Selasa, 31 Oktober 2017

Antara Agama dan Sains



Agama dan sains itu sesuatu yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang, tidak mungkin bisa selaras, kalaupun ada bagian yang selaras, itu hanya kebetulan saja. Karenanya, jangan ngotot berusaha menyelaraskannya, jangan jadi penghayal dan pemabuk hanya untuk memenuhi hasrat menguatkan iman kita.


Agama mempunyai misi membawa kita pada kebaikan, kemaslahatan, keselamatan. Sementara sains mempunyai misi membawa kita pada kebenaran, realitas, fakta. Kalau kita pernah belajar atau menjalani "laku" spiritual, kita akan mengerti itu. Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita sebagai sumber utama dari agama, hanya tahu-mementingkan apa yang baik-kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya baik bagi umat manusia secara keseluruhan. Kita beribadah, berpuasa, berzikir atau bermeditasi puluhan tahunpun, tidak akan pernah menghasilkan penemuan sains, hanya bisa menghasilkan penemuan tentang apa-apa yang baik yang harus dilakukan diri atau masyarakat kita..., dan itu, tidak mempedulikan benar-tidaknya, masuk akal-tidaknya.


Cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Nyi Roro Kidul atau cerita-cerita dongeng lainnya secara esensi itu sama dengan agama..., hampir pasti, asal ide-inspirasi dari cerita itu juga sama, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita. Secara sains jelas isi cerita itu salah, tidak masuk akal, tidak pernah ada, hanya hayalan belaka. Tapi apakah karena cerita itu tidak sesuai sains lantas dengan gegabah mesti kita campakkan, hilangkan dari benak masyarakat kita...?. Kalau cerita itu nyatanya masih mampu mambawa masyarakat pada kebaikan, mampu membentuk moral dan budaya yang lebih baik dan beradab, untuk apa harus ekstrim kita tolak...?.


Jadi ingat sebuah pohon elo raksasa di pinggir sungai depan rumah saya yang sekarang sudah tidak ada. Dulu, air sadapan dari pohon itu dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit, banyak kesaksian yang mendukungnya, setiap pagi sebelum terbit matahari, ada saja orang menyadap airnya. Secara sains, jelas keyakinan air pohon elo itu berkhasiat salah besar, tidak ada bukti ilmiahnya. Secara agamapun keyakinan itu masuk kategori sesat, bid'ah, syirik, tidak dibenarkan. Tapi kalau nyatanya keyakinan itu telah membuat banyak orang terbantu, tidak perlu repot-repot keluar banyak uang untuk menyembuhkan sakit yang dideritanya, mengapa keyakinan itu harus kita tolak dan musuhi...?.


Tugas-upaya-jihad tersuci relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah ngotot mengklaim kebenaran suatu (cerita-dongeng) agama berikut memaksakan penerapannya tapi mengukur dengan segenap akal dan hati kita-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita apakah (cerita-dongeng) agama itu masih mampu membawa kebaikan bagi masyarakat kita sekarang. Jika ternyata tidak, kita harus ikhlas untuk melakukan pembaruan atau mentafsir ulang. Kalau cerita Malin Kundang ternyata lebih memicu orang tua menjadi tiran daripada membuat anak menjadi berbakti, mengapa kita terus ngotot menjaga keaslian isi cerita-dongeng itu...?. Kalau suatu (tafsir) agama sudah lebih banyak memproduksi teroris ketimbang humanis, apakah masih layak kita terus mempertahankan (tafsir) agama itu...?.


Pun demikian dengan tugas utama saintifik kita, bukanlah membabi-buta memaksakan penyampaian atau penerapan suatu kebenaran atau fakta..., jika kebenaran atau fakta itu justru memicu hal yang buruk bagi masyarakat, kita harus ikhlas menyimpannya. Tidak ada artinya kebenaran jika itu tidak membawa masyarakat pada kebaikannya...

Idealisme dan Ego


Tahun 2000-an, saat saya kebingungan mencari kerja, saya didaftarkan Bapak saya bekerja di sebuah instansi pemerintah, sayangnya, mendaftarkannya dengan cara membayar alias menyuap. Mengetahui itu, saya langsung mundur dan memarahi Bapak saya, bahkan saya meminta Bapak saya meminta kembali uang suap yang sudah kadung diberikan pada pejabat di instansi pemerintah itu. Begitulah salah satu idealisme saya waktu muda, anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), idealisme populer aktifis, politisi, mahasiswa dan anak muda waktu itu.

Dalam perkara cintapun saya punya idealisme yang tidak kalah keras, sekali menyatakan cinta, akan kupegang selamanya, takkan pernah kucabut hingga nyawa tercabut, akan tetap setia hingga akhir masa. Bagi saya, cinta dan kesetiaan adalah perkara sakral yang akan menjadi batu penguji integritas, moralitas bahkan spiritualitas kita, ketidakmampuan menghormatinya akan berarti tiadanya integritas, rendahnya moral, kurangnya kawruh.

Sekarang, teman-teman seangkatan saya yang dulu menyuap demi bisa bekerja di instansi pemerintah, sudah sukses semua, menjadi orang terpandang..., sementara saya yang sok idealis, masih gedangkrangan hanya demi sesuap nasi. Sekarang, wanita yang dulu pernah jadi bagian dari idealismeku, yang sewiyah-wiyah, yang semaunya sendiri, hidupnya sudah bahagia, bukan dengan saya, tapi dengan yang lain, sementara saya yang sok setia, sok menjadi pecinta sejati, pecinta abadi, sok mengorbankan segalanya demi cinta, merana. Kadang ada perasaan menyesal di dalam diri ini, memangnya siapa saya kok berani-beraninya sok kuat, sok idealis, mengapa saya tidak ikut arus saja, menjadi pragmatis seperti orang-orang toh resikonya juga tidak besar.

Menjadi idealis (yang disadari, bukan idealis karbitan-emosional-ikut-ikutan) itu ibarat orang ikut tarikat sufi, pahit dan sengsaranya sudah pasti, hasilnya gak pernah pasti..., ibarat orang nunggu randane, kelakon dadi randa belum tentu, jikapun kelakon, belum tentu mau... ^^ Ini adalah latihan mental-spiritual yang sebenarnya, sarana sempurna menguji tekad dan kepasrahan kita. Jadi, dimaklumi saja kalau sekarang banyak politisi, ide dan perkataannya sering berubah 180 derajat, dari perajut tenun kebangsaan menjadi perobeknya, dari nasionalis menjadi fundamentalis, dari sosialis menjadi kapitalis..., memang berat kok konsisten menjadi idealis karena lawannya adalah ego kita sendiri.

Tapi ada satu kebanggaan tak ternilai saat kita berhasil melewati godaan besar idealisme..., seterpuruk apapun, kita tetap masih bisa menghibur diri..., masih bisa berkata, aku telah jujur..., aku telah setia hingga akhir...

Senin, 30 Oktober 2017

Ketakutan yang Membodohkan


Waktu masih menjadi orang relijius, saya dulu itu takut sekali keluarga saya, teman-teman saya, masyarakat saya dan orang-orang yang saya kasihi lainnya masuk neraka karena melanggar (apa yang saya kira) sebagai perintah agama atau Tuhan.

Apakah ketakutan itu membuat saya menjadi lebih rasional, lembut dan sabar dalam mengajak mereka semua-orang-orang yang saya kasihi mengikuti aturan-perintah agama sehingga bisa terhindar dari (apa yang saya pikirkan sebagai) neraka?. Ternyata tidak, jika nasihat, "khotbah" saya diabaikan, yang sering terjadi justru rasa marah dan frustrasi hingga kemudian muncul ide dan kehendak meledak-ledak untuk memaksa termasuk dengan kekerasan agar mereka-orang-orang yang saya kasihi itu patuh tanpa syarat terhadap ajaran agama yang saya percayai. Saya mendadak merasa bak pahlawan atau mujahid yang tanpa ragu siap memaksa dan melawan siapa saja serta mati kapan dan dimana saja demi "mengobati" rasa takut saya itu.

Apa yang pernah saya alami itu menunjukkan secara gamblang kalau ketakutan bagaimanapun adalah tipu daya raga, setan, ego-hawa nafsu yang  membodohkan-menyesatkan dan menzalimkan..., melumpuhkan nalar-menutup hati, dua sumber daya pengawal-penunjuk kelurusan kita. Dia hanya menguatkan naluri untuk menghindar atau melawan, bukan menguatkan kemampuan memahami apa yang hakikatnya baik dan benar..., dia hanya mengarahkan kita untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, bukan mengarahkan kita memahami alasan dibalik apapun perbuatan kita..., dia tidak akan membantu mendekatkan kita pada obyek yang kita takuti, melainkan menjauhkannya. Sayang sekali, masih sangat banyak orang relijius sekarang yang menjadikan ketakutan sebagai alat utama mengajarkan agama. Sesuatu yang ironis sebenarnya, agama mengklaim sebagai kebenaran tapi jalan-jalan menuju pemahaman terhadapnya (termasuk dikendalikannya ketakutan), malah diingkari bahkan dihakimi sebagai kesesatan.

Takutlah hanya untuk sesuatu yang kita ketahui secara esensi buruk, yang mengancam eksistensi kita-umat manusia. Takut Tuhan (termasuk neraka) bagus jika yang dimaksud adalah takut melawan esensi kehendak Tuhan, sunatullah, kehendak alam semesta..., bukan takut pada tafsir, mitos, prasangka, angan-angan, "cerita" tentang kehendak Tuhan...

Kamis, 26 Oktober 2017

Cerdiknya Ego


26/10/2017 13:00. Wis ngopi setengah gelas nembe eling nek aku kie lagi puasa..., setelah itu godaan setanpun datang, "daripada yang setengah gelas lagi itu mubazir, lebih baik dihabiskan saja sekalian, puasanya diganti besok saja". Akhirnya yang setengah gelas lagi itu kuhabiskan... ^^

Setan, ego-hawa nafsu, memang hebat, sangat cerdik, pandai membungkus sesuatu yang buruk, salah, berbahaya menjadi tampak baik dan benar. "Menghindari kemubaziran" adalah satu perbuatan mulia, perintah agama, siapa siech yang tidak tertarik ingin melakukan itu...?. Saya boleh saja kuat menghadapi godaan puasa lainnya (contohnya tadi pagi, melihat cewek seksi gak saya lirik, gak membuat pikiranku melayang kemana-mana sehingga timbul birahi), tapi saat setan, ego-hawa nafsu saya menggunakan dalih atau kata-kata indah-suci "menghindari kemubaziran" sebagai "bungkus" godaan, ternyata nalar saya langsung lumpuh, menjadi lupa akan niat awal saya yang sebenarnya jauh lebih mulia, tak sebanding dengan mudarat memubazirkan setengah gelas kopi. Saya mendadak kreatif mencari dalih untuk mendukung hasrat saya menghabiskan kopi mantap yang tersisa itu.

Apa yang terjadi pada saya itu tadi jelas merupakan gambaran umum bagaimana susahnya kita mengenali tipu daya setan, ego-hawa nafsu kita berikut menguasainya. Berapa banyak orang sekarang bernasib sama seperti saya itu tadi...?. Mereka boleh saja kuat untuk tidak mencuri, berbohong, minum alkohol atau berzina..., tapi coba saat mereka dihadapkan pada kata-kata "membela agama", "menegakkan hukum Allah", "amar ma'ruf nahi munkar" dll, nalar mereka langsung lumpuh, sering tidak menyadari kalau itu tak lebih dari "bungkus" godaan-tipu daya setan, ego-hawa nafsunya sendiri yang pasti hanya akan menjerumuskan mereka pada kemudaratan, kebodohan, kesesatan, kezaliman bahkan kehancuran...

Rabu, 25 Oktober 2017

Bacalah dan Ikuti!


Di kampungku, ada satu sungai tempatku dulu menghabiskan sebagian masa kecil hingga remajaku. Namanya sungai Sapi. Sungai ini alirannya sangat deras dengan pasir, batu-batu besar dan kecil memenuhi dasar dan sisinya. Di musim kemarau, tak seberapa airnya bahkan kalau kemarau panjang melanda, sering tidak ada airnya sama sekali. Tapi jika musim hujan datang, jangan ditanya, airnya akan menggelegak ganas hingga bahkan sering berbahaya untuk diseberangi.

Di salah satu bagian dari sungai ini, ada satu jeram tempatku dan teman-teman sebayaku dulu hobi melakukan uji nyali. Jeram ini penuh bebatuan besar, sempit dan dalam. Di satu sisinya terdapat dinding batu padas tajam menjorok ke tengah sungai, siap menghajar benda apapun yang lewat di dekatnya. Untungnya, ujung akhir dari jeram ini adalah bagian sungai yang lebar, dangkal, berpasir, relatif tenang airnya sehingga siapapun yang ditimpa apes saat melewati jeram itu, tidak akan tertimpa apes tambahan, akan terdampar, tidak akan hanyut lebih jauh.

Uji nyali dilakukan bukan dengan naik perahu karet atau ban seperti umumnya dilakukan orang sekarang, melainkan cukup melewati-menghanyutkan diri dalam aliran jeram itu. Awal-awalku melakukan uji nyali, babak belurlah yang terjadi, lutut dan gares (tulang kering) ku sering membentur batu tajam hingga bahkan salah satunya, membuatku gak sanggup berjalan saking sakitnya. Bocor kepala, dadal tangan dan kaki atau kembung dan tersedak parah gara-gara terlalu banyak kemasukan air sungai adalah fenomena yang biasa terjadi di antara para peserta uji nyali. Apalagi kalau uji nyali itu dilakukan sambil bergurau, dilakukan ramai-ramai hingga berujung pada upaya saling mengerjai, menjatuhkan dan menenggelamkan teman, makin tinggilah resikonya. Uniknya, nasib sial teman selalu jadi bahan tertawaan, kalau ada teman yang sampai hidung atau mukanya merah-merah, meringis dan matanya "merkabak" atau hampir menangis, kami semua akan tertawa dan menyorakinya. Yang jelas, sesudah saya dan teman-teman tahu "ilmu" cara mengarungi jeram itu, tantangan, keganasan, kengerian, bahaya, berubah menjadi kesenangan dan kenikmatan tiada tanding, mencandu..., mungkin sama nikmatnya dengan mereka yang hobi berselancar di antara ombak laut yang bergulung tinggi.

Ada satu pelajaran berharga dari hobi masa kecil-mudaku itu. Aliran jeram itu ibarat aliran kehendak alam semesta-esensi ketuhanan. Untuk bisa melewatinya dengan selamat bahkan menyenangkan, diperlukan fokus, ketenangan, santai, tidak boleh gugup, tidak boleh takut, tidak boleh melakukan gerakan ekstrim seperti berhenti atau berbelok mendadak bahkan jika itu untuk menghindari benturan dengan batu padas tajam. Berhenti atau berbelok kasar akan berarti jatuh, jika itu yang terjadi, kita kehilangan kendali, kita hanyut dan tenggelam, tentu, batu-batu kali sing pating jenggeleg dan padas tajam sing pating crengangah siap menyambut kita.

Agama seharusnya datang untuk membimbing kita melewati "jeram", aliran kehendak alam semesta-esensi ketuhanan dengan selamat dan menyenangkan. Tapi sayang sekali, sekarang banyak orang dengan pongahnya justru menjadikannya sebagai alat untuk melawannya. Perlawanan yang sia-sia, akan seumpama rusa melawan singa, berhasil tidak mungkin, mati sudah pasti...

Senin, 23 Oktober 2017

Mengalirkan Diri, Memaslahatkan Diri


Sudah sangat sering saya meliihat penghakiman orang relijius katanya pertumbuhan sangat rendah jumlah penduduk di negara-negara maju adalah cermin gagalnya nilai-nilai non-relijius (demokrasi, hak azasi, humanisme, sekulerisme, atheisme, emansipasi, hedonisme) dalam mendukung lestarinya umat manusia di muka bumi ini. 

Penghakiman yang dangkal sekaligus konyol. Kalau penghakiman itu diucapkan 14 atau 20 abad yang lalu, tentu saya akan sangat setuju. Keengganan menyegerakan perkawinan dan berkembang biak sebanyak-banyaknya akan menjadi masalah besar mengingat waktu itu angka harapan hidup sangat rendah. Penyakit tak terobati, bencana alam tak terprediksi, konflik dan peperangan yang terus terjadi hingga serangan hewan buas menjadi penyebabnya. Salah satu jalan bagi suatu umat atau masyarakat untuk tetap bisa eksis dan mendominasi adalah kawin sedini mungkin dan berkembang biak sebanyak mungkin. Rendahnya pertumbuhan penduduk di negara-negara maju sekarang justru mencerminkan hal yang sebaliknya, mereka sedang berada di titik idealnya, mereka sedang merasa sangat aman ditandai-dibuktikan dengan melemahnya naluri-naluri untuk mempertahankan eksistensi diri-masyarakatnya terutama naluri untuk berkembang biak.

Jadi, kalau penghakiman itu diucapkan sekarang..., saat konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi yang mendasari munculnya aturan yang memicu penghakiman itu sudah berubah total bahkan berbalik, jelas salah tempat. Ibarat orang masih mengobarkan permusuhan dan perlawanan terhadap penjajah Belanda padahal Belanda jelas-jelas sudah pergi, tak lagi menjajah. Orang masih ingin memaksakan pelaksanaan aturan yang sama padahal jumlah umat manusia sudah sangat banyak..., melebihi jumlah yang bisa ditopang suatu wilayah, negara dan bahkan bumi ini. Tanda-tandanya nyata terlihat sekarang, demi menopang hidup manusia yang jumlahnya sudah sangat banyak di bumi ini, terjadi kerusakan-pencemaran lingkungan parah, pemanasan global yang memicu bencana alam, kepunahan massal, wabah penyakit hingga bahkan menguatnya naluri bersaing, menguasai, berperang dan membunuh di antara sesama umat manusia. Keadaan yang pasti pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup, kuantitas bahkan eksistensi manusia itu sendiri. 

Bagaimanapun, penghakiman itu adalah cermin gagalnya (fundamentalisme) agama membawa umat pada tujuan hakiki agama itu sendiri. Fundamentalisme agama membuat penganut agama menjadi tidak mampu mengikuti-membaca arah kehendak alam yang hidup, berubah dan berkembang..., gagal memahami apa-apa yang terbaik-termaslahat bagi umat manusia saat waktu, tempat, situasi dan kondisi sudah berubah-berbeda dari saat agama itu datang..., membuat manusia terkunci pada kebaikan masa lalu yang sering sudah tidak mungkin lagi tetap bernilai kebaikan di masa sekarang. 

Agama adalah potret-cermin apa-apa yang terbaik bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, tempat, situasi dan kondisi. Let's follow the flow. Tugas relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah memaksakan aturan yang sudah kehilangan konteks-sudah berbeda waktu, tempat, situasi dan kondisi itu-menerapkan agama secara radikal, melainkan memahami aturan apa yang terbaik yang harus diterapkan sekarang, di sini, dalam situasi dan kondisi ini. Mungkin kalau sekarang muncul agama atau sekte agama baru, salah satu aturan atau syariat utama yang akan muncul adalah sunah menunda perkawinan, sunah memiliki sesedikit mungkin anak dan wajib hanya memiliki satu istri...

Sabtu, 21 Oktober 2017

Tiada Agama tanpa Penguasaan Ego


Jika ego-obsesi kita terhadap uang tak terkendali, tumpukan koran akan tampak sebagai tumpukan uang, orang mau menipu dikira mau membantu, keburukan-kejahatan tak lagi dirasa menyesakkan..., pun demikian jika ego-obsesi kita terhadap jabatan, wanita atau bahkan agama tak terkendali..., dampaknya sama, melumpuhkan kesadaran, membuat kita "sesat di jalan yang terang".

Sayangnya, banyak orang sekarang justru memandang ego-obsesi tak terkendali terhadap agama itu sebagai bukan sesuatu yang buruk bahkan dianggap sebagai ekspresi kesalehan atau ibadah. Padahal jelas, ego-obsesi itu perkara substansi, esensi, hakikat..., diletakkan di manapun tidak akan merubah nilai dan dampaknya..., akan memabukkan, menyesatkan.

"Syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian" (Sheikh Siti Jenar). Kematian di sini maksudnya adalah matinya ego-obsesi-hawa nafsu, kehendak raga kita. Tepat sekali kata-kata Sang Sheikh itu. Jauh lebih penting bagi kita untuk belajar mengenali-menguasai ego kita, "mematikan" diri lebih dulu daripada belajar agama atau syariat. Sebab jika ego kita tak terkendali, hampir pasti, ayat-ayat cintapun akan dipahami sebagai ayat-ayat setan, rahmat bagi alam semesta malah memicu musibah bagi alam semesta, godaan setan akan dikira petunjuk Tuhan, keburukan dikira kebaikan, meruntuhkan agama dikira membela-menegakkan agama.

Jadi ingat dulu waktu masih menjadi orang relijius, pernah ditolak cinta ama cewek solehah, bukannya itu membuatku menjadi introspeksi, sadar kalau aku ini kurang gagah sehingga wajar ditolak..., malah membuatku marah dan menghakimi kalau cewek yang menolakku itu tak mengerti agama, tak mau dibimbing ke jalan yang lurus, tak mau mengikuti tuntunan Rasul untuk tak menolak cinta-pinangan orang soleh. Agama telah sangat sukses membuatku menjadi sombong, pemarah, egois, penuh prasangka dan penghakiman, mau benar dan menang sendiri..., sukses mengkamuflase ego saya menjadi tampak dan dirasakan suci...

Selasa, 17 Oktober 2017

Cinta dan Nafsu


Cinta..., tidak peduli itu tertuju kepada siapa..., kepada lawan jenis, sesama manusia, sesama mahluk atau bahkan kepada Tuhan, akan berujung pada hal yang sama, puncak empati, penyatuan, peleburan, kemanunggalan.

Nafsu..., tidak peduli itu tertuju kepada siapa..., kepada lawan jenis, sesama manusia, sesama mahluk atau bahkan kepada Tuhan, akan berujung pada hal yang sama, puncak egoisme, penguasaan, pemaksaan, perampasan, penghilangan.

Sayangnya, banyak orang gagal membedakan antara cinta dan nafsu. Cinta dan nafsu adalah sesuatu yang sangat berbeda bahkan merupakan penghalang-musuh-kebalikannya. Cinta berpusat pada obyek yang kita cintai, membuat kita berusaha menjadikannya sebagai tuan-raja-sesembahan..., nafsu berpusat pada diri kita, membuat kita berusaha menjadikan diri kita sendiri sebagai tuan-raja-sesembahan.

Kalau cinta kita hanya sebatas cinta kepada lawan jenis, sesama manusia atau sesama mahluk, gagal membedakannya dengan nafsu mungkin tidak begitu banyak membawa mudarat-keburukan. Akan menjadi mudarat besar jika kita gagal membedakannya justru untuk cinta kita kepada Tuhan karena itu pasti berujung pada jurang kesesatan terdalam..., dan itulah yang banyak terjadi sekarang.

Lihat saja, orang merasa dan mengklaim sedang mencintai, memuja, menyembah Tuhan, tapi akibat-konsekwensi-pertanda yang ditunjukkannya justru menyimpang sangat jauh bahkan bertolak belakang, hanya memberi bukti mereka sedang mencintai "cerita" tentang Tuhan, pembawa cerita itu, bangsa pembawa cerita itu, atau bahkan, hanya sedang mencintai prasangka pribadinya akan Tuhan.

Jauh panggang dari api, sama seperti ABG labil mencintai wanitanya..., bukannya cinta mereka berujung pada puncak empati-pemahaman atas apa yang terbaik-yang diinginkan wanitanya, malah berujung pada puncak egoisme-eksploitasi-penguasaan dan pemanfaatan atas wanitanya..., niat hati ingin menyembah-menyatukan diri dengan Tuhan malah terjerumus pada penyembahan terhadap cerita, pembawa cerita, bangsa pembawa cerita tentang Tuhan..., atau yang lebih parah, menjadikan diri-prasangkanya sebagai Tuhan...

Minggu, 15 Oktober 2017

Akar Agama dan Budaya


Orang Islam tidak makan babi, orang Hindu tidak makan sapi, orang Barat tidak makan merpati, orang Buddha tidak makan daging apapun, orang China makan daging apapun. Manakah yang benar...?. Boleh jadi semua benar atau sebaliknya, semua salah..., kontekslah yang menentukan, asal ditempatkan pada konteks yang benar, sesuai situasi-kondisi saat ajaran itu datang, semua ajaran menjadi benar.

Kalau kita memahami bagaimana mekanisme kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita mempersepsikan dunia, kita akan memahami mengapa ajaran-ajaran itu muncul dan sering sangat berbeda antara ajaran satu dengan yang lainnya. Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita sebagai sumber utama dari agama-budaya-moral hanya tahu-mementingkan apa yang terbaik bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, di suatu tempat, situasi dan kondisi, bukan apa yang benar, pada semua masyarakat, pada semua waktu, tempat, situasi dan kondisi.

Teks atau penjelasan-alasan mengenai ajaran-ajaran itu boleh apa saja, boleh karena alasan haram, disucikan, bersahabat, membawa keburukan atau yang lainnya, tapi maksud hakikinya tetaplah sama, mengikuti aturan itu akan membawa kebaikan. Mungkin di masa lalu, babi di Timur Tengah telah membawa wabah penyakit atau mengganggu keseimbangan persediaan pangan sehingga diharamkan, sapi memberi manfaat begitu banyak bagi orang India sehingga disucikan, merpati bagi orang Barat jadi lambang kesucian dan kesetiaan sehingga dirasa tak pantas dikonsumsi, segala jenis daging menganggu konsentrasi bagi Buddha Gautama saat bermeditasi sehingga harus ditinggalkan.

Melihat kenyataan itu, tugas hakiki relijiusitas-spiritualitas kita sekarang bukanlah mempromosikan fundamentalisme, berusaha memaksakan penerapan aturan yang jelas berlaku sangat kontekstual, hanya berlaku pada situasi dan kondisi tertentu, pada suatu waktu dan tempat untuk diterapkan pada semua situasi dan kondisi, waktu dan tempat. Tugas kita adalah memahami apa-apa yang terbaik bagi masyarakat kita sekarang, di sini, dalam situasi dan kondisi ini untuk kemudian "mendakwahkannya", menjadi "syariat" atau norma baru di tengah-tengah masyarakat kita. Fundamentalisme hanya akan membuat agama kehilangan fungsi hakikinya sebagai alat-tarikat pencerah, pemaham apa-apa yang baik, yang pasti hidup, berubah dan berkembang.

Yang jelas, seandainya sekarang muncul agama baru, hampir pasti, aturan tentang hewan yang tidak boleh dimakan akan berubah total, menjadi harimau, badak, orang utan, ikan paus atau hewan terancam punah lainnya...

Rabu, 11 Oktober 2017

Hakikat Ibadah


Tidak ada ibadah yang menyenangkan, semua ibadah pasti dan harus menyakitkan..., menekan ego kita-tubuh dan pikiran kita. Wajar saja, sebab hanya saat ego kita-tubuh dan pikiran kita tertekan, kemampuan mengendalikannya akan terlatih dan terbangun, syarat utama agar tujuan dari ibadah yaitu keterhubungan dengan Tuhan-alam semesta, kesadaran, pengetahuan dan kekuatan lebih tinggi kita tercapai. Pun demikan dengan manfaat atau balasannya, (yang utama) bukanlah dalam bentuk kesenangan ragawi (yang timbul dari terpenuhinya kehendak ego-fisik-pikiran kita) melainkan dalam bentuk ketenangan ruhani sebagai hasil dari penguasaan diri, membanjirnya petunjuk-pengetahuan-bimbingan dalam hidup kita, kesenangan ragawi hanya tambahan, jikapun tidak didapat, tidak apa-apa.

Karenanya, tidak perlu repot-repot berdebat akan mana ritual agama yang betul bisa disebut sebagai ibadah, atau lebih luasnya, mana agama (atau aliran agama) yang betul adalah agama yang benar..., yang pada akhirnya akan membawa pengikutnya pada pemahaman akan jalan lurus. Bagaimanapun absurd, tidak masuk akalnya suatu ritual ibadah atau ajaran (teks) suatu agama, kalau memang ritual dan ajaran agama itu paling mampu menekan ego, itulah yang benar, yang akhirnya akan paling mampu juga membawa penganutnya pada penguasaan diri, hidayah, jalan lurus, kebaikan hakiki.

Kegagalan kita mengenali hakikat ibadah jelas telah memicu kesesatan yang parah tanpa sedikitpun disadari. Banyak orang merasa sedang berkorban (hewan) padahal yang dilakukannya hanya sekedar berfoya-foya-berpesta daging..., banyak orang merasa sedang mengikuti sunah Rasul (dengan berpoligami) padahal yang dilakukannya hanya sekedar mengumbar syahwat..., banyak orang merasa sedang bersedekah padahal yang dilakukannya hanya sekedar "berdagang" dengan sedekah..., banyak orang merasa sedang menegakkan tauhid (pengesaan Tuhan), padahal yang dilakukannya hanya sekedar menegakkan prasangka dan hawa nafsunya akan tauhid...

Selasa, 10 Oktober 2017

Antara Adam dan Malin Kundang


Kenapa siech banyak orang relijius sangat alergi, terintimidasi bahkan marah dengan teori evolusinya Darwin yang mengatakan kalau manusia pertama itu bukan Adam...?.

Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita tidaklah terlalu memandang penting kebenaran sains atau akal-logika dan agama. Dia hanya memiliki misi memberi tahu-memandang penting apa-apa yang benar-baik-maslahat-menguntungkan, kecilnya bagi diri kita, besarnya bagi alam semesta-umat manusia secara keseluruhan, bukan memberitahu yang benar-benar-masuk akal-rasional.

Cerita-dongeng manusia pertama adalah Adam (dan juga cerita-dongeng lain yang terdapat pada agama) itu memiliki nilai yang sama dengan cerita-dongeng Malin Kundang, Sangkuriang atau Mahabharata, lahir semata untuk membentuk budaya-moral-spiritual masyarakat agar menjadi lebih baik, bukan menjadi lebih benar..., karenanya tidak perlu diklaim kebenarannya, tidak perlu dipertanyakan masuk akal-tidaknya, tidak perlu pula membuat iman kita terganggu kalau ada orang yang membantahnya. Yang perlu dipertanyakan adalah masihkah cerita-dongeng itu mampu membawa kebaikan-kemaslahatan bagi umat manusia...?.

Jadi ingat dulu, saat saya sedang berdoa-menghening di tengah malam, saya "bermimpi" didatangi saudara saya yang sudah meninggal dunia, dia menyarankan saya agar berpindah agama. Saya dan saudara saya itu Muslim taat, sangat aneh kalau saya mendapat petunjuk seperti itu. Kenapa bisa seperti itu...?. Karena memang kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita tidak mementingkan akal-logika dan agama, hanya mementingkan apa yang baik-menguntungkan kita..., barangkali betul kalau saya berpindah agama, hidup saya akan lebih baik dan beruntung. Andapun kalau melakukan hal yang sama, hampir pasti akan mendapat petunjuk senada..., bisa jadi anda akan mendapat petunjuk untuk menjadi PKI, Syiah atau Ahmadiyah sekalipun sekarang ini anda anggota FPI..., atau menjadi anggota ISIS sekalipun anda sekarang adalah Syiah fanatik..., tergantung dimana ego dominan anda diletakkan saja...

Senin, 09 Oktober 2017

Fitrah Agama


Lahirnya kepercayaan kepada agama dan Tuhan pada hampir semua masyarakat dan budaya jelas mencerminkan gagalnya kesombongan dan kesenangan membawa kemaslahatan bagi umat manusia. Kesombongan dan kesenangan telah menimbun-melemahkan kesadaran-kekuatan-pengetahuan lebih tinggi manusia, membuatnya tertutup-terhalang, susah diakses, susah dimanfaatkan untuk membantu tetap eksisnya umat manusia.

Agama (ibadah, penyembahan terhadap Tuhan) adalah "tarikat-laku" perendah-hatian dan penderitaan-pembatasan atas kesenangan. Ada atau tidak adanya Tuhan, tarikat-laku itu akan menghubungkan manusia dengan kesadaran-kekuatan-pengetahuan lebih tinggi yang sekian lama tertimbun-tertutup-terhalang. Benar-tidaknya suatu agama-kepercayaan kepada Tuhan bisa dinilai dari karakter ajaran dan ritual ibadahnya, jika ajaran dan ritual ibadahnya sanggup membuat penganut-pemercayanya rendah hati, mau membatasi kesenangan, agama itu telah benar secara esensi..., atau setidaknya, pada akhirnya akan membawa penganut-pemercayanya pada kebenaran bagaimanapun tidak masuk akalnya ajaran-ritual ibadahnya pada awalnya.

Sekarang tragis, agama malah sering membuat orang menjadi sombong, merasa pintar dan benar sendiri...,  yang lebih parah, dijadikan alat melegitimasi-membantu keinginan-keinginan penganutnya akan kesenangan. Mereka secara gamblang telah mencerabut agama dari fitrahnya, sikap yang jelas akan membuat agama kehilangan fungsi hakikinya sebagai penopang eksistensi umat manusia...

Doa dan Cinta


Daripada kita sibuk mengajari anak-anak kita, umat atau masyarakat kita berdoa, lebih baik kita sibuk mengajarinya mencinta. Sebab dengan mengajarinya mencinta, kita sebenarnya sudah mengajarinya berdoa.

Doa terbaik adalah cinta. Sebab dengan cinta, bahkan setiap tirakat, sentuhan, pandangan, ingatan, pikiran, angan-angan atau harapan baik kita akan segera berubah menjadi energi positif yang mengalir membanjiri obyek-obyek yang kita cintai, merahmati dan memberkati mereka, tanpa perlu kata-kata, tanpa perlu iman atau beragama. Membentuk empati-keterhubungan yang membawa pada pengetahuan akan apa-apa yang hakikatnya terbaik atau diperlukan obyek-obyek yang kita cintai.

Sebaliknya, doa tanpa cinta itu seumpama doa seekor burung beo, doa yang dangkal. Sefasih apapun doa seekor burung beo, takkan memiliki kekuatan-apa-apa. Wajar saja, doa tanpa cinta adalah doa tanpa terhubung, direstui dan didukung hati kita-kesadaran lebih tinggi kita, tempatnya rahmat, berkat, kekuatan dan pengetahuan. Doa yang pasti akan sia-sia, hanya akan bernilai seperti anjing menggonggong di antara iringan kafilah, bagaimanapun keras suaranya, takkan memiliki pengaruh berarti, takkan terperhatikan, takkan didengar Tuhan-alam semesta.

Sayangnya, banyak orang relijius sekarang hidup hampir-hampir tanpa cinta, mereka membatasi cinta hingga titik tersempit. Jangankan mau mencintai alam semesta, lingkungan, hewan dan tumbuhan, sekedar mencintai sesama manusia saja kesulitan atan bahkan enggan. Akibatnya bisa ditebak, doa-doa mereka hanya kuat di ucapan, sebaliknya, lemah di kekuatan..., jangankan-mereka mampu menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak menjadi musibah saja sudah untung...

Jumat, 06 Oktober 2017

Yang Esensi, yang Ilahi


Sekarang ini banyak orang relijius justru menunjukkan gejala yang ganjil, kontradiktif dengan konsekwensi hakiki status relijiusnya..., mereka terlihat sangat serakah baik terhadap harta, tahta, wanita ataupun prasangka..., suka hidup mewah, hedonik, berprasangka buruk..., mereka menjadi berperilaku ganjil seperti itu justru didorong dan mengatasnamakan ajaran agama atau Tuhan, sesuatu yang jelas harus digapai dengan perilaku sebaliknya, kezuhudan, kesederhanaan, pembatasan, tarikat.

Keserakahan itu masalah esensi atau hakikat..., mau dibungkus dan dihukumi apapun dengan niat atau dalih apapun tidak akan bisa menghilangkan konsekwensi buruknya yaitu menguatnya kebodohan dan kezaliman. Aturan atau teks agama datang tidak untuk menyangkal, mengkamuflase atau menggantikan esensi-hakikat, dia hanya mencerminkan esensi-hakikat akan sesuatu yang baik-maslahat pada satu waktu, tempat, situasi dan kondisi, bersifat sangat kontekstual, hidup dan berkembang. Aturan atau teks agama akan gugur dengan sendirinya jika dihadapkan pada esensi yang bertentangan dengannya.

Tidak ada gunanya kita mengkritik bangsa Barat dengan kapitalismenya sebagai kaum serakah (terhadap harta) sementara kita sendiri masih sangat serakah terhadap tahta, wanita dan prasangka..., itu ibarat perampok mengkritik maling, yang mengkritik jatuhnya masih lebih buruk dari yang dikritik..., masih mending bangsa Barat, mereka jelas jauh lebih zuhud dalam perkara tahta, wanita dan prasangka ditandai dengan kuatnya budaya demokrasi, monogami, sains...

Kamis, 05 Oktober 2017

Kebenaran dan Kekuatan


Seandainya anda diberi tahu jika orang yang sedang sangat anda sayangi, cintai, puja, idolakan itu ternyata bukan jodoh anda, apakah anda akan menerima rahmat-anugrah "pengetahuan" itu...?. 

Hampir pasti tidak, bukannya anda bersyukur-berterima masih telah diberi tahu untuk kemudian belajar menerima kenyataan itu, malah anda akan menjadi sebaliknya, memusuhi, mencaci-maki orang yang memberi tahu itu. Anda akan berusaha menyangkal berita apapun yang tidak sesuai dengan ego anda itu. Ada beribu dalih, teori, retorika yang tiba-tiba akan keluar membanjir membantah pemberitahuan itu.

Kebenaran itu sering sangat pahit, getir, menyedihkan, menyakitkan karena musuh utamanya adalah ego kita, prasangka, keinginan, harapan, angan-angan, kesenangan kita.

Pun demikian dalam dalam urusan beragama, berpolitik atau bermasyarakat..., siapakah di sini yang bisa menerima dengan ikhlas "pengetahuan" kalau ternyata agama anda, partai anda, tokoh anda, ide atau pendirian anda ternyata salah...?. Mungkin hanya satu di antara seratus yang mau menganalisa kabar itu dan hanya satu di antara seribu yang mau menerima "kabar" benar itu untuk kemudian berani beralih agama, partai, tokoh panutan, ide dan pendirian.

Kebenaran itu untuk orang yang kuat, kuat nalar-logika, kuat menguasai emosi-egonya, orang yang siap sengsara. Menyedihkan, sekarang ini, yang paling keras mengklaim kebenaran sering justru adalah orang-orang yang hanya untuk sekedar bernalar-logika sederhana saja tidak mampu, mengendalikan emosi-ego terdasar saja tak kuasa...

Wangsit, Ego dan Budaya


Wangsit (termasuk ilham, firasat, hidayah, wahyu dsb)..., benarkah itu petunjuk dari alam ghaib....?. Sekalipun biasa mendapat wangsit, saya sendiri tidak percaya itu berasal dari alam ghaib. Saya justru percaya itu hanyalah petunjuk dari dalam diri kita sendiri, dari lapisan kesadaran-pengetahuan kita yang lebih tinggi..., yang "menampilkan" diri dalam sosok-lambang yang sesuai dengan prasangka, agama, budaya, keinginan, imajinasi serta tingkat nalar dan pengendalian ego kita..., yang sering disebut qorin/pengiring atau malaikat penjaga..., yang oleh orang Jawa disebut "pamomong", "sedulur papat", "Gusti" yang bersemayam di dalam diri kita.

Mudah untuk membuktikannya. Pernah suatu saat dalam suatu penyepian-zikir-meditasi, saya mendapat wangsit berupa suara tanpa wujud, pernah juga didatangi orang berpakaian serba putih, berisi nasehat supaya saya berpuasa kapit weton kalau menghendaki hajat saya (rejeki lancar) tercapai. Apakah mungkin jika saya bukan orang Jawa, saya akan mendapat wangsit seperti itu...?, apakah jika ego saya tidak sedang ada di situ (rejeki lancar), saya akan mendapat wangsit seperti itu...?. Tidak mungkin..., jika mendapat wangsit seperti itu, saya malah akan bingung sendiri, karena saya tentu tidak akan tahu apa itu puasa kapit weton..., pun demikian jika saya dalam posisi kaya, tentu wangsitnya akan berbeda, mungkin akan menjadi wangsit bagaimana cara saya memikat wanita. Yang pasti, kalau saya orang Arab, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi saya, qorin/pengiring, malaikat penjaga, pamomong, sedulur papat, Gusti yang bersemayam dalam diri saya tentu tidak akan mewujud menjadi orang berpakaian serba putih melainkan akan mewujud menjadi malaikat, Nabi atau bahkan jin, atau kalau saya orang India, mewujud menjadi dewa-dewa..., nasihatnyapun pasti akan berbeda, sesuai dengan konteks-kondisi faktual apa yang sedang paling saya hajatkan saja, kalau saya ingin jadi Nabi, yang memberi wangsit tentu berujud Malaikat Jibril.

Tidak penting bagaimana ("baju") wangsit itu disampaikan, yang terpenting adalah karakter dari wangsit itu, karena jelas, itu menunjukkan di mana ego kita sebenarnya diletakkan..., jika ego kita diletakkan di titik terendah, kita pasti akan cenderung mendapat wangsit, ilham, ide, hidayah yang jika dilaksanakan hanya akan menguntungkan diri kita saja, sebaliknya akan merugikan orang lain seperti wangsit, ilham, ide, hidayah untuk membunuh, berperang, membodohi, memfitnah, menipu, menindas, korupsi dll sebagaimana banyak "diterima" banyak orang relijius sekarang... 

Rabu, 04 Oktober 2017

Samurai dan Lading


Pedang Samurai dan lading..., sama-sama senjata tajam, tapi saat saya membawanya ke ladang, akan memiliki dampak mental-spiritual yang sangat berbeda.

Saat yang saya bawa samurai, perasaan berani, macho, jantan, gagah, "lanang", datang membanjir, ego saya mendadak meninggi, tanpa kompromi dan toleransi..., saya menjadi siap "membabat" siapa saja yang hendak menggangguku, berbuat jahat kepadaku, mencuri harta benda milikku..., bukan hanya itu saja, bahkan imajinasi liar, dari keinginan membunuh siapapun yang saya benci sampai bunuh diripun kadang datang menghampiri.

Kenapa siech itu bisa terjadi...?. Konteks, memori, energi. Samurai memiliki fungsi dan sejarah panjang (dan kelam) sebagai alat perang, pembunuh, itu akan membuat siapapun yang memegangnya segera tertular spiritnya, terambil-alih sebagian kesadarannya. Kenyataan sama berlaku untuk celurit, belati, pedang, keris, senjata api, jimat-jimat hingga bahkan simbol-simbol budaya atau agama..., orang FPI, cukup dengan memakai jubah dan jenggot, akan segera menjadi "Arab" yang beringas..., orang Jawa, hanya dengan memakai blangkon atau batik, pasti akan berubah menjadi lebih kalem dan ramah..., penembakan massal yang sering terjadi di Amerika jelas karena orang Amerika terlalu banyak terpapar "setan" berujud senjata api..., jangan tersinggung kalau ada orang alergi terhadap Islam, burka, jilbab, jenggot, orang/budaya Arab dll, itu adalah konsekwensi adil dari ketidakmampuan umat Islam mencegah jahilisme, fasisme, terorisme.
Apa yang kita pegang, pakai, hormati, puja, percaya akan membentuk siapa diri kita..., membuat spirit-memorinya tercopy-paste..., kalau kita bisa memilih hanya memegang, memakai, menghormati, memuja atau percaya pada sesuatu yang mendatangkan pikiran dan energi positif, mengapa kita membiarkan diri kita memilih yang sebaliknya...?