Kamis, 22 Maret 2018

Dilema Kultus



Ujung akhir dari kultus (penyembahan-pemujaan-pensucian) adalah menyatu atau tercopy-pastenya sebagian atau seluruh spirit, jiwa, energi, ide, pikiran, angan-angan, kesadaran hingga bahkan karomah atau mukjizat dari orang yang kita kultuskan ke dalam diri kita, baik yang kita kultuskan itu masih hidup atau sudah mati. Orang Jawa mengatakan, pemanunggalan atau penitisan. Konsekwensinya, jika yang kita kultuskan adalah orang baik, pintar, bijaksana atau tercerahkan, maka menjadi baik, pintar, bijaksana dan tercerahkanlah juga kita, sebaliknya, jika yang kita kultuskan adalah orang jahat, bodoh, egois dan jahil, akan menjadi jahat, bodoh, egois dan jahil pulalah kita akhirnya.


Kultus adalah peluruhan kedirian kita untuk digantikan dengan diri dari orang yang kita kultuskan. Ini adalah pengorbanan tiada tara, kita akan kehilangan hampir segalanya dari diri kita, eksistensi kita, kita akan menjadi "orang lain". Karenanya, kultus mutlak harus didasari kawruh atau pengetahuan atas sosok yang akan kita kultuskan, pun sosok yang dikultuskan, harus betul-betul orang yang baik, bijaksana, pintar, makrifat, berkawruh, berpengetahuan atau tercerahkan. Demi keselamatan, demi diri kita yang berharga, daripada membabi-buta menghabiskan waktu dan energi untuk mengkultuskan orang lain, lebih baik menggunakan waktu dan energi kita itu untuk mencari tahu siapa sejatinya orang yang kita kultuskan itu. Sebab tanpa itu, kita hanya sedang berspekulasi-mempertaruhkan seluruh hidup kita hanya atas dasar harapan, angan-angan, prasangka atau tahayyul, ego atau hawa nafsu kita. Kita sedang membawa hidup kita dalam resiko besar, kita sedang menyia-nyiakan anugrah kedirian kita..., kita akan mudah terjerumus menjadi zombie atau robot yang tidak punya jiwa sendiri, yang hanya akan menjadi budak bagi terwujudnya ide dan ego orang lain. Tidak perlu khawatir, tanpa mengkultuskan orang lainpun kita sebenarnya memiliki semua sumber daya untuk menjadi apa-apa yang kita inginkan, ingin keselamatan, keberkahan, bimbingan, kebenaran, karomah?, kita memiliki semua itu, tinggal mau-tidaknya saja kita menggali-membangunkannya.


Idealnya, peran dari orang yang kita kultuskan hanyalah sebatas sebagai wasilah, perantara, penyelaras spirit-energi sehingga akhirnya kita mampu terhubung dengan jati diri kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, bukan menjadikan kita dia. Dia menjadikan kita orang lain hanya untuk sementara, untuk akhirnya diri kita sendirilah yang tetap eksis-berkuasa..., dia menjadikan kita murid, namun akhirnya membawa kita menjadi guru yang lebih hebat..., dia membuat kita bukan hanya sekedar mengcopy-paste apa yang sudah ada dari dia tapi juga membuat kita mampu mengembangkannya lebih hebat, dia bukan hanya memberi kita ilmu tapi juga menunjukkan akar atau sumber ilmu itu..., dia membuat kita tidak hanya fokus pada pengalaman spiritualnya tapi juga membuat kita mampu menciptakan pengalaman spiritual kita sendiri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar