Manusia adalah bangkai najis yang berperilaku congkak..., hidup adalah kematian dan kematian adalah kehidupan..., syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian. Saya dulu benar-benar tidak mengerti maksud dari kata-kata Sheikh Siti Jenar itu, saya setuju dan mengikuti saja bantahan sekaligus cacian dari orang-orang "berilmu" terhadap kata-katanya itu.
Tapi sekarang saya mengerti itu. Betul, sebelum manusia bangun dari "tidur", terjaga dari "mimpi", sadar dari "mabuk", manusia sejatinya masih berstatus sama dengan "batang", bangkai atau hewan, hidup hanya (bisa) mengikuti naluri primitifnya, seringkali sangat sombong, merasa dirinya kuat, pintar, suci, benar atau baik padahal realitasnya sebaliknya, lemah, bodoh, kotor, salah dan buruk. Baru setelah manusia "mati" ego atau hawa nafsunya, manusia benar-benar hidup, sadar, makrifat, memahami apa yang benar atau salah, baik atau buruk, fakta atau dongeng, Tuhan atau setan. Pun demikian dengan syariat, di mata "batang" atau orang tanpa kesadaran itu seumpama syariat di mata burung beo, bagaimanapun fasihnya beo berdoa atau bersahadat, tidak akan punya nilai, konsekwensi dan kekuatan apa-apa karena beo sendiri tidak tahu dasar, maksud dan lingkup dari apa yang diucapkannya itu. Paling tinggi beo hanya akan tahu kalau mengucap itu akan membuatnya mendapat makanan, terhindar dari hukuman atau akan lebih diperhatikan pemiliknya. Beo tidak akan naik derajat hakikinya hanya karena bisa berdoa atau bersahadat.
Jantung tujuan (dogma dan ritual) agama (yang benar) adalah tercapainya kesadaran, makrifat, pencerahan pemeluknya..., tercapainya "kehidupan" yang sebenarnya melalui pematian ego atau hawa nafsu kita-manusia..., tanpa itu, kita-manusia tidak sedang beragama, tidak sedang menuju Tuhan, pengetahuan, kebenaran, jalan lurus atau keselamatan, kita hanya sedang bekhayal-bermimpi-berdelusi-beronani dengan itu semua.
Sayang sekali, sekarang terbalik, justru agamalah yang lebih sering menghalangi-melumpuhkan kesadaran, makrifat atau pencerahan pemeluknya, membuat pemeluknya kembali menjadi "bangkai najis yang berperilaku congkak", kembali pada "tidur", pada "mimpi", pada "mabuk", pada "kematiannya"..., adakah ironi sekaligus tragedi yang lebih besar dari ini...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar