Selasa, 27 Februari 2018

Fobialah Hanya pada Keburukan dan Kezaliman



Waktu masih muda dulu (saya masih relijius, beriman dan bertakwa tentunya), pernah ada tradisi cukup sadis yang dilakukan remaja di kampung kami. Tiap habis solat subuh berjamaah, kami akan berburu anjing liar yang masih cukup banyak berkeliaran di sekitar kampung (maklum nggunung), bukan untuk diadopsi, dimakan atau dijual, tapi untuk dibantai. Pokoknya kalau terdengar suara anjing menggonggong malam-malam, subuhnya kami beraksi.


Kalau kami berhasil menemukan anjing, ada getaran-hawa aneh merasuk, kami merasa seolah melihat iblis, dajjal, kafirin, musyrikin, Yahudi dan Nasrani..., dengan heroiknya, penuh perasaan suci dan dalam bingkai kebencian-amarah yang meledak-ledak (tapi gak pakai teriakan Allahuakbar sebagaimana yang diteriakkan orang beriman dan bertakwa sekarang ^^), anjing kami serang, kami siksa, kami tombak beramai-ramai sampai mati bahkan hingga ke anak-anaknya yang kadang baru dilahirkan dan induk yang sedang hamil. Anjing hewan najis, musuh malaikat, membunuhnya adalah ibadah bahkan jihad, pikir saya waktu itu. Tombak saya dulu termasuk yang paling panjang, standar Arab pokoke hiks..., maklum saja, saya sangat takut bahkan untuk sekedar tersentuh anjing, tombak panjang akan menghindari saya dari itu, pikirku.


Kalau kita bisa begitu fobia terhadap anjing, babi, salib, patung, kita sebenarnya juga bisa membangun fobia yang sama terhadap mencuri, korupsi, menganiaya, memfitnah, membunuh..., kenapa kita tidak memilih itu saja...?. Fobia terhadap anjing, babi, salib, patung itu tidak ada manfaatnya sama sekali..., itu bukanlah pertanda kita telah mendapat rahmat Allah, justru sebaliknya, telah terjebak tipu daya setan, ego-hawa nafsu kita sendiri..., kita telah berlebihan, tidak adil, tidak proporsional dalam menyikapi-menanamkan satu ajaran agama, yang esensi diabaikan, sementara yang baju-hiasan dituhankan-diakidahkan. Berapa banyak kezaliman yang telah kita buat akibat fobia itu...?. Kalaupun betul anjing najis dan haram, harus dijauhi, apakah betul, agama memerintahkan menyiksa dan membunuhnya...?.


Jadi ingat tetangga kontrakanku dulu, dia sangat fobia terhadap babi, tidak sengaja melihat babi di TV saja bisa membuatnya melotot, kejang-kejang dan muntah-muntah..., apa profesi tetangga kontrakanku itu...?, pelacur...!. Melihat babi jijik tapi melacur enteng saja, logikanya dimana...?. Itu sama kasusnya dengan orang-orang relijius sekarang yang melihat anjing sangat takut tapi marah-marah, iri hati, dengki, berprasangka buruk, memfitnah, menghasut, korupsi, menzalimi, menganiaya bahkan membunuh, sangat berani..., mereka zalim dan tersesat justru karena agama...

Senin, 26 Februari 2018

Jebakan Besar Iman



Beriman kepada Tuhan yang maha esa, pencipta, agung, perkasa, dan maha-maha yang lain akan memiliki dampak psikologi-spiritual yang sama persis dengan beriman kepada keris atau batu cincin..., akan sama-sama menghubungkan kita dengan kekuatan bawah sadar kita, akan sama-sama membawa kita pada "rasa" kalau yang diimani kita itu benar.


Jadi, ironis sebenarnya kalau suatu agama-di satu sisi begitu keras mengklaim kebenaran, tapi di sisi lain, justru menjadikan iman sebagai tuntutan utama, bukan "laku" memahami kebenaran itu. Jelas, agama sedang menghinakan, merendahkan, mengklenikkan, menjimatkan, memberhalakan dirinya sendiri..., agama ingin dihidupi hanya dari kekuatan ego, motivasi, sugesti, delusi dan halusinasi penganutnya, bukan dari realitas kebaikan dan kebenaran yang mampu ditunjukkan-diberikannya.


Agama harusnya itu seperti puasa, berbuat baik pada sesama, mengheningkan diri atau bentuk-bentuk "laku" pengendalian indra-ego lainnya, dilakukan siapapun, beragama apapun atau bahkan tidak beragama atau tidak bertuhan sekalipun, akan memiliki dampak yang sama, keberkahan, petunjuk, pengetahuan, kekuatan. Kalau ada yang mengkritisi atau menistapun tidak akan membuat repot penganutnya, tidak akan membuatnya harus marah-marah, ngamuk atau membantah berdalil berbuih-buih demi melindunginya, cukup dijawab dengan satu kalimat, kalau gak percaya, buktikan saja, gitu aja kok repot...!.


Iman tidak punya korelasi apapun dengan kebenaran bahkan sebaliknya, menjadi penghalang utama kita dari mengenalinya..., kalau anda merasa akan selamat atau beruntung hanya karena anda telah beriman..., anda sedang mabuk, beronani, menipu diri... 

Antara Kitab Suci dan Kitab Sains



Justru kitab suci yang mengatakan bumi ini datarlah yang tepat, tidak perlu menyangkal kenyataan "pahit" itu. Kitab suci lahir ribuan tahun lalu, kalau dia mengatakan bumi ini bulat, mungkin kitab suci itu tidak pernah akan sampai ke tangan kita, orang-orang akan keburu membuangnya di tempat sampah karena ketidakmasuk-akalannya menurut nalar orang pada saat itu.


Kalau anda gak terima dengan kenyataan itu sehingga kemudian berusaha memelintir-melintir ayat agama agar jadi tampak atau terkesan memandang bumi ini bulat, jelas ada masalah sangat serius pada cara anda memandang agama, anda tidak mengerti asal, akar atau mekanisme agama itu terbentuk dan bekerja. Anda hendak memaksa agama agar selaras dengan sains, hendak memposisikan standar kebenaran agama sebagai sama dengan standar kebenaran sains..., sesuatu yang konyol sekali, itu ibarat hendak menganggap langit sama dengan bumi, anda jahil, zalim, mabuk bahkan gila.


Sains datang dari nalar atau akal kita, sedang agama (yang benar baik) datang dari hati-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita..., misi sains adalah memahami apa yang nyata benar, teramati, yang lain akan ditolaknya keras..., sementara misi agama adalah memahami apa yang nyata baik, menguntungkan, dan itu sama sekali takkan memperhitungkan pandangan dari sains, dia punya logika sendiri yang sangat berbeda, kalau ada keselarasan di antara keduanya (agama dan sains), itu semata kebetulan.


Coba anda berdoa atau mengheningkan diri dengan maksud meminta petunjuk agar jadi orang kaya, mungkin anda akan mendapat petunjuk, nikahlah dengan tetangga anda yang masih lugu, tanpa dosa dan belum tersentuh kotornya zaman KAE..., itulah agama. Coba anda bertanya pada matematikawan untuk hal yang sama, mungkin anda akan mendapat petunjuk, bekerjalah lebih keras dan rajinlah menabung..., itulah sains. Apakah jawaban dari yang pertama itu selaras dengan jawaban yang kedua...?.


Saya percaya teori Darwin kalau leluhur manusia adalah kera besar, teori itu memiliki bukti-argumen yang sangat kuat dan rapi, sulit dibantah akal sehat manapun..., tapi saya mengapresiasi cerita agama kalau leluhur manusia adalah Adam dan Hawa, cerita itu telah meng-indahkan, menenangkan, menguatkan dan membaikkan begitu banyak orang..., yang pasti, saya tidak ingin mencocok-cocokkan, memelintir-melintir teori agama agar selaras dengan teori Darwin..., kaya NGANU aja dipelintir-pelintir...!

Minggu, 25 Februari 2018

Kutukan Dibalik Kebencian



Salah satu akidah yang banyak dipegang orang "relijius" sekarang adalah kafir pasti bodoh, jahat, sesat, sial..., intinya, makhluk yang dikutuk Tuhan, harus dibenci, dimusuhi bahkan kalau perlu, ditindas dan dibinasakan.


Akidah yang jelas memicu konsekwensi parah, kejahilan dan kezaliman..., akan membuat mereka-orang relijius itu melihat kafir yang pintar, baik, lurus, atau beruntung sebagai "teror" besar. Mereka akan berusaha menyangkal atau menutupi realitas itu dengan segala cara. Mereka akan memprovokasi kafir agar tetap mau menjadi seperti yang mereka prasangkakan, akan terus "memeras" moral mereka. Mereka akan girang sekali kalau ada kafir masuk penjara atau ada orang beriman dianiaya kafir, iman mereka akan bertambah, bagi mereka, itulah bukti akidah mereka benar. Jika itu tak berhasil, mereka akan berusaha menghibur diri dengan menghakimi itu semua (kepintaran, kebaikan, kelurusan, keberuntungan) sebagai sesuatu yang tidak penting, yang penting akhirat, kata mereka, seburuk-buruknya orang beriman akan masuk surga, sebaik-baiknya kafir masuk neraka!. 


Akidah yang tragis sebenarnya..., memang di satu sisi, akidah itu akan menguatkan identitas-solidaritas kelompok, menjadi alat motivasi, indoktrinasi, agitasi, provokasi ampuh..., nurani kita tidak akan mau menganiaya, menyerang, menindas, mendiskriminasi orang tanpa terlebih dulu diberikan label atasnya kata bodoh, jahat, sesat, sial, kafir. Tapi di sisi lain, jika salah menempatkannya, akidah itu akan membawa kutukan, bencana, azab yang keras.


Kita tidak mungkin membenci sesuatu tanpa diikuti membenci segala hal yang terkait dengannya. Masalahnya, kafir sekarang justru pinter-pinter, baik, lurus, beruntung, maju, beradab, kaya..., membenci kafir sulit untuk tidak dimaknai alam bawah sadar kita sebagai instruksi untuk membenci sekaligus memblokir kepintaran, kebaikan, kelurusan, keberuntungan, kemajuan, keberadaban, kekayaan datang dalam hidup kita..., konsekwensi yang akan membuat justru apa yang dihakimkan kita buruk pada orang lain, menimpa pada diri kita sendiri, yang menghakimi.


Bencilah apa yang secara esensi buruk, bukan membenci apa yang hanya dimitoskan, diprasangkakan atau didogmakan buruk..., kalau belum atau tidak tahu itu, jangan serakah, lebih baik tidak usah membenci. Membenci tanpa dasar kawruh hanya akan menghalangi kita dari sangat banyak anugrah termasuk anugrah kebaikan, kebenaran, kekuatan...

Sabtu, 24 Februari 2018

Tuhan dan Ego



Mengklaim Tuhannya esa, tauhidnya paling murni, tapi Tuhan dalam gambarannya adalah Tuhan yang keras, kejam, pemarah, rasis, seksis, pembenci, pendendam, pengazab..., itu bukan Tuhan tapi setan, tragis sekali.


Letak keesaan Tuhan itu bukan pada nama tapi pada esensi..., dan saat esensi dipahami, dia mau dinamai apapun, dipersepsikan umat agama manapun, takkan membuatnya tampak berbeda, akan satu definisi. Dia seumpama matahari, akan didefinisikan sebagai terang dan panas oleh siapapun, kecuali bagi mereka yang buta.


Menyembah Tuhan yang esa tapi esensinya tidak (berusaha) dikenali seperti halnya terjadi pada banyak orang relijius-fundamentalis-teroris sekarang itu seumpama kita menyembah kertas kosong, akan dengan mudah membuat kita terdorong untuk "menulis" apapun kertas itu, hanya atas dasar keinginan atau selera..., akan dengan mudah membuat kita tergelincir jatuh menjadi penyembah-pemberhala dongeng, mitos atau tahayyul, penyembah-pemberhala pikiran atau prasangka kita atau bahkan penyembah-pemberhala ego-hawa nafsu-setan kita sendiri, tanpa sedikitpun kita sadari.


Menyembah berhala itu baru buruk kalau yang disembah memang sosok-energi yang buruk, sementara menyembah Tuhan yang esa tapi tidak kita kenali, sudah hampir pasti buruk, itu lebih merupakan jebakan dan godaan..., sulit bagi kita untuk tidak kemudian mengambil alih definisi tentang sifat dan kehendaknya, menjadikan Tuhan hanya menjadi alat pemenuh ego-hawa nafsu kita. Kalau kita belum mengenal Tuhan, cukuplah berprasangka baik kepadanya (Jalaluddin Rumi). Tepat sekali kata-kata Sufi besar ini..., sebab memang, hanya dengan prasangka (Tuhan) baik yang akan bisa menjadi wasilah, perantara, anak tangga kita menuju pengenalan sekaligus pengesaan Tuhan, yang akan menghindarkan kita dari kesesatan, tipu daya ego-hawa nafsu-setan.


Jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu (ego)..., karena memang, hanya dengan itu, esensi (keesaan) Tuhan akan bisa dikenali dan agama akan membawa pada jalan lurus..., sayangnya, banyak orang relijius sekarang justru terbalik, mengira pengumbaran hawa nafsu sebagai jihad...

Jumat, 23 Februari 2018

Kutukan Dibalik Iman



Iman atau keyakinan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, akan masuk surga, memang nikmat, mencandu..., akan membuat kita terus dibanjiri energi, motivasi, sugesti, delusi dan halusinasi indah..., akan membuat kita lebih mampu mencapai apapun tujuan atau keinginan kita..., akan membuat kita "fly to the sky" tanpa harus minum alkohol atau menghisap candu, merasa senang, gembira, bahagia tanpa penyebab esensial apapun.


Tapi sayang, itu tidak gratis, harus ditebus dengan harga yang sangat mahal yaitu melemahnya akal dan tertutupnya hati kita, dua "malaikat-asisten-pamomong" penopang utama eksistensi kemanusiaan kita. Keyakinan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, akan masuk surga, itu akan memaksa kita menjadi "kuda kereta" yang tertutup sebagian besar penglihatan kita, membuat kita dipaksa mengabaikan begitu banyak petunjuk-informasi-masukan termasuk informasi-masukan yang secara hakiki baik dan benar..., membuat kita tidak bisa larak-lirik kiri-kanan bahkan jika di kiri-kanan kita adalah singa yang ingin memangsa kita atau Tuhan yang akan memberi kita berkah besar.


Puncak dari sikap adil sebagai manusia adalah menyeimbangkan peran dari seluruh komponen di diri kita, ego, akal, hati..., yang di luar itu temasuk secara ekstrim memupuk keyakinan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, akan masuk surga, adalah zalim, kita menyia-nyiakan anugrah besar kemanusiaan kita..., bagaimanapun berusaha dikamuflase, dirasakan suci, itu tetaplah "fitnah" yang datang dari ego atau hawa nafsu, dari "setan" kita yang harusnya dikenali-dikuasai...

Mentakbiri Tuhan atau Setan?



Waktu SMP dulu, namanya juga ABG baru puber, saya jatuh cinta dengan teman sekelas saya. Tapi berhubung tampang saya "ala kadarnya", sudah bisa ditebaklah bagaimana nasib cinta saya, bertepuk sebelah tangan.


Jelas saya tidak menerima kenyataan itu, cintaku sudah kadung ke ubun-ubun. Saya kemudian berikhtiar mencari jalan "lain" agar cinta saya berbalas. Cinta ditolak Kyai bertindak..., akhir cerita, saya diajari ilmu pelet oleh teman relijius saya, cukup unik, doa atau mantra pembukanya tertulis dalam bahasa Arab, artinya begini, "Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk".


Ritual yang jelas sihir, tipu daya setan, memanggil setan, tapi diawali dengan doa meminta perlindungan Allah dari godaan setan. Sudah pasti, sayapun terkelabuhi, merasa sedang ada di jalan Allah, beribadah kepada Allah, padahal hakikatnya sebaliknya, sedang ada di jalan setan, beribadah kepada setan, sedang mengumbar ego-hawa nafsu. Berdoa meminta perlindungan Allah berakhir menjadi berdoa agar Allah melindungi setan agar tampak dan terasa sebagai Allah.


Kenyataan yang kurang lebih sama sebenarnya terjadi pada banyak orang relijius sekarang, lihat saja, mereka kerap kali menggunakan doa-doa suci, doa-doa untuk memuji atau meminta berkah Allah justru untuk memanggil-meminta berkah dari sesuatu yang hakikatnya setan. Mereka teriak "Allahuakbar" bukan untuk membesarkan-mendatangkan Allah tapi untuk membesarkan-mendatangkan setan.


Tidak mungkin kita bisa menyembah Tuhan atau mengusir setan dengan benar jika kita tidak mengenali terlebih dulu apa itu esensi Tuhan dan setan. Kata-kata dalam doa harus punya "alamat" jelas, alam bawah bawah sadar kita akan bingung dan tersesat kalau kita tidak punya definisi-gambaran-batasan yang jelas atas apa yang kita sebut dalam doa termasuk Tuhan dan Setan.


Setan adalah ego atau hawa nafsu kita..., sebelum kita mengenali-menguasai itu, berdoa mengusir setan akan sering berakibat sebaliknya, mendatangkan setan..., berdoa mengagungkan Tuhan akan berarti sebaliknya, mengagungkan setan..., kita akan tersesat justru karena agama..., kita menjadi penyembah setan justru karena institusi yang dimaksudkan untuk melawannya...

Rabu, 21 Februari 2018

Alam Bawah Sadar Kita, Ladang Kita



Dulu, waktu masih menjadi orang relijius, saya ini gemar sekali mengikuti pengajian termasuk yang diselenggarakan Salafi. Salah tiga prinsip yang cukup kuat diajarkan Salafi adalah taat pada pemerintah, haram sembarangan mengkafirkan dan memuliakan wanita.


Pertanyaannya, mengapa dimanapun Salafi berkembang, pembrontakan, pengkafiran, perendahan, penindasan dan pelecehan terhadap wanita justru marak...?. Lihat saja, dari Aljazair hingga Nigeria, Russia hingga Pakistan, Salafi selalu ada di belakang segala makar, anarkhisme, persekusi, seksisme..., tidak sesuai dengan prinsip yang mereka ajarkan sendiri.


Alam bawah sadar kita ibarat matematika, tidak bisa di satu sisi kita menanamkan nilai yang pada dasarnya positif sementara di sisi lainnya kita menanamkan nilai yang pada dasarnya negatif. Akan terjadi perang keras di dalamnya dan yang menang tentu yang paling banyak ditanamkan. Tidak bisa di satu sisi kita mengajarkan umat taat pada pemerintah tapi di sisi lain, kita juga mengajarkan umat untuk menghakimi setiap jengkal kebijakan pemerintah sebagai salah, buruk atau zalim. Tidak bisa di satu sisi kita mengajarkan umat untuk tidak mengkafirkan sesama Muslim tapi di sisi lain kita mengajarkan mereka untuk menghakimi tiap helai amalan sesama Muslim itu sebagai dosa, sesat, bid'ah atau syirik. Tidak bisa di satu sisi kita mengajarkan-mengklaim memuliakan wanita tapi di sisi lain kita terus mengumbar dalil-dalil yang esensinya merendahkan wanita. Tidak bisa di satu sisi kita mengajarkan toleransi terhadap umat lain tapi di sisi lain kita terus mengajarkan penghakiman umat lain itu sebagai umat terkutuk, penjahat, sesat. Alam bawah sadar kita pasti akhirnya akan memberontak dan meledak, berusaha mewujudkan konsekwensi dari apa yang paling banyak kita tanam, membuat kita zalim pada waktunya.


Jadilah konsekwen, setia, LANANG..., pilih salah satu dan pupuk dia..., kalau kita memilih taat pada pemerintah, tidak mengkafirkan, memuliakan wanita, toleran, Pancasila, NKRI, wong KAE..., jangan pernah tumbuhkan juga pikiran-keyakinan yang akhirnya akan menghasilkan "buah" yang bertentangan dengan apa yang sudah kita pilih itu...

Selasa, 20 Februari 2018

Yang Benarnya Nyata, Tak Bisa Dinista



Esensi agama adalah "tapa nyepi" dan "tapa ngrame"..., mengheningkan diri dan berbuat baik pada sesama..., mengendalikan, indra, tubuh, pikiran, ego-hawa nafsu pemeluknya. Karenanya, tidak mungkin sebenarnya agama bisa dan patut dihina, dinodai atau dinista sepanjang agama tidak menjauh atau dijauhkan dari esensinya itu.


Kalau anda merasa agama anda bisa dihina, dinodai atau dinista, kemungkinannya hanya ada dua, anda yang bermasalah atau agama anda yang bermasalah. Apa iya ada orang mau menghina, menodai atau menista karena anda sabar, zuhud, baik, dermawan...?, apa iya anda akan tersinggung karena ada orang menghina atau merendahkan kesabaran, kezuhudan, kebaikan, kedermawanan anda...?. Saya dulu tidak sedikitpun tersinggung saat dicaci-maki, digoblok-goblokin teman saya karena kepolosan, kebaikan, kesabaran saya..., saya malah menjadi semakin yakin kalau prinsip hidup saya itu benar.


Agama yang hakiki-benar adalah ilmu, "laku-tarikat" yang mampu melindungi dirinya sendiri, kuat seperti halnya sains. Bagaimanapun kasar orang menghina dan merendahkan teori evolusinya Darwin, tidak akan pernah ada seorangpun pemercaya teori itu "mau" marah atau tersinggung bahkan saya yakin termasuk Darwin sendiri..., bagaimanapun keras orang menindasnya, tidak akan pernah bisa mengurangi sedikitpun kekuatan dan kehormatannya, dia akan tetap menjadi inspirasi, mempengaruhi dan diterima orang-orang bernalar, kapan dan dimanapun, tetap dipandang sebagai keajaiban, mudahkah nalar dibunuh?. 


Sementara agama yang palsu-sesat, berhala secara hakikat itu ibarat klenik, tahayyul atau dongeng..., lemah, anda harus terus membela-melindunginya mati-matian agar "manfaat" spiritual dan materialnya terus terpelihara, agar efek candunya semakin terasa dramatis..., anda harus membungkam dan menghabisi siapapun orang yang berani sedikit saja mengusik atau mengkritisinya.


Pilih yang benar, kuat, melindungi sedari awal atau pilih yang palsu dan terus-menerus menuntut dikuatkan, dibela dan dilindungi...?.

Senin, 19 Februari 2018

Kebenaran Itu Hidup, Jangan Bunuh Dia



Mungkin betul di jaman dulu, memiliki banyak anak (dan istri, termasuk menyegerakan kawin) itu tugas suci, ibadah bahkan jihad. Wajar saja, populasi manusia waktu itu masih sangat sedikit, tantangan hidup besar, tingkat kematian sangat tinggi, Nabi saja yang memiliki banyak istri, tidak memiliki satupun anak lelaki yang hidup sampai dewasa. Memiliki banyak anak adalah maslahat atau keuntungan besar bagi diri, keluarga, kabilah, etnis, agama, bangsa, bahkan umat manusia secara keseluruhan.


Tapi apakah betul secara esensi "ajaran" itu masih "perlu" berlaku hingga kini?. Saya yakin siech tidak. Populasi manusia sudah sangat banyak sementara sumber daya alam yang diperlukan untuk menopangnya sudah sangat terbatas. Umat manusia sekarang ibarat sudah hidup dari alat pacu jantung atau tabung oksigen, sudah hidup dari bahan kimia, rekayasa genetika, bahkan "memperkosa"..., tidak alamiah lagi. Tidak perlu jauh-jauh, bahkan hanya jika kita tidak memakai pestisida dan pupuk kimia, separuh penduduk bumi mungkin akan kelaparan, padahal pestisida dan pupuk kimia adalah racun yang pasti akan membawa kutukannya sendiri di masa depan. Yang petani pasti tahu, bertani holtikultura sekarang hampir tidak mungkin tanpa pestisida dan pupuk kimia, hasilnya akan kurang dari separuh bahkan untuk jenis tertentu, hasilnya bisa nol. Hampir pasti, status keinginan memiliki banyak anak sekarang tidak lebih dari ego-hawa nafsu yang harus dikendalikan atau bahkan maksiat yang harus dihindari..., yang membawa kemudaratan lebih banyak, yang membahayakan umat manusia secara keseluruhan, yang akhirnya akan memicu konflik dan kerusakan alam-lingkungan parah..., sesuatu yang jelas sangat ingin dihindari agama itu sendiri.


