Selasa, 27 Maret 2018

Bahaya Dibalik Iman



Dulu, dalam keadaan sakit parah, antara sadar dan tidak, antara hidup dan mati, mungkin dalam keadaan koma, saya "mimpi" didatangi orang berpakaian serba putih, orang suci atau Wali, hidungnya mancung, tatap matanya tajam penuh wibawa. Tanpa mengucap sepatah katapun, hanya tersenyum ramah, orang itu kemudian mengusap tulang punggung saya dari atas hingga ke bawah. Hawa hangat tiba-tiba mengalir, tubuh saya bergetar hebat, saya kemudian terbangun, ajaibnya, saya yang tadinya sudah hampir tidak bisa bernafas, tiba-tiba merasa lega, sakit saya kemudian berangsur sembuh.


Saya yakin, banyak orang pernah mengalami pengalaman spiritual serupa pengalaman spiritual yang dialami saya itu di saat-saat kritis dalam hidupnya..., bisa karena masalah kesehatan, keluarga, ekonomi atau bahkan percintaan. Dan yang menolong atau mendatangipun bukan hanya sosok-ikon dari satu agama tertentu, bukan hanya seorang Wali sebagaimana yang mendatangi saya, bisa saja yang menolong-mendatangi itu Yesus, Maria, seorang Santo, Kwan Im, Buddha, Wisnu, leluhur atau yang lainnya, sesuai dengan budaya atau iman-agama masing-masing. Dan saya yakin pula, setelah mengalami pengalaman spiritual itu, iman mereka jadi bertambah.


Pertanyaannya, apakah pengalaman spiritual itu membuktikan kalau iman saya atau siapapun yang pernah mengalaminya itu benar?. Saya pribadi sekarang merasa tidak yakin apalagi setelah mengalami pengalaman spiritual demi pengalaman spiritual yang ternyata sering tidak konsisten satu dengan yang lainnya, sering hanya sesuai konteks atau keperluan mendesak diri pribadi saya saja. Saya malah mengambil kesimpulan, yang mendatangi saya itu tak lebih dari "pamomong" saya, diri sejati saya, naluri paling dasar-fitrah saya, yang dipanggil oleh kekuatan iman saya, yang muncul dalam lambang-lambang sesuai ego-obsesi, budaya dan agama saya. 


Iman ibarat pedang bermata dua, di satu sisi, dia akan mendatangkan kekuatan luar biasa, tapi di sisi lain, dia bisa menjerumuskan kita pada kesesatan terdalam. Seandainya saya dulu tidak beriman (kepada karomah para Wali), mungkin saya sudah mati, tidak akan ada yang bisa menolong saya. Tapi setelah "pertolongan" dari iman itu datang, saya justru semakin sulit untuk "sadar", saya semakin "mabuk" agama, salah satu tandanya, saya jadi membenci orang yang suka merendahkan para Wali (orang Muhammadiyah dan Salafi), saya menghakimi mereka sesat. Untung saja, "mabuk" saya dulu terhitung tidak terlalu resek seperti halnya mabuknya orang beriman jaman NOW ^^


Iman di mata ego kita itu serupa harta, tahta, wanita atau surga..., begitu indah, begitu menjanjikan..., sulit bagi siapapun untuk bisa mengabaikan pesonanya. Sayangnya, seperti halnya harta, tahta, wanita atau surga, iman juga sering menjerumuskan, melumpuhkan kewarasan. Wajar, iman tak punya korelasi apapun dengan kebenaran, bahkan justru sebaliknya, dialah yang akan melumpuhkan semua sumber daya kita memahami kebenaran. Konsekwen saja, kalau obsesi anda adalah kebenaran, jangan serakah, bunuhlah obsesi anda akan iman..., kebenaran bukan untuk diimani, tapi untuk dimengerti...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar