Rabu, 14 Maret 2018

Ironi Iman



Dulu, waktu masih menjadi orang relijius, saya pernah berfikir, syarat beriman atau bertauhid untuk bisa masuk surga, diterima Tuhan ibadah dan amal-kebaikannya itu wajar, masuk akal, tidak ada yang salah.


Sekarang saya sadar, bahkan sarat harus kaya, berkuasa, berijazah sarjana atau beristri lima untuk bisa masuk surga itu jauh lebih masuk akal..., karena itu jelas hanya bisa didapat dari orang yang mau berfikir dan bekerja keras. Berbeda dengan iman-tidak diperlukan apapun untuk beriman, itu bukanlah sebuah prestasi, itu hanya kebetulan, sama kebetulannya dengan kita terlahir dari ras, etnis, jenis kelamin, negara atau agama apa. Kalau itu dijadikan dasar utama masuk-surganya seseorang, jelas itu tidak bisa diterima akal apalagi nurani yang sehat.


Orang yang mudah beriman pada janji surga, akan mudah pula beriman kepada fitnah atau hoax, iklan bombastis, retorika politisi, hasutan provokator, janji dukun pengganda uang, perangkap tukang gendam/hipnotis dan rayuan lelaki buaya..., sebab itu bersumber dari hal yang sama, lemahnya nalar, mental, prana/chi/aura serta kuatnya ego-keserakahan..., keadaan yang membuat orang mudah "diserang", dipengaruhi dan dikuasai orang lain, sulit menjadi diri sendiri. Bagaimana mungkin sesuatu yang dasar hakikatnya kelemahan, keburukan dan kehinaan justru diposisikan sebagai kemuliaan?.


Ironis sebenarnya kalau syarat utama masuk surga adalah iman, jelas, syarat itu akan membuat agama pada akhirnya hanya akan dipeluk-diimani-dimanfaatkan orang-orang yang lemah, bodoh atau egois-oportunis-serakah..., orang yang hanya hendak mengeksploitasi agama untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang-orang kuat, pintar, mampu menguasai egonya, akan semakin menjauh dari agama, akan melihat kejanggalan demi kejanggalan dari ajaran agama. 


Iman saja, tanpa kawruh atau pengetahuan itu seumpama kita ngawur-berspekulasi memilih jawaban atas sebuah pertanyaan pilihan ganda, tidak punya nilai apa-apa bahkan jika jawaban yang kita pilih itu ternyata benar..., kita tetap ada di bibir kekeliruan terdalam, tidak akan terbimbing di jalan yang lurus, mudah tergelincir hanya dengan sedikit "tantangan" baru.


Iman dengan segala janji indahnya hanya "pintu", "iklan" menuju pembelajaran akan kawruh-pengetahuan, menuhankannya-menjadikannya tujuan akhir adalah tragedi besar..., kita harus membuktikannya-merubahnya-meningkatkannya menjadi kawruh-pengetahuan kalau kita masih ingin menghormati-memanfaatkan anugrah terbesar Tuhan yaitu akal dan hati kita...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar