Jika di sini (Indonesia) kita sekarang melakukan riyalat (amalan-ritual minta berkah, petunjuk atau anugrah dalam tradisi Jawa/Islam NU) dengan niat ingin menjadi orang kaya, berkuasa atau terkenal, mungkin kita akan mendapat ilham, hidayah atau petunjuk untuk menjadi mualaf atau berhijrah..., tapi coba kita lakukan itu saat tinggal di Eropa atau Amerika, mungkin kita akan mendapat hidayah atau petunjuk untuk menjadi Kristen, Ateis, Agnostik atau yang lainnya. Jika ambisi Ahok untuk berkuasa besar dan dia menjalankan ritual yang esensinya adalah riyalat, dia mungkin akan mendapat hidayah menjadi Muslim.
Kenyataan yang menunjukkan kalau kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, jati diri kita, Pamomong kita, Gusti yang bersemayam di dalam diri kita sebagai sumber apa yang disebut agama, Tuhan, hidayah, pencerahan, kebenaran hakiki, itu tidak mengenali-menyikapi-mendudukkan agama sebagai kebenaran mutlak, dia akan menyikapi itu sebagai kebenaran hanya jika dipersepsikannya mampu membawa kebaikan kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya bagi umat manusia secara keseluruhan. Dan apa yang dipersepsikannya baik itu sangat fleksibel-kontekstual, bisa jadi itu ada pada suatu agama tapi bisa juga ada pada agama lainnya bahkan bisa juga tidak pada agama manapun. Apa yang dipandangnya terbaik untuk kita belum tentu menjadi yang terbaik bagi orang lain..., apa yang terbaik di masa lalu, belum tentu menjadi yang terbaik di masa sekarang..., apa yang terbaik di tanah Arab, India atau Eropa, belum tentu menjadi yang terbaik di Indonesia. Karena kenyataan itulah, pembaruan agama (dan budaya) adalah panggilan alam yang harus ada dan didorong di tiap waktu dan tempat, situasi dan kondisi.
Fanatik beragama adalah kekonyolan, itu ibarat kita fanatik berdagang, berusaha memaksakan itu pada semua orang hanya karena kita telah sukses berdagang. Kita mengambil kesimpulan secara dangkal, parsial dan emosional, dari melihat kulitnya saja, dari parameter yang sangat sempit-terbatas..., kita mengabaikan akar dibalik itu, mengabaikan arah dan kehendak-hukum alam semesta-sunatullah, kita menutup diri dari berkah dan pengetahuan yang maha luas.
Fanatiklah hanya pada akar, sumber atau asal darimana agama itu datang, pada kesadaran, pada jati diri kita, pada Gusti-Tuhan kita. Sebab hanya dengan itu, keberagamaan kita akan tetap "kekinian", tetap mampu membawa pada pemahaman akan hakikat kebenaran-kebaikan yang hidup, berubah dan berkembang, tidak bisa dikunci-dikitabkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar