Jumat, 26 Januari 2018

Tiada Doa tanpa Cinta



Doa terbaik adalah cinta. Cinta membuat-bahkan setiap tarikan nafas kita, tatapan mata kita, pendengaran kita, sentuhan kita, akan berujung menjadi doa, memancarkan energi positif, menggetarkan alam semesta, tanpa perlu "dimantrai" dengan kata-kata apapun.


Sebaliknya, doa tanpa didasari cinta, akan  seumpama kendaraan tanpa bahan bakar-bahkan Bugatti Veyronpun akan kehilangan kehebatannya, tersisa hanya tampang indahnya..., akan seumpama doa burung beo, hanya indah didengar, tidak lebih dari itu. Wajar saja, doa tanpa cinta adalah doa tanpa disaksikan-direstui-didukung kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tinggi kita, doa yang dangkal.


Jantung agama adalah doa, dan jantung doa adalah cinta. Beragama tanpa diikuti bercinta itu ibarat berjubah pandita tapi tak pernah sekalipun bertapa brata..., kita sedang mengingkari konsekwensi atas apa yang kita katakan-pakai-tunjukkan..., semua ajaran dan tujuan agama akan menjadi sia-sia, menjadi rahmatan lil'alamin hanya akan menjadi jargon kosong, tanpa arah, tanpa petunjuk-bimbingan, tanpa energi, tanpa esensi, tanpa berkah.


"Aku memeluk agama cinta, cinta adalah agama dan imanku". Tepat sekali kata-kata Jalaluddin Rumi itu. Karena memang, cintalah yang akan sanggup menghidupi agama, tanpanya, beragama sepuritan apapun, takkan berujung pada dipahaminya esensi agama, takkan berujung pada kesadaran, pencerahan, makrifat...

Kamis, 25 Januari 2018

Agama dan Bangsa



Salah satu "saran" politis-diplomatis Arab Saudi kepada Iran adalah Iran hendaknya mengikuti agama aslinya sendiri (Majusi/Zoroaster) ketimbang mengikuti agama bangsa lain (Islam).


Mungkin saran itu semata didasari ketakutan Arab Saudi yang Sunni-Salafi kalau Mekah dan Madinah akan direbut Iran yang Syiah..., Iran yang non Muslim pasti akan membuat Arab Saudi lebih aman daripada Muslim tapi Syiah..., tapi bagaimanapun saran itu memang secara esensi tepat jika dipandang dari persepsi spiritual. Majusi atau Zoroaster lahir dari tanah dan bangsa Iran sehingga otomatis akan menjadi lebih "tahu" apa yang terbaik, mensadarkan, mencerahkan bagi bangsa Iran.


Kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita (sebagai sumber-asal datangnya agama-kebijaksanaan) mempersepsikan apa yang terbaik itu sangat dipengaruhi-terikat pada (parameter) tempat, waktu, budaya, etnis, bangsa, situasi dan kondisi. Karenanya, konsekwensinya, kebenaran (agama) menjadi sangat relatif dan memiliki lingkup-jangkauan yang terbatas. Islam adalah cermin apa yang dipersepsikan terbaik di tanah Arab (pada 14 abad lalu), Yahudi di Israel, Majusi di Iran, Hindu di India, Konghuchu di China, Shinto di Jepang.


Setiap bangsa, setiap etnis, setiap tempat, setiap masa, memerlukan agamanya sendiri-sendiri, tidak ada agama yang bisa universal. Semakin universal suatu agama justru akan semakin tidak mampu menangani kebutuhan spesifik pemeluknya. Yang bisa universal adalah apa menjadi dasar-yang memicu agama itu datang yaitu spiritualitas. Kalaupun ada suatu agama ingin diuniversalkan, itu harus secara keras dimodifikasi-perbaharui, disesuaikan dengan "kebutuhan" lokal, Hindu Jawa/Bali atau Islam Nusantara itu contoh sempurna..., bid'ah...?, bid'ah yang datang dari kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita justru akan mendatangkan berkah, dialah yang akan menjaga agama tetap terjaga tujuan hakikinya...

Senin, 22 Januari 2018

Luruskan Diri, Pahami Esensi!



Beberapa bulan yang lalu, kita dihebohkan berita orang-orang yang mendadak sembuh sakitnya hanya dengan tidur di bawah kereta yang sedang berjalan.


Masuk akalkah itu...?. Masuk akal saja, tapi pasti, itu hanya akan berlaku untuk orang-orang tertentu saja, hanya untuk orang yang memiliki prana (chi) atau kepercayaan diri yang sangat lemah. Sakit yang bisa disembuhkanpun terbatas jenisnya, yang tidak memerlukan energi besar atau pengobatan intensif seperti sakit karena faktor pikiran (psikosomatis).


Itu sebenarnya sama kasusnya dengan orang-orang yang sembuh sakitnya setelah minum susu kuda liar, madu Sumbawa atau kencing unta. Mereka hanya butuh sedikit dialiri atau dibangkitkan prananya, ditingkatkan kepercayaan diri-pikiran positifnya. Tidur di bawah kereta yang tengah berjalan itu sangat menantang-menakutkan, akan memicu banjirnya adrenalin, akan perlu nyali tinggi..., siapa yang berani melakukannya, akan berarti berhasil menguatkan prana dan kepercayaan dirinya, simpul-simpul energinya tercambuk, tertampar, membuatnya aktif, bangkit dan menguat. Prana dan kepercayaan diri yang bangkit dan menguat itulah yang akhirnya menyembuhkan sakitnya.


Apa yang tampak oleh mata bisa sangat berbeda dengan apa yang hakikat, menirunya membabi-buta adalah kebodohan, cermin lemahnya kawruh yang bisa sangat menyesatkan. Untung cuman tidur di bawah kereta yang sedang berjalan, minum susu kuda luar, madu Sumbawa atau kencing unta, coba jika sembuhnya terjadi setelah mereka membunuh orang, menzalimi orang, meniduri istri orang, tidur di kuburan atau di bawah pohon besar..., mereka bisa mengambil kesimpulan yang sangat salah.


Memahami yang hakikat akan membuat dunia ini tampak luas, kita akan melihat, hikmah, ilmu, kebenaran, kekuatan, kebaikan di mana saja dan kapan saja, tanpa harus terikat baju, waktu, cerita atau kepentingan...

Minggu, 21 Januari 2018

Cinta, Keselarasan dan Pengetahuan



Tinggal di Eropa tapi membenci moral, tata nilai, religi dan budaya Eropa..., bekerja sebagai buruh tapi membenci, memusuhi dan mendemo majikannya sendiri..., orang Indonesia tapi yang dicintai dan dipuja bangsa Arab, Mesir atau Turki. Itu ibarat kita membenci-mengotori ibu kita sendiri, mata air tempat minum kita sendiri, tanah tempat beras yang kita makan..., kebencian yang akan jadi racun bagi tubuh dan jiwa kita.


Tidak mungkin kita akan sukses berdagang atau bertani jika kita tidak benar-benar mencintai profesi tersebut. Hanya cinta yang akan menghubungkan dan menyeleraskan, hanya keselarasan yang akan membawa pada pengetahuan-puncak empati, dan hanya pengetahuan yang akan membawa pada kebaikan-ketepatan-keberkahan. Kalau kita tidak mampu mencintai sesuatu yang melingkupi, menghidupi, menjadi bagian utama dari hidup kita, lebih baik ditinggalkan saja. Ngotot bertahan hanya akan menguras dan mengotori energi hidup kita sendiri, membuat kita dijauhkan dari kekuatan, kebaikan dan keberuntungan.


Yang layak dibenci, ditolak, dimusuhi, dijauhi itu hanya kezaliman. Jangan serakah atau kemaruk, terobsesi dengan kebencian, segalanya hendak membabi-buta dibenci, tanpa dasar dan tanpa ilmu. Yang tak seagama dibenci, yang tak sealiran, seideologi, seetnis, separtai, seras, segolongan, semua hendak dibenci. Kebencian adalah akar dari kebodohan dan ketidakberkahan..., tidak mungkin agama atau Tuhan mengajarkan itu, kecuali, agama dan Tuhannya palsu...

Ada Fitnah Dibalik Berkah!



Dulu, waktu tinggal di kota, saya ini kepetung baik hati dan tidak sombong, suka sekali membantu teman-teman tanpa meminta imbalan. Kalau ada teman yang alat elektronik atau komputernya rusak, kesulitan mengerjakan PR atau bahkan kesulitan keuangan, kalau mampu, akan saya bantu.


Awalnya siech ikhlas saja, saya bangga dan bahagia dengan apa yang saya lakukan itu. Tapi begitu balasan atas kebaikan itu satu demi satu mengalir, pikiran serakah saya perlahan muncul. Wong berbuat baik segitu saja dapat balasan segini banyak, kenapa saya gak berbuat lebih banyak lagi...?. Keikhlasan saya jadi merosot, saya jadi gemar mengingat orang-orang yang saya baiki tapi tak membalas dengan kebaikan yang sama. Keuntungan atas kebaikan yang saya lakukan justru menjegal keinginan saya belajar ikhlas lebih jauh.


Apa yang membuat kita untung (secara ego-jasmani-lahir), itulah setan-penggoda sebenarnya bagi kita. Dialah yang jika tidak hati-hati kita sikapi, akan merampas nalar dan menutup hati-nurani-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, menjegal niat kita untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih berpengetahuan, lebih adil, lebih berguna lagi. Sayangnya, banyak orang sekarang justru merasa diuntungkan oleh agama..., institusi yang konon sangat anti setan.


Agama yang paling akan mencerahkan adalah agama yang paling menutup peluang pemeluknya untuk mengambil keuntungan (egoistik) atasnya. Keuntungan akan membuat agama (termasuk Tuhan) jatuh menjadi bernilai seperti harta, tahta atau wanita, menjadi simbol ego kita, menjadi melekat pada diri kita, menjadi jimat-berhala..., kitalah yang harus menjaganya, bukan agama yang menjaga kita. Saat sesuatu sudah menjadi simbol ego, lumpuhlah nalar dan hati kita, tidak akan ada lagi keadilan, obyektifitas, proporsionalitas, rasionalitas saat menyikapi-memandangnya, yang berkuasa hanya emosi saja. Satu teman saya babak belur bahkan hampir terjadi perang antar kampung hanya gara-gara menjawil cewek orang..., bedanya apa dengan sikap banyak orang relijius sekarang yang mabuk dan ngamuk saat pandangan keagamaannya dikritisi sedikit saja...?.


Agama adalah tirakat atau tapa brata, kita memeluknya untuk sengsara, untuk dirugikan, untuk berkorban, untuk memberi, bukan untuk cari untung..., sebab hanya dari situlah berkah hakiki agama akan datang. Kalau kita tidak mau menerima konsekwensi berat itu, lebih baik tidak usah memaksakan diri, menipu diri dan masyarakat hanya agar terlihat dan disebut agamis. Berkah utama agama adalah dimengertinya jalan lurus, kebenaran hakiki, bukan didapatnya harta, tahta, wanita atau keuntungan egoistik lainnya... 

Jumat, 19 Januari 2018

Yang Dibenci, Membentuk Realitas Diri



Waktu masih menjadi orang relijius dulu, saya ini, jangankan melihat tempat ibadah agama lain, babi atau anjing, melihat bangunan bergaya Eropa, barang seni dari China atau Jepang, atau melihat orang memakai nama Barat saja jadi illfeel tingkat dewa, saya seolah melihat "syaitonnirrojiem", sangat tidak nyaman, timbul rasa benci dan muak tak terkira.


Apa yang kita benci, itulah juga yang akhirnya akan membentuk siapa diri kita. Rasa benci itu seperti halnya rasa cinta, asosiatif sekali, mengait dan melebar. Saat kita membenci orang yang kita anggap kafir, segala hal yang terkait dengannya, akhirnya akan juga kita benci. Yang jadi masalah, kafir sekarang itu pinter-pinter, kaya, maju dan beradab..., akibatnya fatal, saat kita membencinya, mau-mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti akan juga membenci kepintaran, kekayaan, kemajuan dan keberadaban, atau minimal, merendahkan maknanya, bersikap sinis atau nyinyir, menghakimi itu tidak atau kurang penting..., sikap yang akan memicu "mental block", membuat alam bawah sadar kita mencegah atau memblokir datangnya kepintaran, kekayaan, kemajuan dan keberadaban pada diri kita.


Jadi, dimengerti saja kalau ada orang relijius sekarang begitu membenci etnis, ras, budaya, partai, bangsa tertentu atau bahkan membenci topi santa, terompet, kembang api atau pohon cemara. Alam bawah sadar mereka telah mengasosiasikan itu semua dengan kekafiran. Pengasosiasian yang berujung pada diambil-alihnya persepsi sadar mereka, membuat mereka  "mabuk", merasa tidak nyaman, terganggu dan terteror untuk sesuatu yang hanya hayalan, pikiran, prasangka mereka sendiri. Kafir (non Islam) dalam Islam selalu diidentikkan dan dicitrakan dengan keterbelakangan, kesesatan, kezaliman, keburukan, sulit bagi orang Islam manapun untuk akhirnya tidak membencinya.


Jepang saat dikalahkan Amerika, bukannya jadi membenci, memusuhi dan mendendam, tapi justru kemudian menjadikannya teman-sekutu..., hanya dalam beberapa puluh tahun setelahnya, Jepang sudah mampu menyamai Amerika, menjadi besar, kuat dan maju. Sunan Kalijaga saat dikalahkan Sunan Bonang, bukannya menjadikannya musuh abadi, malah menjadikannya guru sejati..., sekarang, alam pemikiran Sunan Kalijaga, mendominasi relijiusitas orang Jawa. Jepang dan Sunan Kalijaga adalah cermin bangsa-orang yang mau dan mampu meruntuhkan egonya sendiri, menyadari-mengakui kelemahannya sendiri sehingga berujung pada kekuatannya.


Bahkan membencipun perlu ilmu, perlu kawruh..., tanpa dasar itu, membenci akan sering berarti melemahkan, merendahkan, menyesatkan, menjerumuskan diri kita sendiri..., menutup diri kita dari petunjuk, berkah dan anugrah. Bencilah hanya sesuatu yang secara hakikat buruk, bukan membenci sesuatu yang hanya kita prasangkai buruk...

Rabu, 17 Januari 2018

Azab dan Kawruh



Byzantium (Romawi Timur) di era Kaisar Leo III ketika terdesak tentara Islam, berfikir mereka kalah karena sudah tidak konsisten lagi menjalankan perintah agama (Kristen) terutama larangan membuat patung atau berhala. Pun demikian dengan umat Islam (terutama Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir), berfikir umat Islam mundur karena sudah tidak berpegang lagi pada Islam yang asli, Qur'an dan Sunnah, terlalu banyak berbuat bid'ah dan syirik. Kenyataan yang mirip terjadi di Nusantara, tiap kali ditimpa musibah atau pralaya, konon katanya itu disebabkan masyarakat telah lalai, sudah tidak lagi menjalankan ibadah, adat, ritual atau ajaran leluhur.


Orang yang sedang hanyut, rumputpun akan dipegangnya juga tidak peduli itu akan menyelamatkannya atau tidak. Itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan fenomena-sikap "umum" orang-orang relijius itu. Kekalutan karena kejatuhan yang harusnya disikapi dengan introspeksi, kontemplasi, berfikir, menurunkan ego, malah disikapi dengan berspekulasi, berprasangka, menghakimi, memuncakkan ego. Akibatnya fatal, musibah bukannya mendatangkan hikmah dan berkah malah akhirnya memicu musibah yang lebih banyak lagi. Agama yang seharusnya mencerahkan, membebaskan, membangkitkan, malah justru sebaliknya, menjahilkan, menjumudkan, menjerumuskan, menjadi pemicu dan pelestari musibah.


Kebenaran-apa yang baik bagi seseorang, suatu masyarakat atau bangsa itu hidup, berubah dan berkembang. Apa yang baik-memberi kekuatan atau kemajuan pada masa lalu dan di suatu tempat belum tentu akan memberi hal yang sama di masa kini dan di tempat lain. Mengambil kesimpulan akan selamanya baik-memberi kekuatan adalah konyol, cermin kegagalan kita memahami akar sekaligus hakikat agama, membaca-memahami-mengalirkan diri dengan arah, kehendak, hukum-hukum dasar alam semesta-Tuhan.


Kejatuhan, kemunduran, kekalahan, musibah, azab itu sepenuhnya sunatullah, mengikuti arah, kehendak dan hukum-hukum dasar alam semesta, tidak ada hal supranatural apapun terlibat di dalamnya, bisa dipahami penyebabnya dengan akal-sains dan hati-persepsi spiritual kita. Tidak perlu kembali ke mana-mana, ke ini-itu sebagai solusi agar bisa bangkit kembali, kembalilah ke diri kita sendiri, pada kesadaran kita...

Minggu, 14 Januari 2018

Kesombongan dan Pengetahuan



Dalam dunia spiritual, semakin kita ikhlas menyadari dan mengakui ketidak-tahuan, akan semakin banyak pengetahuan yang akhirnya akan kita dapatkan.


Itu seumpama pengemis menengadahkan tangan, sembah takzim kawula pada raja atau kita membuka tutup cangkir minum kita, "laku-tarikat" sempurna mempersiapkan sekaligus menarik datangnya anugrah pengetahuan. Sementara sombong, fanatik, pamrih, prasangka, harapan atau bentuk-bentuk ego, ketidak-pasrahan dan ketidak-kosongan lainnya, hanya akan mendatangkan ilusi, delusi atau halusinasi tentang pengetahuan, terasa benar, syahdu dan dramatis memang, tapi palsu, hanya mimpi dan tipuan belaka.


Hukum-hukum yang ada di dunia spiritual sebenarnya berlaku juga di dunia "real". Sayangnya, banyak orang relijius sekarang, semakin banyak belajar (teks) agama justru menjadi semakin sombong-merasa tahu-fanatik ditandai semakin gemarnya mereka menebar "angkara", menghakimi sana-sini, ini-itu..., seolah yang di luar dirinya salah semua, harus diluruskan, kalau perlu ditindas dan dibinasakan. Tragis sebenarnya, agama dan pendidikan harusnya menciptakan orang-orang rendah hati, orang-orang yang "haus dan lapar", orang-orang yang sadar dirinya tidak banyak tahu, bukan malah sebaliknya, menciptakan orang-orang yang akhirnya gemar berilusi, berdelusi, berhalusinasi, beronani tentang pengetahuan (akan kebenaran).


Kalau kita fanatik Jokowi atau Prabowo, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan pengetahuan yang benar, obyektif, menyeluruh dan adil tentang kedua orang itu. Pun demikian kalau kita fanatik agama, aliran, partai, etnis, ras, golongan atau yang lainnya. Kita belajar serajin dan seserius apapun tentangnya atau bahkan beristikharah, berwirid atau berkontemplasi sekhusuk apapun, tetap takkan tercerahkan, kebenaran tetap akan tertelikung, tersaring, terkaburkan dan tersimpangkan keinginan, prasangka dan harapan yang timbul dari kefanatikan kita. Fanatik adalah cermin puncak dari ketidaksediaan kita belajar, menyadari dan mengakui ketidaktahuan kita...

Jumat, 12 Januari 2018

Agama dan Lelaki Romantis



Riset : semakin lelaki pandai berbohong, akan semakin bahagia hidup wanitanya. Kepandaian lelaki berbohong itu berbanding lurus dengan kepandaiannya menjadi romantis. Romantisnya seorang lelaki adalah penyumbang utama bahagianya seorang wanita. Romantisme adalah bentuk manipulasi cerdik lelaki atas persepsi-emosi-perasaan wanita.


Agama itu seperti lelaki romantis di hadapan wanita..., memang membahagiakan..., tampak indah, menenangkan, mensyahdukan, menyenangkan, memberi mimpi dan harapan indah. Tapi tanpa kewaspadaan dan kecerdasan kita-sama seperti lelaki romantis bagi wanita, agama justru akan menjadi penipu dan penjerumus terbesar kita, menjauhkan kita dari kejujuran, dari keadilan dari kebenaran, dari kepastian..., di depan memberi kita sedikit kebahagiaan tapi di belakang siap menjerumuskan kita pada jurang kesesatan dan kesengsaraan terdalam.


Memegang kebenaran itu sama seperti mengabaikan lelaki romantis bagi wanita, berat, betul terasa seperti menggenggam bara api, menyakitkan karena yang menjadi musuh-korban terbesarnya adalah kebahagiaan kita, ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, mimpi-harapan indah kita, ego-hawa nafsu kita. Nyatanya, kebanyakan wanita lebih memilih lelaki romantis, lebih memilih melepaskan bara api, lebih memilih tertipu dan terjerumus daripada memilih dijujuri atau dibimbing ke jalan yang lurus. Pun dengan sebagian besar masyarakat, lebih memilih agama yang tampil paling "romantis", paling mengaduk-aduk emosi-perasaannya daripada agama yang sederhana, jujur apa adanya.


Tapi yang jelas, kebenaran itu bisa terletak di manapun, bisa di agama, moral, budaya atau ideologi. Jangan fanatik, merasa kebenaran hanya ada pada agama (tertentu). Agama justru sering menjadi penghalang utama dari kebenaran. Tuntutan iman dari agama itu jelas sama dengan tuntutan atas kebodohan. Jangan geer, merasa sedang menggenggam bara api kebenaran saat dibenci atau ditimpa kesialan karena cara beragama kita..., ask yourself, introspeksi, mengheninglah..., mungkin justru sebaliknya, kita sedang mendapat azab karena kesalahan cara beragama kita...

Doa, untuk Kekuatan atau Kebenaran?



Kalau yang kita harapkan dari doa atau ibadah adalah kekuatan atau energi, semakin banyak peserta doa atau ibadah, akan semakin banyak kekuatan-energi yang akan terbangkit, terkumpul dan menggema-beresonansi, mempengaruhi realitas diri, menggetarkan alam semesta..., akan semakin banyak pula keinginan, harapan hingga ego-hawa nafsu kita akhirnya terpenuhi atau terwujud menjadi kenyataan. Pernah menonton film Avatar (terutama pada adegan pemindahan spirit) atau metode wirid-zikir aliran toriqoh tertentu...?. Itulah gambaran sempurna efek dari doa, mantra dan tarian yang dilakukan oleh banyak orang dan ritmis (berirama-teratur), akan memicu naik teraturnya tingkat energi hingga akhirnya memicu klimaks atau ledakan energi.


Tapi kalau yang kita harapkan dari doa, ibadah atau relijiuasitas kita adalah hidayah-petunjuk akan kebenaran atau jalan lurus, keselamatan, tergapainya kesadaran-pengetahuan yang lebih tinggi, terhubungnya kita dengan jati diri kita, Gusti kita, Dewa kita, alam semesta kita, justru sebaliknya, semakin sedikit peserta doa dan semakin hening atau sepi, akan semakin baik, semakin memungkinkan didapatnya hidayah-petunjuk akan kebenaran atau jalan lurus itu. Cara berdoanya kaum Sufi, biarawan atau pertapa yaitu dengan menyepi, berkhalwat atau uzlah di tengah gurun, goa, hutan atau gunung adalah contoh sempurna doa yang akan membawa pada pemahaman akan hakikat kebenaran-jalan lurus.


Masalahnya sekarang, banyak orang relijius terus terpaku hanya pada satu jenis-cara-metode doa atau ibadah. Ironis sebenarnya, sebab itu akan memicu ketidakseimbangan hasil akhir dari relijiusitas. Pada saat umat atau masyarakat sangat memerlukan dimengertinya hakikat kebenaran atau jalan lurus, keselamatan, mereka justru ngotot memilih hanya membangun kekuatan-energi, sesuatu yang sudah tidak begitu diperlukan di jaman akal-sains dan hati-spiritual semakin menentukan kuat-tidaknya, terhormat-tidaknya suatu masyarakat, kaum atau bangsa. Akibatnya fatal, energi berlebih mereka malah akhirnya merusak diri mereka sendiri, tidak termanfaatkan dengan baik, sementara kebenaran atau jalan lurus yang mereka obsesikan, semakin menjauh. Kuat tapi tidak benar, tidak terbimbing itu tidak akan membawa umat dan dunia menjadi lebih baik.


Sekarang umat beragama lebih butuh untuk menyepi, menghening, mengasingkan diri, introspeksi, tafakur, muhasabah, bukan berkerumun atau berjamaah apalagi sambil berteriak-teriak. Era kekuatan iman-fisik-emosional-sugesti sudah berakhir, jangan terus berdelusi, percaya sesuatu yang pernah sangat efektif di masa lalu, akan terus selamanya efektif...

Senin, 08 Januari 2018

Sucikan Tanah Air Kita



Tanah yang paling baik dijadikan sebagai tanah suci adalah tanah air atau tanah tumpah darah kita, tempat kita lahir, tinggal, berleluhur atau berasal. Penghormatan atau kecintaan terhadapnya akan berarti keterhubungan, limpahan energi, berkah, bimbingan, keselamatan bahkan wasilah menuju Tuhan-alam semesta-kesadaran.


Mensucikan tanah orang atau bangsa lain hanya akan berarti membuang-buang energi spiritual tanpa banyak memberi manfaat. Itu seumpama kita mengadakan penghijauan di gurun Sahara, adakah manfaatnya bagi masyarakat kita?, hampir tidak ada berapapun banyak waktu, tenaga dan uang yang kita keluarkan, yang mendapat untung terbesar ya cuman yang tinggal di sekitar gurun itu.


Sayangnya, banyak orang sekarang-sering atas nama semangat pemurnian agama, lebih suka mensucikan tanah orang atau bangsa lain daripada tanah sendiri. Ada yang memilih mensucikan tanah Arab, Iran, India, Eropa, Palestina atau yang lainnya. Sementara orang yang berusaha setia mencintai, menghormati, mensucikan tanah air sendiri justru sering dihakimi bid'ah atau syirik, tidak lurus dalam beragama, dimusuhi.


Tidak ada di dunia ini keris yang secara default bertuah atau sakti, keris menjadi bertuah atau sakti karena ada orang yang mewiridnya, mendoakannya, mentirakatinya, memberi-mengisinya dengan energi-spirit-yoni atau khodam. Pun demikian, tidak ada di dunia ini tanah yang secara default suci. Suatu tanah menjadi suci semata karena ada orang yang mensucikannya, mencintainya, menghormatinya, menyembahnya. Kalau kita bisa mensucikan tanah kita sendiri, mengapa kita lebih memilih mensucikan tanah orang lain...?

