkan kita pada kebaikan, kebenaran, kebijaksanaan, kebahagiaan, kemuliaan dan keselamatan...

Senin, 14 November 2016

Agama dan Kesadaran





Jaman saya kecil dulu-sebagaimana umumnya orang Jawa, tentu sering dibilangin oleh orang tua, "jangan menduduki bantal, entar bisulan" atau "jangan bermain di luar rumah saat sande kala mbok digondol wewe". Kata-kata orang tua saya itu dulu sangat efektif membuat saya takut, tidak berani melakukan apa yang dilarangnya itu tanpa sekalipun mempertanyakan alasannya, pokoknya patuh buta-mutlak tanpa syarat.


Memasuki masa remaja, saya mulai mempertanyakan-mengkritisi ajaran orang tua saya itu, menurutku itu ajaran bodoh, tidak logis, tidak masuk akal, tahayyul, tidak seharusnya dipercaya apalagi diikuti. Hari-hari sayapun kemudian diisi dengan kepongahan, mengolok-olok bahkan mencaci-maki ajaran itu bahkan hampir semua ajaran Jawa lainnya termasuk tata krama ala Jawapun saya anggap dan hakimi kampungan, feodal, kolot, kuno.


Tapi kini, saya mulai bisa mengerti hikmah-ilmu-rahasia dibalik ajaran orang tua kita itu dulu, boleh saja faktanya itu betul tidak logis, tidak masuk akal tapi jika nyatanya ada hikmah-kemaslahatan besar dibaliknya, tidak seharusnya kita membabi-buta menolaknya. Tingkat kesadaran orang itu berbeda, bagi orang yang berkesadaran rendah seperti saat kita masih anak-anak, tidak terlalu penting mengukur kelogisan suatu ajaran, sebab tujuan dari sebuah ajaran pasti hanya untuk mengarahkan orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang penting ajaran itu tujuannya baik, tidak bertentangan dengan nilai yang tumbuh dari "kesadaran" batiniah-universal kita.


Jaman saya anak-anak menyikapi ajaran adat orang tua adalah cermin orang relijius "lahir", relijius dogmatis atau fundamentalis, orang yang patuh buta-mutlak terhadap ajaran-dogma agama tanpa mau mikir dan mempertanyakan rasionalitas dan hikmah-rahasia dibaliknya. Jaman saya remaja adalah cermin orang atheis-rasionalis, mengukur segala sesuatu hanya berdasar logika-nalar, pokoknya ajaran apapun yang bertentangan dengan logika-nalar berarti salah, tidak boleh diikuti. Sementara jaman sekarang adalah cermin orang relijius "batin" atau spiritualis yang mengukur sebuah ajaran lebih didasari realitas-hakikat maslahat-tidaknya, bukan hanya didasari dalil-dogma, bukan pula hanya didasari logis-tidaknya.


Yang jadi masalah adalah jika ada orang tua masih percaya buta-mutlak kalau menduduki bantal itu bisa bikin bisulan atau keluar saat sande kala itu akan digondol wewe, mereka jelas telah membawa "kesadaran" masa anak-anaknya di masa seharusnya itu sudah ditinggalkan. Sama seperti orang-orang fundamentalis, mereka akan menjadi tampak konyol sekaligus sering bermasalah dengan "peradaban", hidup mereka akan terus dipenuhi delusi, halusinasi, prasangka dan spekulasi akibat dikuncinya kesadaran mereka di masa "anak-anak", tidak bisa berkembang, tidak bisa mendayagunakan nalarnya, tidak bisa mendengar kata hatinya...

Nyi Roro Kidul





Apakah Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan memang betul nyata ada...?. Menurutku siech tidak, Nyi Roro Kidul tidak lebih dari ikonisasi-personalisasi-personifikasi-avatarisasi yang dilakukan nenek moyang kita atas laut selatan, nilainya sama dengan ikonisasi obyek yang oleh agama-agama mainstream disebut sebagai Tuhan, Malaikat, Setan, Buddha, Dewa-Dewi atau yang lainnya.


Tapi seperti halnya pada komputer atau smartphone kita, sebuah ikon (shortcut) jelas sangat mempermudah kita memahami isi sekaligus mempercepat akses kita ke sebuah obyek atau aplikasi. Saya yakin, "ikon" Nyi Roro Kidul memang sengaja diciptakan nenek moyang kita untuk mempermudah-mempercepat kita-penduduk pulau Jawa memahami karakteristik laut selatan sehingga lebih mampu memanfaatkan-menguasainya, menghindari bahayanya, sama dengan ikonisasi terhadap obyek alam lainnya seperti bumi, gunung, sungai, hutan dan sebagainya.


Otak kita bekerja dengan ikon-ikon/lambang-lambang agar bekerja lebih efektif dan efisien. Ikonisasi obyek-kekuatan alam termasuk di dalamnya ikonisasi laut selatan berikut ritual yang menyertainya adalah salah satu prestasi-penemuan budaya-evolusi terbesar (spiritualitas) nenek moyang kita..., mengecamnya secara membabibuta apapun alasannya sama saja sedang menyerang akar dari eksistensi kita, membuat kita semakin sulit menyelaraskan diri-memahami sifat dan kehendak alam sehingga akan sulit juga memanfaatkan-menguasainya, menghindari bahayanya...

Agama dan Wanita




Agama itu sama seperti wanita, jika kita memandangnya hanya didasari "nafsu", sarana memenuhi ego-ego rendah kita, agama hanya akan menjadi sumber fitnah-keburukan, kebodohan, kejahatan, penderitaan..., akan ditindas, diperbudak, diperalat, dieksploitasi, diperkosa. Sebaliknya, jika kita memandangnya dengan penuh cinta, penghormatan, kasih sayang, agama adalah sumber berkah, rahmat, pencerahan, kebahagiaan, ketenangan, keselamatan..., akan membuat kita ikhlas berjuang demi kebaikan, kehormatan dan kemuliaannya tanpa pamrih.


Cinta (sejati) itu untuk orang yang bernalar dan berhati..., untuk orang yang mampu mengesampingkan ego-hawa nafsunya..., tidak akan ada cinta jika kita tidak lebih dulu belajar "merajakan" nalar dan hati kita termasuk cinta terhadap agama..., kita hanya akan berdelusi tentang cinta.


Sama halnya seperti saat kita memandang wanita, sebelum kita "memandang" agama, alangkah baiknya kita belajar mengenali arah "pandangan" kita terhadapnya lebih dulu, apakah kita dominan memandangnya dengan penuh nafsu-keinginan menjadikannya pemenuh ego kita atau apakah kita dominan memandangnya dengan penuh cinta-menjadikannya alasan mengendalikan ego kita-demi memuliakannya...?.


Ketidakmauan dan ketidakmampuan mengenali arah "pandangan" kita terhadap agama dan wanita pada akhirnya hanya akan membawa penderitaan bagi kita sekaligus kehancuran bagi agama dan wanita yang katanya kita cintai...

Minggu, 13 November 2016

Tuhankanlah Tuhan




Kitab suci A katanya palsu, sudah dimodifikasi sesuai kepentingan tokoh-tokoh awal agamanya. Kitab suci B katanya buatan setan penghuni goa ditandai dengan banyaknya ajaran penindasan, kebencian dan teror di dalamnya. Kitab suci C katanya karangan manusia, bukan dari Tuhan, tidak sempurna, tidak perlu diikuti. Begitulah perdebatan yang sering saya dengar dari para penganut fanatik agama. Perdebatan yang menurutku konyol, malah justru menjauhkan mereka dari apa yang mereka cari dari agama yaitu Tuhan atau hakikat kebenaran.


Kitab suci kita boleh saja palsu, boleh saja buatan setan, boleh juga karangan manusia..., tapi selama fokus keberagamaan kita hanya pada Tuhan, yang palsu, yang buatan setan, yang karangan manusia itupun pada akhirnya akan mengantarkan kita pada Tuhan, pada hakikat kebenaran..., sebaliknya, sekalipun kitab suci kita asli, benar, dari Tuhan, tapi jika kita "meninggalkan" Tuhan, kitab suci kita itu akan dengan sangat mudah mengantarkan kita pada kesesatan, dipahami dengan cara yang salah, akan jadi budak dan berhala, sekedar sarana memenuhi ego kita.


Karenanya, tidak begitu penting sebenarnya memperdebatkan (benar-tidaknya, tafsir) kitab suci, sebab siapapun kalau sudah bertuhankan Tuhan-bukan bertuhankan kitab suci, agama atau pendiri agama, pada akhirnya akan sampai pada titik yang sama, akan memahami apa itu hakikat tauhid, "ketuhanan yang maha esa"..., akan memiliki persepsi yang sama tentang Tuhan dan kebenaran sekalipun kitab sucinya berbeda...

Jumat, 11 November 2016

Delusi dan Ego




Pernah suatu saat saya menanyai teman saya yang sangat cantik tapi selalu gagal membina rumah tangga, kawin cerai mulu, "apakah kamu gak istikharah dulu saat memilih mana lelaki yang terbaik dijadikan suami sehingga tidak terus-terusan salah pilih gitu?, jawabnya, "sudah siech tapi setelah dipilih dan dijalani, ujung-ujungnya ketahuan ternyata mereka brengsek semua".


Kenapa siech istikharah atau analisis dalam perkara jodoh biasanya tidak akan menghasilkan petunjuk atau kesimpulan yang benar gitu?, karena yang sedang kita hadapi adalah ego-hawa nafsu kita sendiri, petunjuk dari Tuhan-sang maha benar akan segera tertutup oleh petunjuk sesat-dari ego-hawa nafsu kita yang cenderung hanya menghendaki yang tampan, cantik, menarik atau kaya. Wajar saja teman saya itu selalu gagal memilih apa yang baik lha wong cara hidupnya "gitu", hedonik dan egois, angkuh, seleranya sangat tinggi.


Kenyataan sama sebenarnya terjadi untuk hal-hal yang terkait ego-hawa nafsu lainnya, apapun jika dihadapkan dengan harta, wanita, tahta atau agama, tetap akan cenderung menghasilkan petunjuk atau kesimpulan sesat, delusional. Yang penting kita sadar diri saja, jangan pernah merasa atau mengklaim kalau petunjuk atau kesimpulan yang kita dapat itu datangnya dari Tuhan-sang maha benar seperti yang biasa diklaim para agamawan-politisi kita sekarang saat mengambil suatu sikap atau keputusan tentang apa-apa yang maslahat bagi umat, bangsa dan negara.


Apa yang dialami teman cantik saya itu memberi pelajaran berharga bagi kita, menjadi cermin kalau kredibilitas petunjuk, kesimpulan atau sikap yang diambil seseorang termasuk agamawan dan politisi bisa dilihat dari sejauh mana tingkat pengendalian ego-hawa nafsunya, kalau untuk sekedar mengendalikan ego-hawa nafsu terdasar, amarah atau lawamah saja tidak mampu, adalah konyol jika kita percaya apa yang mereka katakan adalah sebuah kebenaran..., paling hanya sesuatu yang sedang didudukkan sebagai kebenaran...



Rabu, 09 November 2016

Yang Tahu, Rendah Hati




Seorang dokter bos saya dulu pernah mengatakan, "yang diketaqhui seorang dokter tentang tubuh manusia itu baru seujung kuku, jangan pernah menganggap dokter itu tahu segalanya, sehebat-hebatnya seorang dokter tidak akan pernah berani memberi jaminan kesembuhan, tugas mereka hanya sebatas mengupayakan kesembuhan, menjadi wasilah". Bandingkan dengan umumnya dukun atau tabib jaman sekarang, baru belajar mijet saja sudah mengklaim mampu menyembuhkan segala penyakit.


Semakin kita banyak tahu, semakin sadar kalau hakikinya kita tidak tahu banyak, membuat kita semakin rendah hati. Orang awam tentu akan memandang dokter pasti tahu segalanya tentang tubuh kita, tahu tentang semua penyakit berikut cara menyembuhkannya, padahal mereka sendiri sejatinya menyadari kalau pengetahuan mereka masih "seujung kuku". Kenyataan sama terjadi dengan orang-orang Sufi, orang awam tentu akan memandang mereka serba tahu terutama tentang yang ghaib-ghaib, "weruh sedurunge winarah", padahal mereka sendiri sebenarnya banyak yang malah menjadi agnostik, menyadari-mengakui kalau dirinya sebenarnya tidak tahu banyak bahkan tidak tahu apa-apa utamanya tentang Tuhan, masa depan, akhirat, asal-muasal jagad raya. Paling tinggi mereka hanya akan tahu-memahami Tuhan dari tanda-tanda dan hukum-hukum dasarnya, sama seperti ilmuwan saat belajar memahami alam semesta ini..., bukan tahu karena pernah bertemu-melihat Tuhan, syurga atau neraka. Gambaran-gambaran mereka tentang Tuhan hanya lambang-metafora, perumpamaan, analogi yang tidak bisa dipahami secara tekstual-apa adanya.


Masalahnya, sekarang banyak penganut agama "karbitan", merasa serba tahu hanya karena telah sedikit belajar agama. Mereka merasa bisa-berhak menghakimi, menentukan mana yang benar dan yang salah, yang masuk syurga atau masuk neraka, yang membela dan yang menista agama. Ini jelas adalah tragedi, menunjukkan dengan gamblang kalau yang mereka dapat itu sejatinya bukan pengetahuan tapi hanya mitos, prasangka atau tahayyul yang menjerumuskan.


Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Pengetahuan harusnya mendatangkan kerendah-hatian, pengakuan kalau diri kita sebenarnya tidak tahu banyak bahkan tidak tahu apa-apa karenanya tidak pantas-berhak menghakimi, bukan malah sebaliknya, membuat kita menjadi sombong, merasa tahu segalanya, merasa pantas-berhak mewakili kehendak agama atau Tuhan...



Sabtu, 05 November 2016

"Fitnah" Dibalik Amarah





Kalau kita sedang dalam posisi berbohong tapi terus didesak untuk berkata jujur, apakah reaksi yang paling praktis dan umum dilakukan untuk menutupinya?. Marah-marah tentunya, kita akan menjadi ofensif-agresif, akan menghardik orang yang terus mendesak kita untuk jujur dengan tuduhan tidak percayaan, menghina, berprasangka buruk, tidak menghargai atau retorika intimidatif lainnya..., atau bahkan, kita akan menyerangnya secara fisik.


Pun demikian sebenarnya saat kita beragama..., saat akal-nurani-alam bawah sadar-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita menilai tafsir-pandangan keagamaan kita sulit untuk dibuktikan-ditunjukkan kemuliaan, kesempurnaan atau kebenarannya, marah-marahlah cara paling praktis dan umum untuk mengkamuflase-menutupinya, kita akan menjadi ofensif-agresif, menuduh siapapun yang mengkritisi pandangan keagamaan kita sebagai sedang menista atau menghina pandangan keagamaan kita, dan itu, sering memiliki mekanisme yang tidak disadari. Kita merasa marah karena benar padahal sejatinya, kita marah demi menutupi kesalahan, demi melindungi ego kita yang terancam.


Karena kenyataan itulah, satu-satunya jalan agar pandangan keagamaan kita itu menyamankan-menentramkan, tidak membebani, tidak terus-menerus menuntut dibela-dilindungi, tidak memicu kita menjadi ofensif-agresif, hobi marah-marah atau mengamuk, kita harusnya senantiasa melibatkan akal-hati-nurani kita saat memilih atau memahami-menafsirkan agama, bukan terus-menerus hanya menggunakan prasangka, emosi, ego-hawa nafsu kita yang pasti menyesatkan, merumitkan hidup kita sendiri...

Jumat, 04 November 2016

Mencintai atau Menafsui?





Apakah seorang Bapak yang bersedia memenuhi apapun keinginan anak-istrinya bisa disebut sebagai sedang mencintai anak-istrinya itu?. Belum tentu, bisa jadi itu justru sedang menjerumuskannya. Riset membuktikan, terlalu memanjakan berbahaya bagi mental-spiritual mereka, membuat mereka lemah-rapuh, kurang mampu menghadapi permasalahan dan tantangan hidup, membuat mereka kesulitan mengheningkan diri-melemahkan ego, modal utama relijiusitas-spiritualitas. Apakah seorang suami yang over-protektif, melarang anak-istrinya keluar rumah, melarang melakukan ini itu bisa disebut sebagai sedang membela-melindunginya?. Juga belum tentu, malah pasti, itu sedang memenjarakan, menjajah, mengkerdilkannya.


Mencintai, membela, melindungi sesuatu itu jauh lebih memerlukan ilmu-kawruh baik secara akal maupun hati-spiritual daripada memusuhi, itu adalah pekerjaan-haknya orang-orang yang sadar-ma'rifat-tercerahkan, orang yang sudah mampu mengendalikan ego-hawa nafsunya, sudah mampu "melihat" dengan jelas maslahat dibalik suatu cinta, pembelaan dan perlindungan. Tanpa itu, mencintai, membela atau melindungi apapun hanya akan berakhir menjadi mencintai, membela, melindungi ego-hawa nafsu kita sendiri.


Sekarang ironis, banyak orang yang mengendalikan ego-hawa nafsu terdasar, amarah dan lawamahnya saja tidak mampu tapi gemar sekali mengklaim mencintai, membela, melindungi ini-itu, rakyat, negara, agama atau pribumi. Akibatnya bisa ditebak, mereka menjadi seperti ABG labil sedang mencintai wanitanya, mengalami delusi-halusinasi berat, sering melakukan perbuatan yang jelas adalah menghancurkan-menghinakan wanitanya tapi dikira sedang mencintai-memuliakannya..., mengekang, melecehkan, menganiaya, memperkosa bahkan membunuhnya..., dilakukannya atas nama cinta...