Banyak orang relijius sekarang berusaha membangun keimanannya dengan cara mencocok-cocokkan isi kitab suci agamanya dengan "kitab" sains. Konon kabarnya, isi kitab suci agamanya itu selaras dengan fakta atau penemuan-penemuan sains atau bahkan merupakan kitab sains itu sendiri.
Upaya membangun keimanan yang konyol sekaligus tragis, mencerminkan kegagalan mereka berlaku adil, mendudukkan sesuatu pada tempatnya, mendudukkan agama pada tujuan hakikinya. Mereka telah egois dan serakah, menghalalkan segala cara demi membentuk (delusi) perasaan aman dan benar atas apa yang sedang diimaninya. Mereka telah menutup diri dari mendapat kebijaksanaan, ilmu dan pengetahuan yang maha luas. Mereka lebih memilih makan roti tapi mimpi daripada makan nasi padahal asli.
Kalau kita pernah secara intensif bermeditasi atau (minimal) istikharah, kita akan mengerti bagaimana kita seharusnya menyikapi dan mendudukkan ajaran agama itu. Petunjuk atau ilham yang didapat dari meditasi atau istikharah itu memiliki sumber, nilai dan tujuan yang sama dengan ajaran agama, hanya saja mempunyai lingkup yang lebih sempit dan terbatas, hanya saja jarang yang membukukannya menjadi kitab suci. Dan petunjuk atau ilham itu, sama sekali tak mementingkan (logika) sains, hanya mementingkan apa yang baik-kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya bagi etnis, bangsa atau umat manusia secara keseluruhan. Kita akan sering mendapat petunjuk atau ilham untuk memilih atau melakukan sesuatu yang di mata sains tidak masuk akal tapi jika diterapkan ternyata berakibat baik bagi diri kita. Kenyataan yang mencerminkan kalau lingkup kebenaran dari agama hanya sebatas benar-baik, bukan benar-benar (ilmiah), itupun hanya jika diterapkan pada konteks, situasi dan kondisi yang sangat tepat dan spesifik. Yang benar-baik bagi saya, etnis saya, tempat saya, belum tentu akan benar baik juga bagi anda, etnis anda atau tempat anda. Jangan pernah mengklaim agama kita benar-ilmiah atau bisa berlaku universal. Jangan fanatik pada teks atau dogma agama, fanatiklah pada ritual atau "tarikat" yang menjadi sumber dari teks atau dogma agama itu..., yang membawa kita pada kesadaran lebih tinggi kita, jati diti kita.
Bahkan jikapun agama kita mengatakan bumi ini datar, kotak atau segitiga atau mengatakan kita ini berasal dari batu, pohon atau gunung, tidak perlu iman kita terganggu, sakau, membabi-buta menyangkalnya. Tidak perlu ayat kitab suci diplintar-plintir, ditekak-tekuk, diputar-puter tafsirnya agar terkesan selaras dengan sains demi menjaga iman kita. Agama itu seperti cerita Sangkuriang, Malin Kundang atau Roro Jonggrang, datang semata untuk mendidik masyarakat menjadi baik, bukan menjadi benar. Tidak perlu merasa risau saat satu demi satu, "cerita" agama dibantah sains..., risaulah saat tujuan hakiki dari agama itu telah disimpangkan jauh, tak lagi mengantarkan masyarakat menjadi lebih baik, tak lagi membawa pada pencerahan, tak mampu lagi menjadi rahmatan lil'alamin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar