Sabtu, 31 Maret 2018

Agama Itu (Harus) Menghidupkan, Bukan Mematikan!



Manusia adalah bangkai najis yang berperilaku congkak..., hidup adalah kematian dan kematian adalah kehidupan..., syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian. Saya dulu benar-benar tidak mengerti maksud dari kata-kata Sheikh Siti Jenar itu, saya setuju dan mengikuti saja bantahan sekaligus cacian dari orang-orang "berilmu" terhadap kata-katanya itu.


Tapi sekarang saya mengerti itu. Betul, sebelum manusia bangun dari "tidur", terjaga dari "mimpi",  sadar dari "mabuk", manusia sejatinya masih berstatus sama dengan "batang", bangkai atau hewan, hidup hanya (bisa) mengikuti naluri primitifnya, seringkali sangat sombong, merasa dirinya kuat, pintar, suci, benar atau baik padahal realitasnya sebaliknya, lemah, bodoh, kotor, salah dan buruk. Baru setelah manusia "mati" ego atau hawa nafsunya, manusia benar-benar hidup, sadar, makrifat, memahami apa yang benar atau salah, baik atau buruk, fakta atau dongeng, Tuhan atau setan. Pun demikian dengan syariat, di mata "batang" atau orang tanpa kesadaran itu seumpama syariat di mata burung beo, bagaimanapun fasihnya beo berdoa atau bersahadat, tidak akan punya nilai, konsekwensi dan kekuatan apa-apa karena beo sendiri tidak tahu dasar, maksud dan lingkup dari apa yang diucapkannya itu. Paling tinggi beo hanya akan tahu kalau mengucap itu akan membuatnya mendapat makanan, terhindar dari hukuman atau akan lebih diperhatikan pemiliknya. Beo tidak akan naik derajat hakikinya hanya karena bisa berdoa atau bersahadat.


Jantung tujuan (dogma dan ritual) agama (yang benar) adalah tercapainya kesadaran, makrifat, pencerahan pemeluknya..., tercapainya "kehidupan" yang sebenarnya melalui pematian ego atau hawa nafsu kita-manusia..., tanpa itu, kita-manusia tidak sedang beragama, tidak sedang menuju Tuhan, pengetahuan, kebenaran, jalan lurus atau keselamatan, kita hanya sedang bekhayal-bermimpi-berdelusi-beronani dengan itu semua.


Sayang sekali, sekarang terbalik, justru agamalah yang lebih sering menghalangi-melumpuhkan kesadaran, makrifat atau pencerahan pemeluknya, membuat pemeluknya kembali menjadi "bangkai najis yang berperilaku congkak", kembali pada "tidur", pada "mimpi", pada "mabuk", pada "kematiannya"..., adakah ironi sekaligus tragedi yang lebih besar dari ini...?

Rabu, 28 Maret 2018

Misteri Meraga Sukma



Pernah meraga sukma atau bahasa kerennya, melakukan perjalanan astral/astral projection, out of body experience...?. Saat kita meraga sukma, kita bisa terbang kemanapun kita mau, ke Mekkah, Palestina, Hong Kong, Eropa, kutub utara atau bahkan terbang ke langit ke tujuh, bertemu malaikat, Tuhan atau dewa-dewa..., bisa juga terbang ke rumah yayang kita yang jauh, melihat apa yang sedang dilakukannya.


Bagi mereka yang tidak kritis, mungkin akan mengira, meraga sukma adalah pengalaman mistik, ghaib atau ajaib, percaya 100 persen kalau yang dilihat atau didapat mereka saat meraga sukma itu nyata atau benar. Lihat tuch, banyak orang (terutama di Timur Tengah) setelah meraga sukma pergi ke langit, "merasa" bertemu malaikat atau Tuhan, memberi wahyu, petunjuk atau perintah hingga menunjuknya menjadi Nabi atau orang suci..., mereka lantas berfikir pengalaman-yang mereka lihat itu adalah kebenaran, sesuatu yang nyata. Mereka kemudian dengan pedenya mengklaim menjadi Nabi atau orang suci betulan, lalu berusaha menyebarkan perintah atau ajarannya kemana-mana..., mereka jelas tertipu obsesi, harapan atau angan-angannya sendiri yang menjadi tampak dan terasa nyata saat meraga sukma.


Kalau kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, pola-pola dari meraga sukma akan terlihat jelas, meraga sukma sebenarnya tidak lebih dari halusinasi yang (kadang) ditambah sedikit persepsi telepati dan pesan dari kesadaran lebih tinggi kita. Unsur kebenaran dari yang kita lihat dan dapat saat meraga sukma itu sering kecil sekali, sebagian besar tidak lebih dari mimpi dan angan-angan belaka. Kita bisa saja merasa berada di tempat manapun di dunia atau bahkan di langit ke tujuh, tapi untuk bisa menyimpulkan kalau yang kita lihat itu nyata, benar atau sama dengan aslinya, sulit. Jangankan melihat langit ke tujuh atau kota lain, wong melihat kampung kita sendiri saja sering salah kok, pernah saya melihat ada tumpukan emas di pojok kampung saat meraga sukma, tapi setelah tempat itu kudatangi, ternyata gak ada apa-apa, pernah saya melihat wong KAE tidur gak pake NGANU saat meraga sukma, tapi setelah besoknya kutanya, dia malah ngaku gak tidur semalam, jauh to...? ^^


Mungkin hanya saat kita "suci-kosong", tidak punya tendensi egoistik apapun (agama, budaya, prasangka, harapan, khayalan, keinginan dll) saat meraga sukma, kadar kenyataan atau kebenaran yang kita lihat dan dapat darinya akan meningkat..., atau saat kita sangat mencintai atau merindui seseorang, apapun penglihatan kita atasnya, akan berpeluang benar...

Wahyu, Benarkah dari Tuhan?



Wahyu, dari manakah berasal?. Orang-orang relijius mengklaim wahyu, hidayah, mukjizat, berkat, rahmat, pengetahuan, keselamatan dan lain-lain itu datangnya dari Tuhan atau obyek mistis lain di luar diri kita, benarkah?. 


Tepat sekali apa yang dikatakan Sheikh Siti Jenar atau Mansur Al-Hallaj, (kehendak) Tuhan ada di dalam diri tiap manusia, tujuan kita beragama adalah untuk berusaha "manunggal" atau menyatu dengannya, dengan diri kita sendiri, jati diri kita. Wahyu, hidayah, mukjizat, berkat, rahmat, pengetahuan keselamatan dan lain-lain itu tidak datang dari mana-mana dan dari siapa-siapa, dia datang dari dalam diri kita sendiri, rendahnya dari ego kita, tingginya dari lapisan kesadaran-naluri-kekuatan-pengetahuan lebih tinggi kita. Budaya, agama, prasangka, harapan, mitos, obsesi-keinginan tak terkendali memicu datangnya halusinasi-membuatnya menjadi terasa-terlihat datang dari luar, dari malaikat, dari dewa-dewa, dari Tuhan, leluhur, Nyi Roro Kidul dan sebagainya. Mudah sekali untuk membuktikannya, hanya dengan sedikit "mengamati" dan "laku-tarikat" atau mengheningkan diri, kita akan mengerti-menyimpulkan itu. 


Karena anda orang Arab atau Yahudilah, maka anda merasa berjumpa-mendapat wahyu dari malaikat Jibril berikut merasa menjadi Nabi setelahnya..., karena anda orang Indialah, anda merasa mendapat wahyu dari Wisnu atau Syiwa..., karena anda orang Jawalah anda merasa mendapat wahyu dari Dewi Sri atau Nyi Roro Kidul. Coba seandainya anda mengabaikan semua yang telah tertanam di dalam diri anda (ego, budaya,  mitos, agama, prasangka, harapan, obsesi-keinginan), sosok-sosok di atas pasti tidak akan pernah ada..., anda akan memiliki persepsi-definisi sendiri tentang wahyu..., anda akan lebih netral dan adil-proporsional dalam menggambarkan dan memposisikannya. Baik yang Arab, Yahudi, India atau Jawa, akan memiliki satu definisi-persepsi-gambaran yang sama atasnya-atas satu hal atau obyek yang sama..., akan mengerti apa maksud sebenarnya dari kata sakral "ketuhanan yang maha esa", "bhinneka tunggal ika" atau "sedaya agami sami"...

Selasa, 27 Maret 2018

Dari Ego atau Tuhan?



Dulu, sehabis solat malam (hajat) dan khusuk berzikir, dalam keadaan duduk, antara sadar dan tidak, saya "mimpi" didatangi saudara saya yang sudah meninggal dunia, dia menyuruh saya untuk mempelajari/memeluk agama Katolik.


Saya Muslim taat, saudara saya yang sudah meninggal itu juga demikian, kok petunjuk-perintahnya seperti itu...?, saya bingung dan galau, hingga akhirnya, saya mengambil kesimpulan, itu tak lebih dari jin atau setan yang menyamar menjadi saudara saya, yang ingin menjerumuskan-memurtadkan saya..., petunjuk tidak saya jalankan dan hidup saya tetap "kasurang-surang".


Tapi sekarang saya mengerti alasan sebenarnya dibalik "hidayah" atau "wahyu" yang saya dapat itu. Itu bukanlah jin atau setan, bukan saudara saya yang sudah meninggal, bukan pula dari (rencana-jamahan) Tuhan, itu tak lebih dari alam bawah sadar saya yang hendak "membimbing" saya memenuhi ego saya. Mengapa dia "menyamar" menjadi saudara saya (yang sudah meninggal)...?, jelas karena dialah panutan saya, yang selalu saya hormati, cintai dan percaya kata-katanya. Mengapa memerintahkan saya seperti itu...?, ego saya waktu itu ada di karier dan wanita, teman-teman saya yang baik, sukses sekaligus hormat pada saya, banyak yang beragama Katolik, kalau saya menjadi Katolik, mungkin saya akan bernasib sama dengan Prabowo atau Felix Siauw, mendadak jadi artis terkenal, karier moncer, kaya raya atau dirubung wanito, apa yang menjadi ego terbesar saya akan mudah terwujud.


Dimana ego kita diletakkan, di situlah energi kita mengarah, membimbing, mewujud, bahkan menipu dan menjerumuskan. Jangan geer, mengira kita telah mendapat hidayah atau jamahan Tuhan karena kita telah mendapat petunjuk atau ilham untuk berpindah agama atau cara beragama, mungkin kita hanya sedang mendapat hidayah, "jamahan" dari ego kita saja..., dan ego, tak mengenal yang baik dan yang benar, dia hanya mengenal yang paling menguntungkan atau menyenangkan.


Tidak akan ada kebenaran, tidak akan ada jalan lurus, tidak akan ada kesadaran, kawruh, pencerahan atau makrifat, tidak akan ada Tuhan sebelum kita mampu menguasai ego kita..., kita akan tetap terus hidup dalam bayang-bayang ilusi dan ketidak-pastian, akan tetap menjadi "bangkai najis yang berperilaku congkak", tetap tertidur dan "mati", tetap akan terus ditipu, dijerumuskan dan diperbudak ego kita sendiri...