Pun demikian dengan banyak aturan, ajaran atau syariat agama yang lainnya, jangan dikira itu akan (bisa) berlaku mutlak dan abadi. Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita (sebagai sumber aturan) itu bekerja, "melihat", memutuskan-menyimpulkan sesuatu selalu atas dasar konteks, tempat, waktu, situasi dan kondisi..., jika konteks, tempat, waktu, situasi dan kondisi berubah, sudah pasti, aturan secara esensi sudah gugur, kedaluwarsa, sudah kehilangan alasan atau latar belakang yang membuatnya muncul..., sudah perlu diperbaharui bahkan diganti.


Kebenaran (agama-apa yang baik) itu hidup, berubah dan berkembang, jangan belenggu dia, jangan penjarakan dia, jangan bunuh dia dengan kebodohan dan ego kita...

Jumat, 16 Februari 2018

Iman dan Api



Dulu, dalam keadaan sakit parah, antara hidup dan mati, saya bermimpi (tapi terasa nyata) didatangi orang berpakaian serba putih (seorang Wali/orang suci atau Santo dalam konsep Katolik), tanpa mengucap sepatah katapun-hanya tersenyum, dia mengusap punggung-tulang belakang saya, hawa panas tiba-tiba mengalir, tubuh saya bergetar hebat, saya kemudian terbangun, setelah itu, sakit saya berangsur sembuh.


Pertanyaannya, siapakah sebenarnya yang mendatangi saya itu dan mengapa yang mendatangi saya itu orang berpakaian serba putih atau seorang Wali/orang suci/Muslim, apakah itu pertanda iman atau agama yang saya anut benar...?. Saya percaya, yang mendatangi saya itu adalah jati diri saya, pamomong saya, kesadaran lebih tinggi saya, yang telah dipanggil kekuatan iman saya, yang telah menghubungkan saya dengan kekuatan/karomah penyembuhan dari para Wali. Bahkan dalam Islam (Salafi), konsep Wali, percaya kepada para Wali itu bid'ah dan syirik, tidak ada dasarnya, sesuatu yang sangat terlarang, jadi jelas, itu tak ada kaitannya dengan kebenaran.


Siapa yang datang menolong saat kita dalam keadaan kritis mencerminkan siapa yang sedang paling kita imani-puja. Jelas, yang mendatangi-menolong saya seorang Wali-orang suci disebabkan waktu itu saya sedang terobsesi dengan para Wali, saya mengagumi kebaikannya, kehebatannya, kebijaksanaannya, karomahnya..., saya suka menziarahi makamnya, bertawasul kepadanya, ingin seperti mereka. Iman kepada para Wali itulah yang sebenarnya telah menyelamatkan hidup saya. Kalau saya Kristen, yang mendatangi dan menyembuhkan saya mungkin adalah Yesus atau Maria, jika saya Hindhu, Wisnu atau Krishna, jika saya Kejawen atau Animis, leluhur saya.


Imanlah yang membuat Tuhan itu ada-yang menciptakan Tuhan..., kebanyakan kita menyembah Tuhan yang kita ciptakan sendiri, bukan menyembah Tuhan yang sejati, Tuhan yang sejati tetap tak bisa dijangkau sosoknya. Anda atau umat agama manapun boleh membantah tapi memang seperti itulah kenyataan yang terjadi dan teramati. Tidak perlu marah atau terganggu iman anda, menuduh berbohong atau menghakiminya sesat kalau ada orang dari penganut agama selain yang anda anut bersaksi bertemu, ditolong atau diberi petunjuk/ajaran/wahyu oleh Tuhan, Yesus, Maria, Krishna, Gautama, Wali, Nabi, Dewa, leluhur, itu bukan menandakan iman mereka benar, semata hanya menandakan iman mereka kuat.


Iman itu ibarat api, kalau kita mampu mengendalikannya, dia akan memberi manfaat begitu besar hingga bahkan akan melindungi, memberkahi, membimbing, menyelamatkan hidup kita, tapi jika kita gagal mengendalikan dan mengarahkannya, dia akan membakar diri kita, orang-orang di sekitar kita hingga bahkan umat manusia secara keseluruhan. Wajar saja, iman itu tidak mengenal baik dan buruk, benar dan salah, dia hanya akan melakukan-mewujudkan apa yang kita inginkan dan obsesikan, ego kita.


Beruntunglah kalau sosok atau Tuhan yang kita ciptakan-imani adalah sosok-Tuhan yang baik, yang welas asih, yang maha cinta, maha pengasih dan penyayang..., celakalah jika sosok-Tuhan yang kita ciptakan-imani adalah sosok-Tuhan yang keras, egois, kejam, pemarah dan penghukum seperti sosok-Tuhan yang dipercaya ISIS..., apa yang kita ciptakan-imani itulah yang akan membentuk siapa diri kita...

Kamis, 15 Februari 2018

Akar Agama dan Sains



Agama itu memiliki akar-asal dan tujuan yang sangat berbeda dengan sains, kecil peluangnya untuk di antara keduanya bisa selaras, jangan ber-onani, jangan berdelusi..., kalaupun kadang selaras, itu hanya kebetulan.


Tidak perlu mengutak-atik, mencocok-cocokkan, memlintir-mlintir ayat agama sehingga jadi terkesan ilmiah, selaras dengan sains hanya demi menjaga-menguatkan iman kita. Sikapi dan hormati saja keduanya secara paralel karena memang, masing-masing memiliki peran pentingnya sendiri-sendiri. Agama yang paling benar-baik-sempurna bukanlah agama yang paling ilmiah melainkan agama yang paling mampu melemahkan ego kita, paling mampu membawa kita pada makrifat atau pencerahan.


Agama (yang asli-benar) datang dari kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, super ego kita, jati diri kita, tujuannyapun terbatas, hanya untuk membaikkan-memaslahatkan-kecilnya bagi diri pribadi penganutnya, besarnya bagi umat manusia secara keseluruhan, tidak lebih dari itu. Sementara sains datang dari indra-nalar kita, tujuannya untuk membenarkan masyarakat, berfikir dan bertindak atas dasar realitas, bukti dan fakta. Sulit untuk keduanya untuk saling selaras, baik sekaligus benar. Yang baik sekaligus benar itu hanya milik mereka yang mengerti-menghormati sains sekaligus (esensi) agama tapi tidak fanatik terhadap keduanya, yang masih mau membuka diri terhadap datangnya hikmah-pengetahuan dari manapun asalnya.


Saya percaya apa kata sains kalau leluhur manusia adalah kera besar, argumen mereka-sains sangat kuat, terukur, rapi, tak terbantahkan akal sehat manapun. Tapi saya juga mengapresiasi cerita agama kalau leluhur manusia adalah Adam dan Hawa..., cerita itu telah menghibur, meng-indahkan, membaikkan begitu banyak orang...

Yang Akar, yang Benar



Jika di sini (Indonesia) kita sekarang melakukan riyalat (amalan-ritual minta berkah, petunjuk atau anugrah dalam tradisi Jawa/Islam NU) dengan niat ingin menjadi orang kaya, berkuasa atau terkenal, mungkin kita akan mendapat ilham, hidayah atau petunjuk untuk menjadi mualaf atau berhijrah..., tapi coba kita lakukan itu saat tinggal di Eropa atau Amerika, mungkin kita akan mendapat hidayah atau petunjuk untuk menjadi Kristen, Ateis, Agnostik atau yang lainnya. Jika ambisi Ahok untuk berkuasa besar dan dia menjalankan ritual yang esensinya adalah riyalat, dia mungkin akan mendapat hidayah menjadi Muslim.


Kenyataan yang menunjukkan kalau kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, jati diri kita, Pamomong kita, Gusti yang bersemayam di dalam diri kita sebagai sumber apa yang disebut agama, Tuhan, hidayah, pencerahan, kebenaran hakiki, itu tidak mengenali-menyikapi-mendudukkan agama sebagai kebenaran mutlak, dia akan menyikapi itu sebagai kebenaran hanya jika dipersepsikannya mampu membawa kebaikan kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya bagi umat manusia secara keseluruhan. Dan apa yang dipersepsikannya baik itu sangat fleksibel-kontekstual, bisa jadi itu ada pada suatu agama tapi bisa juga ada pada agama lainnya bahkan bisa juga tidak pada agama manapun. Apa yang dipandangnya terbaik untuk kita belum tentu menjadi yang terbaik bagi orang lain..., apa yang terbaik di masa lalu, belum tentu menjadi yang terbaik di masa sekarang..., apa yang terbaik di tanah Arab, India atau Eropa, belum tentu menjadi yang terbaik di Indonesia. Karena kenyataan itulah, pembaruan agama (dan budaya) adalah panggilan alam yang harus ada dan didorong di tiap waktu dan tempat, situasi dan kondisi.


Fanatik beragama adalah kekonyolan, itu ibarat kita fanatik berdagang, berusaha memaksakan itu pada semua orang hanya karena kita telah sukses berdagang. Kita mengambil kesimpulan secara dangkal, parsial dan emosional, dari melihat kulitnya saja, dari parameter yang sangat sempit-terbatas..., kita mengabaikan akar dibalik itu, mengabaikan arah dan kehendak-hukum alam semesta-sunatullah, kita menutup diri dari berkah dan pengetahuan yang maha luas.


Fanatiklah hanya pada akar, sumber atau asal darimana agama itu datang, pada kesadaran, pada jati diri kita, pada Gusti-Tuhan kita. Sebab hanya dengan itu, keberagamaan kita akan tetap "kekinian", tetap mampu membawa pada pemahaman akan hakikat kebenaran-kebaikan yang hidup, berubah dan berkembang, tidak bisa dikunci-dikitabkan...

Minggu, 11 Februari 2018

Membatasi Obsesi, Membatasi Delusi



Waktu saya kecil dulu-namanya juga orang kampung, saya juga dapat jatah "didoktrin" iman pada tempat-tempat yang konon katanya berhantu. Tempat itu ada yang berupa pohon besar, jembatan, makam, sungai, hingga tikungan. Konon kabarnya, jika kita melewati salah satu tempat itu dan mencium bau wangi kembang kantil, itu pertanda kuntilanak akan muncul-menampakkan diri.


Akibat pendoktrinan "keras" itu, dramatis, entah mengapa dulu saya jadi sering mencium bau wangi kembang kantil saat melewati tempat-tempat yang dimitoskan berhantu itu, tapi untungnya, belum pernah sekalipun saya melihat hantunya. Mungkin karena ketakutan saya masih belum begitu parah sehingga delusi-halusinasi yang dihasilkanpun masih belum ngisin-isini, belum separah yang "diharapkan" para pendoktrin iman pada tempat berhantu itu.


Sekarang saya sudah tidak percaya lagi pada hantu, tapi saat saya melewati tempat-tempat yang dulu dimitoskan berhantu itu, terutama jika dalam keadaan tidak fokus, lelah atau tidak berkesadaran penuh, saya kadang masih mencium bau wangi kembang kantil, bulu kudukpun masih berdiri, rasa takut itu masih banyak tersisa. Kenyataan yang mencerminkan kalau iman saya pada hantu itu sebenarnya masih cukup kuat tergurat di alam bawah sadar saya, masih cukup mempengaruhi perasaan dan persepsi saya.


Dari pengalaman saya itu, jadi, bukan hal yang aneh, ajaib atau supranatural kalau sekarang ada orang relijius mengaku mencium bau wangi yang merebak dari jenazah teroris atau melihatnya dimandikan bidadari/malaikat..., mereka tidak sedang berbohong, tidak pula karena mendapat hidayah atau "penglihatan"..., mereka hanya sedang sama seperti saya dulu, sedang berdelusi-berhalusinasi, sedang mabuk, tertipu obsesi, pikiran dan prasangkanya sendiri yang sudah pada taraf dirasakan nyata.


Ask yourself..., kenali, apakah bau "wangi" dari tokoh pujaan anda, partai anda, agama anda, yayang anda, tidak lebih dari bau wangi sebagaimana tercium saat saya melewati sebuah tikungan di kampung saya..., bau wangi karena otak anda telah rusak, karena anda telah mabuk bahkan gila...?

Sabtu, 10 Februari 2018

Tuhan dan Botol



Otak (emosi-ego-pengangen-angen) kita tidak didesain untuk memahami sekaligus menerima kebenaran, jangan geer apalagi sombong merasa telah menemukannya. Kalau didesain untuk memahami-menemukan yang paling menguntungkan-menyenangkan, memang iya.


Memahami-menemukan-menerima kebenaran adalah pekerjaan yang sangat sulit dan berat, penuh perjuangan dan resiko. Itu seumpama Bima atau Werkudara berusaha menemukan "tirta prawitasari", Dewa Ruci atau jati dirinya..., seumpama orang awam berusaha menemukan kode genetik suatu mahluk hidup, diperlukan "laku" dan pembelajaran sangat keras, lama dan konsisten. Kalau baru 1-2 kali mengaji atau membaca ayat lantas merasa telah benar atau dapat hidayah, itu lucu.


Alam bawah sadar kita-pembentuk dominan persepsi kita akan "merealitaskan", menganggapnya benar apapun yang paling banyak ditimbun-ditumpuk di atasnya..., pikiran, perasaan, prasangka, perkataan, kepercayaan, perbuatan yang paling sering dijalankan, diwirid-diafirmasikan hingga didoktrinkan kepadanya, bukan apa yang paling baik apalagi apa yang paling (betul) benar. "Mengabaikan" sesuatu yang sudah terlanjur tertumpuk sebagai syarat utama memahami kebenaran sangatlah sulit, diperlukan energi-tekad-keberanian yang sangat besar, tidak mungkin bisa dilakukan orang-orang yang lemah apalagi yang egois.


Bahkan botolpun akan menjadi Tuhan yang maha kuasa kalau kita terus mewirid kepercayaan atasnya kalau itu Tuhan yang benar. Dia akan tetap menghubungkan diri kita dengan kekuatan-pengetahuan lebih tinggi kita, mengabulkan doa-doa yang kita panjatkan atasnya, menciptakan perasaan dramatis, syahdu, spiritual hingga heroik. Bagaimana anda begitu yakin Tuhan anda benar, berbeda, bukan Tuhan "botol" yang dihidupi dari ego, iman, prasangka, sugesti, delusi, halusinasi, sementara cara anda menuhankannya masih sama dengan mereka yang menuhankan botol...?. Bahkan bertuhankan botol masih lebih baik, tetap akhirnya akan membawa pada hakikat kebenaran jika nyatanya itu mampu melemahkan ego-menaikkan kesadaran..., daripada bertuhankan Tuhan yang maha esa tapi membuat kita menjadi lebih egois-melumpuhkan kesadaran...