Sabtu, 06 Januari 2018

Takutlah pada yang Asli, Bukan yang Fantasi



Alam bawah sadar kita itu ibarat ladang, akan menumbuhkan apapun yang kita tanam, tidak peduli yang ditanam itu baik atau buruk, benar atau salah. Kalau kita bisa menanam ketakutan, trauma atau fobia terhadap hantu, jin, anjing, babi, Yahudi, Cina, Syiah, kafir, patung, komunis, wanita dan lain sebagainya, kita juga bisa menanam ketakutan, trauma atau fobia terhadap mencuri, menipu, selingkuh, memfitnah, korupsi, menzalimi, membunuh dan lain sebagainya.


Sayangnya, jarang sekali sekarang ada orang atau institusi yang mau fokus melakukan penanaman, wirid atau afirmasi ketakutan-ketakutan terhadap itu semua termasuk institusi budaya, pendidikan dan agama kita. Ironis sebenarnya, institusi yang sangat vital, yang menentukan kemajuan, kebenaran, kemajuan, keteraturan masyarakat malah justru kurang fokus menanam-membangun nila-nilai yang nyata membawa masyarakat ke arah itu semua. Kalaupun ada institusi budaya, pendidikan atau agama kita menanam-membangun ketakutan terhadap hal itu, biasanya hanya sambil lalu, tidak sampai tertanam dan tergurat di alam bawah sadar, tidak sampai pada taraf menciptakan fobia atau trauma, perubahan fisik-persepsi di otak kita sebagaimana terjadi pada penanaman ketakutan terhadap obyek atau perbuatan lain itu.


Ketakutan terhadap mencuri, menipu, selingkuh, memfitnah, korupsi, menzalimi, membunuh dan lain sebagainya itu memiliki dasar realitas-kebenaran, terkait langsung dengan hukum sebab akibat, tabur tuai, karma, surga-neraka hakikat, akan membawa manfaat-kebaikan langsung. Sementara ketakutan terhadap hantu, jin, anjing, babi, Yahudi, Cina, Syiah, kafir, patung, komunis, wanita dan lain sebagainya hanyalah ketakutan palsu-delusional-doktrinal yang tidak ada dasar realitasnya, tidak akan membawa manfaat apa-apa bahkan justru merugikan, menghalangi kita dari mendapat kebaikan dan hikmah-pengetahuan yang lebih luas. Tragis kalau kita memilih mengabaikan yang asli untuk kemudian fokus membesarkan yang palsu...

Rabu, 03 Januari 2018

Agama dan Jalan Lurus



Banyak orang relijius sekarang berfikir, merasa dan mengklaim agama secara default adalah jalan lurus atau benar, mengikutinya tanpa syarat berarti jaminan surga, diridhoi Tuhan. Pandangan yang sebenarnya berbahaya, menempatkan mereka pada resiko salah tafsir atau salah agama, mudah dieksploitasi pihak lain, menjauh dari esensi kelurusan atau kebenaran itu sendiri, sesuatu yang justru mereka obsesikan.


Agama sebenarnya tidak lebih dari alat-sarana-tarikat-doa agar kita ditunjukkan pada jalan lurus atau benar itu. Kita tidak bisa secara otomatis menjadi lurus atau benar hanya dengan beragama. Yang merasa, berfikir dan mengklaim seperti itu telah tertipu ego-hawa nafsunya sendiri yang enggan mengikuti jalan berat, terjal, "berdarah-darah" menuju pemahaman akan jalan yang lurus atau benar itu. Mereka seumpama orang mengharap bisa menjadi sepintar Pandita hanya dengan memakai jubah Pandita, masih terlalu jauh, masih hanya meniru sisi paling dangkal dari apa yang biasa dilakukan seorang Pandita.


Pengetahuan akan jalan lurus itu seumpama pengetahuan akan apa yang akan laku dijual esok hari, apakah ikan louhan, gelombang cinta atau apakah batu akik. Hanya bisa dipahami melalui penguasaan akal-sains, matematika-statistik-sosiologi dan sebagainya atau melalui persepsi spiritual-hati-intuisi. Tidak ada ajaran agama yang tahu atau membicarakannya, agama hanya memberi kita petunjuk cara memahaminya yaitu melalui ritual-tarikat pengheningan diri dan pengendalian ego dalam segala bentuk tata caranya. Hanya jika kita berhasil hening dan tidak egois-emosional-terlalu menuruti selera-keinginan-hawa nafsu, persepsi spiritual-hati-intuisi akan terbuka dan terbangun, efeknya, pengetahuan akan apa yang akan laku dijual esok hari akan tampak, terbuka. Pun demikian yang terjadi dengan pengetahuan akan jalan lurus atau jalan yang benar, hanya bisa dipahami melalui akal-sains dan hati-intuisi-spiritualitas, agama yang tidak mendukung itu, justri akan menjadi penghalang utama dari jalan lurus atau benar.


Beragama adalah sarana kita mengendalikan pikiran, perasaan atau klaim kalau kita lurus atau benar, bukan malah sebaliknya, membuat kita mabuk berat, menjadi berpikir, merasa dan mengklaim kita lurus atau benar. Sebab hanya orang-orang yang ikhlas mengakui dirinya belum lurus atau benar yang akan mendapat rahmat berupa pengetahuan akan apa yang lurus atau benar itu. Hanya yang merasa haus yang akan didekatkan pada air, hanya yang merasa belum lurus yang akan didekatkan pada kelurusan...

Agama dan Sains, Bisakah Selaras?



Banyak orang relijius sekarang berusaha membangun keimanannya dengan cara mencocok-cocokkan isi kitab suci agamanya dengan "kitab" sains. Konon kabarnya, isi kitab suci agamanya itu selaras dengan fakta atau penemuan-penemuan sains atau bahkan merupakan kitab sains itu sendiri.


Upaya membangun keimanan yang konyol sekaligus tragis, mencerminkan kegagalan mereka berlaku adil, mendudukkan sesuatu pada tempatnya, mendudukkan agama pada tujuan hakikinya. Mereka telah egois dan serakah, menghalalkan segala cara demi membentuk (delusi) perasaan aman dan benar atas apa yang sedang diimaninya. Mereka telah menutup diri dari mendapat kebijaksanaan, ilmu dan pengetahuan yang maha luas. Mereka lebih memilih makan roti tapi mimpi daripada makan nasi padahal asli.


Kalau kita pernah secara intensif bermeditasi atau (minimal) istikharah, kita akan mengerti bagaimana kita seharusnya menyikapi dan mendudukkan ajaran agama itu. Petunjuk atau ilham yang didapat dari meditasi atau istikharah itu memiliki sumber, nilai dan tujuan yang sama dengan ajaran agama, hanya saja mempunyai lingkup yang lebih sempit dan terbatas, hanya saja jarang yang membukukannya menjadi kitab suci. Dan petunjuk atau ilham itu, sama sekali tak mementingkan (logika) sains, hanya mementingkan apa yang baik-kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya bagi etnis, bangsa atau umat manusia secara keseluruhan. Kita akan sering mendapat petunjuk atau ilham untuk memilih atau melakukan sesuatu yang di mata sains tidak masuk akal tapi jika diterapkan ternyata berakibat baik bagi diri kita. Kenyataan yang mencerminkan kalau lingkup kebenaran dari agama hanya sebatas benar-baik, bukan benar-benar (ilmiah), itupun hanya jika diterapkan pada konteks, situasi dan kondisi yang sangat tepat dan spesifik. Yang benar-baik bagi saya, etnis saya, tempat saya, belum tentu akan benar baik juga bagi anda, etnis anda atau tempat anda. Jangan pernah mengklaim agama kita benar-ilmiah atau bisa berlaku universal. Jangan fanatik pada teks atau dogma agama, fanatiklah pada ritual atau "tarikat" yang menjadi sumber dari teks atau dogma agama itu..., yang membawa kita pada kesadaran lebih tinggi kita, jati diti kita.


Bahkan jikapun agama kita mengatakan bumi ini datar, kotak atau segitiga atau mengatakan kita ini berasal dari batu, pohon atau gunung, tidak perlu iman kita terganggu, sakau, membabi-buta menyangkalnya. Tidak perlu ayat kitab suci diplintar-plintir, ditekak-tekuk, diputar-puter tafsirnya agar terkesan selaras dengan sains demi menjaga iman kita. Agama itu seperti cerita Sangkuriang, Malin Kundang atau Roro Jonggrang, datang semata untuk mendidik masyarakat menjadi baik, bukan menjadi benar. Tidak perlu merasa risau saat satu demi satu, "cerita" agama dibantah sains..., risaulah saat tujuan hakiki dari agama itu telah disimpangkan jauh, tak lagi mengantarkan masyarakat menjadi lebih baik, tak lagi membawa pada pencerahan, tak mampu lagi menjadi rahmatan lil'alamin...