Bahaya Dibalik Iman



Dulu, dalam keadaan sakit parah, antara sadar dan tidak, antara hidup dan mati, mungkin dalam keadaan koma, saya "mimpi" didatangi orang berpakaian serba putih, orang suci atau Wali, hidungnya mancung, tatap matanya tajam penuh wibawa. Tanpa mengucap sepatah katapun, hanya tersenyum ramah, orang itu kemudian mengusap tulang punggung saya dari atas hingga ke bawah. Hawa hangat tiba-tiba mengalir, tubuh saya bergetar hebat, saya kemudian terbangun, ajaibnya, saya yang tadinya sudah hampir tidak bisa bernafas, tiba-tiba merasa lega, sakit saya kemudian berangsur sembuh.


Saya yakin, banyak orang pernah mengalami pengalaman spiritual serupa pengalaman spiritual yang dialami saya itu di saat-saat kritis dalam hidupnya..., bisa karena masalah kesehatan, keluarga, ekonomi atau bahkan percintaan. Dan yang menolong atau mendatangipun bukan hanya sosok-ikon dari satu agama tertentu, bukan hanya seorang Wali sebagaimana yang mendatangi saya, bisa saja yang menolong-mendatangi itu Yesus, Maria, seorang Santo, Kwan Im, Buddha, Wisnu, leluhur atau yang lainnya, sesuai dengan budaya atau iman-agama masing-masing. Dan saya yakin pula, setelah mengalami pengalaman spiritual itu, iman mereka jadi bertambah.


Pertanyaannya, apakah pengalaman spiritual itu membuktikan kalau iman saya atau siapapun yang pernah mengalaminya itu benar?. Saya pribadi sekarang merasa tidak yakin apalagi setelah mengalami pengalaman spiritual demi pengalaman spiritual yang ternyata sering tidak konsisten satu dengan yang lainnya, sering hanya sesuai konteks atau keperluan mendesak diri pribadi saya saja. Saya malah mengambil kesimpulan, yang mendatangi saya itu tak lebih dari "pamomong" saya, diri sejati saya, naluri paling dasar-fitrah saya, yang dipanggil oleh kekuatan iman saya, yang muncul dalam lambang-lambang sesuai ego-obsesi, budaya dan agama saya. 


Iman ibarat pedang bermata dua, di satu sisi, dia akan mendatangkan kekuatan luar biasa, tapi di sisi lain, dia bisa menjerumuskan kita pada kesesatan terdalam. Seandainya saya dulu tidak beriman (kepada karomah para Wali), mungkin saya sudah mati, tidak akan ada yang bisa menolong saya. Tapi setelah "pertolongan" dari iman itu datang, saya justru semakin sulit untuk "sadar", saya semakin "mabuk" agama, salah satu tandanya, saya jadi membenci orang yang suka merendahkan para Wali (orang Muhammadiyah dan Salafi), saya menghakimi mereka sesat. Untung saja, "mabuk" saya dulu terhitung tidak terlalu resek seperti halnya mabuknya orang beriman jaman NOW ^^


Iman di mata ego kita itu serupa harta, tahta, wanita atau surga..., begitu indah, begitu menjanjikan..., sulit bagi siapapun untuk bisa mengabaikan pesonanya. Sayangnya, seperti halnya harta, tahta, wanita atau surga, iman juga sering menjerumuskan, melumpuhkan kewarasan. Wajar, iman tak punya korelasi apapun dengan kebenaran, bahkan justru sebaliknya, dialah yang akan melumpuhkan semua sumber daya kita memahami kebenaran. Konsekwen saja, kalau obsesi anda adalah kebenaran, jangan serakah, bunuhlah obsesi anda akan iman..., kebenaran bukan untuk diimani, tapi untuk dimengerti...

Senin, 26 Maret 2018

Fitrah Kita, Kehendak Tuhan Kita



Fitrah, instruksi dasar, panggilan jiwa, super-ego kita adalah rahmatan lil'alamin. Seperti halnya seorang ibu atau ayah yang selalu merahmati anak-anaknya tanpa syarat..., kita juga memiliki "lapisan" bakat merahmati semua manusia-alam semesta tanpa syarat. Fitrah, instruksi dasar, panggilan jiwa, super-ego kita itu tidak bisa diingkari, dimanipulasi atau diganti karena itu akan berarti melemahnya eksistensi kemanusiaan kita, dia mewakili kehendak Tuhan. Dia seumpama BIOS dalam sebuah komputer, tidak tampak, ada di lapisan terdalam sebuah komputer, tapi dialah yang menentukan berjalan baik-tidaknya sebuah komputer.


Sekarang ironis, banyak orang relijius-dengan mengatas-namakan Tuhan, justru sering melakukan perbuatan yang hakikatnya bertentangan dengan fitrah, instruksi dasar, panggilan jiwa atau super-egonya itu. Mereka dengan entengnya menganggap orang lain sebagai musuh yang harus ditekan, ditindas bahkan dimusnahkan atau dibunuh. Mereka berharap dengan itu, diri atau umatnya akan menjadi kuat, berkuasa dan mulia, diberkati dan dirahmati Tuhan. Harapan yang konyol, sia-sia, sebab mereka sejatinya hanya sedang melawan, mengutuk, melemahkan dan menghinakan dirinya sendiri, melawan kehendak hakiki Tuhan..., sedang menuruti instruksi-kehendak low-ego atau setan yang hanya tahu apa yang secara "dangkal" menguntungkan.


Ask yourself, tanyalah, kembalilah ke diri sejati kita, ke kesadaran-kawruh-makrifat-pengetahuan lebih tinggi kita, ke fitrah kita, ke "BIOS" kita, ke "Gusti" yang bersemayam di dalam diri kita..., sebab dialah sumber kebaikan, kebijaksanaan dan kebenaran yang sebenarnya. Tidak mungkin agama (yang betul benar) bertentangan dengannya, justru sebaliknya, dialah pengukur sempurna apakah sebuah agama atau tafsir-pemahaman agama betul benar datang dari Tuhan atau hanya datang dari setan, ego pendiri atau penafsir-pemeluknya semata...

Sabtu, 24 Maret 2018

Hidayah atau Musibah?



Banyak orang relijius sekarang mengira dirinya telah berhijrah, mendapat hidayah atau telah ditunjukkan ke jalan yang lurus padahal yang sering terjadi justru sebaliknya, sedang berbalik ke belakang, berdelusi tentang hidayah, terjerumus ke dalam jalan sesat. Tandanya kentara sekali, egonya makin meninggi, empatinya makin melemah, gagal menjadi rahmatan lil'alamin. Mereka dengan pede bahkan sombongnya sering menghakimi orang lain summun-bukmun-umyun, tuli-bisu-buta mata hatinya padahal dirinyalah sendiri yang sebenarnya seperti itu.


Kenyataan yang menunjukkan kalau obsesi atau kesarakahan bahkan dalam beragamapun akan berakibat buruk-menyesatkan, tetap akan membuat indra kita tekacaukan, nalar dan hati kita melumpuh, mengeruh, tertutup atau bahkan mati..., membuat kita kesulitan memahami hakikat kebenaran, kesulitan memahami bahkan hanya sekedar istilah-istilah dasar dalam agama. Mereka obsesif-serakah dalam beragama sehingga membuat ego-hawa nafsu mereka dengan segera merampas-mengambil alih definisi apapun tentangnya..., membuat mereka akhirnya tersesatkan justru oleh sesuatu yang harusnya meluruskan..., membuat mereka terus terperangkap dalam mimpi, ilusi, delusi bahkan halusinasi tentang kebenaran, gagal sadar, gagal "bangun", gagal "hidup", gagal makrifat atau tercerahkan.


Hijrah adalah beralihnya kita ke kesadaran, kawruh-makrifat-pengetahuan dan keadilan yang lebih tinggi, bukan malah sebaliknya, beralih ke kemabukan, kebodohan dan kezaliman yang lebih dalam. Hidayah atau petunjuk akan jalan lurus itu datang dari nalar dan hati kita, jati diri kita, dari kesadaran lebih tinggi kita, dari "Gusti" yang bersemayam dalam diri kita..., dia hanya bisa didapat dari "laku-tarikat" pengendalian ego-hawa nafsu, dari pengheningan-penyucian-pengosongan diri, dari pelepasan kemelekatan terhadap dunia, budaya bahkan agama..., dia datang saat kita mampu memandang dunia secara netral-apa adanya, tanpa tendensi apapun sebagaimana ilmuwan memandang dunia..., bukan datang dari dogma, pikiran, mitos, tahayyul, obsesi, prasangka, indoktrinasi apalagi dari ego-hawa nafsu kita. Kalau ada orang setelah berhijrah malah jadi takut atau membenci anjing, salib, patung, orang yang tak seagama dsb, berarti hijrahnya bukan ke depan melainkan ke belakang. Kalau ada orang mengklaim telah mendapat hidayah atau telah ada di jalan yang lurus tapi dia fanatik dan egois itu tragis, klaimnya itu jelas terbantah perilakunya sendiri.


Istilah hijrah, hidayah dan jalan lurus mungkin saja datang dari agama tapi secara esensi sebenarnya tidak ada kaitannya dengan agama bahkan agamalah yang sering justru menjadi penghalang terbesarnya. Dia semata terkait dengan apa yang baik atau maslahat-kecilnya bagi diri pribadi, keluarga atau etnis kita, besarnya bagi bangsa atau umat manusia secara keseluruhan. Bisa jadi itu berujud petunjuk untuk memeluk agama, aliran agama atau cara beragama tertentu, tapi lebih sering tidak...

Kamis, 22 Maret 2018

Dilema Kultus



Ujung akhir dari kultus (penyembahan-pemujaan-pensucian) adalah menyatu atau tercopy-pastenya sebagian atau seluruh spirit, jiwa, energi, ide, pikiran, angan-angan, kesadaran hingga bahkan karomah atau mukjizat dari orang yang kita kultuskan ke dalam diri kita, baik yang kita kultuskan itu masih hidup atau sudah mati. Orang Jawa mengatakan, pemanunggalan atau penitisan. Konsekwensinya, jika yang kita kultuskan adalah orang baik, pintar, bijaksana atau tercerahkan, maka menjadi baik, pintar, bijaksana dan tercerahkanlah juga kita, sebaliknya, jika yang kita kultuskan adalah orang jahat, bodoh, egois dan jahil, akan menjadi jahat, bodoh, egois dan jahil pulalah kita akhirnya.


Kultus adalah peluruhan kedirian kita untuk digantikan dengan diri dari orang yang kita kultuskan. Ini adalah pengorbanan tiada tara, kita akan kehilangan hampir segalanya dari diri kita, eksistensi kita, kita akan menjadi "orang lain". Karenanya, kultus mutlak harus didasari kawruh atau pengetahuan atas sosok yang akan kita kultuskan, pun sosok yang dikultuskan, harus betul-betul orang yang baik, bijaksana, pintar, makrifat, berkawruh, berpengetahuan atau tercerahkan. Demi keselamatan, demi diri kita yang berharga, daripada membabi-buta menghabiskan waktu dan energi untuk mengkultuskan orang lain, lebih baik menggunakan waktu dan energi kita itu untuk mencari tahu siapa sejatinya orang yang kita kultuskan itu. Sebab tanpa itu, kita hanya sedang berspekulasi-mempertaruhkan seluruh hidup kita hanya atas dasar harapan, angan-angan, prasangka atau tahayyul, ego atau hawa nafsu kita. Kita sedang membawa hidup kita dalam resiko besar, kita sedang menyia-nyiakan anugrah kedirian kita..., kita akan mudah terjerumus menjadi zombie atau robot yang tidak punya jiwa sendiri, yang hanya akan menjadi budak bagi terwujudnya ide dan ego orang lain. Tidak perlu khawatir, tanpa mengkultuskan orang lainpun kita sebenarnya memiliki semua sumber daya untuk menjadi apa-apa yang kita inginkan, ingin keselamatan, keberkahan, bimbingan, kebenaran, karomah?, kita memiliki semua itu, tinggal mau-tidaknya saja kita menggali-membangunkannya.


Idealnya, peran dari orang yang kita kultuskan hanyalah sebatas sebagai wasilah, perantara, penyelaras spirit-energi sehingga akhirnya kita mampu terhubung dengan jati diri kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, bukan menjadikan kita dia. Dia menjadikan kita orang lain hanya untuk sementara, untuk akhirnya diri kita sendirilah yang tetap eksis-berkuasa..., dia menjadikan kita murid, namun akhirnya membawa kita menjadi guru yang lebih hebat..., dia membuat kita bukan hanya sekedar mengcopy-paste apa yang sudah ada dari dia tapi juga membuat kita mampu mengembangkannya lebih hebat, dia bukan hanya memberi kita ilmu tapi juga menunjukkan akar atau sumber ilmu itu..., dia membuat kita tidak hanya fokus pada pengalaman spiritualnya tapi juga membuat kita mampu menciptakan pengalaman spiritual kita sendiri...

Selasa, 20 Maret 2018

Menjelajah Waktu, Mungkinkah?



Apakah menjelajah waktu (pergi ke masa lalu atau masa depan) sebagaimana digambarkan dalam banyak film itu mungkin...?. Menurutku siech tidak mungkin..., tapi kalau "memutar" kembali adegan atau kejadian di waktu lalu atau melihat/memprediksi/merubah kejadian di masa depan, itu mungkin sekali.


Coba anda bersemedi atau cukup tidur saja di candi Borobudur, kalau khusuk dan beruntung, anda mungkin akan melihat kembali fragmen adegan saat candi itu dibuat terputar di depan anda. Kenyataan yang mencerminkan kalau alam semesta ini merekam semua kejadian dengan sangat detail dan bisa diputar kembali (oleh orang yang memiliki ketrampilan spiritual tertentu)..., serta menumbuhkan konsekwensi-konsekwensi dari kejadian-kejadian itu. Mungkin di masa depan, kemajuan teknologi akan menciptakan mesin yang mampu memutar kembali kejadian pada masa lalu hanya dengan menscan sebuah benda yang menjadi saksi atau terlibat kejadian itu.


Pun dengan masa depan, kalau anda memiliki seseorang yang sangat anda kasihi atau mampu bersemedi dengan khusuk, diinginkan atau tidak, anda akan sering mendapat "anugrah" berupa penglihatan akan masa depan (dalam bahasa Jawa disebut "weruh sedurunge winarah", tahu sebelum terjadi), kecilnya tentang orang yang anda kasihi itu, besarnya tentang umat, masyarakat, negara bahkan dunia-alam semesta secara keseluruhan. Masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ghaib, dia tetap mengikuti hukum, aturan atau rumus dasar matematika, prediksi-korelasi dan juga hukum tabur tuai, dia memiliki akar atau benih kuat-dominan pada masa lalu dan masa kini.


Kalau bangsa Indonesia gagal mencegah berkembangnya fundamentalisme-terorisme, boleh jadi, saat bersemedi, berwirid atau mengheningkan diri, anda akan melihat masa depan Indonesia terlihat hancur seperti halnya Afghanistan, Irak atau Suriah. Itu bukanlah "kabar" ghaib, bahkan cukup dengan nalar sadar saja bisa dimengerti alasannya. Akar dari kehancuran itu adalah fundamentalisme-terorisme, jika kita gagal membendung itu, sudah pasti gagal juga mencegah kehancuran.


Otak kita adalah komputer hebat, mampu menganalisa dengan sangat teliti dan kredibel berikut menampilkannya dengan "bahasa-visual" yang sangat dramatis termasuk apa yang akan terjadi di masa depan. Untungnya, masa depan (dalam batas tertentu) itu bisa diciptakan, dihilangkan, dirubah atau dimodifikasi yaitu dengan membuat, menghapus atau memodifikasi akarnya di masa kini. Jadi, penglihatan atau ramalan apapun tentang masa depan, itu (kebanyakan) bukanlah takdir atau vonis yang tak bisa dirubah..., dia hanya peringatan untuk kita mempersiapkan atau merubah diri, jangan percaya sepenuhnya, jangan pula mengabaikannya...

Tuhan dan Budaya



Bagaimana karakter dasar Tuhan digambarkan, mencerminkan etos atau karakter dasar-budaya masyarakat hingga bahkan lingkungan-geografi dimana agama itu muncul. Kalau Tuhan digambarkan egois, rasis, seksis, keras, pembenci, pendendam, pemarah, penghukum, seperti itu jugalah sebenarnya karakter dasar masyarakat dimana agama itu muncul. Hukum permintaan dan penawaran juga berlaku dalam dunia agama..., agama yang akan "laku" dan berkembang adalah agama yang mampu menawarkan hal yang paling sesuai dengan obsesi-ego dominan masyarakat.


Agama adalah persepsi-reaksi kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya atas situasi dan kondisi di suatu masyarakat untuk kemudian memunculkanya dalam bentuk ajaran yang dinilai terbaik dan efektif untuk menyikapi, merubah atau menguasai masyarakat itu. Karenanya, bagaimanapun karakter ajarannya, semua agama (dalam batas tertentu) pada dasarnya benar, tidak salah asal hanya berusaha diterapkan pada waktu dan tempat asal-masyarakat-budaya dimana agama itu datang atau pada waktu dan tempat, masyarakat-budaya yang setara-sekarakter dengannya. Baru akan menjadi salah besar saat berusaha menyebarkan ajaran (agama) itu pada tempat, masyarakat yang memiliki etos-karakter dasar, budaya yang berbeda karena pasti akan terjadi benturan, pertentangan, ketidaksinkronan, ketidak-efektifan bahkan ketidakbergunaan.


Kemakmuran-kekayaan adalah obsesi utama orang China, karenanya, "Tuhan" yang kemudian muncul dan paling dipuja, tentu adalah Tuhan yang dirasa paling akan memenuhi obsesi utamanya itu..., maskulinitas, seks dan kekuasaan adalah obsesi utama orang Arab, lihat karakter dasar Tuhannya orang Arab, sangat sesuai dengan obsesi-apa yang diinginkan mereka itu..., menang perang adalah obsesi utama orang Romawi dan Yunani kuno, wajar Dewa Peranglah yang kemudian dominan disembah..., ketenangan, kelepasan atau pencerahan adalah obsesi banyak bangsawan India (jaman dulu), wajar kemudian muncul agama Buddha yang sangat intens menawarkan itu..., kesuburan, ketentraman, kelembutan, keselamatan adalah obsesi orang Jawa (asli), wajar kemudian muncul Dewi Sri, Dewi kesuburan, Dewi yang paling dipuja masyarakat agraris Jawa.


Ingin membuktikan...?, coba anda bermeditasi seperti halnya para pendiri agama bermeditasi..., petunjuk yang datang akan sesuai dengan dimana obsesi-ego anda diletakkan, budaya dan tempat anda tinggal..., kalau anda terobsesi menjadi Nabi dan masyarakat sedang "galau", mungkin anda akan "mimpi" didatangi malaikat dan memberi anda wahyu..., kalau anda mata wadonan atau terobsesi dengan wanita dan tinggal di lingkungan masyarakat yang relijius, anda mungkin akan mendapatkan petunjuk untuk memanjangkan jenggot, memakai sorban dan kemana-mana muni Akhi-Ukhti..., atau kalau anda kafir, anda akan mendapat petunjuk untuk menjadi mualaf..., wajar saja, sebab itulah yang sedang jadi obsesi banyak cewek relijius sekarang..., menjadi seperti itu akan berarti menyesuaikan diri dengan selera pasar..., alam bawah sadar kita memang pintar... ^^

Rabu, 14 Maret 2018

Ironi Iman



Dulu, waktu masih menjadi orang relijius, saya pernah berfikir, syarat beriman atau bertauhid untuk bisa masuk surga, diterima Tuhan ibadah dan amal-kebaikannya itu wajar, masuk akal, tidak ada yang salah.


Sekarang saya sadar, bahkan sarat harus kaya, berkuasa, berijazah sarjana atau beristri lima untuk bisa masuk surga itu jauh lebih masuk akal..., karena itu jelas hanya bisa didapat dari orang yang mau berfikir dan bekerja keras. Berbeda dengan iman-tidak diperlukan apapun untuk beriman, itu bukanlah sebuah prestasi, itu hanya kebetulan, sama kebetulannya dengan kita terlahir dari ras, etnis, jenis kelamin, negara atau agama apa. Kalau itu dijadikan dasar utama masuk-surganya seseorang, jelas itu tidak bisa diterima akal apalagi nurani yang sehat.


Orang yang mudah beriman pada janji surga, akan mudah pula beriman kepada fitnah atau hoax, iklan bombastis, retorika politisi, hasutan provokator, janji dukun pengganda uang, perangkap tukang gendam/hipnotis dan rayuan lelaki buaya..., sebab itu bersumber dari hal yang sama, lemahnya nalar, mental, prana/chi/aura serta kuatnya ego-keserakahan..., keadaan yang membuat orang mudah "diserang", dipengaruhi dan dikuasai orang lain, sulit menjadi diri sendiri. Bagaimana mungkin sesuatu yang dasar hakikatnya kelemahan, keburukan dan kehinaan justru diposisikan sebagai kemuliaan?.


Ironis sebenarnya kalau syarat utama masuk surga adalah iman, jelas, syarat itu akan membuat agama pada akhirnya hanya akan dipeluk-diimani-dimanfaatkan orang-orang yang lemah, bodoh atau egois-oportunis-serakah..., orang yang hanya hendak mengeksploitasi agama untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang-orang kuat, pintar, mampu menguasai egonya, akan semakin menjauh dari agama, akan melihat kejanggalan demi kejanggalan dari ajaran agama. 


Iman saja, tanpa kawruh atau pengetahuan itu seumpama kita ngawur-berspekulasi memilih jawaban atas sebuah pertanyaan pilihan ganda, tidak punya nilai apa-apa bahkan jika jawaban yang kita pilih itu ternyata benar..., kita tetap ada di bibir kekeliruan terdalam, tidak akan terbimbing di jalan yang lurus, mudah tergelincir hanya dengan sedikit "tantangan" baru.


Iman dengan segala janji indahnya hanya "pintu", "iklan" menuju pembelajaran akan kawruh-pengetahuan, menuhankannya-menjadikannya tujuan akhir adalah tragedi besar..., kita harus membuktikannya-merubahnya-meningkatkannya menjadi kawruh-pengetahuan kalau kita masih ingin menghormati-memanfaatkan anugrah terbesar Tuhan yaitu akal dan hati kita...

Selasa, 13 Maret 2018

Agama dan Pranata Mangsa



Agama itu seperti halnya bentuk-bentuk, ekspresi budaya lainnya, lahir dari konteks-dari tempat, dari waktu, dari situasi dan kondisi..., harusnya itulah justru yang paling ramah-terbuka untuk dikritisi, dirubah, diperbarui, ditambah bahkan diganti..., bukan malah sebaliknya, paling disakralkan, "dikunci", "dibekukan", dituhankan.


Karenanya, sudah semestinya, merupakan panggilan atau kehendak alam, kalau setiap tempat, setiap waktu, setiap masyarakat dan bangsa, setiap situasi dan kondisi, memunculkan agamanya sendiri-sendiri, generalisasi-universalitas dalam agama itu tidak mungkin karena akar, dasar atau alasan kemunculan dari agama itu sendiri tidak mungkin sama. Coba anda instikharah mohon petunjuk profesi apa yang terbaik bagi anda sekarang, kemudian lakukan itu lagi di tempat yang berbeda jauh baik dari sisi geografi maupun budayanya..., hampir pasti petunjuk yang akan anda dapatkan, akan berbeda jauh, akan mengikuti "konteks" anda, itulah mekanisme dasar terbentuknya suatu ajaran agama. Tidak mungkin anda mendapat petunjuk menjadi petani padi sawah jika anda tinggal di gurun pasir.


Kalau kita merasa janggal ada orang memakai jubah wol di pantai tropis yang panas, harusnya kita juga merasa janggal kalau ada agama yang lahir dari budaya masyarakat yang keras, egois, maskulin, seksis, berusaha diterapkan di tempat yang memiliki budaya sebaliknya..., karena itu pasti akan memicu benturan dan komplikasi serius, tidak sinkron, ibarat obat, tidak sesuai indikasi, kalaupun hendak diterapkan, harus "dipribumikan", dilakukan modifikiasi-pembaruan keras agar tetap mampu mendatangkan kemaslahatan sebagaimana di tempat asalnya.


Menerapkan-mensakralkan agama di luar tempatnya lahir itu ibarat menerapkan-mensakralkan Pranata Mangsa di luar Jawa. Jangankan dibawa ke negri lain, dibawa ke Sumatra atau Kalimantan saja, Pranata Mangsa itu sudah tidak berguna, sudah kehilangan ketepatannya dalam menganalisa cuaca...

Senin, 12 Maret 2018

Pilih Keras atau Lembut?



Alam semesta kadang menghendaki kita untuk lembut seperti Yesus, keras seperti Muhammad, zuhud seperti Buddha Gautama, hedonik seperti Fir'aun..., kadang menghendaki demokrasi, tapi kadang juga menghendaki monarki, kadang menghendaki sosialisme tapi kadang juga menghendaki kapitalisme.


Karenanya, bagi kita, pilihan kehendak apapun yang akan kita imani-terapkan boleh asal didasari kawruh-pengetahuan bukan pilihan yang hanya didasari taklid atau prasangka. Seandainya Yesus keras, mungkin dia akan langsung dihabisi penguasa Romawi atau bahkan sesama bangsanya sendiri yang merasa terancam eksistensinya, kita tidak akan mengenal kekristenan..., pun jika Muhammad lembut, dia tidak akan mungkin mampu menguasai masyarakat Arab yang agresif, keras dan egois. Seandainya Sukarno lembut, mungkin Indonesia akan terlambat merdeka..., pun jika Dalai Lama keras, bangsa Tibet mungkin justru akan bernasib lebih buruk atau bahkan musnah dihabisi China.


Tugas tersuci intelektualitas-relijiusitas-spiritualitas kita bukanlah ekstrim memilih salah satunya melainkan memahami apa yang sedang menjadi kehendak alam, di sini, saat ini dan dalam situasi-kondisi ini. Sebab hanya dengan itu, puncak keselarasan-maslahat tercapai. Ekstrim atau fanatik memilih salah satunya itu ibarat kita ekstrim percaya kurma atau nganu onta lebih ampuh mencegah dan mengatasi segala penyakit daripada vaksin atau obat modern, kita gagal membaca konteks, gagal "mengalir", kita telah jumud, kita sedang membangkang atau melawan kehendak alam, akan sia-sia bagaimanapun banyak energi yang kita keluarkan, bagaimanapun kuat iman kita. Sayangnya, itulah yang sedang terjadi pada banyak orang relijius sekarang..., mereka ngotot menggunakan cara keras padahal alam semesta sedang menghendaki kelembutan, mereka mengira dengan itu akan berarti kesuksesan seperti halnya pendahulu mereka, padahal mereka hanya sedang menjerumuskan bahkan menghancurkan diri mereka sendiri.


Orang Jawa mengatakan "yen durung entuk wangsit, arepa dirangsang tuna, digayuh luput" (kalau belum mendapat wahyu/petunjuk, diserang/dipaksakan rugi, diinginkan salah). Tepat sekali petuah itu, sasmita atau petunjuk dari sains-akal-intelektualitas, dari kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita-jati diri kita-dari alam semesta, jelas adalah wakil dari kehendak Tuhan..., berusaha memahami dan mengikutinya adalah "laku-tarikat", ibadah bahkan jihad yang sebenarnya...

Kamis, 08 Maret 2018

Keajaiban Empati



Akhir-akhir ini, baik di Indonesia maupun tempat lain di dunia, terjadi sangat banyak peristiwa yang mencerminkan lemah atau bahkan tiadanya empati..., menyedihkannya, peristiwa itu justru sering melibatkan orang-orang yang mengklaim dan tampak relijius.


Tidak ada yang salah dengan (belajar) berempati, anda takut dipandang kalah, lemah, takut melanggar perintah agama, takut dipandang tidak relijius-tidak istiqomah dalam bersikap keras terhadap orang atau umat yang anda atau agama anda anggap salah...?. Ketakutan yang tanpa dasar, hanya datang dari prasangka.


Salah satu pengukur benar-tidaknya agama, pemahaman agama atau cara beragama kita adalah melemah-tidaknya ego kita saat kita semakin menjadikannya-agama kita sebagai "baju", tuntunan hidup kita, menjadi relijius. Kalau dengan menjadi relijius justru ego kita menguat ditandai dengan tiada atau lemahnya empati, agama, pemahaman agama atau cara beragama kita sudah pasti salah, tidak akan bisa membawa-menunjukkan kita pada jalan lurus, kebaikan, kebenaran, bimbingan, berkah, anugrah, surga, Tuhan.


Empati adalah harta tak ternilai, ilmu, ketrampilan, berkah dan anugrah yang akan memberi kita sangat banyak keuntungan. Menolak melatih itu atau bahkan menolak itu datang adalah kekonyolan luar biasa, sama saja menolak petunjuk, kebaikan, kelurusan, kebenaran, kebaikan, Tuhan datang dalam hidup kita. Bahkan jika niat anda betul ingin menekan, menghinakan atau menghancurkan orang atau umat lain, empati itu sangat penting, sangat perlu dipelajari-dilatih. Empati akan berujung pada pengetahuan termasuk pengetahuan akan kelemahan dari orang atau umat yang ingin anda tekan, hinakan atau hancurkan, akan membuat anda lebih mudah, lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan niat "suci" anda itu.


Tapi kabar "buruknya", kalau anda sudah mampu berempati, kecil kemungkinannya untuk anda "sanggup" istiqomah melanjutkan niat suci anda, sembarangan ingin menekan, menghinakan dan menghancurkan orang atau umat lain. Anda akan sadar betapa selama ini, hidup anda telah dikuasai dan disesatkan prasangka, kebencian, ego-hawa nafsu bahkan agama anda sendiri...

Minggu, 04 Maret 2018

Agama Kita, Jimat Kita



Jaman saya ABG dulu-maklum rada "kurang" gagah, saya berikhtiar agar tetap memiliki daya tarik di hadapan wanita, saya ingin agar wanita manapun yang melihat saya jadi timbul hormat dan welas asihnya. Akhir cerita, saya diberi sebuah jimat oleh seorang Kyai, bentuknya hanya kertas bertuliskan doa memakai bahasa dan huruf Arab.


Jimat itu konon kabarnya mampu membuat pemiliknya tampak GANTHENG tur PRAKOSO, menjadi LANANG SEJATI bak Nabi Yusuf atau Arjuna, bakal dirubung wanito pokoke... ^^ Jimat itu juga bisa menjadi penolak balak/kesialan/musibah, menjauhkan dari demit, memberi keberuntungan, melancarkan rejeki dan masih banyak manfaat lainnya. Oleh pengijazahnya, saya diberi sarat, tidak boleh melakukan MOLIMO (Maling, Main, Madon, Mendem, Mateni) ditambah tidak boleh berkelahi (kalau gak didului), harus bersabar, tidak boleh mudah marah, banyak berpuasa sunah, zikir, sedekah dll.


Walaupun dampak negatifnya juga ada, jimat itu jelas telah membuatku menjadi orang baik selama bertahun-tahun, jangankan untuk melakukan kejahatan yang serius, untuk sekedar nyolong timun saja saya gak berani..., jangankan menipu orang, mendapat kelebihan kembalian saat membeli sesuatu saja pasti akan saya kembalikan bagaimanapun jauh penjualnya, melihat dompet tergeletak di jalan, gak berani saya menyentuhnya, takut ada isinya uang kemudian saya tergoda mengambilnya. Jimat itu memiliki efek yang lebih kuat dari agama.


Kalau jimat saja bisa memiliki dampak yang begitu dramatis-baik, harusnya agama dengan segala pakaian, atribut dan simbol-simbolnya memiliki dampak yang jauh lebih dramatis-baik, harusnya lebih bisa menjadi "wasilah" pemeluknya menurunkan ego atau hawa nafsunya..., harusnya karena itu orang lebih malu dan takut untuk berbuat jahat-buruk seperti mudah marah, sombong, berprasangka buruk, berkelahi, mencuri, bergibah atau memfitnah, korupsi, menzalimi, merasa benar dan menang sendiri.


Sekarang tragis, agama bahkan kalah berkahnya dibanding jimat..., bukannya menjadi wasilah bagi penurunan ego malah membuat ego pemeluknya makin membesar. Memakai sorban dan jubah putih tapi matanya melotot, mulutnya liar tak terkontrol, hari-harinya hanya diisi amarah, kebencian, hasutan, fitnah dan prasangka buruk, gak takut po khodam malaikatnya kabur...?. Ibarat tikus mati di lumbung beras, mereka tersesat bahkan binasa di tempat yang justru harusnya menjadi jalan lurusnya, surganya...