Alam semesta kadang menghendaki kita untuk lembut seperti Yesus, keras seperti Muhammad, zuhud seperti Buddha Gautama, hedonik seperti Fir'aun..., kadang menghendaki demokrasi, tapi kadang juga menghendaki monarki, kadang menghendaki sosialisme tapi kadang juga menghendaki kapitalisme.
Karenanya, bagi kita, pilihan kehendak apapun yang akan kita imani-terapkan boleh asal didasari kawruh-pengetahuan bukan pilihan yang hanya didasari taklid atau prasangka. Seandainya Yesus keras, mungkin dia akan langsung dihabisi penguasa Romawi atau bahkan sesama bangsanya sendiri yang merasa terancam eksistensinya, kita tidak akan mengenal kekristenan..., pun jika Muhammad lembut, dia tidak akan mungkin mampu menguasai masyarakat Arab yang agresif, keras dan egois. Seandainya Sukarno lembut, mungkin Indonesia akan terlambat merdeka..., pun jika Dalai Lama keras, bangsa Tibet mungkin justru akan bernasib lebih buruk atau bahkan musnah dihabisi China.
Tugas tersuci intelektualitas-relijiusitas-spiritualitas kita bukanlah ekstrim memilih salah satunya melainkan memahami apa yang sedang menjadi kehendak alam, di sini, saat ini dan dalam situasi-kondisi ini. Sebab hanya dengan itu, puncak keselarasan-maslahat tercapai. Ekstrim atau fanatik memilih salah satunya itu ibarat kita ekstrim percaya kurma atau nganu onta lebih ampuh mencegah dan mengatasi segala penyakit daripada vaksin atau obat modern, kita gagal membaca konteks, gagal "mengalir", kita telah jumud, kita sedang membangkang atau melawan kehendak alam, akan sia-sia bagaimanapun banyak energi yang kita keluarkan, bagaimanapun kuat iman kita. Sayangnya, itulah yang sedang terjadi pada banyak orang relijius sekarang..., mereka ngotot menggunakan cara keras padahal alam semesta sedang menghendaki kelembutan, mereka mengira dengan itu akan berarti kesuksesan seperti halnya pendahulu mereka, padahal mereka hanya sedang menjerumuskan bahkan menghancurkan diri mereka sendiri.
Orang Jawa mengatakan "yen durung entuk wangsit, arepa dirangsang tuna, digayuh luput" (kalau belum mendapat wahyu/petunjuk, diserang/dipaksakan rugi, diinginkan salah). Tepat sekali petuah itu, sasmita atau petunjuk dari sains-akal-intelektualitas, dari kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita-jati diri kita-dari alam semesta, jelas adalah wakil dari kehendak Tuhan..., berusaha memahami dan mengikutinya adalah "laku-tarikat", ibadah bahkan jihad yang sebenarnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar