Agama itu seperti halnya bentuk-bentuk, ekspresi budaya lainnya, lahir dari konteks-dari tempat, dari waktu, dari situasi dan kondisi..., harusnya itulah justru yang paling ramah-terbuka untuk dikritisi, dirubah, diperbarui, ditambah bahkan diganti..., bukan malah sebaliknya, paling disakralkan, "dikunci", "dibekukan", dituhankan.
Karenanya, sudah semestinya, merupakan panggilan atau kehendak alam, kalau setiap tempat, setiap waktu, setiap masyarakat dan bangsa, setiap situasi dan kondisi, memunculkan agamanya sendiri-sendiri, generalisasi-universalitas dalam agama itu tidak mungkin karena akar, dasar atau alasan kemunculan dari agama itu sendiri tidak mungkin sama. Coba anda instikharah mohon petunjuk profesi apa yang terbaik bagi anda sekarang, kemudian lakukan itu lagi di tempat yang berbeda jauh baik dari sisi geografi maupun budayanya..., hampir pasti petunjuk yang akan anda dapatkan, akan berbeda jauh, akan mengikuti "konteks" anda, itulah mekanisme dasar terbentuknya suatu ajaran agama. Tidak mungkin anda mendapat petunjuk menjadi petani padi sawah jika anda tinggal di gurun pasir.
Kalau kita merasa janggal ada orang memakai jubah wol di pantai tropis yang panas, harusnya kita juga merasa janggal kalau ada agama yang lahir dari budaya masyarakat yang keras, egois, maskulin, seksis, berusaha diterapkan di tempat yang memiliki budaya sebaliknya..., karena itu pasti akan memicu benturan dan komplikasi serius, tidak sinkron, ibarat obat, tidak sesuai indikasi, kalaupun hendak diterapkan, harus "dipribumikan", dilakukan modifikiasi-pembaruan keras agar tetap mampu mendatangkan kemaslahatan sebagaimana di tempat asalnya.
Menerapkan-mensakralkan agama di luar tempatnya lahir itu ibarat menerapkan-mensakralkan Pranata Mangsa di luar Jawa. Jangankan dibawa ke negri lain, dibawa ke Sumatra atau Kalimantan saja, Pranata Mangsa itu sudah tidak berguna, sudah kehilangan ketepatannya dalam menganalisa cuaca...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar